Selasa, 23 Agustus 2016

Syubhat: tahlilan turun temurun di makkah dan madinah?


Syubhat:
lImam al-Hafidz Jalaluddin as-Suyuthi asy-Syafi’i rahimahullah (salah satu pengarang kitab tafsir Jalalain) didalam al-Hawi lil-Fatawi menceritakan bahwa kegiatan 'tahlilan' berupa memberikan makan selama 7 hari setelah kematian merupakan amalan yang tidak pernah ditinggalkan oleh umat Islam di Makkah maupun Madinah. Hal itu berlangsung hingga masa beliau :

أن سنة الإطعام سبعة أيام، بلغني أنها مستمرة إلى الآن بمكة والمدينة، فالظاهر أنها لم تترك من عهد الصحابة إلى الآن، وأنهم أخذوها خلفا عن سلف إلى الصدر الأول 
“Sesungguhnya sunnah memberikan makan selama 7 hari, telah sampai kepadaku bahwa sesungguhnya amalan ini berkelanjutan dilakukan sampai sekarang (yakni masa al-Hafidz sendiri) di Makkah dan Madinah. Maka secara dhahir, amalan ini tidak pernah di tinggalkan sejak masa para shahabat Nabi hingga masa kini (masa al-Hafidz as-Suyuthi), dan sesungguhnya generasi yang datang kemudian telah mengambil amalan ini dari pada salafush shaleh hingga generasi awal Islam. Dan didalam kitab-kitab tarikh ketika menuturkan tentang para Imam, mereka mengatakan “manusia (umat Islam) menegakkan amalan diatas kuburnya selama 7 hari dengan membaca al-Qur’an’. [1]

 
Hal ini kembali di kisahkan oleh al-‘Allamah al-Jalil asy-Syaikh al-Fadlil Muhammad Nur al-Buqis didalam kitab beliau yang khusus membahas kegiatan tahlilan (kenduri arwah) yakni “Kasyful Astaar” dengan menaqal perkataan Imam As-Suyuthi :

أن سنة الإطعام سبعة أيام بلغني و رأيته أنها مستمرة إلى الأن بمكة والمدينة من السنة 1947 م إلى ان رجعت إلى إندونيسيا فى السنة 1958 م. فالظاهر انها لم تترك من الصحابة إلى الأن وأنهم أخذوها خلفاً عن سلف إلى الصدر الإول. اه. وهذا نقلناها من قول السيوطى بتصرفٍ. وقال الإمام الحافظ السيوطى : وشرع الإطعام لإنه قد يكون له ذنب يحتاج ما يكفرها من صدقةٍ ونحوها فكان فى الصدقةِ معونةٌ لهُ على تخفيف الذنوب ليخفف عنه هول السؤل وصعوبة خطاب الملكين وإغلاظهما و انتهارهما.
“Sungguh sunnah memberikan makan selama 7 hari, telah sampai informasi kepadaku dan aku menyaksikan sendiri bahwa hal ini (kenduri memberi makan 7 hari) berkelanjutan sampai sekarang di Makkah dan Madinah (tetap ada) dari tahun 1947 M sampai aku kembali Indonesia tahun 1958 M. Maka faktanya amalan itu memang tidak pernah di tinggalkan sejak zaman sahabat nabi hingga sekarang, dan mereka menerima (memperoleh) cara seperti itu dari salafush shaleh sampai masa awal Islam. Ini saya nukil dari perkataan Imam al-Hafidz as-Suyuthi dengan sedikit perubahan. al-Imam al-Hafidz As-Suyuthi berkata : “disyariatkan memberi makan (shadaqah) karena ada kemungkinan orang mati memiliki dosa yang memerlukan sebuah penghapusan dengan shadaqah dan seumpamanya, maka jadilah shadaqah itu sebagai bantuan baginya untuk meringankan dosanya agar diringankan baginya dahsyatnya pertanyaan kubur, sulitnya menghadapi menghadapi malaikat, kebegisannyaa dan gertakannya”. [2]

[1] al-Hawi al-Fatawi [2/234] lil-Imam al-Hafidz Jalaluddin as-Suyuthi.
[2] Kasyful Astaar lil-‘Allamah al-Jalil Muhammad Nur al-Buqir, beliau merupakan murid dari ulama besar seperti Syaikh Hasan al-Yamani, Syaikh Sayyid Muhammad Amin al-Kutubi, Syaikh Sayyid Alwi Abbas al-Maliki, Syaikh ‘Ali al-Maghribi al-Maliki, Syaikh Hasan al-Masysyath dan Syaikh Alimuddin Muhammad Yasiin al-Fadani.

Jawab:
mayoritas ulama tidak mau menggunakan amalan penduduk Madinah (di masa Imam Malik) –tempat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berhijrah- sebagai dalil dalam beragama. Mereka menganggap bahwa amalan penduduk Madinah bukanlah sandaran hukum dalam beragama tetapi yang menjadi sandaran hukum adalah ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu bagaimana mungkin kita berdalil dengan kebiasaan sebagian negeri muslim yang tidak memiliki keutamaan sama sekali dibanding dengan kota Nabawi Madinah?! (Disarikan dari Iqtidho’ Shirothil Mustaqim, 2: 89 dan Al Bid’ah wa Atsaruha Asy Syai’ fil Ummah, Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilali, 49-50, Darul Hijroh)

Ulama berbeda pendapat tentang kehujjahan amal penduduk Madinah. Jumhur ulama menyatakan ijma’nya penduduk Madinah atas suatu amal tidak menjadi hujjah bagi yang menyelisihinya. Artinya, ia bukanlah dalil di antara dalil-dalil syar’i, bukan sumber hukum syara’.

Sedangkan Imam Malik rahimahullah (w. 179 H) menyatakan bahwa amal penduduk Madinah merupakan hujjah bagi selain mereka. Dinukil bahwa beliau pernah menyatakan: “Jika penduduk Madinah telah menyepakati suatu hal, pendapat yang menyelisihi mereka tidak perlu diperhatikan”.

Maksud pernyataan tersebut adalah jika penduduk Madinah telah bersepakat atas suatu perkara, maka tidak ada seorangpun yang boleh menyelisihinya.

Sebagian pengikut Imam Malik menjelaskan bahwa maksudnya adalah riwayat penduduk Madinah lebih kuat daripada riwayat selain mereka. Pengikut Imam Malik yang lain menyatakan bahwa maksudnya adalah ijma’ mereka lebih utama dari ijma’ yang lain, namun tidak terlarang menyelisihi mereka.

Ada juga yang menyatakan bahwa yang dimaksud penduduk Madinah di sini adalah para Shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sumber:
al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah (30/333)

Kalaupun itu benar maka hanya sebatas sedekah untuk mayyit bukan kenduri ala indonesia apalagi seperti di jawa.

Perlu diperhatikan pula, tersebarnya suatu perkara atau banyaknya pengikut bukan dasar bahwa perkara yang dilakukan adalah benar. Bahkan apabila kita mengikuti kebanyakan manusia maka mereka akan menyesatkan kita dari jalan Allah dan ini berarti kebenaran itu bukanlah diukur dari banyaknya orang yang melakukannya. Perhatikanlah firman Allah Ta’ala,

وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ

“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (QS. Al An’am: 116)

Tidak ada komentar: