Sabtu, 23 Juli 2016

Jimat cincin nabi sulaiman?


PEMBAHASAN KISAH NABI SULAIMAN ALAIHISSALLAM DENGAN CINCINNYA
Kisah aneh ini disebutkan dalam beberapa literatur tafsir, tatkala memasuki pembahasan tentang apa yang dimaksud dengan fitnah (ujian) yang Allah Azza wa Jalla sebutkan dalam firman-Nya,

وَلَقَدْ فَتَنَّا سُلَيْمَانَ وَأَلْقَيْنَا عَلَىٰ كُرْسِيِّهِ جَسَدًا ثُمَّ أَنَابَ

Artinya: "Sungguh Kami telah menguji Sulaiman dan kami letakkan sebuah jasad di atas singgasananya. Kemudian dia bertaubat". [Shâd/38:34]

Redaksi kisah tersebut cukup panjang, intinya: "Konon Nabi Sulaiman Alaihissallam menikahi seorang wanita yang sangat beliau cintai, namanya Jarâdah. Hanya saja ia menyembah berhala di rumah Nabi Sulaiman Alaihissallam , tanpa sepengetahuan beliau.

Dikisahkan bahwa kekuatan Nabi Sulaiman Alaihissallam , baik yang berkenaan dengan kerajaan maupun kenabian beliau, terletak pada cincin yang ia pakai. Pada suatu hari ketika hendak memasuki kamar kecil, beliau menitipkan cincinnya kepada salah seorang istrinya; Amînah. Sebelum beliau menyelesaikan hajatnya, datanglah setan yang menyamar dalam bentuk Nabi Sulaiman Alaihissallam dan mengambil cincin tersebut lalu menduduki singgasana Nabi Sulaiman Alaihissallam . Sehingga Nabi Sulaiman Alaihissallam kehilangan kekuatannya, dan berubah bentuk, kemudian terusir dari kerajaannya. Si iblis berkuasa dan 'menggagahi' para istri Nabi Sulaiman Alaihissallam , sampaipun pada masa haidh mereka. Hingga akhirnya Nabi Sulaiman Alaihissallam menemukan cincinnya kembali, dalam perut seekor ikan yang dia dapatkan dari seorang nelayan tempat beliau bekerja, dst".[ Lihat: kisah lengkapnya, dengan berbagai redaksi dan konteks yang beragam dalam: Tafsîr ath-Thabarî (XX/88-92), Tafsîr Ibn Abî Hâtim (X/3241-3243), Tafsîr al-Baghawî (VII/90-94), ad-Durr al-Mantsûr karya as-Suyûthî (XII/570-583) dan yang lainnya.]

Komentar Para Ulama Atas Kisah Tersebut:
Para pakar tafsir klasik dan kontemporer serta selain mereka, memvonis batilnya kisah tersebut seraya menyebutkan, kisah ini tidak lebih hanyalah isrâiliyyât (dongeng-dongeng yang dinukil dari bani Israil) yang batil.
Berikut statemen mereka  :

1. Ibnu Hazm rahimahullah (w. 456 H) menegaskan, "Ini semua khurafat kisah palsu dan dusta. Isnâdnya sama sekali tidak shahîh".[Sebagaimana dinukil al-Qâsimî dalam Mahâsin at-Ta'wîl (XIV/5105).]

2. Al-Qâdhî 'Iyâdh rahimahullah (w. 544 H) berkata, "Tidak shahîh".[Asy-Syifâ bi Ta'rîf Huqûq al-Mushthafâ (II/836).]

3. Ibn al-Jauzî rahimahullah (w. 597 H) menyebutkan kisah di atas "tidak absah dan tidak disebutkan oleh orang yang terpercaya"[ Zâd al-Masîr (VII/133).].

4. Al-Qurthubî rahimahullah (w. 671 H) mengomentari pendapat orang yang menafsirkan "ujian" dengan kisah di atas, "Pendapat ini dilemahkan (para Ulama)"[Tafsîr al-Qurthubî (XVIII/22).].

5. An-Nasafî rahimahullah (w. 710 H) menegaskan, "Ini termasuk kebatilan (yang dikarang) orang Yahudi".[Tafsîr an-Nasafî (III/156).]

6. Abu Hayyân rahimahullah (w. 745 H) bertutur, "Kisah ini tidak halal untuk dinukil dan termasuk karangan orang-orang Yahudi serta kaum zindiq"[Tafsîr al-Bahr al-Muhîth (VII/527).].

7. Ibn Katsîr rahimahullah (w. 774 H) menerangkan, "Ini termasuk isrâîliyyât , nampaknya ini termasuk kedustaan Bani Israil. Oleh karena itu di dalamnya banyak terdapat hal-hal munkar"[Tafsîr Ibn Katsîr (VII/68-69), lihat pula al-Bidâyah wa an-Nihâyah (II/340-341).].

8. Al-Îjî rahimahullah (w. 894 H) menjelaskan, "Ketahuilah, tidak ada satupun hadits shahîh yang menyebutkan perincian kisah tersebut. Adapun apa yang dinukil dari salaf, kemungkinan besar termasuk isrâîliyyât".[Jâmi' al-Bayân fî Tafsîr al-Qur'ân (hal. 812)]

9. Al-Alûsî Abu ats-Tsanâ rahimahullah (w. 1270 H) berkata, "Allahu akbar! Ini kedustaan yang besar dan perkara yang serius. Keabsahan penisbatan cerita ini kepada Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu tidak kita terima"[Rûh al-Ma'ânî (XXIII/199).].

Dan masih banyak komentar lain yang senada , sengaja tidak kami nukil semua; khawatir berdampak pada terlalu panjangnya tulisan ini.
Semisal komentar az-Zamakhsyarî (w. 538 H) dalam al-Kasysyâf (IV/90-91), ar-Râzi (w. 606 H) dalam Tafsîrnya (XXVI/207), as-Suyûthî (w. 911 H) dalam Manâhil ash-Shafâ fî Takhrîj Ahâdîts asy-Syifâ (hal. 228 no. 1244), asy-Syinqîthî (w. 1393) dalam Adhwâ' al-Bayân (IV/101 dan VII/37), Abu Syahbah dalam al-Isrâ'îliyyât wa al-Maudhû'ât fi Kitub at-Tafsîr (hal. 272).

Adapun pernyataan sebagian Ulama yang menyebutkan bahwa sanad (jalur periwayatan) kisah tersebut hingga Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu kuat, sebagaimana yang dikatakan Ibnu Katsîr rahimahullah[Lihat: Tafsîr Ibn Katsîr (VII/69).] , Ibnu Hajar al-'Asqalânî rahimahullah [ Lihat: Al-Kâfî asy-Syâf fî Takhrîj Ahâdîts al-Kasysyâf (IV/90) sebagaimana dalam Mausû'ah al-Hâfizh Ibn Hajar al-'Asqalânî al-Hadîtsiyyah (IV/586).] dan as-Suyûthî rahimahullah [Lihat: Ad-Durr al-Mantsûr (XII/571). Tafsîr Ibn Katsîr (VII/68), dan al-Bidâyah wa an-Nihâyah (II/340-341).] ; hal tersebut tidaklah menafikan kebatilan kisah ini. Sebab andaikan sanad tersebut memang shahîh sampai ke Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu , beliau hanyalah menukil kisah batil tersebut dari Ahlul Kitab yang masuk Islam [ Ibnu Abbâs menukil kisah tersebut dari Ka'ab al-Ahbâr, sebagaimana dalam ad-Durr al-Mantsûr (XII/573).]. Jadi kisah tersebut tidak diambil Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu dari Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Buktinya pada kesempatan lain, Ibnu Katsîr rahimahullah dan as-Suyûthî rahimahullah menegaskan bahwa kisah tersebut termasuk khurafat isrâîliyyât.[ Lihat: Manâhiuash-Shafâ fî Takhrîj Ahâdîts asy-Syifâ (hal. 228 no. 1244), ]

Bedakan antara keabsahan penisbatan kisah tersebut kepada seseorang dengan kebatilan kisah itu sendiri. Perbedaan ini bisa kita analogikan dengan pemikiran-pemikiran sesat yang bermunculan di zaman ini. Penisbatan pemikiran tersebut kepada para kreatornya memang absah, tapi pemikiran itu sendiri sesat dan batil.

Kebatilan-Kebatilan Yang Terkandung Dalam Kisah Tersebut.
Selain kisah tersebut diragukan keabsahan sanadnya, alur ceritanya juga mengandung kebatilan-kebatilan yang berkonsekuensi menodai kesucian kenabian dan keyakinan-keyakinan batil lainnya:

1. Penyamaran setan dalam bentuk Nabiyullâh.

2. Setan berhasil 'menggagahi' para istri Nabiyullâh, bahkan di saat mereka haidh!

3. Kekuatan dan kenabian Sulaiman Alaihissallam tergantung pada cincin yang ia pakai dan bersumber darinya. Akan abadi jika cincin itu ada dan akan musnah jika cincin tersebut hilang.

4.Perubahan bentuk Nabi Sulaiman Alaihissallam .

5.Adanya penyembahan terhadap berhala di dalam rumah Nabiyullâh.

Tafsir Yang Benar Untuk Ayat 34 Dari Surat Shâd Di Atas.

Jika kita telah mengetahui bahwa kisah Nabi Sulaiman Alaihissallam dengan cincinnya batil, maka kisah tersebut tidak layak untuk dijadikan sebagai tafsir dari ayat al-Qur'ân. Namun timbul pertanyaan, "Tafsir seperti apakah yang benar dari ayat tersebut?".

Para Ulama pakar[Lihat: Tafsîr ar-Râzî (XXVI/208), Tafsîr an-Nasafî (III/155-156), al-Bahr al-Muhîth (VII/527-528), Rûh al-Ma'ânî (XXIII/198) dan Adhwâ' ul-Bayân (IV/100-101).] menyebutkan, tafsir yang paling pas untuk "ujian" yang disebut ayat tersebut di atas, adalah hadits shahîh yang diriwayatkan oleh Bukhâri dan Muslim:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قاَلَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّـى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "قَالَ سُلَيْمَانُ: َلأََطُوْفَنَّ اللَّيْلَةَ عَلَى تِسْعِينَ امْرَأَةً كُلُّهُنَّ تَأْتِي بِفَارِسٍ يُجَاهِدُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، فَقَالَ لَهُ صَاحِبُهُ: قُلْ إِنْ شَاءَ اللَّهُ، فَلَمْ يَقُلْ إِنْ شَاءَ اللَّهُ، فَطَافَ عَلَيْهِنَّ جَمِيعًا فَلَمْ يَحْمِلْ مِنْهُنَّ إِلاَّ امْرَأَةٌ وَاحِدَةٌ جَاءَتْ بِشِقِّ رَجُلٍ، وَايْمُ الَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لَوْ قَالَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ لَجَاهَدُواْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فُرْسَانًا أَجْمَعُونَ".

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "(Pada suatu hari) Nabi Sulaiman Alaihissallam berkata, "Malam ini aku akan berhubungan badan dengan sembilan puluh istriku. Masing-masing (pasti) akan melahirkan lelaki penunggang kuda yang kelak berjihad di jalan Allah Azza wa Jalla . Malaikat berkata padanya, "Katakan insyaAllah!". Tetapi Nabi Sulaiman k tidak mengucapkan insyaAllah. Lalu beliau berhubungan badan dengan seluruh istrinya tersebut, namun tidak seorangpun dari mereka yang mengandung, kecuali hanya satu. Itupun tatkala bersalin, melahirkan bayi hanya setengah badan [HR. Bukhâri dan Muslim]

Demi Allah, andaikan Nabi Sulaiman Alaihissallam mengucapkan insyaAllah; niscaya (akan lahir sembilan puluh anak laki-laki) seluruhnya menjadi penunggang kuda yang berjihad di jalan Allah"[HR. Bukhâri (XI/524 no. 6639 –al-Fath) dan Muslim (III/1276 no. 1654).].

Kesimpulannya: kisah yang menyebutkan bahwa 'kesaktian' Nabi Sulaiman Alaihissallam bersumber dari cincin yang ia pakai, tidak bisa dipertanggungjawabkan, baik dari sisi sanad maupun alur ceritanya. Sehingga otomatis, tidak bisa dijadikan dalih untuk melegalisasi praktek pemakaian jimat.

Tidak ada komentar: