Al-Imam al-Syafi‘i (150–204 H)
Al-Imam al-Syafi‘i meyakini ketinggian Allah di atas ‘Arsy-Nya. Hal ini ditegaskan oleh para ulama al-Syafi‘iyyah sendiri. Akidah al-Imam al-Syafi‘i dalam masalah ini juga diaminkan oleh para tokoh mazhab al-Syafi‘i yang paling tahu tentang mazhab al-Syafi‘i. Al-Imam al-Baihaqi—salah seorang ulama pembela mazhab al-Syafi‘i—berkata setelah membawakan dalil-dalil yang banyak tentang masalah ini, “Asar-asar salaf tentang hal ini sangat banyak sekali. Dan inilah mazhab dan keyakinan al-Imam al-Syafi‘i.”[Al-Asmā’ wa al-Ṣifāt 1/517]
Demikian juga ditegaskan oleh al-Hafiz Ibn Hajar—salah seorang ulama al-Syafi‘iyyah—, beliau berkata, “Dan al-Baihaqi telah meriwayatkan dengan sanad yang sahih dari Ahmad ibn Abil-Hawari … dan dari jalan Abu Bakr al-Daba’i ia berkata, ‘Mazhab Ahlusunah terhadap firman Allah “Dan ar-Rahman beristiwa di atas ‘Arsy…” adalah tanpa ditanya bagaimananya. Dan asar-asar dari salaf tentang hal ini banyak sekali. Dan ini adalah jalan al-Imam al-Syafi‘i dan Ahmad ibn Hanbal.’” [ Fatḥ al-Bāri 13/407]
Al-Imam al-Syafi‘i berdalil dengan hadis Mu‘awiyah ibn Hakam Radhiallahu ‘Anhu dalam beberapa kitabnya.[Seperti dalam kitabnya al-Umm 5/280 danal-Risālah: 7–8. ]
وَأَحَبُّ إِلَيَّ أَنْ لَا يَعْتِقَ إِلَّا باَلِغَةً مُؤْمِنَةً ، فَإِنْ كَانَتْ أَعْجَمِيَّةً فَوَصَفَتِ الْإِسْلَامَ أَجْزَأَتْهُ ، أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ هِلَالٍ ابْنِ أُسَامَةَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْحَكَمِ أَنَّهُ قَالَ : أَتَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ n فَقُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ جَارِيَةً لِيْ كَانَتْ تَرْعَى غَنَمًا لِيْ فَجِئْتُهَا وَفَقَدْتُ شَاةً مِنَ الْغَنَمِ فَسَأَلْتُهَا عَنْهَا فَقَالَتْ : أَكَلَهَا الذِّئْبُ فَأَسَفْتُ عَلَيْهَا وَكنُتْ ُمِنْ بَنِيْ آدَمَ فَلَطَمْتُ وَجْهَهَا وَعَلَيَّ رَقَبَةٌ أَفَأَعْتِقُهَا ؟ فَقَالَ لَهَا رَسُوْلُ اللهِ n (أَيْنَ اللهُ ؟) فَقَالَتْ : فِي السَّمَاءِ فَقَالَ (مَنْ أَنَا ؟) فَقَالَتْ : أَنْتَ رَسُوْلُ اللهِ ، قَالَ : (فَأَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ).
Saya lebih suka agar tidak memerdekakan budak kecuali budak yang sudah balig dan mukminah. Seandainya dia non-Arab kemudian bersifat Islam maka sudah mencukupi. Mengabarkan kepada kami Malik dari Hilal ibn Usamah dari ‘Atha’ ibn Yasar dari ‘Umar ibn Hakam berkata, “… Saya memiliki seorang budak wanita yang bekerja sebagai penggembala kambing di Gunung Uhud dan al-Jawwaniyyah (tempat dekat Gunung Uhud). Suatu saat saya pernah memergoki seekor serigala telah memakan seekor dombanya. Saya termasuk dari bani Adam, saya juga marah sebagaimana mereka juga marah, sehingga saya menamparnya, kemudian saya datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, ternyata beliau menganggap besar masalah itu. Saya berkata, ‘Wahai Rasulullah, apakah saya merdekakan budak itu?’ Jawab beliau, ‘Bawalah budak itu padaku.’ Lalu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bertanya, ‘Di mana Allah?’ Jawab budak tersebut, ‘Di atas langit.’ Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bertanya lagi, ‘Siapa saya?’ Jawab budak tersebut, ‘Engkau adalah Rasulullah.’ NabiShallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Merdekakanlah budak ini karena dia seorang wanita mukminah.’”
Hadis ini sahih. Diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari dalam Juz’ al-Qirā’ah hlm. 70, Muslim dalam Ṣaḥīḥ-nya: 537, Ahmad 5/448, Malik dalam al-Muwaṭṭa’ 2/772, al-Syafi‘i dalam al-Risālah no. 242, dll. Lihat takhrij secara luas tentang hadis ini, komentar ulama ahli hadis tentangnya, dan pembelaan ulama terhadapnya dalam buku kami Membela Hadits Nabi. Perlu saya tambahkan di sini, bahwa di antara ahli bidah yang menghujat hadis ini adalah Muh. Idrus Ramli yang tanpa malu mengatakan bahwa hadis ini adalah mudtarib (simpang siur), lemah, dan tidak bisa dijadikan hujah sebagaimana dalam <http://www.idrusramli.com/2013>. Sungguh—jika dia menyadarinya—ini penghujatan terhadap hadis dan para imam ahli hadis!!
Dalam sanad al-Imam Malik tertulis “‘Umar ibn Hakam” sebagai ganti dari “Mu‘awiyah ibn Hakam”. Para ulama menilai bahwa hal ini merupakan kesalahan al-Imam Malik. Al-Imam al-Syafi‘i berkata—setelah meriwayatkan hadis ini dari al-Imam Malik—, “Yang benar adalah Mu‘awiyah ibn Hakam sebagaimana diriwayatkan selain Malik, dan saya menduga bahwa Malik tidak hafal namanya.” (al-Risālahhlm. 7–8)
Al-Imam al-Syafi‘i membawakan hadis dalam kitab-kitabnya tanpa mengkritik isi kandungannya. Maka hal itu menunjukkan bahwa beliau berhujah dengan hadis ini. Al-Imam al-Zahabi Rahimahullahu Ta’alaberkata, “Dalam hadis ini terdapat dua masalah:
Dalam sanad al-Imam Malik tertulis “‘Umar ibn Hakam” sebagai ganti dari “Mu‘awiyah ibn Hakam”. Para ulama menilai bahwa hal ini merupakan kesalahan al-Imam Malik. Al-Imam al-Syafi‘i berkata—setelah meriwayatkan hadis ini dari al-Imam Malik—, “Yang benar adalah Mu‘awiyah ibn Hakam sebagaimana diriwayatkan selain Malik, dan saya menduga bahwa Malik tidak hafal namanya.” (al-Risālahhlm. 7–8)
Al-Imam al-Syafi‘i membawakan hadis dalam kitab-kitabnya tanpa mengkritik isi kandungannya. Maka hal itu menunjukkan bahwa beliau berhujah dengan hadis ini. Al-Imam al-Zahabi Rahimahullahu Ta’alaberkata, “Dalam hadis ini terdapat dua masalah:
Pertama: Disyariatkannya pertanyaan seorang muslim ‘di mana Allah’
Al-Imam ‘Abdul-Gani al-MaqdisiRahimahullahu Ta’ala berkata, “Siapakah yang lebih jahil dan rusak akalnya serta tersesat jalannya melebihi seorang yang mengatakan bahwa tidak boleh bertanya ‘di mana Allah’ setelah ketegasan Rasulullah n\ yang bertanya ‘di mana Allah’?!” (al-Iqtiṣād fi al-I‘tiqād hlm. 89 dan Tadzkirah al-Mu‘tasi hlm. 89–90 syarah Dr. ‘Abdurrazzaq al-Badr)
Kedua: Jawaban orang yang ditanya ‘di atas langit’. Barangsiapa yang mengingkari dua masalah ini, maka berarti dia mengingkari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.”[Al-‘Uluww li al-‘Aliyy al-‘Aẓīm (hlm. 81—Mukhtaṣar al-Albani—)]
Kedua: Jawaban orang yang ditanya ‘di atas langit’. Barangsiapa yang mengingkari dua masalah ini, maka berarti dia mengingkari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.”[Al-‘Uluww li al-‘Aliyy al-‘Aẓīm (hlm. 81—Mukhtaṣar al-Albani—)]
Al-Imam al-Syafi‘i Rahimahullahu Ta’ala juga mengatakan:
الْقَوْلُ فِي السُّنَّةِ الَّتِيْ أَنَا عَلَيْهَا وَرَأَيْتُ أَصْحَابَنَا عَلَيْهَا أَهْلَ الْحَدِيْثِ الَّذِيْنَ رَأَيْتُهُمْ وَأَخَذْتُ عَنْهُمْ مِثْلَ سُفْيَانَ وَمَالِكٍ وَغَيْرِهِمَا الإِقْرَارُ بِشَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَأَنَّ اللهَ عَلَى عَرْشِهِ فِيْ سَمَائِهِ يَقْرُبُ مِنْ خَلْقِهِ كَيْفَ شَاءَ وَيَنْزِلُ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا كَيْفَ شَاءَ.
“Pendapat dalam sunah (akidah) yang saya yakini dan diyakini oleh kawan-kawan saya ahli hadis yang saya bertemu dengan mereka dan belajar kepada mereka seperti Sufyan, Malik, dan selain keduanya adalah menetapkan syahadat bahwa tidak ada yang berhak untuk diibadahi secara benar kecuali hanya Allah saja dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah dan bahwa Allah di atas ‘Arsy-Nya di langit-Nya dekat dengan para hamba-Nya sekehendak Dia dan Dia turun ke langit dunia sekehendak-Nya.”[ Adab al-Syāfi‘i wa Manāqibuhu hlm. 93 karya Ibn Abi Hatim, I‘tiqād al-Imām al-Syāfi‘i no. 4 karya al-Hakari. Dan dinukil oleh Ibn Qudamah dalam Iṡbāt Ṣifat al-‘Uluww hlm. 123, Ibn al-Qayyim dalam Ijtimā‘ Juyūsy al-Islāmiyyahhlm. 164, al-Zahabi sebagaimana dalamMukhtaṣar al-‘Uluww hlm. 176, dan al-Suyuti dalam al-Amr bi al-Ittibā‘ hlm. 313.]
Riwayat dari al-Imam al-Syafi‘i ini sangat tegas menyatakan akan Allah berada di atas langit. Asar ini ternyata juga diriwayatkan dari banyak jalur oleh para ulama. Al-Barzanji (wafat 1103 H)—salah seorang ulama mazhab al-Syafi‘iyyah—menukil ucapan al-Imam al-Syafi‘i di atas dari jalur Yunus ibn ‘Abdil-A‘la, Ibn Hisyam al-Baladi, Abu Saur, Abu Syu‘aib, Harmalah, al-Rabi‘ ibn Sulaiman, dan al-Muzanni.[‘Aqīdah al-Imām Nāṣir al-Ḥadīṡ wa al-Sunnah Muḥammad ibn Idrīs al-Syāfi‘i hlm. 89–91]
Demikianlah ketegasan al-Imam al-Syafi‘i. Lantas adakah yang mengambil pelajaran darinya?!
Semoga Allah merahmati al-Imam Abu Muẓaffar al-Sam‘ani ketika mengatakan, “Tidak pantas bagi seorang untuk membela mazhab al-Syafi‘i dalam masalah fikih tetapi tidak mengikutinya dalam masalah usul (pokok-pokok akidah).” (al-Intiṣar li Aṣḥāb al-Ḥadīṡ hlm. 9)
Semoga Allah merahmati al-Imam Abu Muẓaffar al-Sam‘ani ketika mengatakan, “Tidak pantas bagi seorang untuk membela mazhab al-Syafi‘i dalam masalah fikih tetapi tidak mengikutinya dalam masalah usul (pokok-pokok akidah).” (al-Intiṣar li Aṣḥāb al-Ḥadīṡ hlm. 9)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar