Selasa, 12 Juli 2016

Mut'ah nabi VS mut'ah syiah


gambaran nikah Mut’ah di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang pernah dilakukan para sahabat radhiyallahu ‘anhum dapat dirinci sebagai berikut:
1. Dilakukan pada saat mengadakan safar (perjalanan) yang berat seperti perang, bukan ketika seseorang menetap pada suatu tempat. (HR. Muslim hadits no. 1404)
2. Tidak ada istri atau budak wanita yang ikut dalam perjalanan tersebut. (HR. Bukhari no. 5116 dan Muslim no. 1404)
3. Jangka waktu nikah mut’ah hanya 3 hari saja. (HR. Bukhari no. 5119 dan Muslim no. 1405)
4. Keadaan para pasukan sangat darurat untuk melakukan nikah tersebut sebagaimana mendesaknya seorang muslim memakan bangkai, darah dan daging babi untuk mempertahankan hidupnya. (HR. Muslim no. 1406)

mut'ah yang pernah di halalkan namun kemudian diharamkan itu memiliki kriteria-kriteria sebagai berikut:

Pertama, tidak sedang berada di tempat tinggalnya, baik ketika safar maupun pada sa'at jihad yang mana dia tidak bisa membawa istrinya. Jadi dihalalkannya nikah mut'ah di awal Islam adalah saat terpaksa, bukan dalam keadaan lapang. Hal ini ditunjukan oleh hadits Ibnu Mas'ud, Jabir bin Abdillah, dan hadits Salamah bin Akwa di atas. Dan ini diperkuat oleh Riwayat Imam Bukhari no.5116 dari Abi Jamrah berkata: "Saya mendengar Ibnu Abbas radliyallah 'anhuma ditanya tentang nikah mut'ah lalu beliau membolehkannya, Maka ada bekas budak beliau yang berkata, "Itu hanya dalam keadaan yang terpaksa dan saat wanita sedikit." Maka Ibnu Abbas menjawab, "benar."
Berkata Al-Qadhi Iyadh, "Semua hadis di atas tidak ada yang menunjukan bahwa mut'ah dilakukan saat berada di tempat tinggalnya. Namun dilakukan saat dalam perjalanan  perang atau saat terpaksa dan tidak ada istri yang bersamanya." (Syarh Shahih Muslim, 9/1179)
Kedua, harus memenuhi syarat akad nikah yang sah, yaitu izin wali wanita, adanya dua orang saksi dan adanya mahar serta apabila telah selesai masa mut'ah si wanita wajib melakukan 'iddah sehingga jelas apakah dia hamil ataukah tidak? karena kalau hamil maka anak itu dinasabkan kepada bapaknya. (Al-Mufashal fie Ahkamil Mar-ah, Syaikh Abdul Karim Zaidan, 6/174)

Berkata Imam Ibu Athiyah, "Nikah mut'ah yang pernah dibolehkan adalah apabila seorang laki-laki  menikahi wanita dengan dua orang saksi dan izin wali sampai batas waktu tertentu, hanya saja tanpa hak saling mewarisi antar keduanya namun tetap harus dengan mahar atas kesepakatan keduanya. Dan apabila telah selesai masanya, Maka dia tidak lagi mempunyai hak atas istrinya dan harus istibra rahimnya (mengkosongkan rahim dari janin dan itu bisa diketahui dengan datangnya haid atau melahirkan), karena anak yang lahir akan dinasabkan kepada ayah tapi apabila tidak hamil maka dia boleh menikah dengan yang lainnya."
Imam Al Qurthubi berkata, "Apabila nikah mut'ah tanpa saksi dan Wali: hal itu adalah perzinaan sama sekali tidak diperbolehkan dalam Islam." (Tafsir Qurthubi, 5/132)

Hal ini sangat jauh berbeda dengan amalan mut'ah yang dilakukan sebagian orang sekarang ini karena mereka memang mereka mengadopsi dari mut'ah Syiah yang mana tidak disyaratkan adanya wali dan saksi. (Al Mufashal, 6/175-177. Dan kitab mereka An-Nihayah oleh ath -Thusi hal. 489)

Berkata Syaikh Abdul Karim Zaidan, "Setelah memaparkan model nikah Mut'ah Syiah Ja'fariyah yang kita ambil dari kitab-kitab monumental mereka, maka sangat jelas dan gamblang akan kebatilan nikah ini dan ini bukan mut'ah yang pernah dihalalkan di awal masa islam. (Al Mufashal, 6/175-177)

Sedangkan nikah mut'ah dalam ajaran Syiah adalah kawin yang di lakukan berdasarkan mahar tertentu. Masa berlakunya bisa setengah jam, bisa satu jam, satu hari, satu minggu, satu bulan dan seterusnya, sesuai dengan akad perjanjian di kedua belah pihak tergantung kesanggupan membayarnya.
Nikah Mut'ah dalam sekte syi'ah memiliki lima syarat, yaitu:
Calon Istri
Calon Suami
Mahar
Batas Waktu
Ijab Kabul.
Kawin mut'ah ini tidak perlu wali dan tidak perlu saksi dan tidak ada hak waris-mewarisi. Kalau ada anak yang lahir akibat mut'ah ini adalah menjadi tanggung jawab ibunya, karena faraj ibunya waktu melakukan kawin mut'ah tadinya sudah di bayar.

Di dalam Al Furu’ Minal Kafi 5/455 karya Al-Kulaini, dia menyatakan bahwa Ja’far Ash-Shadiq pernah ditanya seseorang: "Apa yang aku katakan kepada dia (wanita yang akan dinikahi, pen) bila aku telah berduaan dengannya?" Maka beliau menjawab: "Engkau katakan: Aku menikahimu secara mut’ah berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya, namun engkau tidak mendapatkan warisan dariku dan tidak pula memberikan warisan apapun kepadaku selama sehari atau setahun dengan upah senilai dirham demikian dan demikian." Engkau sebutkan jumlah upah yang telah disepakati baik sedikit maupun banyak.” Apabila wanita tersebut mengatakan: “Ya” berarti dia telah ridha dan halal bagi si pria untuk menggaulinya. (Al-Mut’ah Wa Atsaruha Fil-Ishlahil Ijtima’i hal. 28-29 dan 31)
Ja’far Ash-Shadiq berkata: “Tidak apa-apa menikahi seorang wanita yang masih perawan bila dia ridha walaupun tanpa ijin kedua orang tuanya.” (Tahdzibul Ahkam 7/254).

Al-Kulaini dalam Al-Furu' min al-Kaafi, 5/489, meriwayatkan bahwa Zurarah pernah bertanya kepada Abul-Hasan Ar-Ridla, "apakah boleh masa mut'ah sesaat atau dua saat (yaitu ukuran waktu yang pendek)? Maka dijawab: "Yang boleh bukan sesaat atau dua saat, tetapi perjanjian mut'ahnya adalah sekali jima' atau dua kali atau sehari atau dua hari, semalam atau dua malam dan yang semisalnya."

Tidak ada komentar: