Jumat, 23 Mei 2014

nikah syarat tidak poligami ala film KCB


syubhat :Saya hanya ingin mengajukan dua syarat yang menjadi syarat sahnya pernikahan. Keseluruhan diri saya akan halal bagi Mas Furqon jika kedua syarat tersebut dipenuhi. Pertama, setelah menikah saya harus tetap berada di lingkungan pesantren. Kedua, selama saya masih hidup dan bisa menunaikan tugas saya sebagai seorang istri, Mas Furqon tidak boleh menikah lagi… saya hanya ingin menjadi seperti Fathimah, putrid Kanjenga yang seumur hidupnya tidak pernah di madu oleh Sayyidina Ali. Saya ingin seperti Siti Khadijah yang selama berumah tangga dengan Rasulullah juga tidak pernah di madu. Sungguh Saya tida mengharamkan poligami tapiinilah syarat yang saya ajukan,ini seperti saya tidak suka suami saya makan bawang… (di kutip dari film KCB )
JAWAB :
Mengharukan! Ucapan seorang wanita Muslimah Sholehah bernama Ana Al-Thafun Nisa' yang katanya menukil dari kitab al-Mughni karya Ibn Qudamah. Sepintas kita rasakan kelapangan akan penghormatan islam kepada kaum hawa. Namun disisi lain, tercium adanya aroma perlawanan hukum islam itu sendiri yang jelas ijma' sepakat kehalalannya.
1) tentang berdalil kitab al mughni,kenapa mereka hanya memotongnya,padahal ada bantahan di baris selanjutnya.mereka hanya menukil:Persyaratan yang harus ditunaikan, yaitu persayaratan yang manfaatnya dan faedahnya kembali kepada sang wanita. Misalnya sang wanita mempersayatkan agar sang suami tidak membawanya merantau atau tidak berpoligami. Maka wajib bagi sang suami untuk memenuhi dan menunaikan persyaratan ini. Jika sang suami tidak menunaikan syarat ini maka sang wanita berhak untuk membatalkan tali pernikahan. Pendapat ini diriwayatkan dari Umar bin Al-Khottoob, Sa'ad bin Abi Waqqoosh, Mu'aawiyah, dan 'Amr bin Al-'Aash radhiallahu 'anhum. (lihat Al-Mughni 7/448)
padahal Berikut Ta'bir lengkap dari kitab al-Mughny:
وجملة ذلك أن الشروط في النكاح تنقسم أقساما ثلاثة : أحدها : ما يلزم الوفاء به وهو ما يعود إليها نفعه وفائدته مثل أن يشترط لها أن لا يخرجها من دارها أو بلدها أو لا يسافر بها ولا يتزوج عليها ولا يتسرى عليها فهذا يلزمه الوفاء لها به فإن لم يفعل فلها فسخ النكاح يروى هذا عن عمر بن الخطاب رضي الله عنه وسعد بن أبي وقاص ومعاوية وعمرو بن العاص رضي الله عنهم وبه قال شريح وعمر بن عبد العزيز و جابر بن زبد و طاوس و الأوزاعي و إسحاق وأبطل هذه الشروط الزهري و قتادة و هشام بن عروة و مالك و الليث و الثوري و الشافعي و ابن المنذر وأصحاب الرأي قال أبوحنيفة و الشافعي ويفسد المهر دون العقد ولها مهر المثل واحتجوا بقول النبي صلى الله عليه و سلم : [ كل شرط ليس في كتاب الله فهو باطل وإن كان مائة شرط ] وهذا ليس في كتاب الله لأن الشرع لا يقتضيه و [ قال النبي صلى الله عليه و سلم : المسلمون على شروطهم إلا شرطا أحل حراما أو حرم حلالا ] وهذا يحرم الحلال وهو التزويج والتسري والسفر ولأن هذا شرط ليس من مصلحة العقد ولا مقتضاه ولم يبن على التغليب والسراية فكان فاسدا كما لو شرطت أن لا تسلم نفسها...
Sudah sangat jelas! Bahwa syarat yang diajukan Ana tidak bisa di pertanggung jawabkan. Karena Az- Zuhri, Qatadah, Hisyam, Al-Laits, Ibn Mundzir, As-Tsauri, Malik, Syafi'ie, Abu Hanifah telah membatalkan syarat tersebut dengan argumentasi yang begitu logis dan syar'i. Di tambah lagi dalil bagi kelompok yang membolehkan memakai Shighat Tamridl يروى (Yurwa), shighat yang menjurus pada lemahnya riwayat.
Tentang klaim ijma', bukankah Ibn Mundzir punya kitab " ijma' " yang menjadi rujukan para ulama' dan Ibn Qudamah, namun beliau tidak pernah menyertakan syarat ini sebagai ijma', atau kita ingin katakan, bahwa Ibn Mundzir sang pakar ijma' ini, Abu Hanifah, Malik, dan Syafi'i cs telah melanggar ijma' ? ya,Mereka telah melanggar ijma' dari riwayat yang tidak bisa di pertanggung jawabkan.
2)berdalil fatwa sahabat
a. Seseorang berkata kepada Umar: Saya menikahi seorang wanita dan dia menetapkan syarat berkaitan dengan rumahnya dan agar saya tidak mengajaknya safar. Namun saya harus bersafar bersamanya ke daerah ini dan itu. Maka Umar menjawab: Dia berhak dengan syarat tersebut (yakni: kamu harus penuhi syaratnya). Seorang mu’min itu terikat dengan syarat-syaratnya. (At-Tirmidzi dan Bihaqi)
Semisal dengan ini berfatwa Abdullah bin Mas’ud.
b. Maula Nafi’ bin Utbah bin Abi Waqqash: Saya melihat Sa’ad bin Abi Waqqash menikahkan putrinya dengan seorang pria dari kalangan penduduk Syam dan menetapkan syarat agar putrinya tidak dibawa pindah. (Ibnu Abdil Barr)
Semisal dengan ini Mu’awiyah dan Amr bin Al-Ash memfatwakan: Wajib bagi suami untuk memenuhi apa yang telah dipersyaratkan kepadanya.
KITA JAWAB : atsar yang dinukil keluar dari topik pembahasan, Kharaja min maudhi’in Niza’. Hal itu karena syarat yang diminta oleh istri bukanlah untuk tidak dipoligami, atau yang semisal dalam hukum, akan tetapi syarat yang ada dalam atsar tersebut adalah syarat yang mubah. Dalam atsar yang pertama, yang disyaratkan adalah “berkaitan dengan rumahnya dan agar saya tidak mengajaknya safar”, yang merupakan hal yang mubah, begitu juga dengan “syarat agar putrinya tidak dibawa pindah” yang ditetapkan oleh Sa’ad bin Abi Waqqash.ALIAS GAK NYAMBUNG
3) berdalil dengan riwayat fatimah yang tidak boleh dimadu.maka ini kesalahan besar.ia lupa riwayat lain dalam Shohih Muslim (2449), “Sesungguhnya aku tidak mengharamkan yang halal dan tidak menghalalkan yang haram. Tapi, demi Allah, tidak akan berkumpul putri Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- dengan putri musuh Allah selamanya”. Artinya, Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- tidak mengharamkan atas umatnya sesuatu yang halal, yaitu poligami akan tetapi beliau tidak menyukai bahwa Fathimah radhi’allahu’anha, disandingkan dengan putri musuh Allah. Selain itu, Syaikh Al-Adawiy dalam Fiqh Ta’addud Az-Zaujat (126) berkata, “Di antara kekhususan Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, putrinya tidak boleh dimadu. Ini yang dikuatkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fath Al-Bari (9/329)”.
Perlu diketahui bahwa para sahabat sepeninggal Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, bahkan Ali sendiri berpoligami setelah Fathimah wafat. Ali bin Rabi’ah berkata, “Dulu Ali memiliki dua istri”. [HR. Ahmad dalam Fadho'il Ash-Shohabah (no.889)]. Ini menunjukkan bahwa poligami tetap diamalkan oleh para sahabat sepeninggal Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, bukan bersifat kondisional !!
4) menyamakan hukum poligami dengan makan bawang,maka jelas pelecehan.bawang kemakruhannya jelas,sedang poligami apakah makruh,jelas ini qiyas ma'al fariq,permisalah yg jauh berbeda.
5)poligami adalah hak penuh suami,istri tidak punya hak untuk membatasi sehingga harus minta izin ke istri dulu.
oleh karena ibnu qudamah berkata : مثل أن يشترط لها أن لا يخرجها من دارها أو بلدها أو لا يسافر بها ولا يتزوج عليها jadi jika yang memberi syarat adalah suami,maka silahkan saja karena itu memang hak suami bukan pada istri.kalau dari suami itu namanya pelepasan haknya.kalau dari istri namanya membatasi syariat yang bukan haknya.
itulah kalau membaca dari terjemahan saja,ya tergantung yang menerjemahin.
Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
وَالْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُرُوْطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا
"Dan kaum muslimin tetap berada diatas persyaratan mereka (tidak menyelishinya-pen), kecuali persyaratan yang mengharamkan perkara yang halal atau menghalalkan perkara yang haram" (HR At-Thirimidzi no 1352 dan Abu Dawud no 3596 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)

Tidak ada komentar: