Selasa, 29 Maret 2016

kholifah umar dimarahi istrinya???

takut istri
Abu al-Laits as-Samarqandi berkata di kitab Tanbih al-Ghafilin sebagai berikut:
وَذُكِرَ أَنَّ رَجُلًا جَاءَ إِلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ يَشْكُو إِلَيْهِ زَوْجَتَهُ، فَلَمَّا بَلَغَ بَابَهُ سَمِعَ امْرَأَتَهُ أُمَّ كُلْثُومٍ تَطَاوَلَتْ عَلَيْهِ، فَقَالَ الرَّجُلُ: إِنِّي أَرَدْتُ أَنْ أَشْكُوَ إِلَيْهِ زَوْجَتِي، وَبِهِ مِنَ الْبَلْوَى مِثْلُ مَا بِي، فَرَجَعَ فَدَعَاهُ عُمَرُ، رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ، فَسَأَلَهُ فَقَالَ: إِنِّي أَرَدْتُ أَنْ أَشْكُوَ إِلَيْكَ زَوْجَتِي، فَلَمَّا سَمِعْتُ مِنْ زَوْجَتِكَ مَا سَمِعْتُ رَجَعْتُ، فَقَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ: إِنِّي أَتَجَاوَزُ عَنْهَا لِحُقُوقٍ لَهَا عَلَيَّ: أَوَّلُهَا: هِيَ سِتْرٌ بَيْنِي وَبَيْنَ النَّارِ، فَيَسْكُنُ بِهَا قَلْبِي عَلَى الْحَرَامِ. وَالثَّانِي : أَنَّهَا خَازِنَةٌ لِي إِذَا خَرَجْتُ مِنْ مَنْزِلِي وَتَكُونُ حَافِظَةً لِمَالِي. وَالثَّالِثُ : أَنَّهَا قَصَّارَةٌ لِي تَغْسِلُ ثِيَابِي. وَالرَّابِعُ : أَنَّهَا ظِئْرٌ لِوَلَدِي. وَالْخَامِسُ: أَنَّهَا خَبَّازَةٌ وَطَبَّاخَةٌ لِي، فَقَالَ الرَّجُلُ: إِنَّ لِي مِثْلَ مَا لَكَ فَمَا تَجَاوَزْتُ عَنْهَا فَأَتَجَاوَزُ
Dan disebutkan bahwa seorang lelaki datang untuk mengadukan perangai istrinya kepada ‘Umar bin al-Khaththab. Tatkala sampai di depan pintu rumah ‘Umar, lelaki itu mendengar suara istri ‘Umar, Ummu Kultsum, yang sedang mengomeli ‘Umar. Lelaki itu pun berkata (dalam hati), “Aku datang ke sini dengan maksud mengadukan perangai istriku kepada ‘Umar, tapi apa mau dikata ternyata dia punya musibah yang sama denganku.”Lelaki itu pun berbalik pergi, lalu ‘Umar –radhiyallahu ‘anhu ta’ala– (yang kemudian melihatnya) segera memanggilnya dan menayakan maksud kedatangan lelaki itu. Lelaki itu menjawab, “Sesungguhnya tadi itu aku bermaksud mengadukan kepadamu tentang perangai istriku. Namun, kala kudengar omelan istrimu kepadamu, aku pun memutuskan pergi.” Maka ‘Umar –radhiyallahu ‘anhu ta’ala– berkata kepada lelaki itu, “Sesungguhnya aku bersabar lantaran hak-hak yang dimilikinya dariku. (Pertama), istriku merupakan penghalang di antaraku dengan neraka, sehingga hatiku menjadi tenang dengannya daripada terhadap yang haram. (Kedua), sesungguhnya istriku adalah bendahara bagiku ketika aku sedang tak berada di rumah, dan dialah yang menjaga hartaku. (Ketiga), sesungguhnya dialah yang memutihkan dan mencuci pakaianku. (Keempat), sesungguhnya dialah yang menyusui anak-anakku. (Kelima), sesungguhnya dialah yang mengadon roti dan yang memasak makananku.” Maka lelaki itu berkata,“Sesungguhnya aku menghadapi hal semisal yang kauhadapi, tetapi aku tak bersabar. Jika demikian, aku pun akan bersabar.”

*
**
Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid –hafizhahullah

السؤال:  
أفيدوني يرحمكم الله في صحة الخبر المنتشر في الآونة الأخيرة على الإنترنت، وفيه أن رجلا غضب من زوجته؛ لأنها ترفع صوتها عليه، فذهَب إلى عـُمـر بن الخـَطـاب ليشكُوها، وعندما وصل وهمّ بطرق الباب، سمع زوجة عمر صوتها يعلو على صوته! فرجع يجر أذيال الخيبة. فما صحة هذا الخبر؟ وإذا صح: فهل يستدل به على جواز رفع صوت الزوجة على زوجها؟

Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid –hafizhahullah– ditanya:
Berikan kami faidah -semoga Allah menyayangi kalian- mengenai kesahihan kisah yang akhir-akhir ini tersebar di (situs-situs) internet. Di dalamnya dikisahkan bahwa seorang laki-laki diomeli oleh istrinya. Istrinya itu meninggikan suara kepadanya. Lelaki itu pun pergi untuk mengadu kepada ‘Umar bin al-Khaththab, namun tatkala sampai di rumah ‘Umar dan hendak mengetuk pintu, dia mendengar omelan istri ‘Umar mengalahkan suara ‘Umar. Akhirnya lelaki itu kembali dengan membawa kekecewaan. Apakah kisah ini sahih? Kalau memang sahih, apakah bisa menjadi dalil kebolehan bagi seorang istri meninggikan suara terhadap suaminya?
الجواب:
الحمد لله
أولا:
هذه القصة والتي مفادها أَنَّ رَجُلًا جَاءَ إلَى عُمَرَ يَشْكُو إلَيْهِ خُلُقَ زَوْجَتِهِ فَوَقَفَ بِبَابِهِ يَنْتَظِرُهُ فَسَمِعَ امْرَأَتَهُ تَسْتَطِيلُ عَلَيْهِ بِلِسَانِهَا وَهُوَ سَاكِتٌ لَا يَرُدُّ عَلَيْهَا، فَانْصَرَفَ الرَّجُلُ قَائِلًا: إذَا كَانَ هَذَا حَالَ أَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فَكَيْفَ حَالِي؟ فَخَرَجَ عُمَرُ فَرَآهُ مُوَلِّيًا فَنَادَاهُ: مَا حَاجَتُك يَا أَخِي؟ فَقَالَ: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ جِئتُ أَشْكُو إلَيْك خُلُقَ زَوْجَتِي وَاسْتِطَالَتَهَا عَلَيَّ فَسَمِعْتُ زَوْجَتَكَ كَذَلِكَ فَرَجَعْت وَقُلْت: إذَا كَانَ هَذَا حَالَ أَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ مَعَ زَوْجَتِهِ فَكَيْفَ حَالِي؟ فَقَالَ لَهُ عُمَرُ: إنَّمَا تَحَمَّلْتُهَا لِحُقُوقٍ لَهَا عَلَيَّ: إنَّهَا طَبَّاخَةٌ لِطَعَامِي خَبَّازَةٌ لِخُبْزِي غَسَّالَةٌ لِثِيَابِي رَضَّاعَةٌ لِوَلَدِي، وَلَيْسَ ذَلِكَ بِوَاجِبٍ عَلَيْهَا، وَيَسْكُنُ قَلْبِي بِهَا عَنْ الْحَرَامِ، فَأَنَا أَتَحَمَّلُهَا لِذَلِكَ، فَقَالَ الرَّجُلُ: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ وَكَذَلِكَ زَوْجَتِي؟ قَالَ: فَتَحَمَّلْهَا يَا أَخِي فَإِنَّمَا هِيَ مُدَّةٌ يَسِيرَةٌ.

Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid –hafizhahullah menjawab:
Alhamdulillah …
Pertama: isi kisah ini, bahwasanya seorang lelaki mendatangi ‘Umar untuk mengadu tentang perangai istrinya, lalu lelaki itu berdiri di depan pintu rumah ‘Umar dan mendengar suara omelan istri ‘Umar kepada ‘Umar. ‘Umar sendiri diam tak bersuara, tak membalas omelan istrinya itu. Lelaki itu pun berbalik pergi seraya berkata (dalam hati), “Jika keadaan Amir al-Mu’minin ‘Umar bin al-Khtahthab saja seperti ini, bagaimana bisa (aku mengadukan) perihalku.” ‘Umar keluar dari rumah dan melihat lelaki itu pergi. ‘Umar memanggil lelaki itu, “Apa keperluanmu, wahai saudaraku?” Lelaki itu berkata,“Wahai Amir al-Mu’minin, aku datang untuk mengadu kepadamu tentang perangai istriku yang selalu mengomeliku, namun barusan aku mendengar istrimu pun berbuat demikian kepadamu sehingga aku pun kembali seraya berkata (dalam hati) kalau keadaan Amir al-Mu’minin dengan istrinya pun seperti ini, bagaimana bisa (aku mengadukan) perihalku.” ‘Umar pun berkata kepada lelaki itu, “Aku menanggung omelannya (dengan sikap diamku) karena hak-hak yang dimilikinya dariku. Istriku memasak makanan dan mengadon roti untukku, dia mencuci bajuku dan menyusui anakku padahal semua itu bukanlah kewajiban baginya. Selain itu, hatiku pun merasa tenang kepadanya dan (terjauhkan) dari hal-hal yang haram. Itulah yang membuatku (bersikap diam) menanggung omelannya.” Lelaki itu berkata, “Wahai Amir al-Muminin, seperti itu pulakah istriku?” ‘Umar menjawab, “Kau tanggunglah beban itu, wahai saudaraku. Karena semua (omelan) itu hanya sejenak saja.”

فهذه القصة لم نجد لها أصلا، ولا وجدنا أحدا من أهل العلم بالحديث تكلم عليها بشيء، وإنما ذكرها الشيخ سليمان بن محمد البجيرمي الفقيه الشافعي في “حاشيته على شرح المنهج” (٣/٤٤١-٤٤۲)، كما ذكرها أيضا أبو الليث السمرقندي الفقيه الحنفي في كتابه “تنبيه الغافلين” (ص: ٥١۷)، وكذا ابن حجر الهيتمي في “الزواجر” (۲/۸۰) ولم يذكر واحد منهم إسنادها، بل صدروها كلهم بصيغة التمريض التي تفيد التضعيف عادة: ” ذُكر أن رجلا “، “روى أن رجلا”، وهذا مما يدل على أن القصة لا تصح، ويؤيد ذلك ما يلي:

Kami tidak mendapati asal bagi kisah ini, tidak pula kami dapati seorang pun dari ulama hadits yang membicarakan hadits ini. Kisah ini hanya disebutkan oleh Syaikh Sulaiman bin Muhammad al-Bujairami, ahli fikih mazhab asy-Syafi’i, di kitab Hasyiyah ‘ala Syarh al-Minhaj (3/441-442) sebagaimana disebutkan juga oleh Abu al-Laits as-Samarqandi, ahli fikih mazhab al-Hanafi, di kitab Tanbih al-Ghafilin (halaman 518), demikian juga Ibn Hajar al-Haitami di kitab az-Zawajir (2/80). Akan tetapi tak seorang pun dari ketiganya yang menyebutkan sanad bagi kisah tersebut, bahkan mereka mengemukakannya dengan shighah at-tamridh yang menunjukkan kelemahan riwayat seperti, “Dzukira anna rajulan (disebutkan bahwa seorang lelaki),”  atau, “Ruwiya anna rajulan (diriwayatkan bahwa seorang lelaki),” dan penyebutan (shighah tamridh) ini mengindikasikan bahwa kisah tersebut tidaklah sahih, dan ini dikuatkan pula oleh hal-hal berikut:

– مخالفتها للمشهور عن عمر رضي الله عنه في سيرته من كونه كان مهابا في الناس، فكيف بزوجاته؟ وقد قال ابن عباس رضي الله عنهما: “مكثت سنة أريد أن أسأل عمر بن الخطاب عن آية فما أستطيع أن أسأله هيبة له” رواه البخاري (٤۹١٣) ومسلم (١٤۷۹).
وقال عَمْرِو بْنِ مَيْمُونٍ: “شَهِدْتُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَوْمَ طُعِنَ فَمَا مَنَعَنِي أَنْ أَكُونَ فِي الصَّفِّ الْأَوَّلِ إِلَّا هَيْبَتُهُ، وَكَانَ رَجُلًا مَهِيبًا” “حلية الأولياء” (٤/١٥١).

(1) Kisah ini berlawanan dengan hal yang masyhur dalam sejarah ‘Umar –radhiyallahu ‘anhu– tentang keadaannya yang disegani manusia. Lantas bagaimana dengan istrinya? Ibn ‘Abbas –radhiyallahu ‘anhuma– berkata, “Setahun lamanya aku menahan diri untuk bertanya kepada ‘Umar bin al-Khaththab mengenai satu ayat al-Quran. Aku tak berani menanyakannya karena kewibawaannya.” –Diriwayatkan oleh al-Bukhari (4913) dan Muslim (1479).
‘Amr bin Maimun berkata, “Aku menyaksikan ‘Umar –radhiyallahu ‘anhu- pada hari beliau ditikam. Tidak adahal yang menghalangiku untuk berada di shaf pertama kecuali kewibawaannya. ‘Umar memang lelaki yang disegani.” –Hilyah al-Auliya’ (4/151).

– رفع صوت زوجة عمر عليه رضي الله عنهما حتى يسمعها من بالخارج وهو ساكت منكَر غير محتمل، والذي يعرف حال أمير المؤمنين ينكر ذلك بالقطع، وهو الذي كان يخاف الشيطان منه، ولو سلك فجا لسلك الشيطان فجا غير فجه، ورَفْعُ النساء أصواتهن واستطالتهن على أزواجهن لا يعرف في السلف.

(2) Suara keras yang ditujukan kepada ‘Umar –radhiyallahu ‘anhu– oleh istrinya sampai-sampai terdengar oleh orang yang berada di luar rumah, sementara  ‘Umar hanya berdiam diri saja adalah kemungkaran bukan kesabaran, dan yang diketahui dari ahwal Amir al-Mu’minin, beliau akan mengingkari perkara demikian dengan menghentikannya. ‘Umar adalah orang yang ditakuti oleh setan. Seandainya ‘Umar melewati sebuah jalan, niscaya setan akan melewati jalan lain yang tak dilewati oleh ‘Umar. Perempuan-perempuan yang meninggikan suara dan mengomeli suami mereka tidaklah dikenali di kalangan salaf.

– قوله: “إنَّهَا طَبَّاخَةٌ لِطَعَامِي خَبَّازَةٌ لِخُبْزِي غَسَّالَةٌ لِثِيَابِي رَضَّاعَةٌ لِوَلَدِي، وَلَيْسَ ذَلِكَ بِوَاجِبٍ عَلَيْهَا” قول غير صحيح، وخدمة المرأة زوجها واجبة عليها بالمعروف، راجع جواب السؤال رقم: (١١۹۷٤۰) وخاصة الرضاع، فإنه يجب عليها إرضاع أولادها إذا كانت في عصمة زوجها بلا أجرة، راجع جواب السؤال رقم (١٣۰١٣٦).

(3) Ucapan ‘Umar, “Istriku memasak makanan dan mengadon roti untukku, dia mencuci bajuku dan menyusui anakku padahal semua itu bukanlah kewajiban baginya,” merupakan ucapan yang tidak sahih. Pelayanan istri terhadap suaminya merupakan kewajiban menurut cara yang ma’ruf (silakan merujuk jawaban kami terhadap soal nomor 11973) dan khususnya masalah penyusuan. Wajib bagi istri untuk menyusui anak-anaknya tanpa upah apabila dia masih menjadi istri suaminya (silakan merujuk jawaban kami terhadap soal nomor 130137).

والخلاصة: أن هذه القصة لا أصل لها، ومتنها ينادي عليها بالنكارة وعدم الصحة.
وعلى ذلك: فلا يصح الاستدلال بها على جواز رفع الزوجة صوتها على زوجها.

Kesimpulan: kisah di atas tidak ada asalnya, matannya berisi kemungkran dan tidak sahih. Oleh karena itu tidak benar menjadikannya sebagai dalil tentang kebolehan bagi istri untuk meninggikan suara terhadap suaminya.

ثانيا:
رفع الزوجة صوتها على زوجها من سوء الأدب وسوء العشرة ، فلا يجوز ذلك.

Kedua: meninggikan suara terhadap suami merupakan perangai dan pergaulan yang buruk. Hal itu tidak diperbolehkan.

سئل الشيخ ابن عثيمين:
ما حكم الزوجة التي ترفع صوتها على الزوج في أمور حياتهم الزوجية؟
فأجاب رحمه الله تعالى: “نقول لهذه الزوجة إن رفع صوتها على زوجها من سوء الأدب؛ وذلك لأن الزوج هو القوام عليها وهو الراعي لها فينبغي أن تحترمه وأن تخاطبه بالأدب؛ لأن ذلك أحرى أن يؤدم بينهما وأن تبقى الألفة بينهما. كما أن الزوج أيضاً يعاشرها كذلك، فالعشرة متبادلة، قال الله تبارك وتعالى: (وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئاً وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْراً كَثِيراً) .
فنصيحتي لهذه الزوجة أن تتقي الله عز وجل في نفسها وزوجها، وأن لا ترفع صوتها عليه لا سيما إذا كان هو يخاطبها بهدوء وخفض الصوت”. انتهى من”فتاوى نور على الدرب” (١٩/۲) – بترقيم الشاملة.

Syaikh Ibn ‘Utsaimin pernah ditanya:
Bagaimana hukumnya seorang istri yang meninggikan suara terhadap suaminya dalam hubungan rumah tangga mereka?
Maka Syaikh–rahimahullah ta’ala– menjawab:
Kami katakan kepada istri (yang berbuat seperti itu) bahwa meninggikan suara kepada suaminya itu merupakan perangai yang buruk. Suami adalah penanggung jawab dan pemimpin baginya maka sudah selayaknya untuk dihormati dan diajak berkomunikasi dengan budi bahasa yang baik karena hal itu lebih memungkinkan untuk mencapai kerukunan dan kecintaan di antara pasangan suami istri. Demikian juga dengan suami, dia harus mempergauli istrinya dengan baik pula sehingga terwujud kesalingan pergaulan yang baik. Allah tabaraka wa ta’ala berfirman, “Bergaullah kalian dengan mereka secara patut. Kemudian jika kalian tidak menyukai mereka (maka bersabarlah) karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa: 19)
Maka nasihatku kepada istri (yang melakukan perbuatan ini), hendaklah dia bertakwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla mengenai dirinya dan suaminya. Janganlah meninggikan suara kepada suaminya terutama tatkala suaminya itu mengajak bicara kepadanya dengan tenang dan lembut. –sekian dari Fatawa Nur ‘ala ad-Darb(2/19).

وراجع للاستزادة جواب السؤال رقم : (١۲٥٣۷٤).
والله تعالى أعلم.

Untuk menambah faidah, silakan merujuk kepada jawaban kami atas soal nomor (125374).
Wallahu a’lamu …
 Ibn ‘Abbas pernah berkata:

مَكَثْتُ سَنَةً أُرِيْدُ أَنْ أَسْأَلَ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ عَنْ آيَةٍ فَمَا أَسْتَطِيْعُ أَنْ أَسْأَلَهُ هَيْبَةً لَهُ
Mafhumnya: “aku pernah menetap selama setahun untuk bertanyakan kepada ‘Umar bin al-Khattab tentang satu ayat (dari al-Quran), namun aku tidak mampu bertanyakan beliau tentang ayat tersebut disebabkan aku merasa haibah (rasa takut disebabkan hormat,wibawa) terhadap beliau.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Kata ‘Amr bin Maimun:

شَهِدْتُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَوْمَ طُعِنَ فَمَا مَنَعَنِي أَنْ أَكُونَ فِي الصَّفِّ الْأَوَّلِ إِلَّا هَيْبَتُهُ، وَكَانَ رَجُلًا مَهِيبًا


aku bersama dengan ‘Umar pada hari beliau ditikam, tidaklah  menghalangi kami dari berada pada saf yang pertama melainkan disebabkan haibah/seganku terhadapnya. Beliau adalah seorang yang lelaki yg sangat berwibawa.” (Hilyah al-Auliya’: 4/151)

Tidak ada komentar: