Selasa, 12 Juli 2016

Kesalahan nikah mut'ah syiah secara bahasa


Ayat “Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campur) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna)”

Potongan ayat ini sering dijadikan hujah utk melegalkan mut’ah. Benarkah demikian? Mari kita simak!

1. Teks ayat ini “Famā’stamta’ tum bihi min hunna fa ātūhunna ujūra hunna farîdhatan.”

Di antara ke-mukjizatan Alquran, adalah pada bayan dan pilihan katanya. Kita sepakat bahwa dalam ayat ini Allah menggunakan kata “istimta’”, bukan “mut’ah”.

Apa arti “mut’ah” dan “isitimta’” dalam Alquran?

Kata “mut’ah” terdapat di dalam Alquran utk bbrp arti yg maksudnya adalah

1. Pemberian yg diberikan suami kpd istri yg diceraikannya “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu: “Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepadamu mut’ah(pemberian yg diberikan suami kpd istri yg diceraikan) dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik.

Juga pd Qs. Al-Ahzab:49, Qs. Al-Baqarah: 236, al-Baqarah:241. ini wajib bagi suami.

2. Mut’ah haji (tamattu’), maksudnya adalah melaksanakan umrah pada masa aman sebelum tibanya musim haji.

Qs. Al-Baqarah : 196 : Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan ‘umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) korban yang mudah didapat.

3. Mengambil manfaat dengan rizki yg baik dan kenikmatan hidup.

Dalam Alquran banyak disebutkan kata “mata’a”. Baca : Qs. Huud:3, Qs. Huud: 65, Qs. Muhammad : 12, Qs. An-Nisa’:77.

Adapun kata “istimtaa’”, selain pd Qs. An-Nisaa’ di atas, coba Anda baca pada:

Dan (ingatlah) hari (ketika) orang-orang kafir dihadapkan ke neraka (kepada mereka dikatakan): “Kamu telah menghabiskan rezkimu yang baik dalam kehidupan duniawimu (saja) dan kamu telah bersenang-senang dengannya; maka pada hari ini kamu dibalasi dengan azab yang menghinakan karena kamu telah menyombongkan diri di muka bumi tanpa hak dan karena kamu telah fasik.” Qs. Al-Ahqaaf: 20

Di antara mu’jizat Alquran, adalah pada bayan dan pilihan kata yg disampaikan. Kata “mut’ah” dan tashrif-nya sebagaimana pada poin 1-3, masuk pada bab “at-tafa’ul” dan “at-taf’iil”, di Alquran selalu disebutkan dengan maksud dan arti untuk pemanfaatan yang sejenak (memiliki batasan waktu). Baik batasan waktunya disebut atau tidak.
Adapun “istimta’”, tidak disebutkan dalam Alquran kecuali untuk pemanfaatan yang bersifat terus menerus, tidak terputus kecuali dengan terputusnya kehidupan dunia.

Penggunaan wazan “istif’aal” dalam Alquran, biasanya untuk “mubaalaghah” = (berlebih-lebihan, terus-menerus), seperti kata : ijabah dan istijabah; ikhraaj dan istikhraaj; iqaamah dan istiqaamah. Dst.

Adapun “nikah mut’ah”, sama sekali tidak ada penyebutannya di dalam Alquran!

2. Adapun tambahan qira’ah “ilaa ajalin musamma” sebagaimana yg diriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab, dan Ibn ‘Abbas,

Hal ini disebutkan oleh Ibn Jarir At Thabari dalam tafsirnya. Namun alangkah baiknya jika teman2 Syi’ah, ketika menukil dr tafsir tsb atau dr lieratus Ahlus Sunah lainnya, spy bersikap jujur dan amanah.

Krn Ibn Jarir, stlh menyebutkan “qira’ah syadzah” ini, beliau berkata,

“Adapun tambahan qira’ah “ilaa ajalin musamma” sebagaimana yg diriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab, dan Ibn ‘Abbas, dr bacaan mereka “(‘Famā’stamta’ tum bihi min hunna ilā ajalin musamman’), ini adalah bacaan yang menyelisihi mush-haf-mush-haf kaum muslimin. Tidak boleh bagi siapapun untuk menambahkan dalam kitab Allah sesuatu yg tidak datang dari sumber yang qath’I, (terlebih lg juga bertentangan dengan riwayat mutawatir) yg tidak boleh diselisihi.

3. Bukti-bukti lain dari kandungan ayat ini sangat jelas mengharamkan nikah mut’ah.

Ayat : “Dan barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaanya untuk menikahi wanita merdeka lagi beriman…. (Kebolehan menikahi budak) itu, adalah bagi-bagi orang-orang yang takut kepada kesulitan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antaramu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Qs. An-Nisa: 25

Ayat ini jelas sekali menyatakan, barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yg tidka memiliki kecukupan utk menikahi wanita merdeka, maka ia bisa menikahi wanita budak. Dan jika ia masih juga blm mampu, maka hendaklah ia bersabar.

Jika mut’ah adalah solusi, mengapa seseorang yang masih saja belum bisa menikahi budak diperintahkan untuk bersabar?

Demikian pula dalam Qs. An-Nur: 33, Allah berfirman :

33. Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya.

Jika mut’ah adalah halal dan merupakan solusi, kenapa Allah menyuruh orang yang belum mampu untuk menikah supaya menunggu, terbakar dengan gelora syahwat yang menggebu-gebu!

Jika mut’ah halal, mengapa Allah memerintahkannya untuk bersabar sampai Allah memberikan kecukupan baginya untuk melaksanakan pernikahan secara syar’i?

4. Benarkan “ajr” di dalam ayat ini adalah “ajr”/”ujrah” nikah mut’ah?

Sering kita mendengar alasan, “ “shadaq” (mahar nikah) tidak disebut dengan “ajr” dlm Alquran. Maka jelaslah yg dimaksud dengan “ajr” di sini adalah “ujroh” untuk mut’ah.”!!

Kita jawab: Di Alquran, juga menyebut “shadaq” dengan “ajr”. Karena “shadaq” (mahar) adalah sebagai pengganti dari kenikmatan yang kita dapat dari istri, sebagaimana dijelaskan dalam Alquran Qs. An-Nisa’ : 21

Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.

Maka ia memiliki keserupaan yang sangat kuat dengan harga dari manfaat yang kita peroleh. Maka hal itu disebut dengan “ajr”.

Ayat yang dengan tegas menyebutkan bahwa “ajr” yang maksudnya adalah mahar adalah :

karena itu nikahilah mereka dengan seizin tuan mereka dan berilah maskawin mereka… Qs. An-Nisa: 25, juga dalam Qs. Al-Maaidah : 5 :

(Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan[402] diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka.

Dengan demikian jelaslah. BAHWA AYAT AN-NISA : 24-25 INI ADALAH TENTANG NIKAH YANG SAH, BUKAN NIKAH MUT’AH.

ALLAH BERFIRMAN :

Dan apabila mereka melakukan perbuatan keji, mereka berkata: “Kami mendapati nenek moyang kami mengerjakan yang demikian itu, dan Allah menyuruh kami mengerjakannya.” Katakanlah: “Sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang keji.” Mengapa kamu mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui? Qs. Al-a’raaf: 28

Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk. Qs. Al-Isra : 32

Syaik Abdullah bin Jibrin berkata ; ”Bahwasanya orang-orang Rafidhah menghalalkan nikah mut’ah dengan dalil dengan ayat tersebut, lalu cara untuk menjawab dalil mereka adalah ; ”Ayat-ayat di bawah ini sampai dalil yang dijadikan sandaran oleh Syi’ah adalah berbicara tentang masalah nikah yang sebenarnya di mulai dengan ayat :

”Tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa ….”[ Qs.An-Nissa :19]

Sampai dengan ayat :

” Dan jika ingin menganti istrimu dengan istri yang lain [ Qs.An-Nissa ;20]

Sampai dengan ayat :

” Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah di kawini oleh ayahmu [ Qs.An-nissa;22]

” kemudian di tambah lagi dengan ayat :

” Di haramkan atas kamu mengawini ibu-ibumu [ Qs.An-Nissa :23]

” Setelah Allah sawt memaparkan kepada kita jumlah wanita yang haram di nikahi baik di karenakan nasab keturunan atau di karenakan sebab lainnya . Allah l lalu berfirman:

Di halalkan bagi kamu selain yang demikian”[ Qs.An-Nissa: 24]

Maksudnya ”Wanita –wanita yang di sebutkan di atas, atau di bolehkan bagi kalian menikahi wanita-wanita yang selain yang di sebutkan .

Adapun jika kalian menikahi mereka (selain yang di sebutkan di atas) untuk kalian setubuhi maka berikanlah maharnya yang mana telah kalian tentukan untuknya, dan jika mereka (para istri ) membebaskan sebagian dari maharnya dengan kerela’an hati, Maka tidak dosa engkau menerimanya ….” [Menyingkap kesesatan Aqidah Syiah ,hal 46-49].

Tidak ada komentar: