Kamis, 11 Agustus 2016

Larangan Menyebut Masyarakat/zaman Jahilliyah


Sekalipun ada penyimpangan yang dilakukan sebagian masyarakat muslim, namun kita tidak boleh menyebut mereka dengan masyarakat jahiliyah. Menyebut ‘masyarakat jahiliyah’ berarti menganggap mereka semua bodoh dan tidak tahu aturan. Sementara di tangah mereka masih banyak orang baik.

Karena itulah, sebagian ulama mengatakan penggunaan istilah jahiliyah dibagi menjadi 2:

[1] Untuk menyebut individu

Boleh digunakan untk menyebut orang yang melakukan penyimpangan.

[2] Untuk menyebut keseluruhan masyarakat.

Para ulama penyebutan semacam ini tidak boleh, karena tidak semua melakukan pelanggaran yang sama.

Syaikhul Islam mengatakan,

فالناس قبل مبعث الرسول صلى الله عليه وسلم كانوا في حال جاهلية… وكذلك كل ما يخالف ما جاءت به المرسلون من يهودية ، ونصرانية : فهي جاهلية ، وتلك كانت الجاهلية العامة ، فأما بعد مبعث الرسول صلى الله عليه وسلم قد تكون في مصر دون مصر، وقد تكون في شخص دون شخص… فأما في زمان مطلق : فلا جاهلية بعد مبعث محمد صلى الله عليه وسلم ؛ فإنه لا تزال من أمته طائفة ظاهرين على الحق إلى قيام الساعة

Manusia sebelum diutusnya Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam mereka dalam kondisi jahiliyah…. Demikian pula semua yang menyimpang dari ajaran para rasul, seperti yahudi, atau nasrani maka itu jahiliyah. Itulah jahiliyah umum. Namun setelah diutusnya Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, kebiasaan jahilliyah terkadang ada di sebagian negara dan tidak ada di tempat lain, terkadang ada pada diri seseorang, yang tidak ada di orang lain… namun jika disebut secara mutlak, tidak ada lagi jahiliyah setelah diutusnya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena di tengah umat ini akan selalu ada sekelompok orang yang berpegang dengan kebenaran sampai kiamat. (Iqtidha’ Shirathal Mustaqim, 1/258).

Untuk itulah para ulama memberikan kritikan terhadap pernyataan salah satu dai pergerakan yang menyatakan, “Jahiliyah abad 20.” Istilah ini sama halnya menyebut zaman ini berikut penghuninya adalah zaman jahiliyah. Dan tentu saja ini kekeliruan. (Mu’jam al-Manahi al-Lafdziyah, hlm. 212 – 215).

Tidak ada komentar: