perkataan Imam Asy-Syafi’i -rahimahullah-:
اَلْبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ : بِدْعَةٌ مَحْمُوْدَةٌ وَبِدْعَةٌ مَذْمُوْمَةٌ, فَمَا وَافَقَ السُّنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدٌ وَمَا خَالَفَ السُّنَّةَ فَهُوَ مَذْمُوْمٌ
“Bid’ah itu ada dua: Bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela. Semua yang sesuai dengan sunnah, maka itu adalah terpuji, dan semua yang menyelisihi sunnah, maka itu adalah tercela.” (Riwayat Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (9/113))
Semakna dengannya, apa yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Manaqib Asy-Syafi’i (1/469) bahwa beliau berkata:
اَلْمُحْدَثَاتُ ضَرْبَانِ : مَا أُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ أَثَرًا أَوْ إِجْمَاعًا فَهَذِهِ بِدْعَةُ الضَّلاَلِ, وَمَا أُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ يُخَالِفُ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَهَذِهِ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ
“Perkara yang baru ada dua bentuk: (Pertama) Apa yang diada-adakan dan menyelisihi kitab atau sunnah atau atsar atau ijma’, inilah bid’ah yang sesat. Dan (yang kedua) apa yang diada-adakan berupa kebaikan yang tidak menyelisihi sesuatupun dari hal tersebut, maka inilah perkara baru yang tidak tercela”.
Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi -hafizhahullah- dalam ‘Ilmu Ushulil Bida’ hal. 121 mengomentari kedua perkataan Asy-Syafi’i di atas, “Di dalam sanad-sanadnya terdapat rawi-rawi yang majhul (tidak diketahui)”.
Hal ini karena di dalam sanad Abu Nu’aim terdapat rawi yang bernama Abdullah bin Muhammad Al-Athasi. Al-Khathib dalam Tarikh Baghdad dan As-Sam’ani dalam Al-Ansab menyebutkan biografi orang ini dan keduanya tidak menyebutkan adanya pujian ataupun kritikan terhadapnya sehingga dia dihukumi sebagai rawi yang majhul. Adapun dalam sanad Al-Baihaqi, ada Muhammad bin Musa bin Al-Fadhl yang tidak didapati biografinya. Ini disebutkan oleh Syaikh Salim Al-Hilali dalam Al-Bida’ wa Atsaruhas Sayyi` alal Ummah hal. 63.
قال مالك: لا، والله حتى يصيب الحق، ما الحق إلا واحد، قولان مختلفان يكونان صوابًا جميعًا؟ ما الحق والصواب إلا واحد. Imam Malik berkata “Tidak,demi Allah, hingga ia mengambil yang benar. Kebenaran itu hanya satu. Dua pendapat yang berbeda tidak mungkin keduanya benar, sekali lagi kebenaran itu hanya satu
Kamis, 31 Maret 2016
pelaku bid'ah bukan pengikut nabi yg setia
Mengerjakan yg tidak diperintahkan tanda bukan pengikut nabi
Memerangi mereka tanda iman
Kewajiban mukmin melawan mereka dg segenap upaya
Yang tidak memerangi mereka dipertanyakan keimanannya
Memerangi mereka tanda iman
Kewajiban mukmin melawan mereka dg segenap upaya
Yang tidak memerangi mereka dipertanyakan keimanannya
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ (مَا مِنْ نَبِيٍّ بَعَثَهُ اللَّهُ فِي أُمَّةٍ قَبْلِي إِلَّا كَانَ لَهُ مِنْ أُمَّتِهِ حَوَارِيُّونَ وَأَصْحَابٌ يَأْخُذُونَ بِسُنَّتِهِ وَيَقْتَدُونَ بِأَمْرِهِ ثُمَّ إِنَّهَا تَخْلُفُ مِنْ بَعْدِهِمْ خُلُوفٌ يَقُولُونَ مَا لَا يَفْعَلُونَ وَيَفْعَلُونَ مَا لَا يُؤْمَرُونَ فَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِيَدِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِلِسَانِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِقَلْبِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَيْسَ وَرَاءَ ذَلِكَ مِنْ الْإِيمَانِ حَبَّةُ خَرْدَلٍ)
Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radliyallaahu ‘anhubahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallambersabda : “Tidak ada seorang Nabi pun yang diutus Allah kepada suatu umat sebelumku melainkan dari umatnya itu terdapat orang-orang yang menjadi pengikut (hawariyyun) dan shahabatnya yang mereka mengambil sunnahnya dan mentaati perintahnya. Kemudian setelah itu terjadi kebusukan/perselisihan dimana mereka mengatakan sesuatu yang tidak mereka kerjakan dan mengerjakan sesuatu yang TIDAK DI PERINTAHKAN. Barangsiapa yang MEMERANGI mereka dengan tangannya, maka ia seorang MUKMIN. Barangsiapa yang memerangi mereka dengan lisannya maka ia seorang mukmin. Dan barangsiapa yang memerangi mereka dengan hatinya, ia juga seorang mukmin. Selain itu, maka tidak ada keimanan sebesar biji sawipun”[HR. Muslim no. 50 dan Ahmad 1/458 no. 4379, 1/461 no. 4402].
kambing hewan syurga
disebutkan dalam riwayat, dari Kaisan, bahwa beliau pernah berjumpa dengan Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu,
“Mau kemana?” tanya Abu Hurairah.
“Mau ke kambing-kambingku.” Jawab Kaisan.
Lalu Abu Hurairah berpesan,
نَعَمْ، امْسَحْ رُعَامَهَا، وَأَطِبْ مُرَاحَهَا، وَصَلِّ فِي جَانِبِ؛ مُرَاحِهَا، فَإِنَّهَا مِنْ دَوَابِّ الْجَنَّةِ
“Bagus, bersihkan mulut dan hidungnya, perbagus kandangnya, dan shalatnya di sebelah kandangnya, karena kambing adalah hewan surga.” (HR. Ahmad 9625 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).
Dalam salah satu riwayat disebutkan:
صَلُّوا فِي مُرَاحِ الْغَنَمِ، وَامْسَحُوا رُغَامَهَا فَإِنَّهَا مِنْ دَوَابِّ الْجَنَّةِ
Shalatlah kalian di kandang kambing dan usaplah ingusnya sebab ia adalah termasuk hewan surga. HR. Al-Baihaqi di Sunan al-Kubro 2/630 dan yang lainnya. Hadits ini dinilai oleh syaikh al-Albani bisa dijadikan hujjah, lihat silsilah al-Ahadits ash-Shahihah 3/120 no.1128
syaikh idahram kebanggaan NU Garis lurus suka sumpah pocong
Menanggapi tudingan tersebut Syaikh Idahram kepada NUGarisLurus.Com menyatakan beliau bukan syiah dan siap bermubahalah dengan orang yang menuduhnya syiah.
” Wahabi menuduh saya Syiah dan pendusta, tanpa bukti yang cukup. Setahu saya Syiah itu nggak tahlilan, nggak yasinan, nggak sholat jumat kecuali di masjid ibukota, nggak ucap amin, nggak sedakep sholat. waktu sholatnya pun sering atau selalu di jamak. Jika saya Syiah, mudah saja, sadap aja HP saya, selidiki adakah link syiah dan sahabat -sahabat syiah saya? Atau saya bermubahalah dengan orang yang menuduh syiah di depan khalayak. Mari kita bersumpah POCONG di hadapan Allah S.W.T Itu klarifikasi saya. Ke depan insyaallah saya akan tulis buku berjudul “Saya bukan syiah” atau buku yang mengkritisi syiah. Terimakasih banyak, Kata Ustadz Marhadi, Rabu 24 Juni 2015.
Mengenai tudingan takut dengan nama pena Syaikh Idahram, Ustadz Marhadi juga menyatakan bahwa nama pena adalah sah dan tidak perlu dimasalahkan.
sunnah jima' pagi hari jum'at
Terdapat sebuah hadis yang mengisyaratkan anjuran hubungan intim di malam jumat,
Dari Aus bin Abi Aus radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Dari Aus bin Abi Aus radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
من اغتسل يوم الجمعة وغسّل وغدا وابتكر ومشى ولم يركب ودنا من الإمام وأنصت ولم يلغ كان له بكل خطوة عمل سنة
“Barang siapa yang mandi pada hari Jumat dan memandikan, dia berangkat pagi-pagi dan mendapatkan awal khotbah, dia berjalan dan tidak berkendaraan, dia mendekat ke imam, diam, serta berkonsentrasi mendengarkan khotbah maka setiap langkah kakinya dinilai sebagaimana pahala amalnya setahun.” (H.R. Ahmad, An-Nasa’i, dan Ibnu Majah; dinilai sahih oleh Imam An-Nawawi dan Syekh Al-Albani)
Sebagian ulama mengatakan, “Kami belum pernah mendengar satu hadis sahih dalam syariat yang memuat pahala yang sangat banyak selain hadis ini.” Karena itu, sangat dianjurkan untuk melakukan semua amalan di atas, untuk mendapatkan pahala yang diharapkan.” (Al-Mirqah, 5:68)
Disebutkan dalam Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abu Daud, bahwa ada sebagian ulama yang mengartikan kata “memandikan” dengan ‘menggauli istri’, karena ketika seorang suami melakukan hubungan intim dengan istri, berarti, dia memandikan istrinya. Dengan melakukan hal ini sebelum berangkat shalat Jumat, seorang suami akan lebih bisa menekan syahwatnya dan menahan pandangannya ketika menuju masjid. (Lihat Aunul Ma’bud, 2:8)
Jika kita menganggap pendapat ini adalah pendapat yang kuat maka anjuran melakukan hubungan intim di hari Jumat seharusnya dilakukan sebelum berangkat shalat Jumat di siang hari, bukan di malam Jumat, karena batas awal waktu mandi untuk shalat Jumat adalah setelah terbit fajar hari Jumat.
Rabu, 30 Maret 2016
fitnah:syeikh utsaimin melegalkan dzikir keras berjamaah
Syubhat:
Jawaban:
Jelas sekali boleh dikeraskan jika tidak mengganggu.
Adapun bersama/ berjamaah itu jelas bid'ahnya.
Syaikh Utsaimin ditanya tentang hukum mengulang-ulang dzikir sunnah setelah sholat secara bersama-sama (satu suara)?
Ini adalah Bid'ah, tidak ada tuntunannya dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, akan tetapi yang ada tuntunannya adalah setiap orang beristighfar dan berdzikir sendiri. Akan tetapi yang sunnah adalah mengeraskan dzikir (dengan suara keras yang tidak mengganggu yang lain.pent) Majmu' Fatawa wa Rasail Al-Utsaimin 13/261
Syaikh Muhammad ibnu Sholih al-Utsaimin (ulama Salafi Wahabi nomor dua setelah Bin Baz) dalam kitab Majmu Fatawa wa Rasa`il asy-Syaikh Muhammad Shalih al-Utsaimin (kumpulan fatwa-fatwa dan risalah-risalah Syaikh Ibnu Utsaimin) volume 13 halaman 182-184, perihal mengeraskan zikir selepas shalat wajib mengatakan:
إن الجهر بالذكر بعد الصلوات المكتوبة سنة، دل عليها ما رواه البخاري من حديث عبد الله بن عباس – رضي الله عنهما – أن رفع الصوت بالذكر حين ينصرف الناس من المكتوبة كان على عهد النبي صلى الله عليه وسلم قال: “وكنت أعلم إذا انصرفوا بذلك إذا سمعته”. ورواه الإمام أحمد وأبو داود.
وهذا الحديث من أحاديث العمدة، وفي الصحيحين من حديث المغيرة بن شعبة – رضي الله عنه – قال: سمعت النبي صلى الله عليه وسلم يقول إذا قضى الصلاة: “لا إله إلا الله وحده لا شريك له”. الحديث، ولا يسمع القول إلا إذا جهر به القائل. وقد اختار الجهر بذلك شيخـ الإسلام ابن تيميه -رحمه الله- وجماعة من السلف، والخلف، لحديثي ابن عباس، والمغيرة رضي الله عنهم.
والجهر عام في كل ذكر مشروع بعد الصلاة سواء كان تهليلاً، أو تسبيحاً، أو تكبيراً، أو تحميداً لعموم حديث ابن عباس، ولم يرد عن النبي صلى الله عليه وسلم التفريق بين التهليل وغيره بل جاء في حديث ابن عباس أنهم يعرفون انقضاء صلاة النبي صلى الله عليه وسلم بالتكبير، وبهذا يعرف الرد على من قال لا جهر في التسبيح والتحميد والتكبير.
وأما من قال: إن الجهر بذلك بدعة فقد أخطأ فكيف يكون الشيء المعهود في عهد النبي صلى الله عليه وسلم بدعة؟!… وأما احتجاج منكر الجهر بقوله تعالى: (وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعاً وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ). فنقول له: إن الذي أمر أن يذكر ربه في نفسه تضرعاً وخيفة هو الذي كان يجهر بالذكر خلف المكتوبة، فهل هذا المحتج أعلم بمراد الله من رسوله، أو يعتقد أن الرسول صلى الله عليه وسلم يعلم المراد ولكن خالفه؟!…
وأما احتجاج منكر الجهر أيضاً بقوله صلى الله عليه وسلم: “أيها الناس اربعوا على أنفسكم”. الحديث فإن الذي قال: “أيها الناس أربعوا على أنفسكم” هو الذي كان يجهر بالذكر خلف الصلوات المكتوبة، فهذا له محل، وذاك له محل، وتمام المتابعة أن تستعمل النصوص كل منها في محله…
أما من قال: إن في ذلك تشويشاً فيقال له: إن أردت أنه يشوش على من لم يكن له عادة بذلك، فإن المؤمن إذا تبين له أن هذا هو السنة زال عنه التشويش، إن أردت أنه يشوش على المصلين، فإن المصلين إن لم يكن فيهم مسبوق يقضي ما فاته فلن يشوش عليهم رفع الصوت كما هو الواقع، لأنهم مشتركون فيه.
وإن كان فيهم مسبوق يقضي فإن كان قريباً منك بحيث تشوش عليه فلا تجهر الجهر الذي يشوش عليه لئلا تلبس عليه صلاته، وإن كان بعيداً منك فلن يحصل عليه تشوش بجهرك.
وبما ذكرنا يتبين أن السنة رفع الصوت بالذكر خلف الصلوات المكتوبة، وأنه لا معارض لذلك لا بنص صحيح ولا بنظر صريح، وأسأل الله تعالى أن يرزقنا جميعاً العلم النافع والعمل الصالح، إنه قريب مجيب، وصلى الله وسلم على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين.
Sesungguhnya mengeraskan zikir saat selesai shalat wajib adalah sunnah, hal itu telah diterangkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, dari hadisnya Abdullah ibnu Abbas radhiyallahu anhuma (ia mengatakan) “Sesungguhnya mengeraskan zikir saat selesai dari shalat wajib, itu telah ada di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” Ibnu Abbas juga mengatakan, “Aku tahu selesainya shalat mereka itu, saat kudengar (suara zikir keras berjamaah) itu”. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Dawud. Hadis ini termasuk diantara hadis-hadis utama (dalam masalah ini).
Dalam kitab shahihain, dari hadisnya al-Mughirah ibnu Syu’bahradhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku pernah mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam jika selesai shalat (wajib), beliau membaca zikir “lâ ilâha illawlâhu wahdahû lâ syarîka lah…” (al-Hadis). Dan dia tidak akan mendengar bacaan zikir itu kecuali orang yang mengucapkannya mengeraskan suaranya. (Bahkan) Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dan sekelompok ulama salaf telah memilih pendapat (sunnahnya) mengeraskan zikir, dengan dasar dua hadis, yakni hadisnya Ibnu Abbas dan al-Mughi rahradhiyallahu ‘anhum.
Mengeraskan zikir di sini, berlaku umum untuk semua zikir setelah shalat yang disyariatkan, baik itu berupa tahlil, atau tasbih, atau takbir, atau tahmid. Karena umumnya redaksi hadis Ibnu Abbas. Dan tidak ada keterangan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang membedakan antara tahlil dan yang lainnya. Bahkan dalam hadisnya Ibnu Abbas dikatakan, bahwa para sahabat dahulu tahu selesainya shalat Nabishallallahu ‘alaihi wasallam dengan takbir. Keterangan ini, membantah orang yang berpendapat tidak bolehnya mengeraskan suara kecuali pada tasbih, tahmid dan takbir.
Adapun orang yang mengatakan, bahwa mengeraskan (zikir setelah shalat) itu bid’ah, maka sungguh ia salah, karena bagaimana mungkin sesuatu yang ada di zaman Nabishallallahu ‘alaihi wasallam dikatakan bid’ah?!
Adapun orang yang mengingkari amalan mengeraskan (zikir setelah shalat ini) dengan firman-Nya: “Sebutlah (wahai Muhammad) nama Tuhanmu di dalam dirimu, dengan rendah hati dan suara yang lirih serta tidak mengeraskan suara, ketika pagidan petang. Dan janganlah kamu menjadi orang yang lalai” (QS. al-A’raf[7]: 205). Maka bisa dijawab dengan mengatakan: Sesungguhnya orang yang telah diperintahkan untuk berzikir dalam dirinya dengan rendah hati dan suara lirih (yaitu Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam), beliau juga orang yang telah mengeraskan zikir setelah shalat wajib. Lalu apakah orang itu (orang yang mengingkarizikir keras berjamaah) lebih tahu maksud Allah dalam ayat itu melebihi rasul-Nya?! Ataukah ia beranggapan bahwa Rasululullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebenarnya tahu maksud ayat itu, tapi beliau sengaja menyelisihinya?!
Adapun orang yang mengingkari amalan mengeraskan (zikir setelah shalat ini) dengan sabda beliaushallallahu ‘alaihi wasallam: “Wahai manusia, sayangilah diri kalian, karena kalian tidaklah berdoa kepada Dzat yang tuli…! (sampai akhir hadis)”. Maka bisa dijawab dengan mengatakan: Sesungguhnya orang yang menyabdakan hal itu, dia jugaorang yang dulunya mengeraskan zikir setelah shalat wajib ini. Itu berarti, tuntunan ini punya tempatnya masing-masing, sedangkan yang itu juga ada tempatnya masing-masing. Dan sempurnanya mengikuti sunnah beliau adalah dengan memakai semua nash yang ada, pada tempatnya masing-masing.
Adapun orang yang mengatakan bahwa amalan itu bisa mengganggu orang lain, maka bisa dijawab dengan mengatakan padanya: Jika maksudmu akan mengganggu orang yang tidak biasa dengan hal itu, maka hal itu akan hilang (dengan sendirinya), ketika ia tahu bahwa amalan itu adalah sunnah.
Jika maksudmu akan mengganggu jama’ah yang lain, maka jika tidak ada ma’mum yang masbuq, tentu hal itu tidak akan mengganggu mereka, sebagaimana fakta di lapangan. Karena mereka sama-sama mengeraskan zikirnya.
Adapun jika ada ma’mum masbuq yang sedang menyelesaikan shalatnya, maka jika ia dekat denganmu hingga kamu bisa mengganggunya dengan (kerasnya) suara zikirmu, maka janganlah kamu meninggikan suara dengan tingkatan suara yang bisa mengganggunya, agar kamu tidak mengganggu shalatnya. Sedang jika ia jauh darimu, maka tentu kerasnya suara (zikir)-mu tidak akan mengganggunya sama sekali.
Dengan keterangan yang kami sebutkan di atas, menjadi jelas bagi kita, bahwa mengeraskan zikir setelah shalat wajib adalah sunnah. Hal itu sama sekali tidak bertentangan dengan nash yang shahih, maupun dengan sisi pendalilan yang jelas.
Aku memohon kepada Allah, semoga Dia memberikan kita semua ilmu yang bermanfaat dan amal shalih, sesungguhnya Dia itu maha dekat lagi maha mengabulkan doa. Semoga Allah s.w.t. senantiasa mencurahkan shalawat dan salamnya kepada nabi kita Muhammad, keluarganya dan sahabatnya semua.” Demikian kata Syaikh Ibnu Utsaimin dalam fatwanya.Jawaban:
Jelas sekali boleh dikeraskan jika tidak mengganggu.
Adapun bersama/ berjamaah itu jelas bid'ahnya.
Syaikh Utsaimin ditanya tentang hukum mengulang-ulang dzikir sunnah setelah sholat secara bersama-sama (satu suara)?
Ini adalah Bid'ah, tidak ada tuntunannya dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, akan tetapi yang ada tuntunannya adalah setiap orang beristighfar dan berdzikir sendiri. Akan tetapi yang sunnah adalah mengeraskan dzikir (dengan suara keras yang tidak mengganggu yang lain.pent) Majmu' Fatawa wa Rasail Al-Utsaimin 13/261
puasa niat diet itu boleh
Syeikh Abdul Karim Al-Khudhoir –hafizhohulloh– mengatakan:
“Tidak diragukan lagi manfaat puasa dari sisi kesehatan, (bahkan) banyak orang sakit yg diberi resep untuk berdiet dg meninggalkan makan dan minum.
Bagi yang diberi resep untuk meninggalkan makan minum, dan dia diharuskan untuk berdiet, lalu dia mengatakan: “Daripada aku diet, lebih baik aku puasa“. Padahal yang mendorong dia untuk puasa itu diet, apakah dia akan mendapatkan pahala atau tidak?
Kita katakan, ini adalah penggabungan (niat) dalam ibadah, tapi ini merupakan penggabungan yang dibolehkan. Memang tidak diragukan lagi bahwa orang yang dorongan puasanya (hanya) ingin mendapatkan pahala dari Allah –subhanahu wata’ala– itu lebih sempurna dan lebih afdhol.
Masalah penggabungan (niat) dalam ibadah ini, memang membutuhkan lebih banyak perincian, penjabaran, permisalan, dan perbandingan. Penggabungan suatu ibadah dengan ibadah lain ada hukumnya sendiri, penggabungan suatu ibadah dengan sesuatu yg mubah ada hukumnya sendiri, dan penggabungan suatu ibadah dengan sesuatu yang haram ada hukumnya sendiri.
Jadi, orang yg disuruh untuk banyak jalan, lalu dia mengatakan: “daripada saya mengelilingi pasar, lebih baik saya thowaf, sehingga disamping saya mendapatkan tujuanku, aku juga dapat pahala thowaf“.
Kita katakan, orang ini dapat pahala darithowaf-nya, karena dia tidaklah beralih dari pilihan awal ke pilihan kedua kecuali karena menginginkan pahala.
Begitu pula orang yang tadi, dia tidaklah meninggalkan pilihan (untuk sekedar) diet dengan tidak makan minum tanpa puasa, lalu memilih puasa, kecuali karena menginginkan Wajah Allah subhanahu wata’ala. Namun memang pahalanya akan berkurang.
Seorang imam, bila dia memanjangkan rukuknya karena (menunggu) orang yang masuk masjid (agar mendapatkan rukuknya), ini merupakan penggabungan (niat) dalam ibadah. Karena imam itu asalnya berniat untuk membaca tasbih 7 kali, lalu ketika mendengar pintu masjid terbuka, dia berkata dalam hatinya: “Mungkin orang ini bisa mendapatkan rakaat ini“, maka dia pun bertasbih 10 kali karena orang yang masuk tersebut, menurut mayoritas ulama hal ini tidak mengapa, dan itu termasuk dalam bab berbuat baik kepada saudaranya.
Jika menyingkat sholat karena tangisan anak dan karena (melihat perasaan) ibunya; dibolehkan. Maka memanjangkan sholat -tanpa ada riya’- karena ingin berbuat baik kepada orang yang masuk tersebut lebih pantas untuk dibolehkan”.
(dari kitab Syarah Zadul Mustaqni’ 1/17-18).
memakai rida'/ selendang di leher bukan sunnah
Nabi memang sering memakai syal/selendang di leher,namun itu berarti sunah dalam beribadah???
sebagaimana hadits Abdullah bin Zaid Radhiallahu’anahu :
خرج رسول الله صلى الله عليه وسلم إلى المصلى فاستسقى . وحول ردائه حين استقبل القبلة
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam keluar menuju lapangan untuk istisqa’. Beliau membalik rida’-nya ketika mulai menghadap kiblat” (HR. Muslim, no.894)
Apakah nabi pernah menganjurkan dg perintahnya????ternyata tidak sama sekali.seperti halnya sorban itu bukan sunnah ibadah tapi sekedar kebiasaan,adat saja,Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam memakai imamah hanya sekedar kebiasaan atau adat orang setempat, bukan dalam rangkataqarrub atau ibadah. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani menyatakan, “Imamah, paling maksimal bisa jadi hukumnya mustahab (sunnah). Namun yang rajih, memakai imamah adalah termasuk sunnah ‘adah (adat kebiasaan), bukan sunnah ibadah (Silsilah Adh Dha’ifah, 1/253, dinukil dari Ikhtiyarat Imam Al Albani, 480).
Apakah Memakai Imamah Lebih Utama?
Jika seseorang tinggal di daerah yang mayoritas masyarakatnya biasa memakai sorban atau sejenisnya, atau jika tidak memakai sorban di daerah tersebut malah jadi perhatian orang-orang, maka lebih utama memakai sorban. Adapun jika masyarakat setempat tidak biasa dengan sorban, maka ketika itu tidak utama memakai sorban, karena membuat pemakainya menjadi perhatian sehingga termasuk dalam ancaman pakaiansyuhrah. Sebagaimana hadits:
من لبِسَ ثوبَ شُهرةٍ في الدُّنيا ألبسَه اللَّهُ ثوبَ مذلَّةٍ يومَ القيامةِ
“barangsiapa memakai pakaian syuhrah di dunia, Allah akan memakaikannya pakaian kehinaan di hari kiamat” (HR. Ahmad 9/87. Ahmad Syakir menyatakan: “shahih”).
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengatakan, “Memakai imamah bukanlah sunnah. Bukan sunnah muakkadahataupun sunnah ghayru muakkadah. Karena Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dahulu memakainya dalam rangka mengikuti adat pakaian yang dikenakan orang setempat pada waktu itu. Oleh karena itu tidak ada satu huruf pun dari hadits yang memerintahkannya. Maka memakai imamah termasuk perkara adat kebiasaan yang biasa dilakukan orang-orang. Seseorang memakainya dalam rangka supaya tidak keluar dari kebiasaan orang setempat, sehingga kalau memakai selain imamah, pakaiannya malah menjadi pakaian syuhrah. Jika orang-orang setempat tidak biasa menggunakan imamah maka jangan memakainya. Inilah pendapat yang rajih dalam masalah imamah” (dinukil dari Fatawa IslamWebno. 138986).
Memakai imamah di daerah yang masyarakat biasa memakainya itu lebih utama, dalam rangka menyelisihi orang kafir. Sehingga dari penampilan saja bisa terbedakan mana orang kafir dan mana orang Muslim. Syaikh Al Albani menyatakan, “Seorang Muslim lebih butuh untuk memakai imamah di luar shalat daripada di dalam shalat, Karena imamah adalah bentuk syiar kaum Muslimin yang membedakan mereka dengan orang kafir. Lebih lagi di zaman ini, dimana model pakaian kaum Mu’minin tercampur baur dengan orang kafir” (Silsilah Adh Dha’ifah, 1/254, dinukil dari Ikhtiyarat Imam Al Albani, 480).
Hukum Ghuthrah, Syimagh dan Penutup Kepala Lainnya
Lalu bagaimana hukum ghuthrah, syimaghdan penutup kepala lainnya yang ada dimasing-masing daerah?
Syaikh Musthafa Al ‘Adawi menjelaskan, “ghuthrah disebut juga khimar, yaitu penutup kepala yang umum dipakai (orang Arab dan Mesir). Dan ada hadits bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ketika wudhu beliau mengusap khimarnya. Apakah khimar di sini adalah imamah ataukah sekedar sesuatu yang menutupi kepala? Jawabnya, semuanya memungkinkan. Maka intinya, memakai ghuthrah hukumnya mubah saja”. (Sumber: http://www.mostafaaladwy.com/play-6587.html).
Dari penjelasan Syaikh Musthafa di atas, dapat diambil faidah hukum memakai ghutrah atau juga syimagh dan juga penutup kepala lainnya itu sama dengan hukum imamah. Yaitu jika itu merupakan pakaian yang biasa dipakai masyarakat setempat, hukumnya mubah. Tentunya selama tidak melanggar aturan syariat, semisal tidak meniru ciri khas orang kafir, tidak menyerupai wanita dan lainnya. Dan jika menyelisihi kebiasaan masyarakat setempat atau membuat pemakainya jadi perhatian orang, maka makruh atau bahkan bisa haram karena termasuk pakaian syuhrah.
Wabillahi at taufiq wa sadaad.
umar hijrah terang-terangan???
Dan di antara yang masyhur adalah, bahwasanya al-Faruq 'Umar bin al-Khaththab radhiyallahu 'anhu ketika hendak hijrah dari Mekkah ke Madinah, dia mengalungkan pedangnya, dan berjalan ke arah Ka'bah, sementara itu para pembesar Quraisy berada di halamannya. Lalu dia radhiyallahu 'anhuthawaf mengelilingi Ka'bah, setelah itu mendatangi Maqam (Maqam Ibrahim) dan shalat, kemudian dia berhenti dan berkata:" Alangkah buruknya wajah-wajah kalian, semoga Allah tidak menghinakan kecuali hidung-hidung ini. Barangsiapa yang ingin ibunya kehilangan dia, atau ingin anaknya menjadi yatim, atau ingin isterinya menjadi janda maka hendaklah menghadangku di belakang lembah ini."
Syaikh al-Albani rahimahullah berkata dalam bantahan beliau terhadap al-Buthi yang menukil kisah ini dari Ibnul Atsir:" Yakinnya dia mengatakan bahwa 'Umarradhiyallahu 'anhu hijrah secara terang-terangan bersandarkan pada riwayat 'Aliradhiyallahu 'anhu tersebut. Dan yakinnya dia bahwa 'Ali radhiyallahu 'anhumeriwayatkannya adalah tidak benar, karena sanadnya tidak shahih sampai ke beliau ('Ali) radhiyallahu 'anhu. Dan penulis Asadul Ghabah, pertama kali tidak menyatakan secara tegas penisbatannya kepada beliau radhiyallahu 'anhu. Yang kedua dia (penulis) membawakan sanad tersebut sampai ke 'Ali radhiyallahu 'anhusupaya terlepas tanggungjawabnya, dan supaya para ulama menelitinya. Dan aku telah mendapati bahwa poros masalahnya ada pada az-Zubair bin Muhammad bin Khalid al-'Utsmani:' Telah meriwayatkan kepada kami 'Abdullah bin al-Qasim al-Amali (seperti ini di kitab aslinya, mungkin yang benar adalah al-Aili) dari bapaknya dengan sanadnya sampai 'Ali radhiyallahu 'anhu.' Dan ketiga orang tersebut masuk ke dalam bilangan orang-orang yang majhul (tidak dikenal). Sehingga tidak satupun ulama Ahli Jarh wa Ta'dil yang menyebut mereka secara mutlak." sampai di sini perkataan Syaikh al-Albani rahimahullah. (Difa' 'Anil Hadits an-Nabawi was Sirah 43)
Dan kisah ini juga disebutkan oleh ash-Shalihi dalam Subul Huda war Rasyad, dan disandarkan kepada Ibnu as-Saman dalam al-Muwafaqat. Dan Abu Turab azh-Zhahiri menyandarkannya kepada Ibnu 'Asakir dan Ibnu as-Saman.
Dr. Akram al-'Umari berkata:"Dan adapun apa yang diriwayatkan, berupa hijrah 'Umar radhiyallahu 'anhu secara terang-terangan dan ancaman (tantangan) beliauradhiyallahu 'anhu kepada orang yang menghadangnya, maka hal itu tidak shahih." (as-Sirah an-Nabawiyyah ash-Shahihah1/206)
Keberanian al-Faruq ('Umar) radhiyallahu 'anhu sesuatu yang sudah diketahui, akan tetapi pembicaraan kita dalam masalah ini adalah dalam sanad kisah tersebut. Kemudian, bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam –dan beliau adalah manusia paling pemberani- hijrah bersama shahabat beliau, ash-Shiddiq (Abu Bakar)radhiyallahu 'anhu secara sembunyi-sembunyi dari pandangan kaum Musyrikin, dan dalam hal ini bukanlah sesuatu yang aib. Bahkan hal itu adalah bagian dari melakukan sebab (sebab keselamatan dalam hijrah), dan termasuk kesempurnaan tawakkal kepada AllahSubhanahu wa Ta'ala.
Dan imam al-Bukhari rahimahullahmeriwayatkan dari al-Barraa' bin 'Azibradhiyallahu 'anhu bahwsanya dia berkata:
أَوَّلُ مَنْ قَدِمَ عَلَيْنَا مُصْعَبُ بْنُ عُمَيْرٍ وَابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ وَكَانَوا يُقْرِئُوْنَ النَّاسَ فَقَدِمَ بِلاَلٌ وَسَعْدٌ وعَمّاَرُ بن ياسر. ثُمَّ قَدِمَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ الله عَنْهُ فِى عِشْرِينَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
" Yang pertama kali datang kepada kami (dari kaum Muhajirin) adalah Mush'ab bin 'Umar, Ibnu Umi Maktum, dan mereka mengajari manusia membaca (al-Qur'an). Lalu datanglah Bilal, Sa'ad dan 'Ammar bin Yasir radhiyallahu 'anhum. Kemudian datanglah 'Umar radhiyallahu 'anhubersama dua puluh orang dari shahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam."
Bahkan Ibnu Ishaq membawakan sebuah riwayat yang menunjukkan bahwa hijrahnya 'Umar radhiyallahu 'anhu terjadi secara sembunyi-sembunyi, beliau berkata:" Telah meriwayatkan kepadaku Nafi' mantan budak 'Abdullah bin 'Umarradhiyallahu 'anhuma dari bapaknya, yaitu 'Umar bin al-Khaththab radhiyallahu 'anhubahwasanya dia berkata:
اتّعَدْت ، لَمّا أَرَدْنَا الْهِجْرَةَ إلَى الْمَدِينَةِ ، أَنَا وَعَيّاشُ بْنُ أَبِي رَبِيعَةَ ، وَهِشَامُ بْنُ الْعَاصِي بْنِ وَائِلٍ السّهْمِيّ التّنَاضِبَ مِنْ أَضَاةِ بَنِي غِفَارٍ ، فَوْقَ سَرِفَ ، وَقُلْنَا : أَيّنَا لَمْ يُصْبِحْ عِنْدَهَا فَقَدْ حُبِسَ فَلْيَمْضِ صَاحِبَاهُ . قَالَ فَأَصْبَحْت أَنَا وَعَيّاشُ بْنُ أَبِي رَبِيعَةَ عِنْدَ التّنَاضِبِ ، وَحُبِسَ عَنّا هِشَامٌ وَفُتِنَ فَافْتُتِنَ
" Aku pernah berjanji (bersepakat) ketika kami ingin hijrah ke Madinah, aku 'Iyasy bin Abi Rabi'ah dan Hisyam bin al-'Ashi bin Wa'il as-Sahmi untuk berkumpul di sebuah pohon dekat kolam Bani Ghifar di atas daerah Sarif. Dan kami berkata:" Siapapun di antara kita yang tidak bisa berkumpul di sana di pagi hari, berarti dia telah ditahan (oleh Quraiys), dan hendaklah kedua temannya pergi meneruskan rencananya (hijrahnya)." Dia ('Umar) berkata:" Maka di pagi harinya aku dan 'Iyasy bin Abi Rabi'ah ada (bertemu) di at-Tanadhib, sedangkan Hisyam tertahan dan disiksa….." (al-Hadits)
Riwayat ini dishahihkan oleh Ibnu Hajarrahimahullah dalam al-Ishabah, dan dihasankan sanadnya oleh al-Wadi (Syaikh Muqbil) rahimahullah dalam ash-Shahih al-Musnad Mimmaa Laisa fish Shahihain, dan Salman al-'Audah dalam al-Ghuraba.
Dan cara menggabungkan antara riwayat Ibnu Ishaq ini dengan riwayat al-Bukhari, bahwasanya 'Umar radhiyallahu 'anhudatang (tiba) di Madinah bersama dua puluh orang dari kalangan shahabat adalah bahwasanya para shahabat tersebut, sebagian mereka bertemu dengan yang lainnya di tengah jalan, tanpa ada perencanaan lebih dahulu, menurut yang nampak (bagi penulis). Wallahu A'lam.
umar masuk islam setelah menampar saudarinya???
Salah satu di antara kisah-kisah lemah yang tersebar luas di kalangan kaum muslimin adalah kisah tentang pemukulan yang dilakukan oleh ‘Umar bin al-Khaththab –radhiyallahu ‘anhu- terhadap saudarinya yang telah masuk Islam. Pemukulan itu terjadi sebelum ‘Umar masuk Islam. Diceritakan dalam kisah itu bahwa selanjutnya ‘Umar terdorong untuk memeluk Islam setelah membaca ayat-ayat al-Quran yang terdapat pada kitab atau lembaran yang ada di rumah saudarinya itu …
Berikut ini penjelasan dari Syaikh ‘Ali Hasyisy al-Mishri –hafizhahullah– mengenai sisi kelemahan kisah tersebut … –dan pada akhir tulisan, beliau menyebutkan riwayat yang shahih tentang kisah keislaman ‘Umar bin al-Khaththab –radhiyallahu ‘anhu …
Syaikh ‘Ali Hasyisy al-Mishri –hafizhahullah
MATAN (REDAKSI KISAH)
يروى عن أنس بن مالك قال (خرج عمر متقلد السيف، فلقيه رجل من بني زهرة، فقال له أين تعمد يا عمر؟ فقال أريد أن أقتل محمدًا قال وكيف تأمن من بني هاشم وبني زهرة وقد قتلت محمدًا ؟ قال فقال له عمر ما أراك إلا قد صبوت وتركت دينك الذي أنت عليه، قال أفلا أدلك على العجب، إن ختنك وأختك قد صبوا وتركا دينك الذي أنت عليه، قال فمشى عمر ذامرًا حتى أتاهما، وعندهما رجل من المهاجرين يقال له خباب قال فلما سمع خباب بحس عمر توارى في البيت، فدخل عليهما فقال ما هذه الهينمة التي سمعتها عندكم ؟ قال وكانوا يقرأون طه، فقالا ما عدا حديثًا تحدثناه بيننا، قال فلعلكما قد صبوتما، فقال له ختنه يا عمر إن كان الحق في غير دينك ؟ قال فوثب عمر على ختنه، فوطئه وطأً شديدًا، قال فجاءت أخته لتدفعه عن زوجها، فقالت وهي غضبى وإن كان الحق في غير دينك؟ إني أشهد أن لا إله إلا الله، وأشهد أن محمدًا رسول الله فقال عمر أعطوني الكتاب الذي هو عندكم فأقرأه، قال وكان عمر يقرأ الكتب، فقالت أخته إنك رجس، وإنه لا يمسه إلا المطهرون، فقم فاغتسل أو توضأ، قال فقام عمر فتوضأ، ثم أخذ الكتاب فقرأ «طه حتى انتهى إلى إنني أنا الله لا إله إلا أنا فاعبدني وأقم الصلاة لذكري» قال فقال عمر دلوني على محمد، فلما سمع خباب قول عمر، خرج من البيت، فقال أبشر يا عمر، فإني أرجو أن تكون دعوة رسول الله ليلة الخميس اللهم أعز الإسلام بعمر بن الخطاب، أو بعمرو بن هشام وكان رسول الله في الدار التي في أصل الصفا قال فانطلق عمر، حتى أتى الدار، وعلى باب الدار حمزة وطلحة، وناس من أصحاب رسول الله ، فلما رأى حمزة وجل القوم من عمر فقال حمزة هذا عمر إن يرد الله بعمر خيرًا يسلم، فيتبع النبي ، وإن يرد غير ذلك يكن قتله علينا هينًا قال والنبي داخل يوحى إليه، قال فخرج رسول الله ، حتى أتى عمر، فأخذ بمجامع ثوبه وحمائل السيف، فقال ما أنت بمنته يا عمر حتى ينزل الله عز وجل بك من الخزي والنكال ما أنزل بالوليد بن المغيرة، فهذا عمر بن الخطاب اللهم أعز الإسلام أو الدين بعمر بن الخطاب، فقال عمر أشهد أن لا إله إلا الله وأنك عبده ورسوله، وأسلم وقال أخرج يا رسول الله)
Diriwayatkan dari Anas bin Malik, dia berkata:
‘Umar keluar sambil menyandang pedang lalu berpapasan dengan seorang lelaki dari Bani Zuhrah.
Lelaki Bani Zuhrah itu bertanya, “Hendak ke mana kamu, Wahai ‘Umar?”
‘Umar pun menjawab, “Aku hendak membunuh Muhammad!”
Lelaki Bani Zuhrah itu berkata, “Lantas Bagaimana caranya kau mengamankan diri dari Bani Hasyim dan Bani Zuhrah jika kau membunuh Muhammad?”
‘Umar berkata, “Sepertinya kamu telah berpindah agama dan meninggalkan agamamu!”
Lelaki Bani Zuhrah itu berkata, “Maukah kutunjukkan sesuatu yang akan mengagetkanmu? Sesungguhnya saudara iparmu dan juga saudarimu telah berpindah agama dan meninggalkan agamamu!”
‘Umar pun berjalan dengan marah menuju rumah saudari dan iparnya itu, ternyata di sana ada seseorang dari kalangan Muhajirin yang bernama Khabab (bin al-Arat). Tatkala Khabab mendengar kedatangan ‘Umar, dia pun segera bersembunyi di dalam rumah.
‘Umar masuk ke dalam rumah, lalu berkata kepada saudari dan iparnya itu, “Seruan apa yang kalian bisik-bisikkan itu?” Pada saat itu mereka memang sedang membaca surah Thaha.
Lalu saudari dan iparnya itu berkata, “Tidak ada selain perbincangan biasa di antara kami saja.”
‘Umar berkata, “Jangan-jangan kalian berdua sudah berpindah agama.”
Saudara ipar ‘Umar pun berkata, “Wahai ‘Umar, bagaimana jika kebenaran itu berada pada selain agamamu?”
(Mendengar itu), ‘Umar pun meloncat ke arah saudara iparnya itu lalu membanting dan menginjaknya dengan keras. (Melihat hal itu), saudarinya ‘Umar segera beranjak untuk membela suaminya, lalu berkata dengan perasaan marah, “Bagaimana jika kebenaran itu bukan pada agamamu? Sesungguhnya aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang berhak untuk diibadahi kecuali Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad itu utusan Allah!”
‘Umar lantas berkata, “Berikan kepadaku kitab yang ada pada kalian biar kubaca!” -Dan ‘Umar memang termasuk orang yang sudah bisa membaca.
Saudarinya ‘Umar berkata, “Sesungguhnya kamu kotor, tidak suci dari najis! Dan sesungguhnya tidak ada yang menyentuh kitab ini melainkan orang-orang yang berada dalam keadaan suci. Pergilah kau untuk mandi atau berwudu!”
‘Umar pun segera beranjak dan berwudu, lalu mengambil kitab itu dan membaca surah Thaha sampai kepada ayat berikut:
إِنَّني أَنَا اللهُ لا إِلهَ إِلاَّ أَنَا فَاعْبُدْني وَ أَقِمِ الصَّلاةَ لِذِكْري
“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah salat untuk mengingat-Ku.” (QS. Thaha: 14)
‘Umar berkata, “Tunjukkan kepadaku tempat Muhammad!”
Mendengar perkataan ‘Umar itu, Khabab pun keluar dari tempat persembunyiannya, lalu berkata, “Kabar gembira bagimu, wahai ‘Umar! Sesungguhnya aku berharap kamulah jawaban atas doa Rasulullah pada malam kamis yang lalu di sebuah rumah di bukit ash-Shafa: Allahumma, kuatkanlah Islam dengan keislaman ‘Umar bin al-Khaththab atau dengan keislaman ‘Amr bin Hisyam (yakni Abu Jahal –pent).”
Selanjutnya ‘Umar pun bertolak hingga sampai di tempat Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di muka rumah ada Hamzah dan Thalhah beserta beberapa orang lainnya dari para shahabat Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Tatkala melihat orang-orang merasa takut atas kedatangan ‘Umar, Hamzah pun berkata, “Itu ‘Umar. Jika Allah menghendaki kebaikan baginya, niscaya dia akan masuk Islam lalu mengikuti Nabi, namun jika Allah menghendaki yang selain itu, maka kita akan membunuhnya dengan mudah.”
Saat itu Nabi yang sedang berada di dalam rumah diberitahu akan hal itu. Rasulullah pun keluar menemui ‘Umar lalu mencengkram baju dan sarung pedang ‘Umar seraya berkata, “Apakah kau tak hendak berhenti, Wahai ‘Umar, hingga Allah -‘azza wa jalla- menimpakan kepadamu kehinaan dan siksaan yang telah ditimpakkan kepada al-Walid bin al-Mughirah! Maka inilah ‘Umar bin al-Khaththab, Allahumma kuatkanlah Islam –atau agama- dengan keislaman ‘Umar bin al-Khaththab.”
Kemudian ‘Umar pun berkata, “Aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang berhak untuk diibadahi selain Allah, dan sesungguhnya kamu adalah hamba dan utusan-Nya.”
Dan ‘Umar pun masuk Islam, lalu berkata, “Keluarlah (tidak perlu sembunyi lagi), wahai Rasulullah!”
TAKHRIJ (SUMBER PEMBERITAAN KISAH)
القصة أخرجها البيهقي في «الدلائل»، حيث قال «أخبرنا أبو الحسين علي بن محمد بن عبد الله بن بشران ببغداد، قال أخبرنا أبو جعفر محمد بن عمرو الرزاز، قال حدثنا محمد بن عبيد الله هو ابن يزيد الحناوي، قال حدثنا إسحاق بن يوسف يعني الأزرق، قال حدثنا القاسم بن عثمان البصري، عن أنس بن مالك قال فذكر القصة وأخرجها ابن سعد في «الطبقات الكبرى»، والدارقطني في «السنن» مختصرًا، والطبراني في «الأوسط» مختصرًا
Kisah di atas dikeluarkan oleh al-Baihaqi di kitab ad-Dala-il, dan dia mengatakan, “Telah mengabarkan kepada kami Abu al-Husain ‘Ali bin Muhammad bin ‘Abdullah bin Basyran di Baghdad, dia mengatakan: telah mengabarkan kepadaku Abu Ja’far Muhammad bin ‘Amr ar-Razaz, dia berkata: telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Ubaidullah, dia adalah Ibn Yazid al-Hanawi, dia berkata: telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Yusuf, yakni al-Azraq, dia berkata: telah menceritakan kepada kami al-Qasim bin ‘Utsman al-Bashri, dari Anas bin Malik, dia berkata,” kemudian menyebutkan kisah tersebut.
Ibnu Sa’d juga mengeluarkannya di kitab ath-Thabaqat al-Kubra, juga ad-Daraquthni di kitab as-Sunan secara ringkas, dan ath-Thabarani di kitab al-Ausath secara ringkas juga …
TAHQIQ (PENELITIAN VALIDITAS HADITS)
هذه القصة واهية، وعلتها القاسم بن عثمان أبو العلاء البصري ولقد انفرد بها عن أنس ولذلك قال الإمام الطبراني «لا تروى عن أنس إلا بهذا الإسناد تفرد بها القاسم» اهـ
قلت وأورده الإمام الذهبي في «الميزان» وقال «القاسم بن عثمان البصري عن أنس قال البخاري له أحاديث لا يتابع عليها ثم قال الذهبي حدّث عنه إسحاق الأزرق بقصة إسلام عمر وهي منكرة جدًا» اهـ
قلت وأورده الإمام الذهبي في «الميزان» وقال «القاسم بن عثمان البصري عن أنس قال البخاري له أحاديث لا يتابع عليها ثم قال الذهبي حدّث عنه إسحاق الأزرق بقصة إسلام عمر وهي منكرة جدًا» اهـ
Kisah ini rapuh, dan penyakitnya adalah al-Qasim bin ‘Utsman Abu al-‘Ala al-Bashri. Dia menyendiri dengan kisah ini dari Anas. Oleh karena itu Imam ath-Thabarani berkata, “Tidak diriwayatkan dari Anas kecuali dengan sanad ini, al-Qasim menyendiri dengan sanad ini.” Aku katakan, Imam adz-Dzahabi telah menyebutkan hadits ini di kitab al-Mizan, dan dia mengatakan, “Al-Qasim bin ‘Utsman al-Bashri dari Anas, dikatakan oleh al-Bukhari bahwa dia memiliki hadits-hadits tanpa mutaba’ah (tak diikuti oleh perawi lain).” Kemudian adz-Dzahabi berkata, “Ishaq al-Azraq mengabarkan dari al-Qasim ini kisah keislaman ‘Umar, dan kisah tersebut sangat munkar.”
قلت وأورده الإمام العقيلي في «الضعفاء الكبير» وقال «القاسم بن عثمان، عن أنس، لا يتابع على حديثه، حدّث عنه إسحاق الأزرق أحاديث لا يتابع منها على شيء» اهـ
قلت وأقر الحافظ ابن حجر قول الإمام البخاري وقول الإمام العقيلي وحكم الإمام الذهبي على قصة إسلام عمر بأنها منكرة جدًا
قلت وأقر الحافظ ابن حجر قول الإمام البخاري وقول الإمام العقيلي وحكم الإمام الذهبي على قصة إسلام عمر بأنها منكرة جدًا
Aku katakan, Imam al-‘Uqaili menyebutkan di kitab adh-Dhu’afa’ al-Kabir, dan dia mengatakan, “Al-Qasim bin ‘Utsman dari Anas tak memiliki mutaba’ah atas haditsnya. Mengabarkan darinya Ishaq al-Azraq hadits-hadits tanpa mutaba’ah sama sekali.” Aku katakan pula, (bahwa) al-Hafizh Ibnu Hajar telah menyetujui ucapan Imam al-Bukhari dan Imam al-‘Uqaili (tentang al-Qasim bin ‘Utsman –pent), lalu beliau menilai bahwa hadits tentang keislaman ‘Umar itu sebagai hadits yang sangat munkar.
JALAN PERIWAYATAN LAIN
وإلى القارئ الكريم قصة إسلام عمر وضربه لأخته يتخذها القصاص والوعاظ شاهدًا من حديث ثوبان لهذه القصة الواهية التي أوردناها آنفًا القصة أخرجها الإمام الطبري في «المعجم الكبير» حيث قال «حدثنا أحمد بن محمد بن يحيى بن حمزة ثنا إسحاق بن إبراهيم حدثنا يزيد بن ربيعة ثنا أبو الأشعث عن ثوبان قال قال رسول الله «اللهم أعز الإسلام بعمر بن الخطاب»، وقد ضرب أخته أول الليل وهي تقرأ «اقرأ باسم ربك الذي خلق» حتى ظن أنه قتلها ثم قام من السحر فسمع صوتها تقرأ «اقرأ باسم ربك الذي خلق» فقال والله ما هذا بشعر ولا همهمة، فذهب حتى أتى رسول الله فوجد بلالاً على الباب فدفع الباب فقال بلال من هذا؟ فقال عمر بن الخطاب فقال حتى أستأذن لك على رسول الله ، فقال بلال يا رسول الله، عمر بالباب فقال رسول الله «إن يرد الله بعمر خيرًا أدخله في الدين» فقال لبلال «افتح»، وأخذ رسول الله بضبعيه فهزه فقال «ما الذي تريد؟» وما الذي جئت ؟ فقال له عمر اعرض عليّ الذي تدعو إليه، قال «تشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأن محمدًا عبده ورسوله» فأسلم عمر مكانه وقال «أخرج»
Pembaca yang mulia, kisah rapuh yang kami sebutkan di atas tentang keislaman ‘Umar dan pemukulannya terhadap saudarinya, yang sering diceritakan oleh para tukang cerita dan para pemberi nasihat, memiliki syahiddari hadits Tsauban yang dikeluarkan oleh al-Imam ath-Thabari di kitab al-Mu’jam al-Kabir. Di kitab itu ath-Thabari mengatakan: telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Muhammad bin Yahya bin Hamzah, telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Yazid bin Rabi’ah, telah menceritakan kepada kami Abu al-Ats’ats, dari Tsauban, dia berkata:
Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– bersabda, “Ya Allah, kuatkanlah Islam dengan ‘Umar bin al-Khaththab,”dan sungguh ‘Umar telah memukul saudarinya pada awal malam ketika saudarinya itu sedang membaca ayat, “Bacalah dengan nama Rabb-mu yang telah menciptakan!” Sampai-sampai ‘Umar menyangka bahwa dirinya telah membunuh saudarinya itu. Kemudian ‘Umar terbangun pada akhir malam dan mendengar suara adik perempuannya membaca ayat, “Bacalah dengan nama Rabb-mu yang telah menciptakan!” ‘Umar pun berkata,“Demi Allah, ini bukanlah syair dan bukan pula gumaman,”lalu dia beranjak mendatangi Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– dan mendapati Bilal menjaga pintu. Bilal berkata, “Siapa di luar!” ‘Umar menjawab, “’Umar bin al-Khaththab.” Bilal berkata, “Tunggulah sampai aku memintakan izin untukmu kepada Rasulullah.” Bilal berkata kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, ada ‘Umar di depan pintu.” Rasulullah berkata, “Jika Allah menghendaki kebaikan bagi ‘Umar, Dia akan memasukkannya ke dalam Islam,” kemudian beliau berkata kepada Bilal, “Bukalah pintunya!” Rasulullah memegang ‘Umar dengan kedua tangan lalu menggoncangkannya seraya bersabda, “Apa yang kau inginkan dan apa yang membuatmu kemari?” ‘Umar berkata kepada Rasulullah, “Tunjukkan kepadaku apa yang kau dakwahkan.” Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda, “Persaksikanlah olehmu bahwa tiada yang berhak untuk diibadahi kecuali Allah yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya, dan bahwa Muhammad itu adalah hamba dan utusan-Nya.” Maka ‘Umar pun masuk Islam, lalu berkata, “Keluarlah (tak perlu bersembunyi lagi)!”
وهذه أيضًا قصة واهية لا تصلح للشواهد ولا المتابعات، بل تزيد القصة وهنًا على وهن، وعلتها يزيد بن ربيعة الرحبي أورده الإمام البخاري في كتابه «التاريخ الكبير» ترجمة وقال «يزيد بن ربيعة أبو كامل الرحبي الدمشقي الصنعاني صنعاء دمشق عن أبي أسماء حديثه مناكير» وأورده الإمام النسائي في «الضعفاء والمتروكين» ترجمة وقال «يزيد بن ربيعة، متروك الحديث»
Namun kisah ini juga sama rapuhnya, tidak bisa dijadikan sebagai syawahid maupun mutabi’at, bahkan malah menambah kelemahan di atas kelemahan. Cacat (penyakit) riwayat ini adalah perawi Yazid bin Rabi’ah ar-Rahbi. Imam al-Bukhari telah menyebutkan Yazid bin Rabi’ah ini di kitab at-Tarikh al-Kabir dengan mengatakan, “Yazid bin Rabi’ah Abu Kamil ar-Rahbi ad-Dimasyqi ash-Shan’ani Shana’a Damaskus, dari Abu Asma haditsnya munkar.” Imam an-Nasa’i menyebutkannya juga di kitab adh-Dhu’afa’ wa al-Matrukin dengan mengatakan, “Yazid bin Rabi’ah, haditsnya ditinggalkan.”
فائدة: قال الحافظ في «شرح النخبة» ص «ولهذا كان مذهب النسائي أن لا يترك حديث الرجل حتى يجتمع الجميع على تركه» وأورده الإمام الدارقطني في «الضعفاء والمتروكين» ترجمة وقال «يزيد بن ربيعة أبو كامل الرحبي، من صنعاء دمشق» اهـ
يظن من لا دراية له بكتاب «الضعفاء والمتروكين» للإمام الدارقطني، بقوله الذي أوردناه في يزيد بن ربيعة، أن الدارقطني سكت عنه، ولا يدري أنه بمجرد ذكر اسمه في كتابه «الضعفاء والمتروكين» إجماع على تركه، كما جاء في «المقدمة» حيث قال الإمام البرقاني «طالت محاورتي مع ابن حمكان لأبي الحسن علي بن عمر الدارقطني عفا الله عني وعنهما في المتروكين من أصحاب الحديث، فتقرر بيننا وبينه على ترك من أثبته على حروف المعجم في هذه الورقات» اهـ
قلت وبهذا التحقيق تصبح القصة واهية بهذا الشاهد الذي لا يزيدها إلا وهنًا على وهن
Faidah: al-Hafizh Ibn Hajar berkata di kitab Syarh an-Nukhbah, “Nasa’i berpendapat bahwa seorang perawi tidaklah ditinggalkan haditsnya sampai para ahli hadits sepakat untuk meninggalkannya.” Imam ad-Daruquthni menyebutkan pula perihal Yazid bin Rabi’ah ini di kitabadh-Dhu’afa’ wa al-Matrukin dengan mengatakan, “Yazid bin Rabi’ah Abu Kamil ar-Rahbi, dari Shana’a Damaskus.”
Orang yang tak memiliki pengetahuan tentang kitab adh-Dhu’afa’ wa al-Matrukin karya Imam ad-Daruquthni, dia menyangka bahwa ucapan Imam ad-Daruquthni yang kami sebutkan tentang Yazid bin Rabi’ah ini, merupakan sikap diam ad-Daruquthni tentangnya. Orang ini tidak mengetahui bahwasanya Imam ad-Daruquthni dengan menyebutkan nama si perawi di kitabnya tersebut, adh-Dhu’afa’ wa al-Matrukin, berarti ad-Daruquthni sepakat atas kematrukannya, hal ini sebagaimana ucapan Imam al-Barqani yang terdapat di al-Muqadimah yang mengatakan, “Aku bertanya-tanya panjang bersama Ibn Himkan kepada Abu al-Hasan ‘Ali bin ‘Amr ad-Daruquthni –semoga Allah memaafkanku dan mereka berdua- mengenai orang-orang matruk dari kalangan perawi hadits, lalu menjadi tetaplah di antara kami ataskematrukan nama-nama perawi yang telah ditetapkannya di dalam kitabnya.”
Aku katakan, dengan tahqiq ini, menjadi lemahlah kisah dengan syahid ini, syahid yang tak memberi tambahan apa pun selain kelemahan yang bertambah-tambah …
فائدة: أوردها الحافظ ابن كثير في «اختصار علوم الحديث» تنطبق تمام الانطباق على هذه القصة الواهية، لما فيها من متروكين، حيث نقل عن ابن الصلاح قوله «لا يلزم من ورود الحديث من طرق متعددة، أن يكون حسنًا، لأن الضعف يتفاوت، فمنه ما لا يزول بالمتابعات، يعني لا يؤثر كونه تابعًا أو متبوعًا، كرواية الكذابين والمتروكين» اهـ
Faidah: al-Hafizh Ibn Katsir menyebutkan kisah ini di kitab Ikhtishar ‘Ulum al-Hadits, bersesuaian dengan kisah yang lemah ini karena di dalamnya ada perawi yang termasuk matruk. Beliau menukil ucapan Ibn Shalah,“Adanya periwayatan dari beberapa jalur lain tidaklah selalu mengharuskan suatu hadits menjadi hasan. Hal itu dikerenakan tingkat kelemahan hadits itu berbeda-beda, sebagian di antaranya ada yang tingkat kelemahannya tidak bisa hilang dengan keberadaan mutabi’at, yakni baik itu hadits tabi’ maupun hadits matbu’, keduanya sama-sama tidak berpengaruh, sebagaimana halnya riwayat dari para perawi dusta dan matruk.”
RIWAYAT YANG SHAHIH tentang Kisah Keislaman ‘Umar bin al-Khaththab –radhiyallahu ‘anhu–
لقد بوّب الإمام البخاري في «صحيحه» في كتاب «مناقب الأنصار» بابًا رقم إسلام عمر بن الخطاب رضي الله عنه، وتحت هذه الترجمة أخرج حديث فقال «حدثنا علي بن عبد الله حدثنا سفيان قال عمرو بن دينار سمعته قال قال عبد الله بن عمر رضي الله عنهما لما أسلم عمر، اجتمع الناس عند داره وقالوا صبأ عمر وأنا غلام فوق ظهر بيتي فجاء رجل عليه قباء من ديباج فقال قد صبأ عمر، فما ذاك؟ فأنا له جار، قال فرأيت الناس تصدعوا عنه، فقلت من هذا ؟ قالوا العاص بن وائل» اهـ
Imam al-Bukhari telah membuat satu bab di kitabShahih-nya, yakni di kitab Manaqib al-Anshar, bab Keislaman ‘Umar bin al-Khaththab –radhiyallahu ‘anhu. Beliau mengeluarkan hadits di bawah judul ini dengan mengatakan: telah menceritakan kepada kami ‘Ali bin ‘Abdullah, telah menceritakan Sufyan, dia berkata: aku mendengar ‘Amr bin Dinar berkata: ‘Abdullah bin ‘Umar –radhiyallahu ‘anhuma– berkata tentang Keislaman ‘Umar:
Orang-orang (musyrikin Mekah) berkumpul di depan rumah ‘Umar seraya mengatakan, “Umar telah murtad(keluar dari agama)!” Saat itu aku masih kecil, dan aku sedang berada di atap rumahku. Tiba-tiba datanglah seorang lelaki yang mengenakan pakaian luar dari sutra. Lelaki itu berkata, “’Umar memang telah berpindah agama, lalu kenapa? Aku pelindungnya!”Maka aku melihat orang-orang pada bubar dari lelaki itu. Aku pun bertanya, “Siapa dia?” Orang-orang menjawab, “Al-‘Ash bin Wa-il.”
وأورده الحافظ ابن كثير في «البداية والنهاية» في إسلام عمر بن الخطاب قال ابن إسحاق وحدثني نافع مولى ابن عمر عن ابن عمر قال لما أسلم عمر قال أي قريش أنقل للحديث؟ فقيل له جميل بن معمر الجمحي فغدا عليه، قال عبد الله وغدوت أتبع أثره، وأنظر ما يفعل وأنا غلام أعقل كل ما رأيت، حتى جاءه فقال له أعلمت يا جميل أني أسلمت ودخلت في دين محمد ؟ قال فوالله، ما راجعه حتى قام يجر رداءه، واتبعه عمر، واتبعته أنا، حتى إذا قام على باب المسجد صرخ بأعلى صوته يا معشر قريش، وهم في أنديتهم حول الكعبة، ألا إن ابن الخطاب قد صبا، قال يقول عمر من خلفه كذب، ولكني قد أسلمت، وشهدتُّ أن لا إله إلا الله وأن محمدًا رسول الله، وثاروا إليه فما برح يقاتلهم ويقاتلونه حتى قامت الشمس على رؤوسهم، قال وطلح فقعد، وقاموا على رأسه وهو يقول افعلوا ما بدا لكم، فأحلف بالله أن لو قد كنا ثلاثمائة رجل لقد تركناها لكم، أو تركتموها لنا قال فبينما هم على ذلك، إذ أقبل شيخ من قريش عليه حُلَّةٌ حَبِرَةٌ وقميصُ مُوَشّى حتى وقف عليهم، فقال ما شأنكم؟ فقالوا صبأ عمر، قال فمه، رجل اختار لنفسه أمرًا، فماذا تريدون ؟ أترون بني عدي يسلمون لكم صاحبكم هكذا؟ خلوا عن الرجل قال فوالله لكأنما كانوا ثوبًا كشط عنه، قال فقلت لأبي بعد أن هاجر إلى المدينة يا أبت من الرجل الذي زجر القوم عنك بمكة يوم أسلمت وهم يقاتلونك؟ قال ذاك أي بني، العاص بن وائل السهمي»
Al-Hafizh Ibn Katsir telah menyebutkannya di kitab al-Bidayah wa an-Nihayah tentang keislaman ‘Umar bin al-Khtahthab: Ibn Ishaq berkata: dan telah menceritakan kepadaku Nafi’ maula Ibn ‘Umar dari Ibn ‘Umar, dia berkata:
Tatkala ‘Umar masuk Islam, dia berkata, “Siapa orang Quraisy yang paling pandai mengabarkan berita?” Maka dikatakan kepada ‘Umar, “Jamil bin Ma’mar al-Jumahi.”‘Umar pun berangkat menemui Jamil bin Ma’mar bin al-Jumahi. ‘Abdullah bin ‘Umar berkata, “Aku pun menguntit dan membuntuti ayahku. Aku melihat apa yang diperbuat ayahku, dan saat itu aku seorang anak kecil yang telah mengerti semua yang kulihat.” ‘Umar pun mendatangi Jamil bin Ma’mar al-Juhami dan berkata kepadanya, “Tahukah kau wahai Jamil, bahwa aku telah berislam dan masuk ke dalam agama Muhammad?” Maka demi Allah, tanpa mengulang ucapan beranjaklah Jamil bin Ma’mar al-Juhami sambil menyeret pakaiannya. ‘Umar pun mengikutinya, dan aku pun mengikuti ayahku. Sesampainya di pintu masjid (Ka’bah), Jamil bin Ma’mar pun berseru dengan suara tinggi, “Wahai sekalian orang Quraisy! Ketahuilah, bahwa ‘Umar bin al-Khaththab telah murtad (berpindah agama)!”Saat itu kaum Quraisy sedang berada di nadwah (tempat berkumpul) mereka di sekitar Ka’bah. ‘Umar lantas berseru dari belakang Jamil bin Ma’mar, “Jamil telah berdusta! Yang benar, aku telah memeluk Islam, dan aku bersaksi bahwa tiada yang berhak untuk diibadahi kecuali Allah, dan bahwa Muhammad itu utusan Allah!”Mendengar itu, kaum Quraisy pun marah dan menyerang ‘Umar, maka tak henti-hentinya ‘Umar memukuli mereka dan mereka pun memukulinya hingga matahari berada di atas kepala. Akhirnya ‘Umar terkapar kepayahan. Orang-orang Quraisy berdiri (di sekelilingnya), dan ‘Umar berkata kepada mereka, “Lakukanlah apa yang terlintas dalam pikiran kalian! Aku bersumpah dengan nama Allah, jika saja kami berjumlah tiga ratus orang, niscaya kami akan meninggalkannya untuk kalian atau kalian meninggalkannya untuk kami.” [1] Dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba datanglah seorang syaikh Quraisy yang mengenakan jubah dan gamis bersulam. Syaikh Quraisy itu berhenti di antara kerumunan orang-orang, lalu berkata, “Ada apa dengan kalian?” Orang-orang Quraisy pun menjawab, “’Umar telah murtad!” Syaikh itu berkata, “Memangnya kenapa? Seseorang itu boleh memilih urusannya sendiri, lalu apa yang kalian inginkan? Apakah kalian kira Bani ‘Adi (kabilah ‘Umar -pent) akan menerima begitu saja perbuatan kalian terhadap sahabat kalian ini? Lepaskanlah dia!” Maka demi Allah, orang-orang (Quraisy) itu seakan-akan pakaian yang dihempaskan (setelah mendengar ucapan lelaki itu). Kemudian setelah hijrah ke Madinah, aku bertanya kepada ayahku, “Wahai ayah, siapakah lelaki yang membuat orang-orang yang hendak membunuhmu bubar pada hari kamu masuk Islam di Mekah?” ‘Umar menjawab, “Lelaki itu, wahai anakku, dia adalah al-‘Ash bin Wa-il as-Sahmi.”
وهذا إسناد جيد قوي، وهو يدل على تأخر إسلام عمر، لأن ابن عمر عرض يوم أحد وهو ابن أربع عشرة سنة، وكانت أحد في سنة ثلاث من الهجرة، وقد كان مميزًا يوم أسلم أبوه، فيكون إسلامه قبل الهجرة بنحو من أربع سنين، وذلك بعد البعثة بنحو تسع سنين، والله أعلم» اهـ
Sanad riwayat ini bagus dan kuat, dan riwayat ini menunjukkan bahwa ‘Umar termasuk yang lambat masuk Islam karena Ibn ‘Umar ketika meminta untuk ikut serta dalam perang Uhud, saat itu usianya empat belas tahun, dan perang Uhud itu terjadi pada tahun ketiga Hijriyah, sementara pada waktu ‘Umar masuk Islam, Ibn ‘Umar sudah mumayyiz (anak kecil yang sudah mengerti). Dengan demikian, keislaman ‘Umar terjadi sekitar empat tahun sebelum hijrah dan sekitar sembilan tahun setelah pengutusan Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam, wallahu a’lamu …
قلت وأورد هذه القصة أيضًا الحافظ ابن كثير في كتاب «السيرة النبوية» نقلاً عن ابن إسحاق، ثم ذكر هذا التحقيق، وكذا ابن هشام في السيرة النبوية ح نقلاً أيضًا عن ابن إسحاق، وكذا ابن الأثير في «أسد الغابة» نقلاً عن ابن إسحاق، وأخرجه الحاكم من طريق ابن إسحاق وقال «صحيح على شرط مسلم» ووافقه الذهبي، وهو كما بينا آنفًا، قال ابن كثير «وهذا إسناد جيد قوي» اهـ
Aku katakan, kisah ini juga diriwayatkan oleh al-Hafizh Ibn Katsir di kitab as-Sirah an-Nabawiyyah dengan menukil dari Ibn Ishaq kemudian menyebutkan tahqiq ini. Demikian juga Ibn Hisyam di kitab as-Sirah an-Nabawiyyah yang juga menukil dari Ibn Ishaq, dan seperti itu pula Ibn al-Atsir di kitab Asad al-Ghabah, menukil dari Ibn Ishaq. Al-Hakim mengeluarkannya dari jalan Ibn Ishaq, dan dia berkata, “Shahih sesuai dengan syarat Muslim,” dan adz-Dzahabi menyetujuinya sebagaimana yang telah kami sebutkan di atas. Ibn Katsir berkata, “Sanad riwayat ini bagus dan kuat.”
قلت ويزداد قوة بأن البخاري أخرجه ح حيث قال «حدثنا يحيى بن سليمان قال حدثني ابن وهب، قال حدثني عمر بن محمد قال فأخبرني جدي زيد بن عبد الله بن عمر عن أبيه قال «بينما هو في الدار خائفًا إذ جاءه العاص بن وائل السهمي أبو عمرو عليه حلة حبرة وقميص مكفوف بحرير وهو من بني سهم وهم حلفاؤنا في الجاهلية فقال ما بالك؟ قال زعم قومك أنهم سيقتلونني إن أسلمت قال لا سبيل إليك، بعد أن قالها أمنت فخرج العاص فلقي الناس قد سال بهم الوادي فقال أين تريدون ؟ فقالوا نريد هذا ابن الخطاب الذي صبأ قال لا سبيل إليه، فكرّ الناس» اهـ
Aku katakan, dan yang menambah kekuatan riwayat ini, bahwa al-Bukhari (dalam Shahih-nya) mengeluarkannya seraya mengatakan: telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sulaiman, dia berkata: telah menceritakan kepadaku Ibn Wahb, dia berkata: telah menceritakan kepadaku ‘Umar bin Muhammad, dia berkata: telah mengabarkan kepadaku kakekku Zaid bin ‘Abdullah bin ‘Umar, dari ayahnya, dia berkata:
Ketika dia (‘Umar) berada di rumah dalam keadaan ketakutan, tiba-tiba datanglah al-‘Ash bin Wa-il as-Sahmi Abu ‘Amr yang mengenakan jubah dan gamis bersulam sutra. Dia itu berasal dari Bani Sahm, sekutu kabilah kami di masa jahiliyah. Lalu al-‘Ash bin Wa-il berkata,“Ada apa denganmu?” ‘Umar menjawab, “Kaummu mengatakan bahwa mereka akan membunuhku jika aku masuk Islam.” Al-‘Ash bin Wa-il berkata, “Tak ada jalan (bagi mereka) untuk mendapatkanmu.” Aku pun percaya setelah dia mengatakan hal itu, lalu al-‘Ash bin Wa-il keluar menemui orang-orang yang sedang pada mengumpat. Al-‘Ash bi Wa-il berkata, “Hendak ke mana kalian?” Orang-orang berkata, “Kami menginginkan Ibn al-Khaththab yang telah murtad!” Al-‘Ash bin Wa-il berkata,“Tak ada jalan (bagi kalian) untuk mendapatkannya.”Maka orang-orang pun pergi …
قلت بهذا التحقيق يتبين الصحيح من السقيم في قصة إسلام عمر رضي الله عنه؛ فكم من قصص واهية وضعت في يوم إسلام عمر، كما بيّنا آنفًا في هذه القصة الواهية المركبة من قصص واهيات، ومن قبل قد بينا القصة الواهية الموضوعة في إسلام عمر، والتي جعلت عمر يخرج في مظاهرة في صفين حمزة في أحدهما، وعمر في الآخر، واتخذها من لا دراية لهم بالتخريج وأصول التحقيق دليلاً على مشروعية المظاهرات، وما تسبب عنها من أضرار في البلاد وقتل للعباد
هذا ما وفقني الله إليه، وهو وحده من وراء القصد
Aku katakan, dengan tahqiq ini menjadi jelaslah yang shahih dari yang sakit mengenai kisah keislaman ‘Umar bin al-Khaththab –radhiyallahu ‘anhu. Maka betapa banyak kisah-kisah lemah tentang keislaman ‘Umar sebagaimana telah kami jelaskan di atas mengenai kisah yang lemah ini. Bahkan sebelumnya kami pun pernah menjelaskan kisah lemah dan palsu tentang keislaman ‘Umar yang isinya menceritakan bahwa ‘Umar keluar untuk melakukan muzhaharah (demonstrasi) dalam dua barisan, barisan pertama dipimpin oleh Hamzah dan barisan kedua dipimpin oleh ‘Umar. Kisah ‘Umar dan Hamzah itu dipergunakan oleh orang-orang yang tak memiliki pengetahuan mengenai takhrij danushul tahqiqsebagai dalil tentang disyariatkannya demonstrasi, danhal itu malah menimbulkan kerusakan di negeri-negeri dan pembunuhan terhadap manusia …[2]
Inilah yang –semoga Allah memberi taufik kepadaku terhadap tulisan ini, dan Dia-lah satu-satunya yang menjadi tujuan …
***
—————————-
Catatan dari saya:
[1] Ucapan ‘Umar –radhiyallahu ‘anhu:
فأحلف بالله أن لو قد كنا ثلاثمائة رجل لقد تركناها لكم، أو تركتموها لنا
“Aku bersumpah dengan nama Allah, jika saja kami berjumlah tiga ratus orang, niscaya kami akan meninggalkannya untuk kalian atau kalian meninggalkannya untuk kami.”
Makna ucapan ‘Umar –radhiyallahu ‘anhu– tersebut pernah ditanyakan oleh seseorang kepada Syaikh Doktor Ahmad bin ‘Abdurrahman al-Qadhi –hafizhahullah– sebagai berikut:
س: ما معنى قول عمر ابن الخطاب رضي الله عنه : فأحلف بالله أن لو كنا ثلاثمائة رجل لقد تركناها لكم أو تركتموها لنا. أرجوا التوضيح بارك الله فيكم
Tanya: apa makna dari ucapan ‘Umar bin al-Khaththab –radhiyallahu ‘anhu, “Aku bersumpah dengan nama Allah, jika saja kami berjumlah tiga ratus orang, niscaya kami akan meninggalkannya untuk kalian atau kalian meninggalkannya untuk kami,” saya mengharapkan penjelasan, semoga Allah memberkahimu …
ج: لم أجد، بعد البحث في كتب السيرة، والتواريخ، من فسرها. ويظهر لي أن مراده رضي الله عنه، أن لو بلغ عدد من أسلم هذا القدر، لقاتلناكم، حتى يفني أحد الفريقين الآخر! ولعل مرجع الضمير في (تركناها) مكة، شرفها الله، أو الدنيا. وذلك لإظهار التصميم والثبات على الدين. أقول ذلك اجتهاداً فإن أصبت فمن الله، وإن أخطأت فمني ومن الشيطان، والفاروق، رضي الله عنه، بريء مما لم يرد.
Syaikh Doktor Ahmad bin ‘Abdurrahman al-Qadhi –hafizhahullah– menjawab: saya tidak mendapatkan -setelah menelaah kitab-kitab sirah dan tarikh– seorang pun yang menjelaskan makna ucapan tersebut. Hanya saja tampak bagiku, bahwa yang dimaksudkan oleh ‘Umar –radhiyallahu ‘anhu adalah, “Kalau saja jumlah yang masuk Islam itu telah mencapai bilangan tersebut, niscaya kami akan memerangi kalian sampai salah satu dari kedua golongan mengalahkan yang lain,” dan barangkali dhamir (kata ganti) “-nya” dalam katataraknaahaa (kami akan meninggalkan-nya) itu adalah kota Mekah –semoga Allah memuliakannya- atau mungkin saja maksudnya adalah dunia. Dan ucapannya itu untuk menunjukkan kebulatan tekad dan keteguhan hati terhadap agama. Ini kuucapkan sebagai ijtihadku semata, kalau ternyata benar, maka itu dari Allah. Kalau ternyata salah, maka itu dariku dan dari setan, sedangkan al-Faruq –radhiyallahu ‘anhu– berlepas diri dari apa yang tidak dimaksudkan olehnya …
[2] penjelasan mengenai kelemahan –bahkan kepalsuan- riwayat muzhaharah (demonstrasi) ‘Umar dan Hamzah –radhiyallahu ‘anhuma– bisa dilihat di kitabQashash al-Wahiyah karya Syaikh ‘Ali Hasyisy al-Mishri –hafizhahullah, kisah nomor 44 halaman 435-442 …
Langganan:
Postingan (Atom)