كَانَ بِلَالٌ إِذَا أَرَادَ أَنْ يُقِيْمَ الصَّلَاةَ، قَالَ : السَّلَامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ، يَرْحَمُكَ اللَّهُ
Adalah Bilal apabila akan mengumandangkan iqamat, dia berkata: Keselematan bagimu wahai Nabi dan rahmat Allah serta keberkahannya, semoga Allah merahmatimu.
MAUDHU’. Diriwayatkan ath-Thabarani dalam al-Ausath (1/27),
“Menceritakan kepada kami Miqdam bin Dawud: Menceritakan kepada kami
Abdullah bin Muhammad al-Mughirah: Menceritakan kepada kami Kamil Abul
Ala’ dari Abu Shalih dari Abu Hurairah”, lalu berkata, “Hadits ini tidak
ada yang meriwayatkan dari Kamil kecuali Abdullah saja.”
Sanad ini maudhu’ (palsu). Sebabnya adalah Abdullah bin Muhammad bin Mughirah ini, hadits-haditsnya palsu sebagaimana dikatakan adz-Dzahabi. Demikian juga Miqdam bin Dawud, dia tidak terpercaya sebagaimana dikatakan Nasai
Ibnu Hajar al-Haitami berkata, “Guru-guru kami dan selain mereka telah ditanya tentang shalawat kepada Nabi setelah adzan seperti yang biasa dilakukan mayoritas muadzin. Mereka semua memfatwakan bahwa asalnya adalah sunnah tetapi kaifiat (tata cara) yang digunakannya adalah BID'AH.” Lanjutnya, “Hal itu karena adzan merupakan syi’ar Islam yang dinukil secara mutawatir sejak masa Nabi dan kata-katanya telah terhimpun dalam kitab-kitab hadits dan fiqih, disepakati oleh para imam kaum muslimin dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Adapun tambahan shalawat dan salam di akhirnya, maka itu merupakan kebid’ahan yang dibuat-buat oleh orang-orang belakangan.” [Al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah 1/191]
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Apa yang diada-adakan dari tasbih sebelum Subuh dan Jum’at serta ‘shalawatan’, bukanlah termasuk adzan baik secara bahasa maupun secara syar’i.” [Fathul Bari 2/99]
Al-Hajjawi berkata, “Bacaan-bacaan sebelum Subuh selain adzan berupa tasbih, nasyid, do’a, dan sebagainya bukanlah perkara sunnah. Tidak ada seorang ulama pun yang mengatakan hal itu sunnah, bahkan hal itu termasuk perkara bid’ah yang tercela karena tidak ada pada zaman Nabi dan para sahabatnya. Maka tidak boleh bagi seorang pun untuk memerintahkannya atau mengingkari orang yang meninggalkannya.” [Al-Iqna’ 1/77–78]
Ibnul Hajj berkata, “Para muadzin dilarang dari perkara-perkara baru berupa tasbih di waktu malam (sebelum subuh) sekalipun pada asalnya dzikir itu baik, namun bukanlah di tempat-tempat yang ditinggalkan oleh syari’at.” [Al-Madkhal 2/410] Beliau juga berkata, “Demikian juga pada hari Jum’at, hal itu dilarang karena Nabi tidak pernah melakukannya atau memerintahkannya dan tidak pernah juga dilakukan oleh seorang pun setelahnya dari generasi salaf.” [Al-Madkhal 2/417]
Sanad ini maudhu’ (palsu). Sebabnya adalah Abdullah bin Muhammad bin Mughirah ini, hadits-haditsnya palsu sebagaimana dikatakan adz-Dzahabi. Demikian juga Miqdam bin Dawud, dia tidak terpercaya sebagaimana dikatakan Nasai
Ibnu Hajar al-Haitami berkata, “Guru-guru kami dan selain mereka telah ditanya tentang shalawat kepada Nabi setelah adzan seperti yang biasa dilakukan mayoritas muadzin. Mereka semua memfatwakan bahwa asalnya adalah sunnah tetapi kaifiat (tata cara) yang digunakannya adalah BID'AH.” Lanjutnya, “Hal itu karena adzan merupakan syi’ar Islam yang dinukil secara mutawatir sejak masa Nabi dan kata-katanya telah terhimpun dalam kitab-kitab hadits dan fiqih, disepakati oleh para imam kaum muslimin dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Adapun tambahan shalawat dan salam di akhirnya, maka itu merupakan kebid’ahan yang dibuat-buat oleh orang-orang belakangan.” [Al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah 1/191]
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Apa yang diada-adakan dari tasbih sebelum Subuh dan Jum’at serta ‘shalawatan’, bukanlah termasuk adzan baik secara bahasa maupun secara syar’i.” [Fathul Bari 2/99]
Al-Hajjawi berkata, “Bacaan-bacaan sebelum Subuh selain adzan berupa tasbih, nasyid, do’a, dan sebagainya bukanlah perkara sunnah. Tidak ada seorang ulama pun yang mengatakan hal itu sunnah, bahkan hal itu termasuk perkara bid’ah yang tercela karena tidak ada pada zaman Nabi dan para sahabatnya. Maka tidak boleh bagi seorang pun untuk memerintahkannya atau mengingkari orang yang meninggalkannya.” [Al-Iqna’ 1/77–78]
Ibnul Hajj berkata, “Para muadzin dilarang dari perkara-perkara baru berupa tasbih di waktu malam (sebelum subuh) sekalipun pada asalnya dzikir itu baik, namun bukanlah di tempat-tempat yang ditinggalkan oleh syari’at.” [Al-Madkhal 2/410] Beliau juga berkata, “Demikian juga pada hari Jum’at, hal itu dilarang karena Nabi tidak pernah melakukannya atau memerintahkannya dan tidak pernah juga dilakukan oleh seorang pun setelahnya dari generasi salaf.” [Al-Madkhal 2/417]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar