Selasa, 12 Juli 2016

Imam al qurthubi membantah klaim ayat mut'ah syiah


Firman alloh :
”Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.[Qs. Al An nisa : 24]

Dengan dalih ayat di atas, Mereka mengemukakan tiga alasan sebagai berikut

1. Dalam ayat di atas Allah membuat ungkapan lafadz Istimta’ bukan dengan lafadz nikah, padahal istimta’ dengan mut’ah adalah satu makna.
2. Allah memerintahkan pada ayat di atas agar seseorang laki-laki memberikan upah, sementara mut’ah merupakan akad sewa’an untuk mendapatkan manfa’at kemaluan .
3. Sesungguhnya Allah meemerintahkan agar seseorang laki-laki memberikan upah kepada perempuan setelah menggauli, sedangkan cara itu hanya ada pada akad sewa-menyewa dan nikah mut’ah . sementara mahar hanya di berikan ketika proses akad nikah sedang berjalan

Jawab:

Memang sebagian ulama menafsirkan “Istimta’tum” dengan nikah mut’ah, Akan tetapi tafsir yang benar dari ayat ini adalah; Apabila kalian menikahi wanita lalu kalian berjima dengan mereka, Maka berikanlah maharnya sebagai sebuah kewajiban atas kalian .

Imam Ath-Thabari ra berkata: ”Setelah memaparkan dua tafsir ayat tersebut : ”Tafsir yang paling benar dari ayat tersebut adalah kalau kalian menikahi wanita lalu kalian berjima dengan mereka maka berikanlah maharnya, karena telah datang dalil dari Rasulullah saw akan haramnya nikah mut’ah [Tafsir Ath-Thabari, 8/175].

Imam Al-Qurthubi ra berkata: ”Tidak boleh ayat ini di gunakan untuk menghalalkan nikah mut’ah karena Rasulullah telah mengharamkannya [Tafsir Al-Qurthubi, 5/132].

Dan kalau toh seandainya kita terima bahwa ma’na dari ayat tersebut adalah nikah mut’ah maka hal itu berlaku di awal Islam sebelum di haramkan [Tafsir Qurthubi, 5/133, Ibnu Atsir, 1/474, Al-Mufashal fie Ahkamil Mar’ah, 6/166. dan Raudhoh Nadiyah, 2/165].

Tidak ada komentar: