إِنَّ الَّذِينَ آمَنُواْ وَالَّذِينَ هَادُواْ وَالصَّابِئُونَ وَالنَّصَارَى مَنْ آمَنَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وعَمِلَ صَالِحًا فَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ
Inna allatheena amanoo waallatheena hadoo waalssabioona waalnnasara man amana biAllahi waalyawmi alakhiri waAAamila salihan fala khawfun AAalayhim wala hum yahzanoona
menjadi : Innalladziina 'aamanuu walladziina haduu was-shoobi'uuna wan-nashoro man amana billahi wal yaumil akhir wa 'amila shoolihAn fala khoufuN 'alaihim wa lahum yakhzanuun
artinya : “Sesungguhnya orang-orang mu'min, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja (di antara mereka) yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”
Surah Al Baqarah: 62
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُواْ وَالَّذِينَ هَادُواْ وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحاً فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ وَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ
Inna allatheena amanoo waallatheena hadoo waalnnasara waalssabieena man amana biAllahi waalyawmi alakhiri waAAamila salihan falahum ajruhum AAinda rabbihim wala khawfun AAalayhim wala hum yahzanoona
menjadi : Innalladziina 'aamanuu walladziina haduu wan-nashoro was-shoobi'iina man amana billahi wal yaumil akhir wa 'amila shoolihAn falahum ajruhum 'inda robbihim wa la khoufuN 'alaihim wa lahum yakhzanuun
artinya : Sesungguhnya orang-orang mu'min, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin , siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah , hari kemudian dan beramal saleh , mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
Surah Al Hajj ayat 17
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالصَّابِئِينَ وَالنَّصَارَى وَالْمَجُوسَ وَالَّذِينَ أَشْرَكُواإِنَّ اللَّهَ يَفْصِلُ بَيْنَهُم يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌْ
Inna allatheena amanoo waallatheena hadoo waalssabieena waalnnasara waalmajoosa waallatheena ashrakoo inna Allaha yafsilu baynahum yawma alqiyamati inna Allaha AAala kulli shayin shaheedun
menjadi : Innalladziina 'aamanuu walladziina haduu was-shoobi'iina wan-nashoro wal majuusa walladziina asyrokuu innallaha yafshilu bainahum yaumal qiyaamati innallaha 'ala kulli syai'in syahiid
artinya : Sesungguhnya orang-orang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Shaabiiin orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi dan orang-orang musyrik, Allah akan memberi keputusan di antara mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.
nah, yg dipersoalkan disini adalah :
Bentuk kata “was-shobi'una” ini adalah sebuah kesalahan tata bahasa Arab yang sangat jelas terlihat, karena pemberian tanda “waw” sehingga dengan pengucapan dalam bahasa Indonesia dibaca “uu” dalam kata “was-shobi'una” menjadikan kalimat dalam surat Al Maidah ayat 69 masuk kategori "raf'a”.
Sedangkan kata was-shoobi'iina mendapat pemberian tanda “ya'” sehingga diucapkan dalam bahasa Indonesia dibaca “ii”, dalam kata was-shoobi'iina menjadikan kalimat dalam surat Al Baqara ayat 62 dan surat Al Hajj ayat 17 masuk kategori “nasb”.
Yang terpenting adalah makna dan bentuk kategori-kategori diatas:
Dan bentuk kategori “raf’a” ini adalah “ism” (kata benda) yang menjadi subjek dari sebuah fi’il (kata kerja). Kalimat kategori “raf’a” tidak dapat digabungkan dengan kata إِنَّ , Inna yang penggunaanya dalam sebuah awal kalimat membentuk kategori “nasb”, dimana “ism” (kata benda) adalah objek dari sebuah fi’il (kata kerja).
dan disimpulkan secara sepihak (oleh kafir yg belum tentu kenal dengan huruf alif segede tiang listrik) bahwa :
1. Surat Al Maidah ayat 69 adalah salah secara tata bahasa Arab karena bentuk “raf’a”, وَالصَّابِئُونَ “was-shobi'una” , tapi mendapat kata إِنَّ Inna, yang menjadi tanda bentuk kategori “nasb”. Sebuah kesalahan yang sangat jelas terlihat.
2. Surat Al Baqara ayat 62 adalah salah secara tata bahasa Arab karena telah berbentuk kategori “nasb”, وَالصَّابِئِينَ was-shoobi'iina , tetapi kata tersebut menjadi subjek dari sebuah kata kerja, yaitu “beriman kepada Allah”, sedangkan bentuk kategori “nasb” yang seharusnya adalah kata tersebut menjadi objek dari sebuah kata kerja.
3. Surat Al Hajj ayat 17 adalah bentuk kategori “nasb” yang benar
Pertama-tama, mari kita mencerahkan nalar tentang apa itu raf'a, nasb, presuposisi إِنَّ , pola dan partikel terkait
و ، ـو huruf wau yang pemberiannya dalam sebuah kata menjadi tanda bentuk raf’a.
ي ، يـ ، ـيـ ، ـي huruf ya' yang dibubuhkan dalam sebuah kata menjadi tanda bentuk nasb.sejauh yg saya tahu, aturan itu tidak pakem dikarenakan beberapa kasus unik.QS Al-Maidah : 69 adalah contoh kasus.
“Raf’a” adalah “isim” (kata benda) menjadi subjek dari sebuah fi’il (kata kerja).
“Nasb”, adalah “isim” (kata benda) menjadi objek dari sebuah fi’il (kata kerja).
Kata إِنَّ , Inna (sesungguhnya), penggunaanya dalam sebuah awal kalimat tidak selalu membentuk kategori “nasb”, dimana “ism” (kata benda) adalah objek dari sebuah fi’il (kata kerja) karena dalam ayat-ayat berikut, semua kata benda yg mengikuti "inna" merupakan "mubtada" atau "subyek":
Al Kautsar 3: "Inna saani akahuwal abtar", "saani" bentuk jamak dari "insan", artinya "orang2" atau "manusia2", jelas menjadi subyek ayat ini.
Al Qadr 1: "Inna anzalna hufi lailatil qadr", subyeknya "na" dilekatkan langsung pada kata kerja menjadi "anzalna".
Begitu pula dalam Al maidah 69:
"alladzi na amanuu", "walladzi na haduu", "wa shobiuuna", "wan nashora" jelas adalah SUBYEK dari kata kerja "amana" (beriman). "Amana" adalah bentuk "fiil mudhari" (kurang lebih sama dgn Present Tense dan Future Tense dlm Bhs Inggris) untuk Orang Ketiga Jamak. Kecuali jika ayat di atas menggunakan bentuk pasive, maka kata kerjanya akan berubah menjadi "uminu".
Yang menjadi obyek dari kata "amana" adalah "Allah" dan "yawmil akhir".lalu, bila Harf إِنَّ (=sesungguhnya) atau kawan-kawannya memasuki sebuah Jumlah Ismiyyah ataupun Jumlah Fi'liyyah maka Mubtada' atau Fa'il yang asalnya Isim Marfu' akan menjadi Isim Manshub. Perhatikan contoh di bawah ini:
اَلْبَيْتُ كَبِيْرٌ (=rumah itu besar) itu tanpa إِنَّok? jika dengan إِنَّ akan menjadi إِنَّ الْبَيْتَ كَبِيْرٌ (=sesungguhnya rumah itu besar)
Jawab:
masalahnya kalimat sekompleks seperti Kalam Allah itu terlalu ruwet jika disimpulkan berdasarkan pemahaman parsial.maka dikemukakan teori pembantu berdasarkan fungsi "man".cekidot :
Bentuk jamak dlm bhs arab itu sebenarnya ada 3:
(1) Jamak sbg subyek, contoh = shobiuuna
(2) Jamak sbg obyek, contoh = shobiina
(3) Jamak sbg subyek yg dilekati preposisi, contoh = shobiina
Nah, dlm al baqarah 62, yg digunakan adalah bentuk jamak yg dilekati preposisi, yakni "man".
Kata "man" dlm bhs arab memiliki beberapa variasi arti yg salah satunya adalah = di antara, misal: "di antara mereka". Dalam artian ini, "man" berfungsi sbg preposisi.
Coba perhatikan terjemahan Al-Baqarah 62:
"Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati."
Nah, jelaskan, dalam ayat di atas kata "man" berarti "siapa saja di antara mereka", yg artinya "man" dlm ayat ini adalah sebuah preposisi yg dilekatkan kepada kata2 benda subyek "nashora", "wahuda", dan "shobiina". Jadi sudah benar secara grammatikal kalo kata yg digunakan adalah "shobiina", bukan "shobiuuna".
Sekarang lihat terjemahan Al Maidah 69:
"Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja (di antara mereka) yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati."
Lihat, kata "di antara mereka" diletakkan dalam tanda kurung, yg artinya dlm ayat bhs arab, kata itu tidak ada. Artinya, kata "man" dlm ayat ini berarti "barang siapa" yg merupakan kata penghubung, bukan preposisi. Makanya yg digunakan adalah kata "shobiuuna".
Jadi dlm Al Baqarah, "man" adalah preposisi "di antara mereka" sementara dalam Al Maida "man" adalah kata sambung "barangsiapa", sama fungsi kalau dlm bahasa Inggris dg kata "who" dlm kalimat ini:
"I know the person who did it".
Al Baqarah 62 dan Al maidah 69 JELAS STRUKTUR KALIMATNYA BERBEDA dan PERBEDAAN ITU DITUNJUKKAN OLEH BENTUK SUBYEKNYA YG BERBEDA ("shobiina" dan "shobiuuna"), dan perbedaan dari bentuk subyek itu pada gilirannya menentukan fungsi dan makna kata "man".
Fungsi dan arti "man" yg mana yg sedang digunakan dapat diketahui dari bentuk subyeknya. Contoh:
(1) Wa shobiina man amanabillah. Di sini "man" berfungsi sebagai preposisi
(2) Wa shobiuuna man amanabillah. Di sini "man" berfungsi sebagai kata hubung
(3) Man amanabillah (tanpa subyek). Di sini "man" berfungsi sebagai kata tanya
Mengapa Al Quran menggunakan 2 struktur kalimat yg berbeda seperti di atas?
untuk memahami QS 2:62 perlu juga dipahami kalimat ( أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ ), makna dan fungsi "hum" disitu.Al Baqarah 62 INGIN MENEKANKAN BAHWA DI ANTARA KAUM NASRANI, YAHUDI DAN SHOBIIN MEMANG TERDAPAT orang yg beriman kepada Allah dan hari Akhir. Ini berarti kalimat ini lebih berfungsi sebagai kalimat pernyataan, informasi kepada siapa saja yg membaca Al quran. Tujuannya agar tidak ada generalisasi terhadap kaum nasrani, yahudi dan shobiin bahwa mereka semua itu tidak beriman atau beriman saja.
Al Maidah 69 tidak memiliki penekanan seperti itu dan lebih berfungsi sebagai ATURAN DARI ALLAH, bahwa barang siapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, terlepas apakah dia beragama nasrani, yahudi, shobiin atau muslim, maka Allah akan membalasnya.
Itulah mengapa terjemahan 'diantara mereka' pake dalam kurung pada 5:69 justru salah bila ditulis وَالصَّابِئِينَ. Cocokkan dengan teori raf'a - nasb!!
Pola demikian itu disebut iltifat dalam najhul balaghah.
====================================================
dan apa pula itu iltifat? penjelasan dibawah mungkin cukup berkenan :
Iltifat adalah pengalihan atau berpaling, dalam sholat, kita melakukan iltifat saat mengucap salam setelah tahiyat akhir.Dalam tatabahasa, artinya adalah dalam satu kalimat yang berlangsung, diselingi oleh kalimat yang berbeda tujuan.
contoh kasus:
Syasya berkata “Hanina, tolong bawakan kiriman tempe ke pasar. Ya Allah, semoga tidak hujan disana. Berikan tempe itu kepada mbak Vesper”.
Kalimat “Ya Allah, semoga tidak hujan disana.” Itulah yang dinamakan Iltifat.
====================================================
Semua subyek dalam Al Maidah 69 "alladji na amanuu", "walladji na haduu", "wa shobiuuna", "wan nashora" secara BERSAMA2 BERTAUTAN dgn predikat "man amana" dimana "man" berfungsi sebagai kata hubung antara subyek2 tsb dgn kata kerja "amana". Tidak berpengaruh walaupun urutan penyebutan subyek2 tsb ditukar, misalnya menjadi:
"alladji na amanuu walladji na haduu wan nashora wa shobiuuna man amana billahi wal yawmil akhir" atau atau "alladji na haduu walladji na shobiin wa nashora wal mukminiina man amana billahi wal yawmil akhir" tetap saja fungsi "man" adalah sebagai kata hubung. Silahkan perhatikan visualisasi berikut:
([alladji na amanuu walladji na haduu wa shobiuuna wan nashora] + [man] + [amana billahi wal yawmil akhir wa amila salihan]) + (fala khawfun alayhim wala hum yahzanuuna)
Jadi ayat ini sebenarnya terdiri dari 2 anak kalimat, yakni "alladji na amanuu walladji na haduu wa shobiuuna wan nashora man amana billahi wal yawmil akhir waamila salihan" (Anak Kalimat 1) dengan "fala khawfun alayhim wala hum yahzanuuna" (Anak Kalimat 2). Selanjutnya Anak Kalimat 1 terbagi lagi menjadi 2 sub anak kalimat, yakni: "alladji na amanuu walladji na haduu wa shobiuuna wan nashora" dengan "amana billahi wal yawmil akhir waamila salihan" yg keduanya dihubungkan dgn kata hubung "man" (mirip dgn fungsi kata "who" dalam kalimat "He is the boy who always makes noises")
Saya kira utk Al Maidah 69 ini tidak ada permasalahan karena "man" berfungsi sebagai kata hubung dan bentuk "shobiuuna" sudah sesuai dgn kelaziman sebuah subyek. Yg dipertanyakan dalam soal justru bentuk "shobiina" dalam Al Baqarah 62 yg menurut penuduh, mestinya dari bentuknya adalah obyek tapi dari posisinya menjadi subyek.
Dalam Al Baqarah 62, semua subyeknya "alladji na amanuu", "walladji na haduu", "wa shobiina", "wan nashora" secara BERSAMA2 BERTAUTAN dgn preposisi "man". Dengan kata lain, sebagai preposisi maka kata "man" dalam ayat ini merupakan bagian dari subyek2nya. Yg mungkin agak membingungkan bagi kebanyakan orang adalah karena posisi preposisi yg justru berada di belakang kata benda. Namun hal ini merupakan GAYA BAHASA yg dipakai Al Baqarah 62 dan tidak keliru secara grammatika.
([alladji na amanuu walladji na haduu wa shobiina wan nashora man] + [amana billahi wal yawmil akhir waamila salihan]) + (walahum ajruhum AAinda rabbihim fala khawfun alayhim wala hum yahzanuuna)
Ayat ini juga terdiri dari 2 anak kalimat, yakni "alladji na amanuu walladji na haduu wa shobiina wan nashora man amana billahi wal yawmil akhir waamila salihan" (Anak Kalimat 1) dengan "walahum ajruhum AAinda rabbihim fala khawfun alayhim wala hum yahzanuuna" (Anak Kalimat 2). Selanjutnya Anak Kalimat 1 terbagi lagi menjadi 2 sub anak kalimat, yakni: "alladji na amanuu walladji na haduu wa shobiina wan nashora man" dengan "amana billahi wal yawmil akhir waamila salihan".
Sekali lagi, bukan kata "man" yg menentukan bentuk subyek tetapi justru bentuk subyek lah yg menentukan fungsi dan arti kata "man"!
Kesalahan susunan dan tata bahasa!!
Ini benar benar suatu pernyataan (tanpa bukti) yang sangat aneh.
Bagian besar tata bahasa arab justru ditemukan dalam alquran dan tidak pernah dicatat hingga ratusan tahun setelah quran diturunkan. Bahasa arab klasik menjadi suatu bahasa yang bisa kita perbincangkan itu karena mempunyai tata bahasa tetap dari alquran. Kamus kamus dan buku tata bahasa pertama kali ditulis untuk memelihara bahasa alquran dan hadist dari perubahan bahasa arab yang terjadi akibat pertumbuhan pesat dari kekhalifahan islam ke dalam populasi baru yang terbentang dari pakistan hingga portugal. Buku tata bahasa arab menggunakan kutipan dari quran sebagaimana ini membuktikan lebih dari 500 kaidah tata bahasa.
Satu lagi yang aneh bahwa tuduhan ini datang dari orang kristen. Alasannya, perjanjian baru seluruhnya ditulis dalam bentuk bahasa yunani slang, koine greek, bahasa yunani pasaran/biasa. Dan itu merupakan suatu bentuk bahasa yang buruk dari dari bahasa yunani klasik yang sedikit sekali memperhatikan kaidah tata bahasa.
Saya ingin coba menjawab dari tiga sisi, logika, tata bahasa, balaghah, dan saya kutipkan maknanya dari para penafsir.
1. Logika
Suatu bahasa telah diucapkan jauh sebelum tata bahasa (grammar)-nya diciptakan. Bahasa Inggris jauh telah digunakan untuk berbicara sebelum seseorang duduk dan menetapkan aturan english grammar. English grammar memang telah ditetapkan tapi jauh setelah bahasa inggris digunakan untuk berkomunikasi.
Ambil contoh lain adalah bahasa yunani. Kita semua tahu, bahwa yunani adalah bahasa yang sangat tua. Namun baru abad ke 2 SM, Dionysius Thrax baru membuat buku tata bahasa (grammar)nya. Itupun masih terbatas pada bentuk kata saja. Karyanya ini adalah suatu karya yang sistematis pertama dalam sejarah barat. Sebelum abad 2 M, barulah Apollonius Dyscolus melakukan study terhadap sintaksis ('nahwu') bahasa yunani, dan saat itulah Dionysius Thrax mentapkan tata bahsa yunani. Dan penetapan itu berdasarkan poet dan penulis-penulis yunani.
Bagaimana dengan arab?
Ada dua sumber utama dari tata bahasa arab yaitu quran dan sajak/puisi islam maupun pra islam. As-Sibawayh, Az- Zamakhsariy, Ibn Hisyam, Malik, Al-Akhfasy, Al-Kasai, Al-Farazdaq, Al-Farra', Khalil, Al-Farahidi adalah para pakar tata bahasa arab yang kita kenal dan mereka mengakui Quran sebagai sumber tata bahasa.
Bagaimana bisa quran bisa didakwa memiliki kesalahan tata bahasa padahal quran sendiri adalah sumber penetapan tata bahasa??
Gimana logikanya, kita menyalahkan mistar karena menurut kita salah ukuran?
Ini yang disampaikan Dr. Zakir naik dalam video debat versus William Campbell ketika menjawab pertanyaan audiens berkaitan dengan tata bahasa arab.
???
2. Tata bahasa
Dari sudut tata bahasa, 'kesalahan tata bahasa' (menurut Hilman, yang dicopy paste dari tulisan Newton Faith Freedom) bukan sama sekali tidak bisa dijelaskan.
Sangat aneh bila Hilman (atau bahkan newton) yang 'ahli' tata bahasa arab melewatkan penjelasan para pakar tata bahasa arab mengenai ayat ini dalam kitab-kitab mereka.
Menurut Sibawaih dan Al-Khalil, Sabi'uuna ialah mubtada. Ini adalah salah satu kasus ’adhf dan sering dijumpai di bahasa Arab. Bagian kalimat itu menunjukkan maksud kadzaalika (juga). Karenanya, kalimat itu maksudnya
"Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, dan juga Shabiin dan orang-orang Nasrani, ..."
Abu Jafar Al-Nahhas dalam A'raab al-Qur'an juga menyatakan serupa bahwa maksud dari Al maidah:69 adalah:
Innal-ladziina 'aamanuu wal-ladziina haaduu man 'aamana bilaahi MIN-HUM wal-Yaumil-'Aakhiri wa 'amila saali-han falahum ajruhum ... was-Shaabi'uuna wan-Nasaaraa KADZAALIK.
(Ditulis kapital dengan cetak tebal warna biru untuk menjelaskan maksudnya)
Terjemahan depag rupanya merujuk pada penjelasan ini.
Menurut Al-Farra', pada kalimat ini, fungsi Inna menjadi "lemah" karena sebab di antara yang saya sebutkan: efek Inna muncul hanya pada beberapa isim. Di kasus ini, kata al-ladziina hanya mempunyai satu bentuk pada semua kasus gramatikal. Contoh lain diambil dari bahasa Arab:
"Inna haa'ulaa'i wa ikhwatuka yukrimuunanaa."
(orang orang ini dan saudaramu berbaik hati pada kami).
Kata haa'ulaa'i tak berubah ubah. Dengan begitu, kita bisa mengatakan ikhwatuka atau ikhwatika dan keduanya benar. Bila kita menggunakan ikhwatuka, maka maksudnya adalah ’orang orang ini dan juga saudaramu berbaik hati pada kami'
Tambahan:
إِنَّ الَّذِيْنَ آمَنُوْا
Inna tanshibull Asma wa tarfa'ul khabar, إِنَّ itu tugasnya menasbkan isim me-raf'a kan khabar .
الَّذِينَ Alladziina Isimnya إِنَّ
آمَنُواْ jumlah ( fi'il fa'il ) menjadi khabar innaإِنَّ .
Sampai disini kalimat sudah sempurna danإِنَّ sudah tidak berpengaruh lagi , lantaran kalimat sudah sempurna sampai آمَنُواْ
وَالصَّابِئُونَ = وَ ( waw ) nya waw isti'naf yang menjadi awal kalimat , dikarenakan ada waw الصَّابِئُونَ ( As Shaabi'uuna ) menjadi mubtada.
Abu Ubaidah yang menulis dan menjelaskan kata demi kata Al Qur’an yang dilihat dari segi majaz, kinayah serta keindahan struktur kalimat Al Qur’an dalam kitab yang diberi judul Majazul Qur’an, menjelaskan:
Dari segi tata bahasa, di rafa’ kannya shabiun pada kalimat itu disebabkab orang Arab tidak membiarkan dua kata isim fa'il berdampingan sebagai khabar dari Inna menjadi mansub keduanya. Mereka (orang Arab) biasanya merafa' kata yang terakhirnya. Akibatnya, kata Inna pada kalimat itu yang berposisi sebagai mubtada’ tidak atau menjadi lemah fungsinya.
Kendati peraturan nahwu menetapkan bahwa setiap kata khabar yang mengikuti Inna menjadi mansub, tetapi jika khabar itu terdiri dari dua kata isim fail maka kata yang kedua menjadi marfu’.
Struktur kalimat pada ayat Al Maidah 69 merupakan salah satu bentuk keindahan gramatikal Al Qur’an yang mendahulu khabar dari kata Inna. Jika dilihat dalam kalimat ayat itu, frase ولا هم يحزنونsebenarnya merupakan khabar Inna yang berstatus marfu. maka والصابئون juga khabar Inna yang marfu. Dua frase itu merupakan mubtada dan khabar yang saling terikat satu sama lainnya.
3. Balaghah
Sekali lagi sangat ganjil, bila Hilman (-sekali lagi- yang mencopy paste tulisan newton) juga melewatkan penjelasan pakar tata Bahasa arab lainnya dari sisi Balaghah.
Az Zarkasyi dalam kitabnya Al Burhan, yang merupakan kitab terbesar tata bahasa arab, mendefinisikan contoh pada ayat ini (almaidah:69) sebagai ILTIFAAT. ILTIFAAT jenis ini sama dengan ILTIFAAT pada Al Baqarah:177 dan An Nisa':162 yang keduanya juga dianggap 'salah tata bahasa' oleh Hilman (-sekali lagi- mengcopy paste tulisan Newton) di situs FFI.
Iltifat artinya menoleh, berbelok atau beralih. Iltifat disini berarti membelokkan salah satu diksi kepada diksi yang lain. Umumnya diksi yang dimaksud adalah kata ganti orang baik pertama (takallum), kedua (khitab), atau ketiga (ghaib). Namun Iltifat tidak hanya terbatas itu saja, bisa mencakup tenses dan beberapa hal lainnya. Jadi, jika kita menggunakan kataganti orang ketiga, lalu tiba-tiba diganti dengan menggunakan kataganti orang kedua atau orang pertama, inilah yang disebut dengan iltifat, alias pembelokan. Karena gaya bahasa yang satu ini dianggap nyeleneh, maka para ulama menyebut iltifat sebagai salah satu dari kelompok gaya bahasa "yang bukan pada tempatnya" (khuruj 'an muqtadha al-zhahir).
Silakan ambil satu contoh:
Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah, sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Al-Zumar: 53).
Kita bisa perhatikan, pada ayat ini dibuka dengan "seruan" dari pihak pertama (Allah swt) kepada hamba-hamba-Nya, lalu kalimat seterusnya malah mengarah pada orang ketiga.
Menurut awam, seharusnya ayat tersebut berbunyi seperti ini:
Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat-Ku, sesungguhnya Aku mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Aku-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Itu sedikit menyinggung ILTIFAAT secara umum.
Dari sisi tata bahasa Az zarkasyi juga memberikan penjelasan yang kurang lebih sama bahwa 'shaabi'uuna' adalah marfu'.
contoh lain iltifat yang sejenis adalah Al baqarah: 177 (As Shabiriina bukan As Shobiruuna) dan An Nisa ( Wal muqiimina bukan wal muqimuuna)
Penjelasan tersebut juga diulas panjang lebar dalam tafsir al kasyaf-nya Zamakhsary, Al Itqannya As suyuthi, dan tafsir Tabari.
Bahkan Az Zamakhsary, dalam komentarnya mengenai ayat tersebut mengutip syair arab pra islam
Bagian 'anna wa antum' seharusnya 'anna waiyyakum'. Tapi kita bisa melihat suatu 'gaya bahasa' yang berbeda dari aturan. Gaya bahasa semacam ini tidak dapat dikatakan sebagai 'kesalahan tata bahasa'. Sebagaimana kita tahu tidak ada nazhim (penyair) arab yang mengkritik tata bahasa quran.
Makna
Shaabi'uun
Surat Al Maidah ayat 69 terutamanya kata “wa shaabi'uuna” perlu dipahami terlebuh dahulu artinya kata itu. Para pakar Ilmu Tafsir memiliki perbedaan pendapat dalam mengartikan kata itu.
Menurut Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya, kata itu menggambarkan kelompok manusia yang bukan dari kaum Yahudi sebagai pengikut ajaran Taurat maupun Nasrani yang mengikuti ajaran Injil atau pun Majusi yang menyembah api. Kelompok Shaabi'un ini tidak jelas agama mereka, bahkan patut diduga mereka tidak beragama.
Ibnu Katsir mengutip pendapat berbeda dari Qotadah yang mengatakan bahwa kelompok ini menyembah malaikat, menyembah ke arah tertentu,, mereka membaca Zabur sebagai kitab suci mereka. Sementara Ibnu Wahab mengatakan bahwa mereka hidup di wilayah Irak dan mereka yang percaya kepada Allah SWT tapi tidak sampai kepada mereka tabligh Nabi SAW karena mereka hidup pada zaman yang berbeda. Sedangkan pada riwayat yang lain disebutkan bahwa mereka tidak termasuk dalam agama Yahudi, Nasrani maupun Majuzi. Mereka tidak termasuk dalam agama-agama yang demikian. Mujahid berpendapat mereka tidak beragama.
Dalam bukunya, Abu Ubaidah cenderung mengartikan Shoiibin adalah kelompok yang sering keluar-masuk agama. Mereka sering berganti-ganti agama. Anutan mereka tidak tetap.
Shabiin
Sama dengan penjelasan di atas kata ”وَالصَّابِئِينَ “ mengandung arti kelompok umat atau entitas tersendiri, bukan Yahudi, Nasrani maupun Majusi. Maka dalam ayat di atas pun kata itu mewakili arti tersendiri yang tidak tersandar dengan lainnya. Sama halnya dengan kata هَادُوا atau والنَّصَارَى , kata وَالصَّابِئِينَ (shobiin) adalah ma’tuf (mengikuti) kata sebelumnya. Jadi, tidak ada masalah sama sekali sebab ketiga kata itu merupakan nasb dari Inna. Sedangkan kalimat selanjutnya merupakan khabar Inna. Seperti dalam kalimat Innallaha Ghofurur Rahim. Allaha merupakan Mubtada namun Nasb karena huruf Inna sedangkan Ghofurur Rohim adalah khabar Inna yang marfu.
Sekarang kita coba menganalisa perkata dalam ayat ini dan apa pendapat jamhur ilmu nahwu dan syorop tentang ayat ini dan perkatan ulama tafsir seperti dibawah ini:
Pertama:
Pendapat dari Ulam jamhur nahwu basrah berkata:
Inna ( ان ) dan Asobiun ( الصابئون) Marpu' 'alan anahu maubtada ( مرفوع على انه مبتد)
dan khobarnya mahzub ัyadulu alaihi khobar magoblahuوخبره مخذوف يدل عليه خبر ماقبله) :إِنَّ الَّذِينَ آمَنُواْี
Jamhur nahwu mengatakan: والنية التأخيرatau mengakhirkan kata assobiun (الصابئون)setelah kata: wannasoro (والنصارى)dan ini adalah bentuk nizom makna:
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُواْ وَالَّذِينَ هَادُواْ وَالنَّصَارَى من امن منهم بالله واليوم الأخر فلا خوف عليهم ولا هم يخزنون والصابئون كذلك.
Sesungguhnya orang mukmin orang yahudi orang kristen siapa saja diantara mereka yang beriman kepada allah dan hari akhir kamudian mereka beramal sholeh mereka mendapt pahala dari sisi tuhan tidak ada kewatiran terhadap mereka dan mereka tidak pula mereka bersedih hati. demikian juga orang sabiin( orang yang keluar dari agama samawiyah)Mereka juga akan mendapat ganjaran yang serupa dengan orang mukmin,yahudi dan nasrani jikalau mereka beriman kepada allah dan beramal saleh.
Dan segi pemakaan kalimat arab, jumlah ismiyah muakadah dengan inna, boleh disebutkan mubtada yang lain selain isim, dan inna disebutkan satu khobar bagi isim" inna" dan dibuang khobar mubtada kedua menunjukkan khobar isim atau membuang khobar isim " INNA" Dan menjadikan khobar yang disebut untuk mubtada yang kedua menunjukkan khobar isim"INNA" MAHZUB.Dan jelas menurut jamhur ulama nahwu basrah ayat ini terlepas dari kesalahan
Pendapat kedua:
Dan inna ( ان)Didalam surat almaidah bukanlah,INNA NASIHAH (ان"الناسخة) Yang menasabkan mubtada dan meropakkan khobar akan tetapi ia bermakna" iya" yaitu harpun jawab(حرف جواب)dan tidak dipakai dalam jumlah ismiyah, tidak nasab dan juga tidak khobar, karena allaziina( الذين)Adalah ismun mausul (اسم الموصول) mabni fi mahli ropa'.Dan alamat ropa'nya waw (واو).Karena jama' muzakkaris salim, dan mupradnya:Sobii (صابئ)
Dan semua dari kata: allazina(الذين).Dan assobiun ( الصابئون), Dan wannasoro (والنصارى)Ialah ; اسماء مرفوعةاما محلا.وهما:
Allaziina ( الذين)ialah مبنية فى محل رفع. Dan wannasoro (والنصارى),Marpu'dengan dommah muqadaroh karena isim maqsur yang tidak dijelaskan akhir harokatnya, dan assobiun ( الصابئون)Marpu'lapaz dengan waw jama'
Dan zamahsari mupasir memilih pendapat yang pertama yaitu mazhab Jamhur ulama nahwu basroh.
Dan imam saukani mengatakan: والصابئون: مرفوع على ابتداء.Dan khobrnya mahzub.
واتقدير:إِنَّ الَّذِينَ آمَنُواْ وَالَّذِينَ هَادُواْ من امن بالله واليوم الأخر وعمل صالحافلا خوف عليهم ولا هم يخزنون والصابئون والنصارى كذالك
Sesungguhnya orang mukmin,orang Yahudi, siapa saja diantara mereka yang berimana kepada allah dan hari akhir dan melakukan amal sholeh, mereka mendapt pahala dari sisi tuhan tidak ada kewatiran terhadap mereka dan mereka tidak pula mereka bersedih hati, demikian juga dengan orang saabiin dan orang nasrani.
secara umum penetapan والنصارا معطوف على ان الذين امنوا والذين هادو
Dan perbedaan balaghoh dalam ayat ini untu memudahkan perbedaan tiga sekte yang disebutkan Allah yaitu:
-الذين امنو - الذين هادو - النصارى - الصائبون
Tiga golongan yang pertama yang disebutkan dalam alqur'an mempunyai ikatan yang kuat karena masing-masing golongan tuhan memberikan kitab suci kepada mereka dan atas mereka ada rosul dari sisi tuhan sebagai berikut:
1. Orang yang Beriman ( Islam) : kitab sucinya Alqur'an dan Nabinya Muhammad saw
2. Orang Yahudi kitab suci mereka Taurat dan nabi mereka Musa alaihi wasallam
3. orang Nasooro kitab suci mereka Injil dan nabi mereka Isa alaihi wasallam
Sedangkan golongan yang terakhir Assoibun adalah golongan yang keluar dari dari tiga golongan tersebut mereka tidak mempunyai kitab suci dari tuhan dan tidak ada rosul atas mereka
Dan maqom yang dibicarakan ayat tersebut Allah akan menerima amal mereka disisi tuhan apabila mereka beriman dengan iman yang benar dan melakukan amal soleh dan allah akan menghapus kesalahan mereka sebelum beriman dan allah tidak melihat masa lalu mereka yang telah mereka kerjakan yang selalu bermaksiat kepada allah dan menyukutukan allah dan jikalau mereka mengantinya dengan iman kepada allah dan melakukan amal sholeh allah akan memberikan ganjaran pahala seperti orang yang beriman( Islam)
Haadu: Yakni orang yahudi yang mana disaat turunnya alqur'an kebanyakan mereka menyimpang dari agama mereka dan berpaling dari kebenaran dan mereka merubag dan mengganti apa yang diturunkan Allah kepada mereka, Dan apabila mereka beriman dengan iman yang benar dan bertaubat kepada allah dan mengikuti apa yang diturunkan allah kepada penutup rosul nabi muhammad saw, maka mereka akan aman dari azab allah dan mereka tidak takut dan bersedih.
Begitu juga dengan orang Nasooro mereka menjadikan tuhan mempunyai anak atau menuhan isa ibn maryam dan mereka melenceng dari ajaran agama mereka, dan apabila mereka beriman dengan iman yang benar , dan memperbaiki perbuatan mereka dan beriman kepada rosul terakhir yakni muhammad saw dan melakukan amal sholeh maka usaha mereka akan dibalas disisi tuhan dan allah akan menghilangkan rasa takut mereka dan mereka tidak bersedih hati.
Kamudian ada golongan tambahan yaitu orang Shoibin mereka keluar dari agama samawiyah dan allah juga akan menerima mereka dan mengampuni mereka sebabgai mana allah mengampuni orang yahudi dan nassooro yang beriman kepada allah dan rosulnya.
Dan coba kita perhatikan hurup waw pada kata shooibuun bukan a'top pada mupradat akan tetapi a'topnya kepada jumlah dan waw yang diatopkan pada jumlah atas yang lain dan tidak digunakan didalam mupradath jumlah ma'tupah, dan Ia tidak nasab tidak nasab dan tidak jar. akan tetapi taarobit baina jumlataini ma'tupah. dan ma'tupnya kepada ma'na bukan kepada kepada harokat i'robnya
Kesimpulan:
Adalah sangat konyol menyatakan bahwa ada 'kesalahan tata bahasa', alasannya:
1. Mustahil Al-qu’ran dihakimi salah tata bahasa karena Al-Qur’an sendiri adalah rujukan tata bahasa arab yang terbesar disamping syair-syair arab.
2. Pengkritik tampaknya tidak paham benar tata bahasa arab. Bagaimana tidak? mereka bahkan melewatkan sejumlah penjelasan pakar tata bahasa arab yang terkenal. Tidak tahu atau tidak mau tahu?? Dua-duanya parah!!
3. Pengkritik tampaknya juga melewatkan beberapa aspek pemahaman Al-quran. Padahal ada enam aspek yang disebut oleh Al Andalusy: Al Lughoh (linguistik), sharf (morfologi kata), nahu (sintaksis), balaghah, dst. Sangat parah sebagai 'ahli' bahasa arab' tidak mengetahui kasus ini digolongkan sebagai iltifaat dalam nahjul balaghah. Bahkan orientalis sekaliber J Burton dalam jurnalnya juga menyertakannya.
Referensi:
1. kutuub : al burhan, al itqan, at tabari, al kassyaf dll
2. berbagai situs internasional yang membantah langsung: islamic.org.uk, understanding-islam.com, answeringchristianity.org, islamic awareness.org, angel-fire.com
3. berbagai tulisan dalam forum dan blog: AFFI ('kong naif' dan 'dark'), ummah.com, religusta @multiply.com, dan tulisan Newton di FF, Sam Shamoun di Answering islam, dan tentunya copi pastenya Hilman di FFI.
4 buku tulisan barat, R. Paret, The Cambridge History Of Arabic Literature; 'Linguistic errors in the Qur'ān', Journal of Semitic Studies, J. Burton.
5. Tulisan bebas di situs islam: MS Abdel Halim, Khalid dan Wail Ibrahim serta video debat Dr. Zakir naik vs dr. William Campbell
Kesimpulan berikut mungkin menawarkan efek TL/DR artikel diatas :)
Dalam ketiga ayat yang diajukan, semuanya diawali dengan إِنَّ, di mana - seperti telah dijelaskan sebelumnya - berfungsi menasabkan mubtada (isim) dan merofakan khobar. Q.S. Al-Hajj:17 dan Al-Baqarah:62 tidak perlu diperdebatkan karena memang bentuk mubtada (isim) nya mansub (nasab). Penggunaan "wawu" sebagai "athof" sehingga kata yang mengikuti "wawu" akan bernasib sama dengan kata pertama, yaitu dinasabkan. Mari kita lihat dua ayat tersebut agar lebih jelas:
Al-Hajj:017
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالصَّابِئِينَ وَالنَّصَارَى وَالْمَجُوسَ وَالَّذِينَ أَشْرَكُوا
Al-Baqarah:062
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُواْ وَالَّذِينَ هَادُواْ وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ
Sekarang, permasalahannya adalah antara Q.S. Al-Baqarah:62 dan Al-Maaidah:69. Di Q.S. Al-Baqarah:62 tertulis وَالصَّابِئِينَ dan di Q.S. Al-Maaidah:69 tertulis وَالصَّابِؤُونَ. Yang satu nasab dan yang lainnya rofa. Kenapa bisa demikian? Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, itulah keindahan gaya bahasa Al-Quran. Silakan diperhatikan lagi, di Q.S. Al-Baqarah:62 terdapat dua isim fa'il berdampingan di mana َالصَّابِئِينَ terletak di kata kedua. Begitu juga dengan Q.S. Al-Maaidah:69 di mana terdapat dua isim fa'il berdampingan dan kata َالصَّابِؤُونَ terletak di kata pertama. Kebiasaan orang Arab umumnya jika terdapat dua isim fa'il berdampingan dan keduanya dijatuhi hukum nasab, maka hanya kata kedua yang diberlakukan hukum nasab tersebut. Dengan demikian, tidak ada kesalahan dalam Q.S. Al-Maaidah:69. Berikut ayatnya:
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُواْ وَالَّذِينَ هَادُواْ وَالصَّابِؤُونَ وَالنَّصَارَى
Perbedaan Qira’at
Pada surat al-Baqoroh ayat 62, tertulis الصَّابِئِينَ dalam keadaan Nashab setelah kalimat النَّصَارَى . pada surat al-Maidah tertulis الصَّابِئُونَ dalam keadaan rofa’ sebelum kalimat النَّصَارَى , sedangkan pada Surat al-Hajj ayat 17 tertulis الصَّابِئِينَ dalam keadaan Nashab sebelum kalimat َالنَّصَارَى وَالْمَجُوسَ, dimana sesungguhnya letak perbedaannya ?
Ahlul Madinah :
membaca kalimat الصابئين dan الصّابئون ini dengan meninggalkan huruf hamzahnya sehingga terbaca “الصّابين والصّابون dalam banyak mushaf Qur’an. Sedangkan orang –orang yang tetap membaca dengan hamzah mereka beralasan bawa kalimat itu berasal dari : يصبوا صبوءاً صبا
Abu Ja’far :
berpendapat, bahwa kalimat الصابئون itu jama’ dari "صابئ dan merupakan kata pecahan : seperti : صبأ الرجل يصبأ صبواً" dikatakan kepada seseorang ketika seseorang keluar atau pindah dari satu agama ke agama yang lain .
Ibnu Abbas :
menyatakan bahwa tidak ada kalimat الصابُون itu, yang ada hnayalah الصابئون, tidak ada kalimat الخاطون itu melainkan الخاطِئون
Al Jumhur :
membacanya dengan hamzah seperti : صَبَأَ نابُ البعير أي : خَرَجَ وصَبَأَتِ النجومُ : طَلَعت
Pada surat al-Maidah : 69 , al-Jumhur membacanya dengan واو (wau), merofa’ kannya, sebagaimana mushaf-mushaf al-Amshor.
Al-Kholil , Sibaweh ( Ulama Basrah) dan orang-orang yang mengikutinya :
Merofa’kannya , dengan alas an kalimat الصابئون pada Al-Maidah : 69 tsb , posisinya adalah mubtada’ dengan khobar makhduf ( tak disebut/terbuang ) , untuk menunjukkan bahwa kalimat tersebut adalah sebagai khobar-awal dengan maksud atau sekaligus sebagai khobar akhir, dengan kejelasan sbb :
كذلك إنَّ الذين آمنوا والذين هادُوا مَنْ آمنَ بهم إلى آخره والصابئون
Sebagai contoh : إن زيداً وعمروٌ قائمٌ maksudnya
إنَّ زيداً قائم وعمرو قائم jika seperti ini maka yang mahduf ( terbuang) adalah قائم yang awal atau sebaliknya
Az-Zamakhsyari : sependapat dengan Sibaweh , dia menyatakan :
والصابئون : رفعٌ على الابتداء ، وخبرُه محذوفٌ ، والنيةُ به التأخير عمَّا في حَيِّز » إنَّ « من اسمها وخبرها ، كأنه قيل : إنَّ الذين آمنوا والذين هادوا والنصارى حكمُهم كذلك والصابئون كذلك
Bani Harits dan lainnya, :
أنَّ » الصابئون « منصوبٌ menyatakan dalam keadaan nashab ( ini hanya terjadi pada Bani harits ) . Mereka menjadikan Alif tatsniyah dalam semua kondisi sebagai ganti dari Rofa’ Nashab dan jar, begitu juga waau tanda rofa’ isim jamak salim mereka tetapkan dalam keadaan nashab dan Jarr sebagaimana tetapnya alif . contoh: رأيت الزيدان ومررت بالزيدان. ( pendapat ini sementara dianggap Dhoif )
Pendapat lain :
أنَّ علامةَ النصبِ في « الصابئون » فتحةُ النون Bahwa tanda fathah pada huruf nun (ن ) adalah alamat Nashab. Nun (ن ) adalah hurub I’rob ( terpengaruh ) sebagai contoh : الزيتون » و « عربون »
Al- Farasiy :
Membolehkan tanda fathah pada nun ((ن), sebagai alamat nashab pada sebagian Isim jamak salim dengan syarat yang mengiringinya adalah khusus huru “f ya’ “ ( ي ) bukan wau (و ) seperti “« جاء البنينُ » atau dalam hadits : « اللهم اجْعَلْها عليهم سنيناً كسنينِ يوسف
Ubay bin Ka’ab, ‘Utsman bin Affan , ‘Aisyah, Al-Juhdury, Sa’id bin Jabir, jama’ah dan Ibnu Katsir :
Mereka membaca ayat 69 QS Al-Maidah ini dengan ya’ ( ي ) الصابئينMereka menashabkannya. Dan kalimat ini jelas sebagai bentuk ‘athof “ kepada isimnya « إنَّ » .
Ibnu Haziy :
Dalam tafsirnya menyatakan bahwa Qiraaat as-Sab’ah dengan wau( و) dalam keadaan rofa’, dan menurtnya “Aisyah pernah mengatakan bahwa kalimat ini terdapat kekeliruan pada I’rabnya.
Husain Al-Bashori dan Al-Juhri :
Membaca الصابِيُون dengan mengkasroh ba’ (ب ) sebelum ya’ kholishoh ( tanpa siddah ) dan meringankan bacaan seperti orang yang membaca يَسْتهزِيُون dengan memurnikan ya’( ي ) nya.
Menurut H. Ahmad Syadali, M.A dalam bukunya “Ulumul Quran” :
Al-Qur’an yang tercetak belum dapat dijadikan pegangan dalam masalah Qira’at. banyak mushaf yang dicetak di belahan dunia Islam sebelah Timur berbeda dengan yang dicetak di Afrika utara misalnya .karena qira’at yang umum diikuti kedua wilayah ini berbeda . bahkan mushaf-mushaf yang tertulis atas perintah Usman itu tidak bertitik dan tidak berbaris. Karena itu mushaf-mushaf ini dibaca dengan berbagai qira’at . sebagaimana sabda Nabi SAW.
إن هذا القرآن أنزل على سبعة أحرف فاقرءوا ما تيسر منه
Artinya : “Sesungguhnya al-Qur’an ini diturunkan atas tujuh huruf ( bacaan) maka bacalah (menurut) makna yang engkau anggap mudah “ HR Bukhari Muslim
Perbedaan Qira’at
Pada surat al-Baqoroh ayat 62, tertulis الصَّابِئِينَ dalam keadaan Nashab setelah kalimat النَّصَارَى . pada surat al-Maidah tertulis الصَّابِئُونَ dalam keadaan rofa’ sebelum kalimat النَّصَارَى , sedangkan pada Surat al-Hajj ayat 17 tertulis الصَّابِئِينَ dalam keadaan Nashab sebelum kalimat َالنَّصَارَى وَالْمَجُوسَ, dimana sesungguhnya letak perbedaannya ?
Ahlul Madinah :
membaca kalimat الصابئين dan الصّابئون ini dengan meninggalkan huruf hamzahnya sehingga terbaca “الصّابين والصّابون dalam banyak mushaf Qur’an. Sedangkan orang –orang yang tetap membaca dengan hamzah mereka beralasan bawa kalimat itu berasal dari : يصبوا صبوءاً صبا
Abu Ja’far :
berpendapat, bahwa kalimat الصابئون itu jama’ dari "صابئ dan merupakan kata pecahan : seperti : صبأ الرجل يصبأ صبواً" dikatakan kepada seseorang ketika seseorang keluar atau pindah dari satu agama ke agama yang lain .
Ibnu Abbas :
menyatakan bahwa tidak ada kalimat الصابُون itu, yang ada hnayalah الصابئون, tidak ada kalimat الخاطون itu melainkan الخاطِئون
Al Jumhur :
membacanya dengan hamzah seperti : صَبَأَ نابُ البعير أي : خَرَجَ وصَبَأَتِ النجومُ : طَلَعت
Pada surat al-Maidah : 69 , al-Jumhur membacanya dengan واو (wau), merofa’ kannya, sebagaimana mushaf-mushaf al-Amshor.
Al-Kholil , Sibaweh ( Ulama Basrah) dan orang-orang yang mengikutinya :
Merofa’kannya , dengan alas an kalimat الصابئون pada Al-Maidah : 69 tsb , posisinya adalah mubtada’ dengan khobar makhduf ( tak disebut/terbuang ) , untuk menunjukkan bahwa kalimat tersebut adalah sebagai khobar-awal dengan maksud atau sekaligus sebagai khobar akhir, dengan kejelasan sbb :
كذلك إنَّ الذين آمنوا والذين هادُوا مَنْ آمنَ بهم إلى آخره والصابئون
Sebagai contoh : إن زيداً وعمروٌ قائمٌ maksudnya
إنَّ زيداً قائم وعمرو قائم jika seperti ini maka yang mahduf ( terbuang) adalah قائم yang awal atau sebaliknya
Az-Zamakhsyari : sependapat dengan Sibaweh , dia menyatakan :
والصابئون : رفعٌ على الابتداء ، وخبرُه محذوفٌ ، والنيةُ به التأخير عمَّا في حَيِّز » إنَّ « من اسمها وخبرها ، كأنه قيل : إنَّ الذين آمنوا والذين هادوا والنصارى حكمُهم كذلك والصابئون كذلك
Bani Harits dan lainnya, :
أنَّ » الصابئون « منصوبٌ menyatakan dalam keadaan nashab ( ini hanya terjadi pada Bani harits ) . Mereka menjadikan Alif tatsniyah dalam semua kondisi sebagai ganti dari Rofa’ Nashab dan jar, begitu juga waau tanda rofa’ isim jamak salim mereka tetapkan dalam keadaan nashab dan Jarr sebagaimana tetapnya alif . contoh: رأيت الزيدان ومررت بالزيدان. ( pendapat ini sementara dianggap Dhoif )
Pendapat lain :
أنَّ علامةَ النصبِ في « الصابئون » فتحةُ النون Bahwa tanda fathah pada huruf nun (ن ) adalah alamat Nashab. Nun (ن ) adalah hurub I’rob ( terpengaruh ) sebagai contoh : الزيتون » و « عربون »
Al- Farasiy :
Membolehkan tanda fathah pada nun ((ن), sebagai alamat nashab pada sebagian Isim jamak salim dengan syarat yang mengiringinya adalah khusus huru “f ya’ “ ( ي ) bukan wau (و ) seperti “« جاء البنينُ » atau dalam hadits : « اللهم اجْعَلْها عليهم سنيناً كسنينِ يوسف
Ubay bin Ka’ab, ‘Utsman bin Affan , ‘Aisyah, Al-Juhdury, Sa’id bin Jabir, jama’ah dan Ibnu Katsir :
Mereka membaca ayat 69 QS Al-Maidah ini dengan ya’ ( ي ) الصابئينMereka menashabkannya. Dan kalimat ini jelas sebagai bentuk ‘athof “ kepada isimnya « إنَّ » .
Ibnu Haziy :
Dalam tafsirnya menyatakan bahwa Qiraaat as-Sab’ah dengan wau( و) dalam keadaan rofa’, dan menurtnya “Aisyah pernah mengatakan bahwa kalimat ini terdapat kekeliruan pada I’rabnya.
Husain Al-Bashori dan Al-Juhri :
Membaca الصابِيُون dengan mengkasroh ba’ (ب ) sebelum ya’ kholishoh ( tanpa siddah ) dan meringankan bacaan seperti orang yang membaca يَسْتهزِيُون dengan memurnikan ya’( ي ) nya.
Menurut H. Ahmad Syadali, M.A dalam bukunya “Ulumul Quran” :
Al-Qur’an yang tercetak belum dapat dijadikan pegangan dalam masalah Qira’at. banyak mushaf yang dicetak di belahan dunia Islam sebelah Timur berbeda dengan yang dicetak di Afrika utara misalnya .karena qira’at yang umum diikuti kedua wilayah ini berbeda . bahkan mushaf-mushaf yang tertulis atas perintah Usman itu tidak bertitik dan tidak berbaris. Karena itu mushaf-mushaf ini dibaca dengan berbagai qira’at . sebagaimana sabda Nabi SAW.
إن هذا القرآن أنزل على سبعة أحرف فاقرءوا ما تيسر منه
Artinya : “Sesungguhnya al-Qur’an ini diturunkan atas tujuh huruf ( bacaan) maka bacalah (menurut) makna yang engkau anggap mudah “ HR Bukhari Muslim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar