Syaikh Muhammad ibnu Sholih al-Utsaimin (ulama Salafi Wahabi nomor dua setelah Bin Baz) dalam kitab Majmu Fatawa wa Rasa`il asy-Syaikh Muhammad Shalih al-Utsaimin (kumpulan fatwa-fatwa dan risalah-risalah Syaikh Ibnu Utsaimin) volume 13 halaman 182-184, perihal mengeraskan zikir selepas shalat wajib mengatakan:
إن الجهر بالذكر بعد الصلوات المكتوبة سنة، دل عليها ما رواه البخاري من حديث عبد الله بن عباس – رضي الله عنهما – أن رفع الصوت بالذكر حين ينصرف الناس من المكتوبة كان على عهد النبي صلى الله عليه وسلم قال: “وكنت أعلم إذا انصرفوا بذلك إذا سمعته”. ورواه الإمام أحمد وأبو داود.
وهذا الحديث من أحاديث العمدة، وفي الصحيحين من حديث المغيرة بن شعبة – رضي الله عنه – قال: سمعت النبي صلى الله عليه وسلم يقول إذا قضى الصلاة: “لا إله إلا الله وحده لا شريك له”. الحديث، ولا يسمع القول إلا إذا جهر به القائل. وقد اختار الجهر بذلك شيخـ الإسلام ابن تيميه -رحمه الله- وجماعة من السلف، والخلف، لحديثي ابن عباس، والمغيرة رضي الله عنهم.
والجهر عام في كل ذكر مشروع بعد الصلاة سواء كان تهليلاً، أو تسبيحاً، أو تكبيراً، أو تحميداً لعموم حديث ابن عباس، ولم يرد عن النبي صلى الله عليه وسلم التفريق بين التهليل وغيره بل جاء في حديث ابن عباس أنهم يعرفون انقضاء صلاة النبي صلى الله عليه وسلم بالتكبير، وبهذا يعرف الرد على من قال لا جهر في التسبيح والتحميد والتكبير.
وأما من قال: إن الجهر بذلك بدعة فقد أخطأ فكيف يكون الشيء المعهود في عهد النبي صلى الله عليه وسلم بدعة؟!… وأما احتجاج منكر الجهر بقوله تعالى: (وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعاً وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ). فنقول له: إن الذي أمر أن يذكر ربه في نفسه تضرعاً وخيفة هو الذي كان يجهر بالذكر خلف المكتوبة، فهل هذا المحتج أعلم بمراد الله من رسوله، أو يعتقد أن الرسول صلى الله عليه وسلم يعلم المراد ولكن خالفه؟!…
وأما احتجاج منكر الجهر أيضاً بقوله صلى الله عليه وسلم: “أيها الناس اربعوا على أنفسكم”. الحديث فإن الذي قال: “أيها الناس أربعوا على أنفسكم” هو الذي كان يجهر بالذكر خلف الصلوات المكتوبة، فهذا له محل، وذاك له محل، وتمام المتابعة أن تستعمل النصوص كل منها في محله…
أما من قال: إن في ذلك تشويشاً فيقال له: إن أردت أنه يشوش على من لم يكن له عادة بذلك، فإن المؤمن إذا تبين له أن هذا هو السنة زال عنه التشويش، إن أردت أنه يشوش على المصلين، فإن المصلين إن لم يكن فيهم مسبوق يقضي ما فاته فلن يشوش عليهم رفع الصوت كما هو الواقع، لأنهم مشتركون فيه.
وإن كان فيهم مسبوق يقضي فإن كان قريباً منك بحيث تشوش عليه فلا تجهر الجهر الذي يشوش عليه لئلا تلبس عليه صلاته، وإن كان بعيداً منك فلن يحصل عليه تشوش بجهرك.
وبما ذكرنا يتبين أن السنة رفع الصوت بالذكر خلف الصلوات المكتوبة، وأنه لا معارض لذلك لا بنص صحيح ولا بنظر صريح، وأسأل الله تعالى أن يرزقنا جميعاً العلم النافع والعمل الصالح، إنه قريب مجيب، وصلى الله وسلم على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين.
Sesungguhnya mengeraskan zikir saat selesai shalat wajib adalah sunnah, hal itu telah diterangkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, dari hadisnya Abdullah ibnu Abbas radhiyallahu anhuma (ia mengatakan) “Sesungguhnya mengeraskan zikir saat selesai dari shalat wajib, itu telah ada di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” Ibnu Abbas juga mengatakan, “Aku tahu selesainya shalat mereka itu, saat kudengar (suara zikir keras berjamaah) itu”. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Dawud. Hadis ini termasuk diantara hadis-hadis utama (dalam masalah ini).
Dalam kitab shahihain, dari hadisnya al-Mughirah ibnu Syu’bahradhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku pernah mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam jika selesai shalat (wajib), beliau membaca zikir “lâ ilâha illawlâhu wahdahû lâ syarîka lah…” (al-Hadis). Dan dia tidak akan mendengar bacaan zikir itu kecuali orang yang mengucapkannya mengeraskan suaranya. (Bahkan) Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dan sekelompok ulama salaf telah memilih pendapat (sunnahnya) mengeraskan zikir, dengan dasar dua hadis, yakni hadisnya Ibnu Abbas dan al-Mughi rahradhiyallahu ‘anhum.
Mengeraskan zikir di sini, berlaku umum untuk semua zikir setelah shalat yang disyariatkan, baik itu berupa tahlil, atau tasbih, atau takbir, atau tahmid. Karena umumnya redaksi hadis Ibnu Abbas. Dan tidak ada keterangan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang membedakan antara tahlil dan yang lainnya. Bahkan dalam hadisnya Ibnu Abbas dikatakan, bahwa para sahabat dahulu tahu selesainya shalat Nabishallallahu ‘alaihi wasallam dengan takbir. Keterangan ini, membantah orang yang berpendapat tidak bolehnya mengeraskan suara kecuali pada tasbih, tahmid dan takbir.
Adapun orang yang mengatakan, bahwa mengeraskan (zikir setelah shalat) itu bid’ah, maka sungguh ia salah, karena bagaimana mungkin sesuatu yang ada di zaman Nabishallallahu ‘alaihi wasallam dikatakan bid’ah?!
Adapun orang yang mengingkari amalan mengeraskan (zikir setelah shalat ini) dengan firman-Nya: “Sebutlah (wahai Muhammad) nama Tuhanmu di dalam dirimu, dengan rendah hati dan suara yang lirih serta tidak mengeraskan suara, ketika pagidan petang. Dan janganlah kamu menjadi orang yang lalai” (QS. al-A’raf[7]: 205). Maka bisa dijawab dengan mengatakan: Sesungguhnya orang yang telah diperintahkan untuk berzikir dalam dirinya dengan rendah hati dan suara lirih (yaitu Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam), beliau juga orang yang telah mengeraskan zikir setelah shalat wajib. Lalu apakah orang itu (orang yang mengingkarizikir keras berjamaah) lebih tahu maksud Allah dalam ayat itu melebihi rasul-Nya?! Ataukah ia beranggapan bahwa Rasululullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebenarnya tahu maksud ayat itu, tapi beliau sengaja menyelisihinya?!
Adapun orang yang mengingkari amalan mengeraskan (zikir setelah shalat ini) dengan sabda beliaushallallahu ‘alaihi wasallam: “Wahai manusia, sayangilah diri kalian, karena kalian tidaklah berdoa kepada Dzat yang tuli…! (sampai akhir hadis)”. Maka bisa dijawab dengan mengatakan: Sesungguhnya orang yang menyabdakan hal itu, dia jugaorang yang dulunya mengeraskan zikir setelah shalat wajib ini. Itu berarti, tuntunan ini punya tempatnya masing-masing, sedangkan yang itu juga ada tempatnya masing-masing. Dan sempurnanya mengikuti sunnah beliau adalah dengan memakai semua nash yang ada, pada tempatnya masing-masing.
Adapun orang yang mengatakan bahwa amalan itu bisa mengganggu orang lain, maka bisa dijawab dengan mengatakan padanya: Jika maksudmu akan mengganggu orang yang tidak biasa dengan hal itu, maka hal itu akan hilang (dengan sendirinya), ketika ia tahu bahwa amalan itu adalah sunnah.
Jika maksudmu akan mengganggu jama’ah yang lain, maka jika tidak ada ma’mum yang masbuq, tentu hal itu tidak akan mengganggu mereka, sebagaimana fakta di lapangan. Karena mereka sama-sama mengeraskan zikirnya.
Adapun jika ada ma’mum masbuq yang sedang menyelesaikan shalatnya, maka jika ia dekat denganmu hingga kamu bisa mengganggunya dengan (kerasnya) suara zikirmu, maka janganlah kamu meninggikan suara dengan tingkatan suara yang bisa mengganggunya, agar kamu tidak mengganggu shalatnya. Sedang jika ia jauh darimu, maka tentu kerasnya suara (zikir)-mu tidak akan mengganggunya sama sekali.
Dengan keterangan yang kami sebutkan di atas, menjadi jelas bagi kita, bahwa mengeraskan zikir setelah shalat wajib adalah sunnah. Hal itu sama sekali tidak bertentangan dengan nash yang shahih, maupun dengan sisi pendalilan yang jelas.
Aku memohon kepada Allah, semoga Dia memberikan kita semua ilmu yang bermanfaat dan amal shalih, sesungguhnya Dia itu maha dekat lagi maha mengabulkan doa. Semoga Allah s.w.t. senantiasa mencurahkan shalawat dan salamnya kepada nabi kita Muhammad, keluarganya dan sahabatnya semua.” Demikian kata Syaikh Ibnu Utsaimin dalam fatwanya.Jawaban:
Jelas sekali boleh dikeraskan jika tidak mengganggu.
Adapun bersama/ berjamaah itu jelas bid'ahnya.
Syaikh Utsaimin ditanya tentang hukum mengulang-ulang dzikir sunnah setelah sholat secara bersama-sama (satu suara)?
Ini adalah Bid'ah, tidak ada tuntunannya dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, akan tetapi yang ada tuntunannya adalah setiap orang beristighfar dan berdzikir sendiri. Akan tetapi yang sunnah adalah mengeraskan dzikir (dengan suara keras yang tidak mengganggu yang lain.pent) Majmu' Fatawa wa Rasail Al-Utsaimin 13/261
Tidak ada komentar:
Posting Komentar