SOAL: Ada anggapan dari segelintir orang bahwa mayoritas umat Islam shalat tarawehnya tidak sesuai dengan Sunnah, karena melakukannya dalam 20 raka’at, bukan 8 raka’at. Bagaimana tanggapan Anda?
JAWAB: Justru anggapan segelintir orang tersebut yang keliru. Sejak masa Khulafaur Rasyidin shalat taraweh dilaksanakan dalam 20 raka’at, ditambah 3 raka’at shalat witirnya.
Bantahan:
Yang benar, tidaklah demikian. Perbedaan pendapat telah ada sejak masa sahabat sampai sekarang. Perbedaan ini disebutkan dalam Fath-hul Bari (4/253), Cet. As Salafiyah, yang ringkasnya, 11, 13, 19, 21, 23, 25, 27, 35, 37, 39 [ini (maksudnya 39) dilakukan di Madinah pada masa pemerintahan Aban bin Utsman dan Umar bin Abdul Aziz. Imam Malik mengatakan: “Perbuatan ini sudah dilakukan sejak seratusan tahun lebih”], 41, 47 dan 49.
Jika telah jelas adanya perbedaan, maka yang menjadi hakim pemutus dalam masalah ini adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana firman Allah, yang artinya: "Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya". [An Nisa':59]
SOAL: Mereka beranggapan bahwa dasar shalat taraweh itu 8 raka’at, ditambah 3 raka’at shalat witir adalah hadits riwayat al-Bukhari berikut ini:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: مَا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيْدُ فِيْ رَمَضَانَ وَلاَ فِيْ غَيْرِهِ عَلىَ اِحْدَى عَشَرَةَ رَكْعَةً. رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ
“’Aisyah radhiyallahu anha berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah melebihi 11 raka’at (shalat malam), baik dalam bulan Ramadhan maupun selainnya.” (HR. al-Bukhari).
Bagaimana tanggapan Anda?
JAWAB: Hadits ‘Aisyah dalam riwayat al-Bukhari di atas memang bukan dalil shalat taraweh. Coba perhatikan, Imam al-Bukhari menulis bab sebelum hadits di atas begini:
بَابُ قِيَامِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِاللَّيْلِ فِي رَمَضَانَ وَغَيْرِهِ
Bab shalat malam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada bulan Ramadhan dan lainnya.
Bantahan:
Hadits di atas dalam shahih Bukhori disimpan di bawah Induk Pembahasan dengan judul :
" كتاب صلاة التراويح
kemudian sub judul dibawahnya dengan
باب فَضْلِ مَنْ قَامَ رَمَضَانَ. .
Selanjutnya teks hadits di atas disimpan dalam sub bahasan bab mata Rasul tertidur tetapi hatinya tetap terjaga. Dengan demikian dipahami bahwa Imam Bukhori memandang bahwa yang dimaksud dengan salat tarawih itu adalah qiyam ramadhan. Selain di disimpan dalam bab di atas hadits tersebut didapati juga dalam :
باب قِيَامِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم بِاللَّيْلِ فِي رَمَضَانَ وَغَيْرِهِ.
Imam Muslim memberikan topik dalam kitab sahihnya dengan judul :
- باب التَّرْغِيبِ فِى قِيَامِ رَمَضَانَ وَهُوَ التَّرَاوِيحُ. ("Bab motivasi untuk melaksanakan qiyam ramadhan yaitu tarawih)".
- باب صَلاَةِ اللَّيْلِ وَعَدَدِ رَكَعَاتِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فِى اللَّيْلِ وَأَنَّ الْوِتْرَ رَكْعَةٌ وَأَنَّ الرَّكْعَةَ صَلاَةٌ صَحِيحَةٌ.
jelas sekali ini tentang tarawih dan rokaatnya
Syubhat:
Dari penyajian al-Bukhari di atas, para ulama memberikan beberapa kesimpulan berikut ini:
Pertama, hadits Aisyah di atas tidak memberikan pengertian bahwa shalat melebihi 11 raka’at hukumnya tidak afdhal (tidak utama), apalagi terlarang atau bid’ah.
Bantahan:
kebaikan itu ada pada pembatasan diri dengan bilangan ini, karena itu merupakan petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Jika kebaikan itu terdapat pada pembatasan dengan bilangan ini, maka membatasi diri dengan bilangan ini merupakan perbuatan yang lebih utama.
Bisa jadi juga kebaikan itu ada pada penambahan bilangan. Jika demikian, berarti Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kurang dalam melakukan kebaikan dan rela menerima yang kurang daripada yang lebih utama dengan tanpa memberikan penjelasan kepada umatnya. Demikian ini hal yang mustahil.
Syubhat:
Kedua, hadits tersebut hanya menginformasikan bahwa shalat malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah lebih dari 11 raka’at, baik ketika bulan Ramadhan maupun di luarnya.
Bantahan:
pertanyaan awal jelas tentang bulan ramadhan
abu salamah bertanya kepada 'Aisyah Radhiallahu 'anha tentang bagaimana shalat Rasulullah Shallallahu 'alihi wa sallam di bulan Ramadhan ?
Syubhat:
Ketiga, informasi bahwa shalat malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah lebih dari 11 hanya berdasarkan sepengetahuan Aisyah radhiyallahu ‘anha.
Bantahan:
Kalau memang 20 rokaat itu ada masa sih aisyah tidak tahu.
Imam As-Suyuthi berkomentar : "Kesimpulannya, riwayat tarawih 20 raka'at itu tak ada yang shahih dari perbuatan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Apa yang tersebut dalam riwayat Ibnu Hibban merupakan klimaks apa yang menjadi pendapat kami, karena (sebelumnya) kami telah berpegang dengan apa yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari 'Aisyah Radhiallahu 'anha, yaitu : Bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam baik dalam bulan Ramadhan maupun dalam bulan lainnya tak pernah shalat malam melebihi 11 raka'at. Kedua hadits itu (Hadits Riwayat Ibnu Hibban dan Al-Bukhari) selaras, karena disebutkan disitu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat delapan raka'at, lalu menutupnya dengan witir tiga raka'at, sehingga berjumlah 11 raka'at. Satu hal lagi yang menjadi dalil, bahwa Nabi apabila mengamalkan satu amalan, beliau selalu melestarikannya. Sebagaimana beliau selalu meng-qadha shalat sunnah Dhuhur sesudah Ashar ; padahal shalat waktu itu pada asalnya haram. Seandainya beliau telah mengamalkan shalat tarawih 20 raka'at itu, tentu beliau akan mengulanginya. Kalau sudah begitu, tak mungkin 'Aisyah tidak mengetahui hal itu, sehingga ia membuat pernyataan seperti tersebut tadi".
SOAL: Apakah ada bukti riwayat lain bahwa shalat malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lebih dari 11 raka’at?
JAWAB: Ya ada beberapa bukti.
Dalam satu riwayat, shalat malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam justru 13 raka’at.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّيْ مِنَ اللَّيْلِ ثَلاَثَ عَشَرَةَ رَكْعَةً. رَوَاهُ مُسْلِمٌ وَابْنُ الْمُنْذِرِ وَابْنُ خُزَيْمَةَ
“Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menunaikan shalat malam 13 raka’at.” (HR. Muslim, Ibnu al-Mundzir dalam al-Ausath [5/157] dan Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya [2/191]).
Shalat malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebanyak 13 raka’at justru diriwayatkan dari beberapa shahabat antara lain, Zaid bin Khalid al-Juhani, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Aisyah, dan Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhum.
Bantahan:
Al-Hafidzh Ibnu Hajar mengatakan : "Pada dzahirnya, hadits itu nampakl bertentangan dengan hadits terdahulu. Bisa jadi, 'Aisyah menggabungkan dengan dua raka'at shalat sesudah Isya, karena beliau memang melakukannya di rumah. Atau mungkin juga dengan dua raka'at yang dilakukan Nabi sebagai pembuka shalat malam. Karena dalam hadits shahih riwayat Muslim disebutkan bahwa beliau memang memulai shalat malam dengan dua raka'at ringan. Dan yang kedua ini lebih kuat, menurut hemat saya. Karena Abu Salamah yang mengkisahkan kriteria shalat beliau yang tak melebihi 11 raka'at dengan empat-empat plus tiga raka'at, hal itu jelas belum mencakup dua raka'at ringan (pembuka) tadi, dua raka'at itulah yang tercakup dalam riwayat Imam Malik. Sedangkan tambahan matan hadits dari seorang hafizh (seperti Malik) bisa diterima. Pendapat ini lebih dikuatkan lagi dengan apa yang tertera pada riwayat Ahmad dan Abu Dawud dari jalur riwayat Abdullah bin Abi Qais dari 'Aisyah Radhiallahu 'anha dengan lafazh : "Beliau melakukan witir tiga raka'at setelah shalat empat raka'at ; atau tiga setelah sepuluh. Dan beliau belum pernah berwitir -plus shalat malamnya- labih dari tiga belas raka'at. Dan juga tidak pernah kurang -bersama shalat malamnya- dari tujuh raka'at. Inilah riwayat paling shahih yang berhasil saya dapatkan dalam masalah itu. Dengan demikian, perselisihan seputar hadits 'Aisyah itu dapat disatukan".
Dalam riwayat lain, shalat malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam 16 raka’at.
عن علي – رضي الله تعالى عنه – (قال: كان رسول الله – صلى الله عليه وسلم – يصلي من الليل ست عشرة ركعة سوى المكتوبة).
Dari Ali radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selalu menunaikan shalat pada malam hari sebanyak 16 raka’at, selain shalat maktubah (fardhu)”. HR al-Imam Ahmad dengan sanad yang para perawinya tsiqat (dipercaya).
Bantahan: ini hadits munkar.karena takholith kerancuan dari abu ishaq,yg mahfudz adalah itu sholat siang bukan malam,sebagaiman riwayat syu'bah dan sufyan.
Dalam riwayat lain, shalat malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam 17 raka’at.
روى أبو الحسن بن الضحاك عن طاوس مرسلا (قال: كان رسول الله – صلى الله عليه وسلم – يصلي من الليل سبع عشرة ركعة).
Abu al-Hasan bin al-Dhahhak meriwayatkan dari Thawus secara mursal, berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selalu menunaikan shalat pada malam hari 17 raka’at”. (Al-Shalihi al-Syami, Subul al-Huda wa al-Rasyad fi Sirah Khair al-‘Ibad, juz 8 hlm 294).
Bantahan:
mursal jelas dhoif/ lemah gak perlu digubris.
Dari beberapa versi riwayat yang sampai kepada kita, ternyata shalat malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ada 9 riwayat yang berbeda, mulai dari 4, 7, 8, 9, 6, 11, 13, 16 dan 17 raka’at. Semuanya diriwayatkan dalam kitab-kitab hadits.
Bantahan: diriwayatkan tidak sertamerta shohih apalagi langsung diamalkan,harus di cek dulu
SOAL: Berarti kelompok yang memastikan shalat malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hanya 11 raka’at tidak mengetahui tentang beberapa versi riwayat yang ada dalam kitab-kitab hadits?
JAWAB: Mungkin begitu. Dan atau mungkin juga tahu, tetapi memahaminya dengan kacamata olah raga. Misalnya dia berpikir bahwa riwayat 11 raka’at ada dalam Shahih al-Bukhari, dengan begitu berarti 11 raka’at lebih kuat dari riwayat yang lain. Padahal dalam memahami hadits, sistimatika yang diambil oleh para ulama bukan adu kekuatan riwayat.
Bantahan: masa iya yg lebih lemah harus diunggulkan dibanding yg kuat shohih,sedangkan mereka bertentangan?
Makanya beragama jangan pakai kaca mata kuda!
Kuda matanya ditutup matanya kanan kiri,cuma bisa lihat yg didepannya.itulah mental kuda tidak mau menoleh dalil yg lebih kuat,hanya terpaku dg yg dihadapannya saja,hanya mau dalil dari kyainya saja..lucu.
SOAL: Kalau memang versi shalat malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam paling banyak 17 raka’at, lalu bagaimana kalau kita shalat lebih dari 17 raka’at?
JAWAB: Shalat malam termasuk shalat sunnah mutlak yang tidak dibatasi dengan jumlah raka’at tertentu. Al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ رَسُولُ اللهِ عَلَيْهِ السَّلاَم صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى فَإِذَا خَشِيَ أَحَدُكُمْ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً وَاحِدَةً تُوتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى
“Dari Ibnu Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Shalat malam dikerjakan 2 raka’at, 2 raka’at. Apabila salah seorang kamu khawatir shubuh, shalatlah 1 raka’at, sebagai witir bagi shalat yang telah dikerjakan.” (HR. al-Bukhari [990]).
Hadits di atas memberikan pengertian, bahwa shalat malam tidak memiliki batas tertentu, misalnya harus 8 atau 10 raka’at. Akan tetapi shalat malam boleh dikerjakan berapa saja, dengan dilaksanakan 2 raka’at, 2 raka’at.
Bantahan:
Pada kenyataannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menetapi jumlah rakaat tertentu dalam shalat-shalat sunnah rawatib dan lainnya, seperti shalat Istisqa’, shalat Kusuf, … . Perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan dalil yang diterima oleh para ‘ulama bahwa tidak boleh menambah bilangan rakaat tersebut. Demikian juga halnya dengan shalat Tarawih. Barangsiapa yang menyatakan ada perbedaan antara dua hal tersebut, maka dia harus mendatangkan dalil.
Shalat Tarawih bukanlah termasuk shalat nafilah yang bersifat muthlak sehingga boleh memilih untuk mengerjakannya dengan jumlah rakaat yang dikehendaki. Justru shalat Tarawih merupakan shalat sunnah mu`akkad yang ada kesamaan dengan shalat fardhu dari sisi disyari’atkan berjama’ah dalam pelaksanaannya, sebagaimana dikatakan oleh para ‘ulama syafi’iyyah. Maka dari sisi ini, shalat Tarawih lebih utama untuk tidak boleh ditambah bilangan rakaatnya dibanding dengan shalat sunnah rawatib.
Sebagaimana mereka melarang tarawih empat rokaat dg satu salam karena tidak ada contoh yg jelas dari nabi.
Dalam Ensiklopedi Fiqh dinyatakan,
وقال الشافعية: لو صلى في التراويح أربعا بتسليمة واحدة لم يصح فتبطل إن كان عامدا عالما، وإلا صارت نفلا مطلقا، وذلك لأن التراويح أشبهت الفرائض في طلب الجماعة فلا تغير عما ورد
Syafiiyah mengatakan, jika ada orang shalat tarawih 4 rakaat dengan salam sekali, shalatnya tidak sah, dan batal. Jika dia lakukan dengan sengaja dan tahu tata caranya. Jika tidak, maka shalat yang dia kerjakan menjadi shalat sunah mutlak. Karena tarawih mirip dengan shalat wajib, dalam arti dianjurkan untuk dilakukan secara berjamaah. Sehingga tidak boleh diubah dari riwayat yang ada. (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, 27/145).
Syubhat:
Dalam hadits lain juga diriwayatkan:عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ تُوْتِرُوْا بِثَلاَثٍ تَشَبَّهُوْا بِالْمَغْرِبِ وَلَكِنْ اَوْتِرُوْا بِخَمْسٍ أَوْ بِسَبْعٍ أَوْ بِتِسْعٍ أَوْ بِاِحْدَى عَشَرَةَ رَكْعَةً أَوْ اَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ. أَخْرَجَهُ الْحَاكِمُ ، وَالْبَيْهَقِىُّ وَصَحَّحَهُ ابْنُ حِبَّانَ.
“Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Janganlah kalian mengerjakan shalat witir 3 raka’at, menyerupai shalat maghrib. Akan tetapi berwitirlah 5, 7, 9. 11 raka’at, atau lebih banyak dari itu.” (HR. al-Hakim dalam al-Mustadrak [1/446], al-Baihaqi dalam al-Sunan al-Kubra [3/31], Ibnu Hibban dalam Shahih-nya [6/185], Ibnu al-Mundzir dalam al-Ausath [5/184]). Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Hibban, al-Hakim, al-Dzahabi dan al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Talkhish al-Habir.
Bantahan:
tambahan kalimat lebih banyak dari itu adalah tambahan mungkar.imam alhakim tidak menshohihkan itu padahal beliau termasuk mutasahil gampang menshohihkan,tapi itu tidak dishohihkan beliau.
Syubhat:
Dalam hadits di atas, terdapat perintah menunaikan shalat witir dengan 7 raka’at, 9 raka’at, 11 raka’at, atau lebih banyak lagi. Hal ini membuktikan bahwa shalat malam, termasuk shalat taraweh lebih dari 11 raka’at, yaitu 23 raka’at, tidak termasuk bid’ah, bahkan sesuai dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits-hadits shahih.
Bantahan:
enteng banget mulut ente bilang itu sunnah rosul, mana nabi mengerjakan lebih dari itu???
SOAL: Mengapa shalat taraweh yang dilakukan oleh umat Islam sebanyak 23 raka’at?
JAWAB: Mayoritas umat Islam melakukan shalat taraweh sebanyak 23 raka’at, karena jumlah itu yang dilakukan pada masa sahabat, yaitu masa Khulafaur Rasyidin radhiyallahu ‘anhum. Al-Imam al-Tirmidzi berkata dalam kitabnya al-Sunan:
وَاخْتَلَفَ أَهْلُ العِلْمِ فِي قِيَامِ رَمَضَانَ، فَرَأَى بَعْضُهُمْ: أَنْ يُصَلِّيَ إِحْدَى وَأَرْبَعِينَ رَكْعَةً مَعَ الوِتْرِ، وَهُوَ قَوْلُ أَهْلِ الْمَدِينَةِ، وَالعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَهُمْ بِالمَدِينَةِ.
وَأَكْثَرُ أَهْلِ العِلْمِ عَلَى مَا رُوِيَ عَنْ عُمَرَ، وَعَلِيٍّ، وَغَيْرِهِمَا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِشْرِينَ رَكْعَةً، وَهُوَ قَوْلُ الثَّوْرِيِّ، وَابْنِ الْمُبَارَكِ، وَالشَّافِعِيِّ.
وقَالَ الشَّافِعِيُّ: وَهَكَذَا أَدْرَكْتُ بِبَلَدِنَا بِمَكَّةَ يُصَلُّونَ عِشْرِينَ رَكْعَةً.
وقَالَ أَحْمَدُ: رُوِيَ فِي هَذَا أَلْوَانٌ وَلَمْ يُقْضَ فِيهِ بِشَيْءٍ.
وقَالَ إِسْحَاقُ: بَلْ نَخْتَارُ إِحْدَى وَأَرْبَعِينَ رَكْعَةً عَلَى مَا رُوِيَ عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ.
Ahli ilmu (para ulama) berbeda pendapat tentang shalat malam pada bulan Ramadhan. Sebagian berpendapat, untuk menunaikan shalat 41 raka’at bersama witir, yaitu pendapat penduduk Madinah. Pengamalam berlaku seperti ini di kalangan mereka di Madinah.
Mayoritas ahli ilmu mengikut apa yang diriwayatkan dari Umar, Ali dan lain-lain dari para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu 20 raka’at. Ini adalah pendapat al-Tsauri, Ibnu al-Mubarak dan al-Syafi’i.
Al-Syafi’i berkata: Demikianlah aku menjumpai di negeri kami di Makkah, mereka menunaikan shalat 20 raka’at.
Ahmad berkata: Dalam hal ini telah diriwayatkan beberapa versi, dan tidak pernah dipastikan dengan batasan tertentu.
Ishaq berkata: Kami memilih 41 raka’at sesuai apa yang diriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab. (Sunan al-Tirmidzi, juz 2 hlm 162).
Bantahan:
sudah pasti disepakati oleh seluruh kaum muslimin Bahwa sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Petunjuk Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam lebih baik dibandingkan dengan petunjuk orang lain, siapapun juga. Bahkan jika ada kebaikan pada petunjuk seseorang, maka itu semua berasal dari petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan para sahabat memberikan peringatan keras terhadap perbuatan mempertentangkan antara sabda Rasulullah dengan perkataan orang lain, antara petunjuknya Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan petunjuk orang lain. Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma mengatakan:
يُوْشِكُ أَنْ تَنْزِلَ عَلَيْكُمْ حِجَارَةٌ مِنَ السَّمَاءِ أَقُوْلُ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ وَتَقُوْلُوْنَ قَالَ أَبُوْ بَكْرٍ وَعُمَرُ
"Hampir saja kalian dihujani batu dari langit, aku mengatakan “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda” (sedangkan) kalian mengatakan "Abu Bakar dan Umar mengatakan".
SOAL: Apakah riwayat taraweh 23 raka’at dari para sahabat itu riwayat yang shahih?
JAWAB: Pelaksanaan shalat taraweh secara terorganisir dengan satu imam dan di awal malam, belum pernah dilakukan pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan masa Khalifah Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu. pelaksanaan shalat taraweh tersebut baru dilakukan pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab. Pada awal mula shalat taraweh digagas oleh Khalifah Umar, dilakukan dengan 8 raka’at, plus witir 3 raka’at, dengan imam Ubai bin Ka’ab dan Tamim al-Dari. Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Malik dalam kitab al-Muwaththa’.
Kemudian pada masa-masa selanjutnya, shalat taraweh dilakukan dengan 20 raka’at, dan 3 witir, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Malik dalam kitab al-Muwaththa’ juga dari jalur Yazid bin Khushaifah. Hal ini dilakukan untuk meringankan kepada jama’ah yang menunaikan shalat taraweh pada waktu itu. Karena ketika shalat taraweh dilakukan dalam 8 raka’at, para imam membacakan 50 atau 60 ayat dalam setiap raka’at, sehingga shalat taraweh selesai menjelang terbitnya fajar. Kemudian karena hal ini dianggap memberatkan bagi jama’ah, lalu sistemnya dirubah menjadi 23 raka’at, di mana dalam setiap raka’at, sang imam hanya membaca 20 atau 30 ayat. Sehingga sedikitnya ayat yang dibaca dalam shalat, dapat tertutupi dengan jumlah raka’at yang lebih banyak.
Pelaksanaan shalat taraweh 23 raka’at padamasa Khalifah Umar tersebut telah dishahihkan oleh al-Imam al-Nawawi dalam al-Khulashah dan al-Majmu’, al-Zaila’i dalam Nashb al-Rayah, al-Subki dalam Syarh al-Minhaj, al-Hafizh Ibnu al-‘Iraqi dalam Tharh al-Tatsrib, al-‘Aini dalam ‘Umdah al-Qari, al-Suyuthi dalam al-Mashabih, Ali al-Qari dalam Syarh al-Muwaththa’, al-Nimawi dalam Atsar al-Sunan dan lain-lain. Syaikh Ismail al-Anshari, salah seorang ulama Wahabi kontemporer telah menshahihkan riwayat tersebut dalam dalam kitabnya, Tashhih Hadits Shalat al-Tarawih ‘Isyrin Rak’ah wa al-Radd ‘ala al-Albani fi Tadh’ifih. Kitab ini sangat bagus untuk dibaca.
Pada masa Khalifah Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhuma, shalat taraweh tetap dilakukan dalam 23 raka’at, sebagaimana diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam al-Sunan al-Kubra (juz 2 hal. 496). Shalat taraweh dengan jumlah 23 raka’at berlangsung hingga masa-masa berikutnya. Kecuali penduduk Madinah yang melakukannya 39 raka’at dan 41 raka’at sejak masa Salaf sebagaimana diriwayatkan dalam kitab-kitab hadits.
Bantahan:
Riwayat Yazid ini syadz (ganjil/menyelisihi yang lebih shahih), karena Muhammad bin Yusuf lebih tsiqah dari Yazid bin Khashifah. Riwayat Yazid tidak bisa dikatakan ziyadah tsiqah kalau kasusnya seperti ini, karena ziyadah tsiqah itu tidak ada perselisihan, tapi hanya sekedar tambahan ilmu saja dari riwayat tsiqah yang pertama sebagaimana (yang disebutkan) dalam Fathul Mughit (1/199), Muhashinul Istilah hal. 185, Al-Kifayah hal 424-425. Kalaulah sendainya riwayat Yazid tersebut shahih, itu adalah perbuatan, sedangkan riwayat Muhammad bin Yusuf adalah perkataan, dan perkataan lebih diutamakan dari perbuatan sebagaimana telah ditetapkan dalam ilmu ushul fiqh.
Teladan itu nabi bukan manusia biasa.
SOAL: Bagaimana dengan shalat taraweh menurut Madzhab Empat?
JAWAB: Menurut madzhab Hanafi, Syafi’i dan Hanbali, jumlah maksimal shalat taraweh adalah 20 raka’at ditambah 3 raka’at shalat witir. Hal ini berdasarkan shalat taraweh yang diriwayatkan dari Khalifah Umar, Utsman dan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhum. Sedangkan menurut madzhab Maliki, jumlah raka’at shalat taraweh menurut riwayat yang populer dari Imam Malik adalah 46 raka’at, selain raka’at witir, sebagaimana diceritakan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari. Oleh karena itu pandangan yang membid’ahkan shalat taraweh lebih dari 11 raka’at adalah pandangan yang bid’ah dan tidak sesuai dengan ijma’ ulama salaf yang shaleh. Wallahu a’lam.
Bantahan:
kalau tidak ada contoh yg diriwayatkan dg shohih dari nabi dan sahabat,apakah itu bisa disebut sunnah rosul dalam islam?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar