Ahlus syirk: ‘Umar Berkirim Surat Kepada Sungai Nil ?

surat kpd nilSyaikh ‘Ali Hasyisy al-Mishri –hafizhahullah

قال الشيخ على حشيش –حفظه الله- عن القصة واهية التي اشتهرت على ألسنة الخطباء والوعاظ والقصاص: إن عمر بن الخطاب رضي الله عنه كتب رسالة إلى نيل مصر …
Syaikh ‘Ali Hasyisy –hafizhahullah– berkata tentang kisah lemah yang tersebar melalui lisan para khatib, para pemberi nasihat, dan para pencerita: bahwa ‘Umar bin al-Khaththab –radhiyallahu ‘anhu– menulis surat kepada sungai Nil Mesir …

أولاً المتن
Pertama: Matan (Redaksi) Kisah
لما فتح عمرو بن العاص مصر أتى أهلها إلى عمرو بن العاص حين دخل بؤونة من أشهر العجم، فقالوا له أيها الأمير، إن لنيلنا هذا سُنَّة لا يجري إلا بها، فقال لهم وما ذاك؟ قالوا إنه إذا كان لثنتي عشرة ليلة تخلو من هذا الشهر عمدنا إلى جارية بكر بين أبويها فأرضينا أبويها وجعلنا عليها من الحُليّ والثياب أفضل ما يكون، ثم ألقيناها في هذا النيل، فيجري. فقال لهم عمرو إن هذا لا يكون في الإسلام، وإن الإسلام يهدم ما قبله، فأقاموا بؤونة وَأَبِيْبَ ومِسْرَى لا يجري قليلاً ولا كثيرًا حتى هموا بالجلاء، فلما رأى ذلك عمرو، كتب إلى عمر بن الخطاب بذلك، فكتب إليه عمر قد أصبتَ، إن الإسلام يهدم ما قبله، وقد بعثت إليك ببطاقة فألقها في داخل النيل إذا أتاك كتابي فلما قدم الكتاب على عمرو، وفتح البطاقة، فإذا فيها: (من عبد الله عمر أمير المؤمنين، إلى نيل أهل مصر، أما بعد فإن كنت تجري من قبلك فلا تجر، وإن كان الله الواحد القهار الذي يجريك فنسأل الله الواحد القهار أن يجريك). فعرّفهم عمرو بكتاب أمير المؤمنين والبطاقة، ثم ألقاها فألقى عمرو البطاقة في النيل قبل يوم الصليب بيوم، وقد تهيأ أهل مصر للجلاء والخروج منها لأنه لا يقوم بمصلحتهم فيها إلا النيل، فأصبحوا يوم الصليب وقد أجراه الله ستة عشر ذراعًا في ليلة، وقطع الله تلك السُّنَّةَ السوء عن أهل مصر.

Tatkala ‘Amr bin al-‘Ash memenangi negeri Mesir, para penduduk pun mendatanginya di awal bulan Ba-unah(bulan kesepuluh dari penanggalan tahun Mesir) seraya berkata kepada ‘Amr bin al-‘Ash, “Wahai Pemimpin, sesungguhnya kami memiliki tradisi berkaitan dengan sungai Nil kami ini, dan sungai ini takkan mengalir kecuali dengan (menjalankan) tradisi itu.”
‘Amr bin al-‘Ash bertanya kepada mereka, “Tradisi apakah itu?”
Mereka menjawab, “Apabila telah berlalu dua belas malam dari bulan ini, kami mengambil gadis perawan dari kedua orang tuanya setelah sebelumnya kami buat rela kedua orang tuanya itu. Kami mempercantik gadis perawan itu dengan perhiasan dan pakaian yang terbaik lalu melemparkannya ke sungai Nil ini sehingga air sungai pun kembali mengalir.”
‘Amr bin al-‘Ash berkata, “Perbuatan itu tak diperbolehkan oleh Islam, dan sesungguhnya Islam itu (datang) untuk meruntuhkan ajaran yang ada sebelumnya.”
Akhirnya penduduk sungai Nil pun (memutuskan) untuk menunggu (kemungkinan yang akan terjadi) sepanjang bulan Ba-unahAbib, dan Misra. Apabila memang air sungai Nil tetap tidak mengalir, baik sedikit maupun banyak, mereka bermaksud pindah ke tempat lain. Melihat hal itu, ‘Amr bin al-‘Ash pun menulis surat kepada ‘Umar bin al-Khaththab tentang keadaan tersebut.
‘Umar pun menulis surat balasan kepada ‘Amr bin al-‘Ash dengan mengatakan dalam suratnya, “Kamu telah bertindak benar. Sesungguhnya Islam itu (datang) untuk meruntuhkan ajaran yang ada sebelumnya. Aku melampirkan bithaqah (sehelai surat/warkat/kartu) dalam suratku ini. Jika suratku ini telah kau terima, lemparkanlah bithaqah tersebut ke sungai Nil!”
Ketika surat itu sampai ke tangan ‘Amr bin al-‘Ash, ternyata di dalamnya memang terlampir bithaqah yang bertuliskan:
“Dari hamba Allah, ‘Umar Amir al-Mu’minin, kepada Nil, sungai penduduk Mesir. Amma ba’d. Jika kamu mengalir karena keinginanmu sendiri, maka tak usahlah kau mengalir. Akan tetapi jika Allah al-Wahid al-Qahhar yang membuatmu mengalir, maka kami memohon kepada Allah al-Wahid al-Qahhar agar mengalirkanmu.”
‘Amr bin al-‘Ash pun memberitahukan surat dan bithaqahdari Amir al-Mukminin itu kepada para penduduk Mesir. Setelah itu dia melemparkan bithaqah itu ke sungai Nil, tepatnya satu hari sebelum hari raya penyaliban (hari raya kaum Nasrani). Pada saat itu sebetulnya penduduk Mesir telah bersiap-siap untuk berpindah keluar dari tempat itu karena tiada lagi kemaslahatan bagi mereka di tempat itu selain dengan mengalirnya sungai Nil.
Kemudian pada keesokan harinya, yakni pada hari raya penyaliban, Allah pun mengalirkan air sungai Nil. Dalam semalam saja ketinggian air telah mencapai enam belas hasta, dan dengan itulah Allah menghilangkan tradisi buruk penduduk Mesir.

ثانيًا التخريج
Kedua: Takhrij (Sumber Pemberitaan Kisah)
الخبر الذي جاءت به هذه القصة أخرجه ابن عبد الحكم، وهو عبد الرحمن بن عبد الله بن عبد الحكم بن أعين بن الليث بن رافع في كتابه «فتوح مصر وأخبارها»
ص حيث قال حدثنا عثمان بن صالح عن ابن لهيعة عن قيس بن الحجاج عن من حدثه قال «لما فتح عمرو بن العاص مصر أتى أهلها إليه » القصة
وأخرج هذه القصة أيضًا ابن قدامة وهو عبد الله بن أحمد بن محمد بن قدامة في كتابه «الرقة والبكاء» ص الخبر قال أخبرنا محمد بن عبد الباقي، أنبأنا أبو بكر أحمد بن زكريا الطرثيثي سنة ثلاث وثمانين وأربعمائة، أنبأنا أبو القاسم هبة الله بن الحسن الطبري حدثنا محمد بن أبي بكر، حدثنا محمد بن مخلد، حدثنا محمد بن إسحاق، حدثنا عبد الله بن صالح، حدثني ابن لهيعة عن قيس بن الحجاج عن من حدثه قال
Kabar mengenai kisah ini dikeluarkan oleh Ibn ‘Abd al-Hakim, yaitu ‘Abdurrahman bin ‘Abdullah bin ‘Abd al-Hakim bin A’yan bin al-Laits bin ar-Rafi’ di dalam kitabnya Futuh Mishri wa Akhbariha (Penaklukkan Mesir dan Kabar-Kabarnya). Di kitab itu dia berkata: telah mengabarkan kepadaku ‘Utsman bin Shalih, dari Ibn Luhai’ah, dari Qais bin al-Hajjaj, dari seseorang yang mengabarkan kepadanya, dia berkata, Tatkala ‘Amr bin al-‘Ash memenangi negeri Mesir, para penduduk pun mendatanginya …,” –kisah di atas …
Juga dikeluarkan oleh Ibn Qudamah, yaitu ‘Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah di dalam kitabnyaar-Riqqah wa al-Buka’ (Kelembutan dan Tangis). Di kitab itu dia berkata: telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin ‘Abd al-Baqi’, telah mengabarkan kepada kami Abu Bakr Ahmad bin Zakariya ath-Thurtsitsi pada tahun 83 Hijriyah, telah mengabarkan kepada kami Abu al-Qasim Hibatullah bin al-Hasan ath-Thabari, telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Abu Bakr, telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Makhlad, telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Ishaq, telah mengabarkan kepada kami ‘Abdullah bin Shalih, telah mengabarkan kepadakuIbn Luhai’ah dari Qais bin al-Hajjaj, dari seseorang yang mengabarkan kepadanya, dia berkata … -kisah di atas …

ثالثًا التحقيق
Ketiga: Tahqiq (Penelitian atas Validitas Kisah)
القصة واهية، وفيها علتان:
الأولى عبد الله بن لهيعة وهو عبد الله بن لهيعة بن عقبة بن فرعان بن ربيعة بن ثوبان الحضرمي أبو عبدالرحمن المصري

Kisah tersebut lemah karena mengandung dua cacat (penyakit) di dalamnya:
Cacat (penyakit) yang pertamaadalah (keberadaan perawi) ‘Abdullah bin Luhai’ah bin ‘Uqbah bin Far’an bin Rabi’ah bin Tsauban al-Hadhrami Abu ‘Abdurrahman al-Mishri …
قال الإمام ابن حبان في «المجروحين»
أ «قد سبرت أخبار ابن لهيعة من رواية المتقدمين والمتأخرين عنه فرأيت التخليط في رواية المتأخرين عنه موجودًا، وما لا أصل له من رواية المتقدمين كثيرًا، فرجعت إلى الاعتبار فرأيته كان يدلس عن أقوام ضعفى عن أقوام رآهم ابن لهيعة ثقات فالتزقت تلك الموضوعات به»

Imam Ibn Hibban berkata (tentang Ibn Luhai’ah) di dalam kitab al-Majruhin:
(1) Aku telah meneliti riwayat-riwayat Ibn Luhai’ah dari riwayat-riwayat ulama mutaqaddimin (terdahulu) danmuta-akhirin (belakangan), lalu tahulah aku bahwa terdapat takhlith (campur aduk) dalam riwayat-riwayat ulama muta-akhirin yang berasal darinya, sedangkan dalam riwayat-riwayat ulama mutaqaddimin yang berasal darinya ditemukan banyak hadits yang tidak ada asalnya. Aku pun kembali mempertimbangkan (mendalami penelitian tentangnya), lalu kuketahui bahwa Ibn Luhai’ah biasa melakukan tadlis(menyembunyikan) para perawi lemah yang menerima riwayat dari para perawi yang dipandang tsiqah(tepercaya) olehnya sehingga bercampurlah karenanya masalah-masalah …

ب ثم قال «وأما رواية المتأخرين عنه بعد احتراق كتبه ففيها مناكير كثيرة، وذاك أنه كان لا يبالي ما دفع إليه قراءة سواء كان من حديثه أو غير حديثه فوجب التنكب عن رواية المتقدمين عنه قبل احتراق كتبه لما فيه من الأخبار المدلّسة عن الضعفاء والمتروكين، ووجب ترك الاحتجاج برواية المتأخرين عنه بعد احتراق كتبه لما فيه مما ليس من حديثه»

(2) Kemudian Ibn Hibban berkata:
Adapun riwayat-riwayat yang diterima oleh para ulamamuta-akhirin dari Ibn Luhai’ah, itu terjadi setelah kitab-kitab Ibn Luhai’ah terbakar, sehingga di dalam riwayat-riwayat itu terdapat banyak sekali kemungkaran. Dia tidak pula mengindahkan redaksi-redaksi  yang dimasukkan ke dalamnya apakah itu dari riwayatnya ataukah dari riwayat selainnya. Oleh karena itu wajib untuk menjauh dari riwayat-riwayat ulama mutaqaddiminyang menerima darinya sebelum kitabnya terbakar karena di dalamnya terdapat tadlis riwayat dari para perawi dha’if (lemah) dan matruk (ditinggalkan), dan wajib pula untuk meninggalkan riwayat-riwayat ulamamuta-akhirin yang menerima darinya setelah kitabnya terbakar karena di dalamnya terdapat riwayat-riwayat yang bukan merupakan riwayatnya.

لذلك أورده الحافظ ابن حجر في «طبقات المدلسين» المرتبة الخامسة رقم حيث قال «عبد الله بن لهيعة الحضرمي اختلط في آخر عمره، وكثرت عنه المناكير في روايته»

Mengenai hal ini, al-Hafizh Ibn Hajar berkata di dalam kitab Thabaqat al-Mudallisin –pada bagian perawi tingkat kelima, ’Abdullah bin Luhai’ah al-Hadhrami mengalami takhlith (perubahan/kekacauan) hafalannya pada akhir usianya, dan semakin bertambah banyaklah kemungkaran di dalam riwayatnya.”

قلت وأقر قول الإمام ابن حبان «إنه كان يدلس عن الضعفاء»
والمرتبة الخامسة هي التي قال فيها الحافظ ابن حجر في «المقدمة» «من ضعف بأمر آخر سوى التدليس فحديثهم مردود ولو صرحوا بالسماع»
Aku katakan, “Dan ucapan al-Imam Ibn Hibban menyatakan bahwasanya Ibn Luhai’ah itu biasa melakukan tadlis perawi dha’if.”
Adapun yang dimaksud dengan perawi tingkat kelima adalah para perawi yang sebagaimana dikatakan oleh al-Hafizh Ibn Hajar di dalam al-Muqaddimah“Orang-orang yang pada masa akhirnya menjadi dha’if selain tindakantadlis-nya, maka hadits-hadits mereka tertolak meskipun mereka menerangkan tentang penyimakan hadits.”

قلت قول الإمام ابن حبان «أنه كان يدلس على الضعفاء» له أصل عملي نقله الحافظ ابن حجر في «التهذيب» عن الإمام أحمد بن حنبل قال «كتب يعني ابن لهيعة عن المثنى بن الصباح عن عمرو بن شعيب وكان بعد يحدث بها عن عمرو بن شعيب»

Aku berkata, ucapan al-Imam Ibn Hibban, “… bahwa Ibn Luhai’ah biasa melakukan tadlis perawi dha’if,”penjelasan atas pelaksanaan tadlis Ibnu Luhai’ah tersebut telah dinukil oleh al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam kitab at-Tahdzib dari al-Imam Ahmad bin Hanbal yang mengatakan, Ibn Luhai’ah menulis dari al-Mutsanna bin ash-Shabbah, dari ‘Amr bin Syu’aib, dan dia mengabarkan bahwa hadits itu dari ‘Amr bin Syu’aib.”

قلت يتبين أن ابن لهيعة أسقط المثنى بن الصباح الذي كتب عنه وحدث بها عن عمرو بن شعيب، وبهذا ثبت أن ابن لهيعة كان يدلس عن الضعفاء والمتروكين، وذلك لأن المثنى بن الصباح متروك. فقد قال الإمام النسائي في كتابه «الضعفاء والمتروكين» ترجمة «المثنى بن الصباح متروك»

Aku katakan, “Jelaslah bahwa Ibnu Luhai’ahmenggugurkan al-Mutsanna bin ash-Shabbah(menghilangkan dari sanad) yang darinyalah dia menulis, lalu Ibnu Luhai’ah mengabarkan bahwa hadits itu dari ‘Amr bin Syu’aib. Dengan demikian menjadi kukuhlah bahwa Ibnu Luhai’ah menyembunyikan para perawi dha’if dan matruk, dan al-Mutsanna bin ash-Shabbah itu seorang perawi matruk. Imam an-Nasa’i pun telah mengatakannya di dalam kitab adh-Dhu’afa’ wa al-Matrukin, dalam biografi al-Mutsanna bin as-Shabbah.”

قلت وهذا المصطلح عند النسائي له معناه، فقد قال الحافظ ابن حجر في «شرح النخبة» ص «ولهذا كان مذهب النسائي أن لا يترك حديث الرجل حتى يجتمع الجميع على تركه» وبهذا تسقط القصة بتدليس ابن لهيعة وعنعنته وعدم التصريح بالسماع
أما عن القول بأن ابن لهيعة ضعف بأمر آخر سوى التدليس فإثبات ذلك يتبين من 
أ قال أمير المؤمنين في الحديث الإمام البخاري في كتابه «الضعفاء الصغير» ترجمة «عبد الله بن لهيعة ويقال ابن عقبة أبو عبد الرحمن الحضرمي ويقال الغافقي، قاضي مصر حدثنا محمد، حدثنا الحميدي عن يحيى بن سعيد أنه كان لا يراه شيئًا»
قلت ونقل هذا الحافظ ابن حجر في «التهذيب» ، ثم نقل عن الأئمة 
وقال ابن المديني عن ابن مهدي «لا أحمل عن ابن لهيعة قليلاً ولا كثيرًا»
وقال عبد الكريم بن عبد الرحمن النسائي عن أبيه «ليس بثقة»
وقال ابن معين كان ضعيفًا لا يحتج بحديثه، كان من يشاء يقول له حديثًا
وقال ابن خرش «أحرقت كتبه فكان من جاء بشيء قرأه عليه حتى لو وضع أحد حديثًا وجاء به إليه قرأه عليه»
وقال الخطيب «فمن ثم كثرت المناكير في روايته لتساهله»
وقال الجوزجاني «لا يوقف على حديثه ولا ينبغي أن يحتج به، ولا يغتر بروايته»
وقال الإمام ابن عدي في «الكامل» «إن ابن لهيعة له أحاديث منكرات يطول ذكرها إذا ذكرناها» اهـ

Aku katakan, yang dimaksud dengan istilah matrukmenurut Imam an-Nasa’i telah dikatakan oleh al-Hafizh Ibn Hajar di dalam kitab Syarh an-Nukhbah“Menurut pendapat an-Nasa’i, seorang perawi itu tidak ditinggalkan riwayatnya (matruk) sampai semua ulama bersepakat untuk meninggalkannya.”
Dengan demikian, gugurlah validitas kisah (tentang surat ‘Umar ini) dengan sebab tadlis mu’an’anah Ibn Luhai’ah, juga tidak adanya penjelasan tentang penyimakan.
Adapun mengenai ucapan bahwa Ibn Luhai’ah pada masa akhirnya menjadi dha’if selain tindakan tadlis-nya, maka pemastian tersebut menjadi jelas dengan ucapanAmir al-Mu’minin di bidang hadits, al-Imam al-Bukhari di dalam kitabnya adh-Dhu’afa ash-ShaghirAbdullah bin Luhai’ah disebut juga Ibnu ‘Uqbah Abu ‘Abdurrahman al-Hadhrami al-Ghafiqi, seorang hakim di Mesir. Telah mengabarkan kepada kami Muhammad, telah mengabarkan kepada kami al-Hamidi dari Yahya bin Sa’id bahwasanya dia tak menganggap haditsnya sama sekali.”
Aku katakan, al-Hafizh Ibn Hajar telah menukil hal ini di dalam kitab at-Tahdzib, kemudian menukil pula dari para ulama.
Ibn al-Madini berkata dari Ibn Mahdi, “Aku tidak membawakan hadits dari Ibn Luhai’ah, baik sedikit maupun banyak.”
‘Abd al-Karim bin ‘Abdurrahman an-Nasa’i, dari dari ayahnya, dia berkata, “Dia (Ibn Luhai’ah) bukan orang tepercaya.”
Ibn Ma’in mengatakan, “Dia (Ibn Luhai’ah) seorang yang dha’if, haditsnya tidak bisa dijadikan hujjah. Dia akan menceritakan hadits kepada siapa yang dikehendakinya.”
Ibnu Kharrasy berkata, “Kitab-kitabnya terbakar, maka siapa saja yang datang kepadanya dengan membawa hadits, dia akan meriwayatkannya. Sampai-sampai jika seseorang yang memalsukan hadits datang kepadanya, dia akan meriwayatkannya.”
Al-Khathib berkata, “Karena itu bertambah banyaklah kemungkaran di dalam riwayat-riwayat Ibnu Luhai’ahlantaran sikap tasahul (bermudah-mudah).”
Al-Jaujazani berkata, “Tidak boleh berhenti pada haditsIbnu Luhai’ah dan tidak layak menjadikannya sebagai hujjah. Jangan tertipu oleh riwayatnya.”
Imam Ibnu ‘Adi berkata di dalam kitab al-Kamil,“Sesungguhnya Ibn Luhai’ah memiliki hadits-hadits mungkar, akan sangat panjang jika kami menyebutkannya.” 

ملحوظة هامة:
البعض قد يغفل عن قول الإمام ابن حبان في أن ابن لهيعة من المدلسين ورمي بالتدليس عن الضعفاء والمتروكين، ونقله الحافظ في «طبقات المدلسين» كما بينا آنفًا، ونقله في «التهذيب» ، ويغفل أيضًا عن تجريح هؤلاء الأئمة الأعلام الذي أوردناه آنفًا 
ويتعلق بما نقله الحافظ ابن حجر في «التهذيب» عن عبد الغني بن سعيد الأزدي قال «إذا روى العبادلة عن ابن لهيعة فهو صحيح ابن المبارك، وابن وهب والمقري ، وذكر الساجي وغيره مثله

Catatan Penting:
Sebagian orang lupa akan ucapan al-Imam Ibn Hibban yang mengatakan bahwa Ibn Luhai’ah termasuk golongan mudallis dan tertuduh sebagai pelaku tadlisdari perawi dha’if dan matruk. Al-Hafizh Ibn Hajar telah menukilnya di dalam kitab Thabaqat al-Mudallisinsebagaimana telah kami jelaskan di atas, dan beliau pun telah menukilnya pula di kitab at-Tahdzib. Sebagian orang juga telah lupa akan tajrih (celaan) para imam ahli hadits yang telah kami sebutkan di atas, dan hanya bergantung kepada nukilan al-Hafizh Ibn Hajar di kitabat-Tahdzib, dari ‘Abd al-Ghani bin Sa’id al-Azdi yang mengatakan, “Jika al-‘Abadilah (orang-orang yang bernama ‘Abdullah) meriwayatkan hadits dari Ibn Luhai’ah, maka haditsnya shahih. (Al-‘Abadillah) yang dimaksud adalah Ibn al-Mubarak, Ibn Wahb, dan al-Muqri,” dan hal ini disebutkan pula oleh as-Saji dan yang lainnya.

وقلت وحتى هذا القول لا ينطبق على هذا الخبر الذي جاءت به هذه القصة الواهية المنكرة

Dan aku katakan, ucapan tersebut tidak berlaku terhadap riwayat tentang kisah (surat ‘Umar) yang lemah dan mungkar ini, (dengan alasan):

أ فالعبادلة المذكورون في هذا القول هم عبد الله بن المبارك، وعبد الله بن وهب، وعبدالله بن يزيد المُقري، كما هو مبين في «تهذيب الكمال» في الذين رووا عن ابن لهيعة

(1) Al-‘Abadilah yang disebutkan dalam ucapan itu adalah ‘Abdullah bin al-Mubarak, ‘Abdullah bin Wahb, dan ‘Abdullah bin Yazid al-Muqri sebagaimana dijelaskan di dalam kitab Tahdzib al-Kamal tentang orang-orang yang meriwayatkan dari Ibn Luhai’ah.

 ب وبالرجوع إلى طرق القصة من التخريج الذي أوردناه آنفًا نجد في الطريق الذي أخرجه ابن عبد الحكم أن الذي روى عن ابن لهيعة هو عثمان بن صالح 
ونجد في الطريق الذي أخرجه ابن قدامة أن الذي روى عن ابن لهيعة هو عبد الله بن صالح المصري

(2) Setelah memeriksa jalan-jalan periwayatan dari kisah yang telah kami sebutkan takhrij-nya di atas, kami dapati pada jalan riwayat yang dikeluarkan oleh Ibn ‘Abd al-Hakim bahwa perawi yang meriwayatkan kisah itu dariIbn Luhai’ah adalah ‘Utsman bin Shalih. Sedangkan yang kami dapati pada jalan riwayat yang dikeluarkan oleh Ibn Qudamah bahwa perawi yang meriwayatkan kisah itu dari Ibn Luhai’ah adalah ‘Abdullah bin Shalih al-Mishri (bukan termasuk al-‘Abadilah yang dimaksud –pent).

بهذا يتبين خلو الطريقين من العبادلة الثلاثة ابن المبارك، وابن وهب، والمقري، فالقصة بتطبيق هذا القول واهية أيضًا كما في «الضعفاء والمتروكين» للدارقطني ترجمة ، حيث إن ابن لهيعة متروك إلا من رواية هؤلاء الثلاثة عنه

Dengan ini jelaslah bahwa ketiga orang al-‘Abadilah, yakni Ibn al-Mubarak, Ibn Wahb, dan al-Muqri, sama sekali tidak terdapat di dalam kedua jalan periwayatan (kisah surat ‘Umar) tersebut. Dengan demikian, penerapan ucapan tersebut terhadap kisah ini merupakan penerapan yang lemah juga sebagaimana (disebutkan) di dalam kitab adh-Dhu’afa’ wa al-Matrukinsusunan al-Imam ad-Daruquthni yang (menyebutkan), “Sesungguhnya Ibn Luhai’ah itu matruk (ditinggalkan haditsnya) kecuali dari hadits ketiga al-‘Abadilah yang meriwayatkan darinya.”

العلة الأخرى
من التخريج نجد أن خبر القصة أخرجه ابن عبد الحكم في «فتوح مصر»، وابن قدامة في «الرقة» من طريق ابن لهيعة عن قيس بن الحجاج عن من حدثه قال «لما فتح عمرو بن العاص مصر» القصة
نجد أن هذا الخبر فيه راوٍ مبهم لم يروه عن هذا المبهم المجهول إلا قيس بن الحجاج تفرد به ابن لهيعة

Cacat (penyakit) yang kedua: dari takhrij yang kami dapati bahwa kisah ini dikeluarkan oleh Ibn ‘Abd al-Hakim di kitab Futuh Mishri wa Akhbariha (Penaklukkan Mesir dan Kabar-Kabarnya), dan dikeluarkan juga oleh Ibn Qudamah di kitab ar-Riqqah wa al-Buka’ (Kelembutan dan Tangis), melalui jalan Ibn Luhai’ah dari Qais bin al-Hajjaj dari seseorang yang mengabarkan kepadanya,Tatkala ‘Amr bin al-‘Ash memenangi negeri Mesir …,” –hingga akhir kisah seperti telah diceritakan di atas-
Kami dapati bahwa riwayat ini di dalamnya terdapat seorang perawi yang mubham (perawi yang tidak disebutkan namanya), tidak ada yang meriwayatkan kisah tersebut dari perawi mubham majhul ini selain Qais bin al-Hajjaj. Ibn Luhai’ah menyendiri dengan riwayat ini.

والحديث المبهم هو الحديث الذي فيه راوٍ لم يُصَرَّح باسمه قال البيقوني في منظومته «ومبهم ما فيه راوٍ لم يسم» اهـ
قال الحافظ في «شرح النخبة» «ولا يقبل حديث المُبهم ما لم يُسم لأن شرط قبول الخبر عدالة راويه ومن أبهم اسمه لا تعرف عينه فكيف تعرف عدالته؟» اهـ

Dan hadits mubham adalah hadits yang di dalam sanadnya terdapat perawi yang tidak disebutkan namanya. Al-Baiquni berkata di Manzhumah-nya, “Dan mubham itu apa yang di dalamnya terdapat periwayat tanpa nama.”
Al-Hafizh berkata di kitab Syarh an-Nukhbah“Tidaklah diterima hadits dari perawi mubham, yaitu yang tidak disebutkan namanya karena syarat diterimanya riwayat itu adalah keadilan perawi. Barang siapa disamarkan namanya, takkan dikenali jati dirinya. Lantas bagaimana mungkin diketahui keadilannya?”

قلت وهذه العلة تجعل هذا الخبر مردودًا وتزيد القصة وهنًا على وهن خاصة وأن قيس بن الحجاج من الطبقة السادسة كما في «التقريب» حيث قال الحافظ ابن حجر «قيس بن الحجاج الكلاعي المصري من السادسة«
وبيَّن الحافظ في المقدمة أن الطبقة السادسة «لم يثبت لهم لقاء أحد من الصحابة«
فقيس بن الحجاج لم ير عمرو بن العاص، ولم ير عمر بن الخطاب، وروى القصة عنهما عن طريق مبهم لم يسم
Aku katakan, cacat (penyakit) ini menjadikan riwayat ini tertolak sehingga menambah kelemahan kisah ini secara khusus, dan bahwa Qais bin al-Hajjaj itu termasuk ke dalam thabaqah as-sadisah (kelompok perawi tingkat keenam) sebagaimana dikatakan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam at-Taqrib“Qais bin al-Hajjaj al-Kala’i al-Mishri termasuk kelompok keenam.”
Dan al-Hafizh telah menjelaskan di dalam al-Muqaddimah bahwa ath-thabaqah as-sadisah itu, “Tidak ditetapkan bagi mereka pertemuan dengan salah seorang dari kalangan shahabat.”

فالقصة باطلة واهية بالتدليس والطعن في ابن لهيعة ورواية شيخه عن مجهول مبهم فهي من منكرات ابن لهيعة التي يطول ذكرها
وإن تعجب فعجب أَن هذه القصة الواهية لم تقع لأي بلد على النيل إلا لمصر من المنبع إلى المصب. ولم يقع هذا الخبر لأي نهر في العالم إلا لنهر النيل وفي مصر بالذات بهذه القصة الواهية

Oleh karena itu, kisah ini lemah dan batil dengan sebabtadlis dan celaan terhadap Ibn Luhai’ah, juga terhadap periwayatan gurunya dari perawi majhul mubham. Dan kisah ini termasuk dari riwayat-riwayat mungkar Ibn Luhai’ah yang sangat panjang pembahasannya.
Dan jika ada sesuatu yang mengherankan, maka yang patut untuk diherankan adalah bahwa (peristiwa yang terjadi) dalam kisah yang lemah ini tidak menimpa negeri-negeri sungai Nil selain Mesir, dari mulai mata air (hulu) sampai ke pertemuan dengan laut (hilir). Dan tidak terjadi pula di sungai-sungai mana pun selain di sungai Nil di Mesir menurut kisah lemah ini.

ومن حاول تأويل الخبر فهو غافل لأن السند تالف والأنهار سخرها الله لكل من على الأرض ليقرر توحيد الربوبية، وأن ذلك مستلزم أن لا يعبد إلا الله، وهو توحيد الألوهية
فيجعل الأول دليلاً على الثاني، قال الله تعالى:

Barang siapa yang mencoba untuk melakukan penakwilan atas kabar –lemah- ini, maka dia teperdaya dalam kelengahan karena pijakan yang lemah, padahal Allah sajalah yang menundukkan sungai-sungai itu untuk semua penduduk bumi agar mengakui tauhid rububiyyah, dan bahwasanya dari pengakuan terhadaptauhid rububiyyah itu kemudian mengharuskan untuk tidak beribadah kepada selain Allah, dan itulah tauhid uluhiyyah. Dengan demikian, jadilah perkara pertama (tauhid rubbubiyyah) sebagai dalil atas perkara kedua (tauhid uluhiyyah). Allah ta’ala berfirman:

أَمَّن جَعَلَ الأَرْضَ قَرَارًا وَجَعَلَ خِلالَهَا أَنْهَارًا وَجَعَلَ لَهَا رَوَاسِيَ وَجَعَلَ بَيْنَ البَحْرَيْنِ حَاجِزًا أَإِلَهٌ مَّعَ اللَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لاَ يَعْلَمُونَ.

“Atau siapakah yang telah menjadikan bumi sebagai tempat berdiam, dan yang menjadikan sungai-sungai di celah-celahnya, dan yang menjadikan gunung-gunung untuk (mengukuhkan)nya dan menjadikan suatu pemisah antara dua laut? Apakah di samping Allah ada ilah (sesembahan) yang lain? Bahkan (sebenarnya) kebanyakan dari mereka tidak mengetahui. (QS. An Naml : 61)

هذا ما وفقني الله إليه، وهو وحده من وراء القصد

Inilah yang –semoga- Allah memberikan taufik kepadaku terhadap tulisan ini, dan Dia-lah satu-satu-Nya yang menjadi tujuan …
————————————————
Tambahan:

قال الشيخ محمد صالح المنجد عن هذه القصة واهية:

Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid berkata tentang kisah yang lemah ini:

… انتهى من “البداية والنهاية” (۷/١١٤-١١۰). وهكذا رواه ابن عبد الحكم في فتوح مصر (ص١٦٥) واللالكائي في شرح اعتقاد أهل السنة (٦/٤٦٣) وابن عساكر في تاريخ دمشق (٤٤/٣٣٦) وأبو الشيخ في العظمة (٤/١٤۲٤) من طريق ابن لهيعة به.

… hingga akhir kisah di dalam kitab al-Bidayah wa an-Nihayah (7/114-115), dan demikian juga diriwayatkan oleh Ibn ‘Abd al-Hakim di kitab Futuh Mishri (halaman 165), al-Lalika-i di kitab Syarh I’tiqad Ahl as-Sunnah(6/463), Ibn ‘Asakir di kitab Tarikh Dimasyq (44/336), dan Abu asy-Syaikh di kitab al-‘Uzhmah (4/1424), dari jalan periwayatan Ibn Luhai’ah.

وهذا إسناد ضعيف لا يصح ، ولا يثبت بمثله هذا الخبر ، وابن لهيعة ، واسمه عبد الله بن لهيعة بن عقبة ، ضعيف كان قد اختلط ، وهو مع ذلك مدلس ، راجع “التهذيب (٥/٣۲۷-٣٣١)، ميزان الاعتدال (۲/٤٥۷-٤۸٤).

Sanad riwayat ini lemah, tidak shahih sehingga kabar di dalamnya tidak bisa ditetapkan dengan sanad seperti ini. Ibn Luhai’ah, namanya adalah ‘Abdullah bin Luhai’ah bin ‘Uqbah, perawi lemah yang hafalannya kacau (campur aduk). Selain itu, dia juga seorang yangmudallis. Silakan merujuk kitab at-Tahdzib (5/328-331) dan Mizan al-I’tidal (2/407-484).

وقيس بن الحجاج صدوق من الطبقة السادسة عند الحافظ ابن حجر ، وهم الذين لم يثبت لهم لقاء أحد من الصحابة. انظر: تقريب التهذيب (١/۲۰). وكان تارة يرويه مرسلا ، وتارة يرويه عمن حدثه ، ومن حدثه مجهول لا يعرف. فالخبر ضعيف لا يصح.

Dan Qais bin al-Hajjaj adalah perawi shaduq dari ath-thabaqah as-sadisah menurut al-Hafizh Ibn Hajar, dan thabaqat tersebut tidak ditetapkan bagi mereka pertemuan dengan salah seorang dari kalangan shahabat, silakan melihat Taqrib at-Tahdzib (1/25). Terkadang Qais bin al-Hajjaj itu meriwayatkan secaramursal dan terkadang pula meriwayatkan dariseseorang yang mengabarkan kepadanya, yakni dari seseorang yang majhul tanpa diketahui jati dirinya sehingga riwayat ini dha’if tidak memiliki validitas.