Kamis, 01 Mei 2014

syubhat mbah idrus seputar bid'ah


dia berkata : Menurut anda, Khalifah Umar menjelaskan kebid’ahan gagasan beliau tentang shalat Tarawih tersebut, apakah dalam kapasitas beliau sebagai ahli bahasa Arab, atau dalam kapasitas beliau sebagai Khalifah dan pemimpin umat Islam yang syar’i dan harus ditaati?

JAWAB :untuk menggunakan bid'ah secara bahasa nggak harus menjadi dosen bahasa mbah.karena memang umar orang arab tulen bukan kayak ente mbah.
bid'ah atau sunnah sangat sering digunakan secara bahasa sebagaimana perkataan imam syafi'i yg akan membungkam ente mbah
Al-Imam al-Syafi’i, seorang mujtahid pendiri madzhab al-Syafi’i menggunakan kata sunnah secara bahasa -saat beliau mengungkapkan sikapnya kepada sebagian ahli bid’ah (ahli ahwa`)- beliau berkata:

سُنَّتِي فِيهِ سُنَّةُ عُمَرَ فِي صَبِيغٍ

“Sunnahku (caraku) terhadap orang itu adalah sunnah Umar (cara Umar) terhadap Shabigh (yaitu dipukul dengan pelepah kurma dan diarak di kota serta diasingkan).”

 Anda masih ingat kaedah yang dibuat oleh Imam Syafi’i rahimahullah:

      مَا أُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أو أثراً أَوْ إِجْمَاعًا  فهذه بِدْعَةُ ضَّلالَةِ

      “Apa saja yang baru yang menyalahi al-Qur’an atau Sunnah atau atsar atau Ijma’, maka ini adalah bid’ah dhalalah (tersesat).”
      Oleh karena itu atsar dari sahabat termasuk sunnah, bukan bid’ah. Dalam hal ini ahlussunnah memiliki kaedah:
      Syaikh Zakariya ibn Ghulam al-Bakistani dalam kitab Ahkam al-Adzkar halaman 16, kaedah ke 14, mengatakan:
      “Dzikir yang terikat dengan waktu dan tempat yang datang dari sahabat bisa diamalkan. Dzikir-dzikir yang datang dari setelah mereka yaitu tabi’in dan atba’ tabi’in maka tidak diamalkan. Karena para ulama menyebutkan bahwa apa yang datang dari para sahabat dari hal yang tidak ada ruang bagi pendapat dan ijtihad di dalamnya maka hukumnya adalah marfu’. Dzikir adalah termasuk ibadah yang tidak ada ruang bagi pendapat, sehingga apa yang datang dari sahabat dari dzikir hukumnya dianggap marfu’ (termasuk ajaran Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam) dan menjadi hujjah. Adapun yang datang dari para tabi’in maka tidak dihukumi marfu’ tetapi ijtihad dari yang mengucapkannya dan tidak disyariatkan mengamalkannya, karena ia bukan hujjah.”

Tidak ada komentar: