orang-orang kafir dan orang-orang yang benci terhadap Islam berusaha membuat keraguan terhadap Al Qur’an dengan melemparkan berbagai tuduhan atasnya. Diantaranya mereka berkata bahwa ada kesalahan tata bahasa Arab dalam al Qur’an. Diantara contoh yang mereka sebutkan misalnya dalam firman Allah ta’ala,
قَالُوا إِنْ هَذَانِ لَسَاحِرَانِ يُرِيدَانِ أَن يُخْرِجَاكُم مِّنْ أَرْضِكُم بِسِحْرِهِمَا وَيَذْهَبَا بِطَرِيقَتِكُمُ الْمُثْلَى
“Mereka berkata: “Sesungguhnya dua orang ini adalah benar-benar ahli sihir yang hendak mengusir kamu dari negeri kamu dengan sihirnya dan hendak melenyapkan kedudukan kamu yang utama.” (QS Thaha: 63)
Mereka berkata bahwa secara kaidah bahasa Arab harusnya kata (هَذَانِ) dan (لَسَاحِرَانِ) dalam keadaan nashob (إِنْ هَذَينِ لَسَاحِرينِ) bukan rofa’ (إِنْ هَذَانِ لَسَاحِرَانِ يُرِيدَانِ).
Jawabannya secara singkat:
Pertama, perlu diketahui bahwa kaidahI’rab dan Nahwu dalam bahasa Arab dibangun diatas uslub perkataan orang Arab yang dinukil kepada kita dari zaman hujah (zaman dimana bahasa Arab dianggap masih murni, tidak seperti zaman setelahnya yang sudah bercampur dengan bahasa yang lainnya). Para ahli bahasa Arab tidak berbeda pendapat bahwa zaman kenabian, zaman dimana al Qur’an turun, termasuk zaman hujah. Setiap kata yang dinukil kepada kita dengan penukilan yang shahih maka itu adalah hujah lughawiyang shahih, bahkan termasuk kaidah diantara kaidah bahasa Arab.
Kedua, Al Qur’an termasuk hujah lughawi, bahkan dia adalah sumber kaidah bahasa Arab. Para sahabat, tabi’in dan ulama’ yang setelah mereka termasuk ahli bahasa dan ahli nahwu di zaman hujah semua menerima Al Qur’an, mereka sepakat tidak ada kesalahan bahasa padanya. Para ulama’ ahli bahasa dan ahli nahwu menukil al Qur’an tanpa kritik sedikitpun. Memang ada beberapa sisi (wajh) atau qira’at yang tidak diriwayatkan/dinukil oleh sebagian ahli nahwu secara mutawatir. Jika para ahli bahasa dan nahwu menerima al Qur’an kemudian di zaman ini ada orang yang mengatakan ada kesalahan tata bahasa dalam al Qur’an maka siapa yang patut dipertanyakan?? Tentu orang yang jahil yang seperti ini yang patut dipertanyakan.
Ketiga, ayat-ayat yang mana seolah ada kesalahan tata bahasa padanya jika dicermati seksama ternyata sebenarnya sesuai dengan kaidah bahasa/nahwu yang masyhur. Para ulama telah membantah secara terperinci atas tunduhan-tuduhan kesalahan tata bahasa dalam al Qur’an. Sebagai contoh ayat dalam surat Thaha diatas, Imam Suyuthi rahimahullah berkata,
” وقد تكلم أهل العربية على هذه الأحرف ووجهوها على أحسن توجيه
أما قوله : ( إنَّ هذان لساحران ) ففيه أوجه
أحدها : أنه جار على لغة من يجري المثنى بالألف في أحواله الثلاثة ، وهي لغة مشهورة لكنانة ، وقيل لبني الحارث
الثاني : أن اسم ( إنَّ ) ضمير الشأن محذوفا ، والجملة ـ مبتدأ وخبر ـ خبر إن
الثالث : كذلك ، إلا أن ساحران خبر مبتدأ محذوف ، والتقدير لهما ساحران
الرابع : أن ( إنَّ ) هنا بمعنى نعم
الخامس : أن ( ها ) ضمير القصة اسم ( إنَّ ) وذان لساحران مبتدأ وخبر ، وتقدم رد هذا الوجه بانفصال ( إن ) ، واتصال ( ها ) في الرسم .
قلت – هو السيوطي – : وظهر لي وجه آخر ، وهو أن الإتيان بالألف لمناسبة ساحران يريدان ، كما نون سلاسلا لمناسبة وأغلال ، و ( من سبإ ) لمناسبة بنبإ
“Telah berkata para ahli bahasa Arab tentang huruf-huruf (ayat-ayat) semacam ini dan mereka telah memberikan jawaban dengan sebaik-baik jawaban. Adapun tentang firman Allah (إنَّ هذان لساحران) maka ada beberapa sisi jawaban:
Pertama: sesungguhnya hal ini sejalan dengan tata bahasa bagi (qabilah Arab) yang memakai mutsanna dengan alifatas tiga keadaan. Ini adalah bahasa yang masyhur dari Kinanah, dan dikatakan bagi bani Harits (juga).
Kedua: isim inna adalah dhamir sya’nyang dibuang. Dan jumlah(kalimat) tersebut -yang terdiri dari mubtada’ dankhabar– sebagai khabar inna.
Ketiga: sama dengan sebelumnya, tetapi (ساحران) sebagai khabar dari mubtada’ yang dibuang, taqdirnya adalah: لهما ساحران
Keempat: Inna disini bermakna na’am(artinya: iya)
Kelima: sesungguhnya (ها) disini adalah dhamir isim qishah sebagai isim inna, adapun (ذان لساحران) adalah mubtada’ dan khabar. (Tetapi) sisi ini telah dibantah sebelumnya dengan terpisahnya (إن) dan bersambungnya (ها) dalam rasm (tulisan ayat diatas).
Saya –Imam Suyuthi- katakan: Nampak bagi saya sisi yang lainnya yaitu bahwa memakai alif karena munasabab/kesesuaian (ساحران يريدان) seperti nun/tanwin (سلاسلا) untuk kesesuaian dan (أغلال), dan (من سبإ) untuk kesesuaian dengan (نبإ). “ – selesai ucapan imam Suyuthi-
Tuduhan bahwa ayat-ayat tersebut tidak sesuai dengan tata bahasa Arab adalah tuduhan yang tidak benar sama sekali. Allahu A’lam, semoga tulisan singkat ini bermanfaat. Lebih lanjut baca tulisan Syaikh Sholeh al Munajjid hafidzahullah“روايات مكذوبة تنسب إلى القرآن الكريم بعض الأخطاء اللغوية”. Dapat akses di:http://islamqa.info/ar/135752
Tidak ada komentar:
Posting Komentar