Kamis, 24 Maret 2016

cuma ibnu taimiyyah yg mensifati alloh duduk ???

Sifat duduk alloh menurut ahlussunnah

yang mengingkari hanyalah jahmiyyah

رواه الإمام عبد الله بن الإمام أحمد بن حنبل في كتاب "السنة" له في الرد على الجهمية قال: حدثني أبي وعبد الأعلى بن حماد النرسي قالا حدثنا عبد الرحمن بن مهدي، حدثنا سفيان، عن أبي إسحاق، عن عبد الله بن خليفة، عن عمر قال: "إذا جلس تبارك وتعالى على الكرسي سمع له أطيط كأطيط الرحل الجديد".
Abdulloh bin ahmad  bin hambal meriwayatkan dalam kitab assunnah miliknya dalam rangka membantah golongan sesat jahmiyah,beliau berkata:berkata padaku ayahku dan abdul a'la ibn hammad keduanya berkata:berkata padaku abdurrahman ibn mahdi,berkata padaku sufyan dari abu ishaq dari abdulloh ibn kholifah dari umar bin khottob beliau berkata:ketika alloh duduk diatas kursi terdengar darinya suara seperti suara kursi yg baru
وهذا الحديث حدث به أبو إسحاق السبيعي مقرراً له كغيره من أحاديث الصفات، وحدث به كذلك سفيان الثوري، وحدث به أبو أحمد الزبيري ومحمد بن أبي بكر ووكيع عن إسرائيل، ورواه أبو عبد الرحمن عبد الله بن حنبل أيضاً عن أبيه، حدثنا وكيع بحديث إسرائيل، عن أبي إسحاق، عن عبد الله بن خليفة، عن عمر رضي الله عنه: إذا جلس الرب على الكرسي. فاقشعر رجل سماه أبي عند وكيع، فغضب وكيع وقال: أدركنا الأعمش وسفيان يحدثون بهذا الحديث ولا ينكرونه
Dan hadits ini telah dikatakan abu ishaq jadi ketetapan baginya seperti halnya hadits ttg sifat yg lainnya.sufyan atstsauri,abu ahmad azzubairi,muhammad ibn abi bakr dan waki' dari isroil juga membicarakannya.dan abdulloh ibn hanbal dari bapaknya: berkata pada kami tentang hadits isroil dari abu ishaq dari abdulloh ibn kholifah dari umar:ketika tuhan duduk diatas kursi,maka ada seseoorang yg bernama ubay merasa tercengang disamping imam waki' lalu marahlah waki' seraya berkata:kami telah mendapati imam al a'masy dan sufyan membicarakan hadits ini dan tidak mengingkarinya
 وهذا الحديث صحيح عند جماعة من المحدثين، أخرجه الحافظ ضياء الدين المقدسي.وإذا كان هؤلاء الأئمة أبو إسحاق السبيعي، والثوري، والأعمش، وإسرائيل، وعبد الرحمن بن مهدي، وأبو أحمد الزبيري، ووكيع، وأحمد بن حنبل، وغيرهم ممن يطول ذكرهم وعددهم، الذين هم سرج الهدى، ومصابيح الدجى، قد تلقوا هذا الحديث بالقبول، وحدثوا به، ولم ينكروه، ولم يطعنوا في إسناده، فمن نحن حتى ننكره، ونتحذلق عليهم، بل نؤمن به.قال الإمام أحمد: لا نزيل عن ربنا صفة من صفاته بشناعة شنعت وإن نبت عنه الأسماع
Hadits ini shohih menurut jamaah ahli hadits.
53872 - إذا جلس الرب علي الكرسي ، سمع له أطيط ك أطيط الرحل الجدد

الراوي: عمر بن الخطاب المحدث: الذهبي - المصدر: العرش - الصفحة أو الرقم: 99
خلاصة الدرجة: صحيح
imam adzdzahabi juga menshohihkannya dalam kitab al arsy hal 99

Imam Mujahid yang merupakan sayyidul  Mufassirin memiliki pendapat lain sebagaimana dinukil Oleh para Ulama diantara oleh al imam At thabari ketika menafsirkan Surat al Isra ayat 79 setelah ia memaparkan pendapat kebanyakan ulama yang mengatakan ayat tersebut terkait dengan syafaat Rasulullah. Beliau berkata:

وهذا وإن كان هو الصحيح من القول في تأويل قوله ( عسى أن يبعثك ربك مقاما محمودا ) لما ذكرنا من الرواية عن رسول الله صلى الله عليه وسلم وأصحابه والتابعين ، فإن ما قاله مجاهد من أن الله يقعد محمدا صلى الله عليه وسلم على عرشه ، قول غير مدفوع صحته ، لا من جهة خبر ولا نظر ، وذلك لأنه لا خبر عن رسول الله صلى الله عليه وسلم ، ولا عن أحد من أصحابه ، ولا عن التابعين بإحالة ذلك

Semua ini, sekalipun inilah yang benar dari tafsir firman Allah عسى أن يبعثك ربك مقاما محمودا berdasarkan apa riwayat-riwayat yang telah kami sebutkan dari Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam, para sahabat, dan tabiin. Sesungguhnya apa yang dikatakan oleh Mujahid bahwa Allah mendudukkan Muhmmad shallallahu alaihi Wasallam diatas Arsy-Nya adalah perkataan yang tidak bisa ditolak kesosihannya baik dari segi khobar maupun nadzar. Hal itu karena tidak ada berita dari Rasulullah dan tidak satupun dari sahabat maupun tabiin tentang kemustahilannya.

Dari keterangan diatas, jelaslah bahwa at Thabari cenderung memilih pendapat bahwa ayat ini terkait dengan masalah Syafaat Rasulullah diakhirat kelak, namun begitu dia mentolerir pendapat Mujahid yang menyatakan bahwa مقاما محمودا adalah Allah mendudukkan Rasulullah diatas Arsyi-Nya.

Mengenai tafsir  مقاما محمودا,  para ahli tafsir banyak sekali yang membicarakan hal ini dan mereka ada membenarkan atau mentolerir seperti yang dilakukan Oleh at Thabari dan al Syaukani dalam Fathul Qadir. Sebagian mereka ada yang hanya menukil riwayat mujahid tersebut  tanpa memberikan komentar sama sekali seperti yang dilakukan Oleh Imam Khozin dan al Baghawi. Fakta  paling mengherankan adalah Abu Hayyan al Andalusî  juga menukil pendapat mujahid dan mendiamkannya.

Ibnu Utsaimin pernah mendapat pertanyaan tentang hal ini:

سئل العلامة ابن عثيمين رحمه الله في لقاء الباب المفتوح

فضيلة الشيخ : عثمان الدارمي في رده على بشر المريسي أورد أن الاستواء يأتي بمعنى الجلوس ، مارأي فضيلتكم ؟

الجواب : الاستواء على الشيء في اللغة العربية يأتي بمعنى الاستقرار والجلوس قال تعالى (لتستووا على ظهوره )  الزخرف: 13

والانسان على ظهر الدابة جالس أم واقف ؟

هو جالس ، لكن هل يصح أن نثبته في استواء الله على العرش ؟ هذا محل نظر

فإن ثبت عن السلف أنهم فسروا ذلك بالجلوس فهم أعلم منا بهذا والا ففيه نظر

والا نقول : الكيف ـ أعني ـ الاستواء مجهول ، ومن جملة الجهل ألاّ ندري أهو جالس أم غير جالس ، ولكن نقول : معنى الاستواء : العلو ، هذا أمر لاشك فيه

Dalam sebuah acara pertemuan terbuka, al Allamah Ibnu Utsaimin pernah ditanya:

Fadhilatus Syaikh: Utsman al Darimi ketika membatah Bisyr al Muraisy mengatakan bahwa salah satu makna istiwa adalah duduk, bagaimana pendapatmu?

Jawab:
Istiwa diatas sesuatu dalam bahasa arab bermakna menetap dan duduk. Allah berfirman

لِتَسْتَوُوا عَلَى ظُهُورِهِ

“Supaya kamu duduk di atas punggungnya” (QS. Az-Zukhruf: 13)

Manusia diatas punggung hewan tunggangan duduk atau berdiri?

Dia duduk. Tetapi apakah boleh kita menetapkan makna tersebut pada istiwa Allah diatas Arsy? Inilah objek  penelitiannya.  Namun demikian kita katakan bahwa kaif (bagaimana) istiwanya Allah itu adalah majhul, termasuk dalam konsep majhul tersebut adalah kita tidak tahu apakah dia duduk atau bukan duduk. Tapi kita katakan makna istiwa adalah “tinggi”. Inilah yang tidak diragukan. [Liqa’ bab al Maftuh pertanyaan nomor 450]

Fatwa Syaikh Abdurrahman bin Nashir Al Barrak

Soal:

Apakah benar penafsiran al istiwa’ dengan al julus / الجلوس (duduk)? Apakah Allah disifati dengan al julus (duduk)?

Jawab:

Alhamdulillah, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengabarkan tentang diri-Nya bahwa Ia ber-istiwa di atas Arsy dalam 7 tempat dalam Al Qur’an. Dan terdapat juga dalam As Sunnah yang menetapkan bahwa Allah berada di atas Arsy. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى

“Ar Rahman ber-istiwa di atas Arsy” (QS. Thaha: 5)

Dan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

والعرش فوق الماء والله فوق العرش، ويعلم ما أنتم عليه

“dan Arsy itu di atas air, sedangkan Allah di atas Arsy, namun Ia mengetahui apa yang kalian lakukan”.

Dan terdapat riwayat dari para salaf bahwa mereka menafsirkan al istiwa dengan 4 makna:

علا (paling tinggi)
ارتفع (tinggi)
استقر (menetap)
صعد (naik)
Sebagaimana diisyaratkan Ibnul Qayyim dalam Al Kafiyah Asy Syafiyah (1/440, dengan Syarah Ibnu ‘Isa), yaitu dalam perkataan beliau:

فلهم عبارات عليها أربع … قد حصلت للفارس الطعان
وهي “استقر”، وقد “علا”، وكذلك “ار … تفع” الذي ما فيه من نكران
وكذاك قد “صعد” الذي هو رابع … وأبو عبيدة صاحب الشيباني
يختار هذا القول في تفسيره … أدرى من الجهمي بالقرآن

Mereka (salaf) memiliki empat makna dalam menafsirkannya, yang disampaikan Al Faris Al Tha’an

Yaitu استقر (menetap), dan علا (paling tinggi) demikian juga ارتفع (tinggi) yang tidak ada penolakan di dalamnya

Demikian juga صعد (naik) yang merupakan yang ke empat. Dan ini juga disampaikan Abu Ubaidah murid Asy Syaibani

Dan ia memilih pendapat ini dalam tafsirnya, yang ia lebih mengetahui Al Qur’an daripada Jahmiyah

Dalam syair ini Ibnul Qayyim tidak menyebutkan lafadz الجلوس (duduk). Namun ahlussunnah tidak mengingkari sifat ini, adapun ahlul bid’ah yang mengingkarinya. Sebagaimana dikatakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al Aqidah At Tadmuriyyah (238, dengan Syarah Syaikh Al Barrak):

فيظن هذا المتوهم أنه تعالى إذا كان مستويا على العرش كان استواؤه مثل استواء المخلوق، فيريد أن ينفي ذلك الذي فهمه فيقول: إن استواءه ليس بقعود، ولا استقرار

“Maka orang yang bingung mengira bahwa Allah Ta’ala jika ber-istiwa di atas Arsy, maka istiwa Allah tersebut sama seperti istiwa makhluk. Sehingga ia ingin untuk menafikannya. Inilah yang ia pahami. Ia berkata: ‘istiwa Allah itu bukan dengan duduk dan bukan dengan menetap'” (demikian nukilan dari Syaikhul Islam, dengan sedikit perubahan dan peringkasan oleh Syaikh Al Barrak).

Dan terdapat atsar (dari para sahabat) yang menyebutkan sifat القعود (duduk) dan الجلوس (duduk). Dan para imam ahlussunnah telah menyebutkan sifat tersebut dalam kitab-kitab as sunnah (baca: aqidah), ketika memaparkan tentang orang-orang yang menafikan sifat al ‘uluw (Maha Tinggi) dan al istiwa. Sebagaimana atsar yang diriwayatkan oleh Muhajid dalam menafsirkan istilah al maqaam al mahmuud :

بإقعاد النبي صلى الله عليه وسلم على العرش

“maksudnya adalah ditempatkannya Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dengan keadaan duduk di atas Arsy”

Walaupun (keshahihan) atsar ini tidak lepas dari kritikan, namun para imam ahlussunnah menyebutkannya untuk istisyhad (dalil pendukung), dan i’tidhad (dalil sekunder) bukan untuk i’timad (dalil utama). Dan lebih dari satu ulama ahlussunnah telah menukil ijma tentang shahihnya penafsirkan makna al maqaam al mahmuud bahwa maknanya adalah ditempatkannya Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dengan keadaan duduk di atas Arsy.

Hal ini tidak ada yang mengingkarinya kecuali kaum Jahmiyah. Maka jelas bahwa lafadz القعود (duduk) dan الجلوس (duduk) tidak dinafikan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Adapun menetapkan sifat tersebut dan menyifati Allah dengan sifat tersebut, maka membutuhkan dalil yang shahih tentang hal ini. Wallahu a’lam.

Sumber: Liqa’at Multaqa Ahlil Hadits bil Ulama, 2/44, Asy Syamilah

Tidak ada komentar: