Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Surabaya memprotes Mendagri terkait dengan pencabutan Perda Minuman Keras yang dinilai bertentangan dengan Permendag, padahal hal itu justru menyalahi Pancasila dan kebijakan revolusi mental.
“Itu juga menyalahi ajaran agama bahwa minuman keras merupakan sumber asal dari segala bentuk kejahatan, seperti pembunuhan, kejahatan seksual, kecelakaan, dan narkoba,” kata Ketua Tanfiziah PCNU Kota Surabaya Dr. Achmad Muhibbin Zuhri, M.Ag. di Surabaya, Sabtu (21/5/2016).
Ia menilai pencabutan Peraturan Daerah (Perda) Pelarangan Minuman Keras oleh Mendagri dengan argumentasi menyesuaikan dengan Permendag itu membuktikan bahwa pemerintah kehilangan sensitivitas terhadap persoalan moral-sosial.
“Itu (pencabutan) seolah pemerintah menutup mata terhadap fakta-fakta empirik bahwa minuman keras menjadi sumber berbagai kejahatan dan kerusakan, seperti kasus pembunuhan, pemerkosaan, perampokan, kecelakaan, dan kejahatan lain yang nyata-nyata terjadi akibat pelakunya dalam pengaruh minuman keras,” katanya.
Dalam Islam, khamr (minuman memabukkan) disebut “Ummul Khaba’ith”. “Jadi, alasan utama bahwa perda tersebut bertentangan dengan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Keras, justru mencederai sistem hukum negara.
“Harusnya, justru Permendag-lah yang dicabut karena jelas bertentangan dengan berbagai undang-undang, setidaknya Undang-Undang Kesehatan, UU Pangan, dan UU Perlindungan Konsumen. Belum lagi, kalau ditarik ke atas, dengan Pancasila, sila pertama, karena Permendag mengabaikan nilai-nilai moral dari agama apa pun di Indonesia,” katanya.
Bahkan, Keputusan MA terhadap “judicial review” Peraturan Presiden (Perpres) mengenai pengendalian dan pengawasan minuman beralkohol pun sepertinya diabaikan begitu saja. “Ada apa pemerintah ini? Bukankah pemerintah tugasnya melindungi warga, atau pemerintah telah menjadi agen kapitalis minuman keras?” katanya.
Jika dikaitkan dengan pariwisata pun, menurut dia, pemerintah pusat bisa menengok Pemkab Banyuwangi yang bisa mengembangkan pariwisata tanpa menabrak hal-hal yang bersifat religi dan moralitas.
Untuk itu, NU Surabaya mempertanyakan siapa yang sebenarnya diuntungkan dalam hal pelarangan minuman keras? Jika pemerintah beralasan perlu pendapatan negara dari cukai minuman keras, tentu tidak sepadan dengan keluarga korban.
“Cobalah hitung, berapa biaya yang harus di-cover APBN untuk dampak minuman keras? Berapa pula kerugian yang harus ditanggung keluarga-keluarga yang menjadi korban dampak minuman keras? Tolong jawab semua itu. Di mana jargon revolusi mental? Apakah hanya ‘lip service’?” katanya.
Dalam kaitan itu, pihaknya berharap PWNU Jawa Timur menyampaikan keberatan itu kepada Gubernur Jawa Timur, lalu diteruskan ke PBNU untuk disampaikan langsung kepada Presiden Joko Widodo. [Okezone]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar