Aku terlahir di keluarga yang miskin ilmu baik agama maupun umum. tapi ibuku ingin punya anak yang pintar agama. Maka dengan segala keterbatasannya setelah ayahku meninggal dunia, aku dimasukkan ke madrasah agama. dan setelah lulus dari SD aku dimasukkah ke ponpes khusus Yatim Asy-syafi’iyah pondok gede. alhamdulillah, sedikit demi sedikit aku mulai mengenal agama Islam. Namun tidak seperti pondok pesantren yang lain yang menkaji kitab kuning, aku tidak bisa baca kitab kuning dan hanya sedikit mengenal pentingnya agama dalam kehidupan ini, tapi aku berharap memiliki suami yang pintar agama.
Alhamdulillah, aku bersukur kepada Allah aku beri jodoh suami yang pintar agama, bisa Qori, suaranya merdu, bisa baca kitab kuning, maklum suamiku itu sejak SD sudah belajar Nahwu-Shorof di pesantren dekat rumahnya (santri kalong). setelah lulus SD ia pindh ke ponpes yang lebih mendalami kitab kuning sampai kurang lebih 10 tahun, tapi dia gak punya cita2 jadi kiayi, alasannya simpel tapi maknanya dalam “jadi kiayi bukan jaminan orang bisa selamat dari Neraka”.
Setelah menikah denganku ia tunaikan kewajibannya untuk mengajari isteri ilmu agama (nafkah bathin). Suatu ketika suamiku mengajariku kitab ‘Kasy-syifatus saja syarah safinatunnaja’ salah satu kitab kuning yang membahas tentang Fiqih, yang disusun oleh seorang Ulama Banten yang menjadi guru besar di masjidil harom, Makkah, yaitu Syekh Nawawi Al-Bantani
Saat itu ia membahas tentang aurat wanita menurut madzhab Imam syafi’i adalah seluruh tubuh jika diluar sholat, saat sholat maka auratnya seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. lalu ia mencontohkan cara menutup aurat itu seperti kaka iparnya yang mengguanakan cadar dan baju yang longgar.
Ada kata2nya yang terngiang2 dibenakku, meskipun ia berkata santai tapi bagiku dalam sekali maknanya “Aku ingin kecantikanmu hanya untukku, aku sangat mendambakan isteriku tertutup seperti kakak iparku, sehingga tidak ada seorangpun bisa menikmati kecantikannya kecuali aku suamimu” kata suamiku menjelaskan pentingnya tutup aurat. kakak iparnya sudah lama memakai cadar dan sudah terbiasa bergaul dengan masyarakat dengan cadarnya.
Kata2 suamiku itulah yang memotivasi aku untuk menutup aurat ‘Full’ dan sejak saat itulah (thn 2006) aku beli gamis panjang lengkap dengan cadarnya tanpa sepengetahuan suamiku, namun selama dua tahun aku pandangi tarus gamis itu tanpa ada keberanian untuk memakainya. selama itu pula aku menimbang-nimbang dalam hatiku antara cinta suami dan rasa takut fitnah dan ejekan orang2 sekitar. Akhirnya alhamdulillah dengan mantap aku minta izin kepada suami untuk memakai cadar, namun suamiku mengingatkan “kalau belum siap itiqomah dengan cadar jangan dipakai dulu, jangan sampai sudah pakai cadar dibuka lagi” kujawab dengan mantap “aku sudah siap itiqomah insya Allah”.
Alhamdulillah sekarang masyarakat sudah terbiasa melihatku bercadar, bahkan aku mengajar taman kakak-kanak dengan cadarku tidak ada yang keberatan. Dan yang membuatku bangga, Subhaanallooh… tanpa aku suruh anakku yang sudah lulus SD minta izin untuk pakai cadar juga. Sekarang anakku di pondok pesantren Hafidh quran sudah hafal hampir 4 juz. Alhamdulillaah fii kulli ni’matika yaa Allah… engkau telah mengaruniaku suami dan anak yang pintar agama. istiqomahkan kami dalam amal agamamu… amiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar