Statement Nusron Wahid di ILC TV One (11/12/16) tadi malam mengaku
bahwa dia seorang yang pernah belajar sastra dan tafsir di salah satu
perguruan tinggi Islam, namun pada kenyataannya teori yang
dikemukakannya berdasarkan analisa teks bertolak belakang dengan teori
sesungguhnya.
Dia katakan bahwa sebuah teks hanya diketahui oleh pemilik teks dan hanya pembuatnya yang berhak menafsirkannya. Jika demikian teks al-Qur’an hanya benar-benar diketahui oleh Allah semata dan hanya Allah yang mutlak menafsirkan, lantas apa gunanya al-Qur’an diturunkan jika tidak bisa dipahami?!!
Hal ini paradoks dengan kaidah yang biasa dipegang oleh para pentakwil liberal. Di dalam ilmu Nash [textologi] para pentakwil liberal biasanya mengandalkan kaidah نصك ليس ملكك “Teks Anda bukanlah milik Anda secara mutlak” artinya sebuah teks entah itu ayat suci atau teks puisi dan lain sebagainya bukanlah milik si penulisnya sepenuhnya yang memungkinkan setiap pembaca untuk menafsirkannya. Teori diatas adalah senjata para kaum liberal untuk menafsirkan al-Qur’an sekehendak mereka. Seharusnya Nusron tetap berpegang pada kaidah ini sebagai orang yang memiliki haluan liberal dalam pemikiran.
Lucunya, dia malah membantah dan menggunakan pembenaran lainnya demi membela kepentingan syahwat politiknya. Dari sini statement tadi malam, publik semakin melihat tampak “kebodohanya” ketika berbicara dalam konteks sastra maupun ilmu tafsir. Apalagi syahwat politiknya yang memuncak dan cenderung menghalalkan segala cara.
Begitu pula saat Nusron berbicara bahwa tidak ada para penafsir yang menafsirkan bahwa kata “Aulia” di dalam surah al-Maidah 51 itu bermakna “Pemimpin”, pernyataan ini paradoks dengan faktanya. Dalam Mu’jam al-Wasith kata Aulia merupakan plural/jamak dari kata Wali. Salah satu makna wali adalah wali al-amr yang berarti pemimpin.
Ketika menafsirkan surah al-Maidah 51, para mufasir sepakat bahwa kata Aulia di sana bermakna pemimpin. Di dalam Tafsir Jalalain, Imam Suyuthi menjelaskan kata aulia di sana adalah pemimpin dalam segala aspek. Imam Baghawi dalam tafsir Baghawi pun menafsirkan hal yang sama. Demikian pula tafsir kontemporer semisal Imam as-Sa’adi juga menafsirkan bahwa kata Aulia di sana adalah mengangkat pemimpin dalam pengertian yang umum dan luas. Lebih lengkap baca juga artikel berikut:
Hampir semua tafsir, baik klasik maupun kontemporer sepakat bahwa kata “Aulia” bermakna pemimpin. Lucunya Nusron tadi malam mengatakan tidak ada para penafsir yang mengatakan demikian. Pertanyaannya dimanakah Nusron Wahid saat gurunya menjelaskan ayat ini, jadi sampai tidak membaca keterangan para mufasir atau jangan-jangan dia telah melakukan pembohongan publik dengan mengatakan pernah belajar, tapi justru bertentangan dengan teori yang ada. Seharusnya Nusron yang tidak memilki kapasitas berbicara ilmu sastra Arab dan ilmu tafsir tidak usah berbicara tentang teori, karena jika teorinya keliru maka publik akan semakin melihat kekonyolannya.
Tak jauh berbeda, ketika Nusron berargumen bahwa di Pemerintah Daulah Islamiyyah Utsmaniyyah di Turki pernah ada seorang Gubernur Kristen yang diangkat oleh Khalifah. Argumen ini seakan menjadi pembenaran mutlak bahwa Islam tidak melarang mengangkat seorang pemimpin muslim di tengah mayoritas muslim. Spekulasi informasi itu belum lagi dikaji secara runtut kronlogis yang melatar belakanginya. Gubernur non-Muslim yang ditunjuk oleh kekhalifahan Daulah Ustmaniyyah memang untuk memimpin wilayah non-muslim sendiri. Jadi di sini Nusron tidak cermat saat berbicara fakta sejarah.
Jika dia mau membaca lebih teliti lagi, memang diantara para pendapat Imam Mazhab seperti Imam Syafi’e, Imam Hanbali dan Hanafi pada dasarnya memperbolehkan mengangkat pemimpin non-muslim dengan syarat. Pertama: Selama di satu wilayah muslim tidak ada yang mampu mengemban tugas sebagai seorang teknorat atau birokrat yang mengerti sistem pemerintahan. Kedua: Selama orang non-muslim yang dimaksudkan adalah kafir dzimmi yang tidak memusuhi Islam.
Nah kedua persyarat ini tidak terdapat dalam diri Ahok. Saat ini masih banyak pemimpin muslim yang bisa setara, bahkan menandingi Ahok. Sebut saja, Ridwan Kamil walikota Bandung atau Ibu Risma walikota Surabaya. Sedangkan Ahok dengan statementnya beberapa hari yang dinilai telah melecehkan al-Qur’an dan umat Islam jelas menunjukkan sikap permusuhannya terhadap Islam. Jadi sekali lagi, jelaslah bahwa statement Nusron sangat mudah terbantahkan dan menunjukkan dia bukanlah orang yang tepat berbicara tentang kepemimpinan Islam.
Source: miftahelbanjary
Dia katakan bahwa sebuah teks hanya diketahui oleh pemilik teks dan hanya pembuatnya yang berhak menafsirkannya. Jika demikian teks al-Qur’an hanya benar-benar diketahui oleh Allah semata dan hanya Allah yang mutlak menafsirkan, lantas apa gunanya al-Qur’an diturunkan jika tidak bisa dipahami?!!
Hal ini paradoks dengan kaidah yang biasa dipegang oleh para pentakwil liberal. Di dalam ilmu Nash [textologi] para pentakwil liberal biasanya mengandalkan kaidah نصك ليس ملكك “Teks Anda bukanlah milik Anda secara mutlak” artinya sebuah teks entah itu ayat suci atau teks puisi dan lain sebagainya bukanlah milik si penulisnya sepenuhnya yang memungkinkan setiap pembaca untuk menafsirkannya. Teori diatas adalah senjata para kaum liberal untuk menafsirkan al-Qur’an sekehendak mereka. Seharusnya Nusron tetap berpegang pada kaidah ini sebagai orang yang memiliki haluan liberal dalam pemikiran.
Lucunya, dia malah membantah dan menggunakan pembenaran lainnya demi membela kepentingan syahwat politiknya. Dari sini statement tadi malam, publik semakin melihat tampak “kebodohanya” ketika berbicara dalam konteks sastra maupun ilmu tafsir. Apalagi syahwat politiknya yang memuncak dan cenderung menghalalkan segala cara.
Begitu pula saat Nusron berbicara bahwa tidak ada para penafsir yang menafsirkan bahwa kata “Aulia” di dalam surah al-Maidah 51 itu bermakna “Pemimpin”, pernyataan ini paradoks dengan faktanya. Dalam Mu’jam al-Wasith kata Aulia merupakan plural/jamak dari kata Wali. Salah satu makna wali adalah wali al-amr yang berarti pemimpin.
Ketika menafsirkan surah al-Maidah 51, para mufasir sepakat bahwa kata Aulia di sana bermakna pemimpin. Di dalam Tafsir Jalalain, Imam Suyuthi menjelaskan kata aulia di sana adalah pemimpin dalam segala aspek. Imam Baghawi dalam tafsir Baghawi pun menafsirkan hal yang sama. Demikian pula tafsir kontemporer semisal Imam as-Sa’adi juga menafsirkan bahwa kata Aulia di sana adalah mengangkat pemimpin dalam pengertian yang umum dan luas. Lebih lengkap baca juga artikel berikut:
Hampir semua tafsir, baik klasik maupun kontemporer sepakat bahwa kata “Aulia” bermakna pemimpin. Lucunya Nusron tadi malam mengatakan tidak ada para penafsir yang mengatakan demikian. Pertanyaannya dimanakah Nusron Wahid saat gurunya menjelaskan ayat ini, jadi sampai tidak membaca keterangan para mufasir atau jangan-jangan dia telah melakukan pembohongan publik dengan mengatakan pernah belajar, tapi justru bertentangan dengan teori yang ada. Seharusnya Nusron yang tidak memilki kapasitas berbicara ilmu sastra Arab dan ilmu tafsir tidak usah berbicara tentang teori, karena jika teorinya keliru maka publik akan semakin melihat kekonyolannya.
Tak jauh berbeda, ketika Nusron berargumen bahwa di Pemerintah Daulah Islamiyyah Utsmaniyyah di Turki pernah ada seorang Gubernur Kristen yang diangkat oleh Khalifah. Argumen ini seakan menjadi pembenaran mutlak bahwa Islam tidak melarang mengangkat seorang pemimpin muslim di tengah mayoritas muslim. Spekulasi informasi itu belum lagi dikaji secara runtut kronlogis yang melatar belakanginya. Gubernur non-Muslim yang ditunjuk oleh kekhalifahan Daulah Ustmaniyyah memang untuk memimpin wilayah non-muslim sendiri. Jadi di sini Nusron tidak cermat saat berbicara fakta sejarah.
Jika dia mau membaca lebih teliti lagi, memang diantara para pendapat Imam Mazhab seperti Imam Syafi’e, Imam Hanbali dan Hanafi pada dasarnya memperbolehkan mengangkat pemimpin non-muslim dengan syarat. Pertama: Selama di satu wilayah muslim tidak ada yang mampu mengemban tugas sebagai seorang teknorat atau birokrat yang mengerti sistem pemerintahan. Kedua: Selama orang non-muslim yang dimaksudkan adalah kafir dzimmi yang tidak memusuhi Islam.
Nah kedua persyarat ini tidak terdapat dalam diri Ahok. Saat ini masih banyak pemimpin muslim yang bisa setara, bahkan menandingi Ahok. Sebut saja, Ridwan Kamil walikota Bandung atau Ibu Risma walikota Surabaya. Sedangkan Ahok dengan statementnya beberapa hari yang dinilai telah melecehkan al-Qur’an dan umat Islam jelas menunjukkan sikap permusuhannya terhadap Islam. Jadi sekali lagi, jelaslah bahwa statement Nusron sangat mudah terbantahkan dan menunjukkan dia bukanlah orang yang tepat berbicara tentang kepemimpinan Islam.
Source: miftahelbanjary
Tidak ada komentar:
Posting Komentar