أَرْدَفَ الْحَمْدَ بِالصَّلَاةِ عَلَى رَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِكَوْنِهِ الْوَاسِطَةَ فِي وُصُولِ الْكَمَالَاتِ الْعِلْمِيَّةِ وَالْعَمَلِيَّةِ إلَيْنَا مِنْ الرَّفِيعِ عَزَّ سُلْطَانُهُ وَتَعَالَى شَأْنُهُ ، وَذَلِكَ ؛ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى لَمَّا كَانَ فِي نِهَايَةِ الْكَمَالِ وَنَحْنُ فِي نِهَايَةِ النُّقْصَانِ لَمْ يَكُنْ لَنَا اسْتِعْدَادٌ لِقَبُولِ الْفَيْضِ الْإِلَهِيِّ لِتَعَلُّقِنَا بِالْعَلَائِقِ الْبَشَرِيَّةِ وَالْعَوَائِقِ الْبَدَنِيَّةِ ، وَتَدَنُّسِنَا بِأَدْنَاسِ اللَّذَّاتِ الْحِسِّيَّةِ وَالشَّهَوَاتِ الْجِسْمِيَّةِ ، وَكَوْنِهِ تَعَالَى فِي غَايَةِ التَّجَرُّدِ وَنِهَايَةِ التَّقَدُّسِ .
Penyertaan Salawat setelah Hamdalah (memuji Allah) adalah karena Rasulullah sebagai perantara dalam tercapainya kesempurnaan ilmiyah dan amaliyah kepada kita dari Allah yang maha tinggi, kuasa dan keadaannya. Sebab ketika Allah dalam kesempurnaan tertinggi, sementara kita berada dalam kekurangan paling rendah, maka tidak ada kesiapan bagi kita untuk menerima curahan dari Allah karena kita masih tergoda dengan ikatan-ikatan manusia dan terkotori oleh kenikmatan dan nafsu raga, sementara Allah dalam puncak keesaan dan kesucian tertinggi
فَاحْتَجْنَا فِي قَبُولِ الْفَيْضِ مِنْهُ جَلَّ وَعَلَا إلَى وَاسِطَةٍ لَهُ وَجْهُ تَجَرُّدٍ وَنَوْعُ تَعَلُّقٍ ، فَبِوَجْهِ التَّجَرُّدِ يَسْتَفِيضُ مِنْ الْحَقِّ ، وَبِوَجْهِ التَّعَلُّقِ يَفِيضُ عَلَيْنَا ، وَهَذِهِ الْوَاسِطَةُ هُمْ الْأَنْبِيَاءُ ، وَأَعْظَمُهُمْ رُتْبَةً وَأَرْفَعُهُمْ مَنْزِلَةً نَبِيُّنَا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَذُكِرَ عَقِبَ ذِكْرِهِ - جَلَّ جَلَالُهُ - تَشْرِيفًا لِشَأْنِهِ مَعَ الِامْتِثَالِ لِأَمْرِ اللَّهِ سُبْحَانَهُ .
Maka kita butuh perantara untuk menerima curahan dari Allah, perantara yang memiliki ‘kesunyian’ dan ‘hubungan’. Jalan yang sunyi itu akan menerima curahan dari Allah, dan jalan penghubung itu yang akan mengantar curahan Allah kepada kita. Perantara itu adalah para Nabi, dan yang paling agung serta paling tinggi adalah Nabi kita, Muhammad shalla Allahu alaihi wa sallama. Maka setelah memuji kepada Allah, disebutlah Sang Nabi itu untuk memuliakan kedudukannya disertai mematuhi perintah Allah.
وَلِحَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ عِنْدَ الزَّهَاوِيِّ بِلَفْظِ : { كُلُّ أَمْرٍ ذِي بَالٍ لَا يُبْدَأُ فِيهِ بِحَمْدِ اللَّهِ وَالصَّلَاةِ عَلَيَّ فَهُوَ أَقْطَعُ } وَكَذَلِكَ التَّوَسُّلُ بِالصَّلَاةِ عَلَى الْآلِ وَالْأَصْحَابِ لِكَوْنِهِمْ مُتَوَسِّطِينَ بَيْنَنَا وَبَيْنَ نَبِيِّنَا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِنَّ مُلَاءَمَةَ الْآلِ وَالْأَصْحَابِ لِجَنَابِهِ أَكْثَرُ مِنْ مُلَاءَمَتِنَا لَهُ .
Dan karena hadis Abu Hurairah, menurut al-Zahawi, dengan redaksi: “Setiap hal baik yang tidak ada pujian kepada Allah dan salawat kepadaku, maka terputus berkahnya”. Demikian halnya dengan Tawassul dengan salawat untuk keluarga dan sahabat Nabi, karena mereka menjadi penghubung antara kita dan Nabi. Sebab, kesungguhan mereka kepada Nabi lebih banyak dari pada kesungguhan kita kepada Nabi (Mukaddimah Kitab Nail al-Authar, 1/12))
jadi jelas sekali bahwa beliau hanya melegalkan bertawasul dengan sholawat kepada nabi,keluarga dan seterusnya bukan dengan dzat nabi atau kemuliaan nabi.
jadi jelas sekali bahwa beliau hanya melegalkan bertawasul dengan sholawat kepada nabi,keluarga dan seterusnya bukan dengan dzat nabi atau kemuliaan nabi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar