Senin, 20 Juni 2016

Hukum sholat dhuha dan rawatib berjamaah


SHALAT RAWATIB baik Qobliyyah atau Ba'diyah tergolong shalat sunnah yang tidak disunahkan dilakukan secara jamaah

Jamaah dalam SHALAT SUNAH bermacam-macam jenis dan hukumnya :

قال أصحابنا تطوع الصلاة ضربان (ضرب) تسن فيه الجماعة وهو العيد والكسوف والاستسقاء وكذا التراويح علي الاصح (وضرب) لا تسن له الجماعة لكن لو فعل جماعة صح وهو ما سوى ذلك

Kalangan pengikut madzhab Syafi’i berkata “Shalat sunah terbagi atas dua :
1.Shalat sunah yang disunahkan dilaksanakan secara berjamaah yaitu shalat ied (baik fitri atau adha), shalat gerhana (baik matahari atau bulan), shalat istisqaa dan menurut pendapat yang paling shahih shalat Taraweh.
2. Shalat sunah yang tidak disunahkan dilaksanakan secara berjamaah namun bila dilaksanakan secara berjamaah hukumnya sah-sah saja yaitu shalat-shalat sunah selain tersebut di No. 1”
Al-Majmuu’ ala Syarh al-Muhaddzab IV/4

وهو أَيْ التَّطَوُّعُ قِسْمَانِ قِسْمٌ تُسَنُّ له الْجَمَاعَةُ وهو أَفْضَلُ مِمَّا لَا تُسَنُّ له جَمَاعَةٌ لِتَأَكُّدِهِ بِسَنِّهَا له وَلَهُ مَرَاتِبُ أَخَذَ في بَيَانِهَا فقال وَأَفْضَلُهُ الْعِيدَانِ لِشَبَهِهِمَا الْفَرْضَ في الْجَمَاعَةِ وَتَعَيُّنِ الْوَقْتِ وَلِلْخِلَافِ في أَنَّهُمَا فَرْضَا كِفَايَةٍ …. وَقِيلَ إنَّ عَشْرَهُ أَفْضَلُ من الْعَشْرِ الْأَخِيرِ من رَمَضَانَ ثُمَّ الْكُسُوفُ لِلشَّمْسِ ثُمَّ الْخُسُوفُ لِلْقَمَرِ لِخَوْفِ فَوْتِهِمَا بِالِانْجِلَاءِ كَالْمُؤَقَّتِ بِالزَّمَانِ …ثُمَّ الِاسْتِسْقَاءُ لِتَأَكُّدِ طَلَبِ الْجَمَاعَةِ فيها ثُمَّ التَّرَاوِيحُ…. وَقِسْمٌ لَا تُسَنُّ له الْجَمَاعَةُ وهو الرَّوَاتِبُ التَّابِعَةِ لِلْفَرَائِضِ وَغَيْرِهَا كَالضُّحَى وَأَفْضَلُهَا الْوِتْرُ….

Shalat sunah terbagi atas dua :
1. Shalat sunah yang disunahkan dilaksanakan secara berjamaah, shalat ini lebih utama ketimbang shalat sunah yang tidak disunahkan dilaksanakan secara berjamaah karena kukuhnya kesunahannya dan keutamaan shalat sunah ini terdapat tingkatan-tingkatan :
• Shalat dua hari raya (ied fitri dan adha), shalat ini lebih utama ketimbang shalat-shalat sunah lainnya karena menyerupainya dengan shalat wajib sebab disyariatkannya dilaksanakan secara berjamaah, ketertentuan waktunya dan karena ada pernyataan ulama yang menyatakan hukumnya fardhu kifayah
• Shalat gerhana matahari kemudian gerhana bulan karena keterbatasan waktu kesunahannya dengan ditandai pulihnya matahari atau bulan dari gerhana maka seolah seperti shalat yang dibatasi dengan waktu
• Shalat istisqaa
• Shalat Taraweh
2. Shalat sunah yang tidak disunahkan dilaksanakan secara berjamaah seperti shalat rawatib (shalat sunah yang mengikuti shalat wajib) dan shalat sunah lainnya seperti shalat dhuha yang lebih utama dari jenis shalat sunah ini adalah shalat witir.
Asnaa al-Mathaalib I/200-201

Dari Mujahid, beliau mengatakan: “Saya dan Urwan bin Zubair masuk masjid, sementara Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhu duduk menghadap ke arah kamarnya Aisyah. Kemudian kami duduk mendekat beliau. Tiba-tiba ada banyak orang melaksanakan shalat dhuha (di masjid). Kami bertanya: “Wahai Abu Abdirrahman, shalat apa ini?” Beliau (ibn Umar) menjawab: “Bid’ah..!” (HR. Ahmad 6126, kata Syaikh Al Arnauth: Sanadnya shahih sesuai dengan persyaratan Bukhari dan Muslim).

Al Qodhi Iyadh, An Nawawi dan beberapa ulama lainnya mengatakan: “Ibn Umar mengingkari mereka karena perbuatan mereka yang terus-menerus mengerjakannya, kemudian mereka lakukan shalat itu di masjid, dan dengan berjamaah. Bukan karena hukum asal shalat tersebut menyelisihi sunah (perbuatan bid’ah). Hal ini dikuatkan dengan riwayat Ibn Abi Syaibah (7777) dari Ibn Mas’ud, bahwasanya beliau (Ibn Mas’ud) melihat beberapa orang shalat dhuha, kemudian beliau mengingkarinya, sambil mengatakan:

إِنْ كَانَ وَلَا بُدَّ فَفِي بُيُوتِكُمْ

“Jika memang harus melaksanakan shalat dhuha, mengapa tidak di rumah kalian.” ( Fathul Bari, 3:53).

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin ditanya tentang tafsir perkataan Ibn Umar yang membid’ahkan shalat dhuha sebagaimana riwayat di atas. Beliau menjawab: “Hal ini (perkataan Ibn Umar) –wa Allahu A’lam– karena mereka mengerjakan shalat dhuhanya secara berjamaah, kemudian beliau (Ibn Umar) menilai hal itu sebagai perbuatan bid’ah.” (Syarh Shahih Bukhari Kitab Al Hajj).

Selanjutnya, ada beberapa riwayat yang menunjukkan  bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dan sebagian sahabat melaksanakan shalat dhuha berjamaah, diantaranya:

Pertama, hadis dari Anas bin Malik radhiallahu ’anhu, beliau bercerita: “Ada seorang laki-laki dari anshar berkata (kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam): “Saya tidak bisa shalat bersama Anda.” Dalam lanjutan hadis dinyatakan:

فَصَنَعَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَعَامًا، فَدَعَاهُ إِلَى مَنْزِلِهِ، فَبَسَطَ لَهُ حَصِيرًا، وَنَضَحَ طَرَفَ الحَصِيرِ فَصَلَّى عَلَيْهِ رَكْعَتَيْنِ

Kemudian beliau membuat makanan untuk Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dan mengundang Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam agar datang ke rumahnya. Dihamparkan tikar dan beliau memerciki bagian ujung-ujungnya dengan air, kemudian shalat dua rakaat di atas tikar tersebut.” Ada seseorang dari keluarga Al Jarud bertanya kepada Anas: “Apakah Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam melaksanakan shalat dhuha?” jawab Anas: “Saya belum pernah melihat Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam melaksanakan dhuha kecuali hari itu.” (HR. Bukhari No.670).

Hadis ini dibawakan oleh Bukhari dalam bab: “Apakah Imam shalat bersama orang yang tidak bisa berjamaah.” Karena zahir hadis menunjukkan bahwa beliau mengerjakannya berjamaah dengan orang Anshar tersebut.

Al Hafidz Al-Aini menyebutkan beberapa pelajaran penting dari hadis ini. Diantara yang beliau sebutkan adalah bolehnya mengerjakan shalat sunah secara berjamaah. (Umdatul Qori, 5:196).

Kedua, riwayat dari Ubaidillah bin Abdillah bin ‘Uthbah, beliau megatakan:

دخلت على عمر بن الخطاب بالهاجرة، فوجدته يسبح، فقمت وراءه، فقربني حتى جعلني حذاءه عن يمينه، فلما جاء (يرفأ) تأخرت فصففنا وراءه

“Aku masuk menemui Umar di waktu matahari sedang terik, ternyata aku melihat beliau sedang shalat sunah, lalu aku berdiri di belakangnya dan beliau menarikku sampai aku sejajar dengan pundaknya di sebelah kanan. Ketika datang Yarfa’ (pelayan Umar) aku mundur dan membuat shaf di belakang Umar radhiallahu ’anhu.” (HR. Malik dalam Al Muwatha’ 523 dan dishahihkan Syaikh Al Albani di As Shahihah catatan hadis 2590).

Hadis ini dimasukkan Imam Malik dalam Bab Shalat Dhuha. Karena yang dimaksud waktu matahari sedang terik dalam hadis di atas, dipahami sebagai waktu dhuha. Berdasarkan hadis ini, Ibn Habib menyatakan bolehnya orang melaksanakan shalat dhuha secara berjamaah dengan tiga syarat:  dilakukan sewaktu-waktu pada hari tertentu (tidak ditentukan harinya), tidak ada kesepakatan sebelumnya, dan tidak menjadi amalan yang dilakukan oleh banyak orang (terkenal di semua kalangan). (Al-Muntaqa Syarh Al Muwatha’ 1:274).

Keterangan Ibn Habib di atas bisa dikatakan penjelasan cukup bagus dalam menyikapi hukum shalat dhuha secara berjamaah. Selama itu hanya dilakukan kadang-kadang dan tidak dijadikan kebiasaan maka shalat dhuha berjamaah dibolehkan. Dan ini adalah pendapat yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam dan Syaikh Ibn Al Utsaimin. (Al Fatwa Al Kubro Ibn Taimiyah 2/238 & Majmu’ Fatawa Ibn Al Utsaimin 4)

Dengan demikian, shalat dhuha berjamaah dibolehkan dengan beberapa persyaratan berikut:

Dilakukan kadang-kadang (tidak dijadikan kebiasaan)
Tidak terikat hari, waktu, atau moment tertentu. Misalnya: dilaksanakan setiap  selapan sekali (misalnya: setiap jum’at pon). Ketentuan hari semacam ini tidak dibolehkan.
Tidak ada kesepakatan sebelumnya, atau tidak ada pengumuman kepada masyarakat.
Tidak menjadi amalan yang menjamur dan banyak dilakukan masyarakat.
Jumlah orang yang ikut berjamaah sedikit. Sehingga tidak boleh melaksanakan shalat dhuha  berjamaah satu kampung, sebagaimana shalat fardhu.
Tidak dilaksanakan bersama-sama di masjid.

Tidak ada komentar: