Rabu, 17 Agustus 2016

Tahnik/ tabarruk ibnu hajar mengikuti pemahaman salaf


Imam Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bâri, 1/327 menyatakan bahwa ini ini khusus untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak dianalogikan kepada selain Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ; karena Allâh Azza wa Jalla telah menjadikan keberkahan pada diri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengkhususkannya untuk Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak untuk lain. Juga karena para Shahabat tidak melakukan hal tersebut bersama selain Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Padahal mereka orang yang paling mengetahui syariat sehingga mereka wajib dicontoh. Juga karena jika hal seperti ini dibolehkan kepada selain Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka itu bisa mengantar kepada perbuatan syirik.

Penulis kitab Taisîr al-‘Azîz al-Hamîd Fi Syarhi Kitâb at-Tauhîd, hlm 185-186 menyatakan bahwa Sebagian orang mutaakhirin menyebutkan bahwa tabarruk (mencari berkah) pada bekas orang-orang shalih adalah mustahab (dianjurkan), seperti minum minuman bekas mereka dan membawa bayi ke salah seorang dari mereka untuk mentahnîknya dengan kurma sehingga yang masuk pertama kali kedalam perutnya adalah ludah orang-orang shalih. Ini adalah kesalahan besar, karena beberapa alasan:

Mereka tidak bisa mendekati apalagi setara dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keutamaan dan keberkahan.
Keshalihan mereka adalah perkara yang belum pasti, karena keshalihan tidak terwujud kecuali dengan keshalihan hati. Ini adalah perkara yang tidak diketahui kecuali dari nash syariat, seperti para Shahabat yang dipuji oleh Allâh Azza wa Jalla dan rasul-Nya juga imam para tabi’in, orang-orang yang terkenal dengan keshalihan dan agamanya seperti imam Syâfi’i, Abu Hanîfah, Mâlik dan Ahmad bin Hambal dan yang semisal dengan mereka. Adapun selain mereka kita hanya bisa menduga dan berharap mereka adalah orang-orang shalih.
Seandainya kita sudah menganggap dia orang shalih, tetapi tidak ada yang bisa menjamin bahwa orang itu tidak akan diwafatkan oleh Allâh matikan dalam keadaan su’ul khâtimah, padahal amalan seorang manusia itu tergantung amalannya yang terakhir, sehingga tidak berhak dijadikan tempat mengambil berkah.
Para Shahabat tidak pernah melakukannya kepada selain Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , baik disaat Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup maupun setelah wafat. Seandainya (perbuatan tersebut) baik tentu mereka telah lebih dahulu melakukannya sebelum kita.
Perbuatan ini (jika dilakukan) pada selain Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka tidak aman dari fitnah sehingga mengakibatkan ujub dan sombong, sehingga ini termasuk seperti pujian didepannya bahkan lebih besar lagi.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa tahnîk dilakukan oleh siapa saja tanpa kekhususan tertentu. Orang tuanya apabila melakukannya maka telah mendapatkan pahala sunnahnya dan telah sah tanpa syarat harus mencapai derajat takwa dan keshalihan dalam mentahnîk.

Tidak ada komentar: