Rabu, 07 Desember 2016

syubhat : para sahabat mengqiyaskan ibadah ???

syubhat :
Para sahabat dan pengikut mereka telah melakukan qiyas dalam hal ibadah, sebagaimana dalam beberapa kasus berikuti ini:

1) Khalifah Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu menjadikan Dzatu ‘Irqin sebagai miqat bagi penduduk Iraq ketika menunaikan ibadah haji, melalui ijtihad atau qiyas dengan dianalogikan pada Qarn, sebagai miqat bagi penduduk Najd. Al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya:

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ لَمَّا فُتِحَ هَذَانِ الْمِصْرَانِ أَتَوْا عُمَرَ فَقَالُوا يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ إِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدَّ لأَهْلِ نَجْدٍ قَرْنًا وَهُوَ جَوْرٌ عَنْ طَرِيقِنَا وَإِنَّا إِنْ أَرَدْنَا قَرْنًا شَقَّ عَلَيْنَا قَالَ فَانْظُرُوا حَذْوَهَا مِنْ طَرِيقِكُمْ فَحَدَّ لَهُمْ ذَاتَ عِرْقٍ.
“Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Setelah dua kota, Basrah dan Kufah ditaklukkan, mereka mendatangi Khalifah Umar, lalu berkata: “Wahai Amirul Mukmin, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikan Qarn sebagai batas miqat bagi penduduk Najd, dan itu jauh dari jalan kami. Dan apabila kami hendak ke Qarn, kami terasa berat.” Ia menjawab: “Lihatlah daerah yang lurus Qarn di jalan kalian.” Lalu Umar menjadikan Dzatu ‘Irqin sebagai batas miqat bagi penduduk Iraq.” (HR. al-Bukhari, [1531]).

Al-Syaukani berkata, dari redaksi hadits di atas, tampaknya Khalifah Umar menetapkan Dzatu ‘Irqin sebagai batas miqat berdasarkan ijtihad atau qiyas. (Al-Syaukani, Nail al-Authar, 4/33). Dalam riwayat Ahmad [4455], terdapat tambahan, bahwa para sahabat menganalogikan Dzatu ‘Irqin dengan Qarn.

2) Para sahabat, dipimpin Khalifah Umar radhiyallahu ‘anhum menetapkan hukuman had bagi peminum khamr dengan 80 cambukan, dengan dianalogikan pada hukuman qadzaf (menuduh berzina), dengan alasan bahwa peminum khamr, itu mabuk. Jika mabuk dia akan meracau. Jika meracau, akan membuat tuduhan dusta. Sedangkan hukuman had penuduh adalah 80 cambukan. Karena itu para sahabat mencambuk peminum khamr dengan 80 cambukan. Al-Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya:

عَنْ عَلِىٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ جَلَدَ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم أَرْبَعِينَ وَجَلَدَ أَبُو بَكْرٍ أَرْبَعِينَ وَعُمَرُ ثَمَانِينَ وَكُلٌّ سُنَّةٌ.
“Ali radhiyallahu ‘anhu berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mencambuk 40 kali, Abu Bakar 40 kali, dan Umar 80 kali. Semuanya adalah sunnah.” (HR. Muslim [4554]).

Para ulama salaf, setelah generasi sahabat juga melakukan qiyas dalam hal ibadah. Para ulama tabi’in dan imam mujtahid banyak sekali melakukan qiyas dalam hal ibadah. Hal ini bisa dicontohkan dalam banyak kasus antara lain kasus hukum zakat:

Imam Malik dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa illat atau alasan kewajiban zakat dalam pertanian dan buah-buahan adalah faktor dapat menguatkan (iqtiyat) dan dapat disimpan (iddikhar). Oleh karena itu mereka mewajibkan zakat terhadap gandum, sya’ir, jagung, kurma, kacang, kacang himmish, kacang turmus dan julban. Bahkan madzhab Maliki mencatat dua puluh jenis hasil pertanian yang wajib dizakati, padahal yang dijelaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, hanya lima jenis saja, dengan alasan sama-sama menjadi makanan yang menguatkan dan dapat disimpan.

Sementara Imam Ahmad bin Hanbal, menurut pendapat yang paling populer dari beliau, alasan atau illat wajib zakat dalam pertanian adalah dapat dikeringkan dan mampu bertahan (al-yabas wa al-baqa’). Oleh karena itu, setiap hasil pertanian atau buah-buahan yang dapat dikeringkan dan mampu bertahan, wajib dizakati. Hal ini seperti gandum sult, beras, gandum dukhn, kacang masy, buah cumin, biji rami, biji mentimun, kerai, biji lobak, sesame, badam, kenari, kemiri dan lain-lain. (Al-Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni, juz 2 hlm 290-292).

Sementara Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa alasan atau illat wajib zakat pada pertanian dan buah-buahan adalah dapat mendatangkan hasil dan dapat dikembangkan (al-istighlal wa al-nama’). Oleh karena itu, Abu Hanifah mewajibkan zakat pada setiap tumbuh-tumbuhan dan buah-buahan yang keluar dari bumi, yang bertujuan diambil hasilnya dan dikembangkan. Sehingga seandainya seseorang memiliki lahan, ditanami bambu atau rumput, maka wajib dikeluarkan zakatnya. (Ibnu al-Humam, Fath al-Qadir, juz 2 hlm 502).

jawab :
>أن أصل العبادة لا يصح إثباته بالقياس، فلا يصح لنا أن نثبت صلاة جديدة مثلا لو جعل الإنسان قال في وسط النهارهناك صلاتان الظهر والعصر فيجعل في وسط الليل صلاتين العشاء والصلاة الأخري نقول هذا مردود غير مقبول، لماذا؟ لأن أصل العبادة لا يثبت بالقياس.
Syaikh Dr Saad as Syatsri mengatakan, “Ashl ibadah itu tidak boleh ditetapkan dengan dasar qiyas atau analog. Kita tidak boleh menetapkan shalat baru dengan dasar qiyas. Andai ada yang mengatakan bahwa di pertengahan siang ada dua shalat yaitu zhuhur dan ashar maka hendaknya di pertengahan malam juga ada dua shalat yaitu Isya dan selainnya. Dengan tegas kita katakan bahwa ini adalah amalan yang tertolak dan tidak diterima karena ashl ibadah tidaklah ditetapkan dengan qiyas.
بخلاف تفاريع العبادة فإننا قد نثبتها بواسطة القياس مثال ذلك لو جاء الإنسان فقال التيمم يشرع له التسمية قياسا على الوضوء. الوضوء واضح هناك الأحاديث ترد التسمية في الوضوء  فنقول بمشروعية التسمية للوضوء  لذا لو جاء الإنسان قال نقيس الوضوء بالاغتسال والتيمم فيقول يشرع لها البسملة فيكون بذلك وجهه.
Lain halnya dengan detail ibadah, maka terkadang kita menetapkannya dengan qiyas. Misalnya dituntunkan untuk menyebut nama Allah ketika bertayamum dengan dasar qiyas dengan wudhu. Untuk wudhu terdapat hadits yang menunjukkan dituntunkannya tasmiyah atau menyebut nama Allah ketika berwudhu sehingga dengan tegas kita katakan dituntunkan menyebut nama Allah ketika berwudhu sehingga jika ada yang mengatakan kita analogkan mandi dan tayamum dengan wudhu oleh karena itu dituntunkan menyebut nama Allah ketika itu maka ini adalah pendapat yang sangat beralasan”[Muhadharah Virtual Pertama untuk materi Fiqh Ibadah dalam Daurah Minah yang diselenggarakan oleh Jamiah al Ma’rifah al ‘Alamiyyah 1433 H tepatnya pada menit 9:12 sampai 10:26 dalam rekaman muhadharah]

Tidak ada komentar: