syubhat :
Para sahabat dan pengikut mereka telah melakukan qiyas dalam hal ibadah, sebagaimana dalam beberapa kasus berikuti ini:
1)
Khalifah Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu menjadikan Dzatu
‘Irqin sebagai miqat bagi penduduk Iraq ketika menunaikan ibadah haji,
melalui ijtihad atau qiyas dengan dianalogikan pada Qarn, sebagai miqat
bagi penduduk Najd. Al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya:
عَنْ
ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ لَمَّا فُتِحَ هَذَانِ
الْمِصْرَانِ أَتَوْا عُمَرَ فَقَالُوا يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ إِنَّ
رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدَّ لأَهْلِ نَجْدٍ
قَرْنًا وَهُوَ جَوْرٌ عَنْ طَرِيقِنَا وَإِنَّا إِنْ أَرَدْنَا قَرْنًا
شَقَّ عَلَيْنَا قَالَ فَانْظُرُوا حَذْوَهَا مِنْ طَرِيقِكُمْ فَحَدَّ
لَهُمْ ذَاتَ عِرْقٍ.
“Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata:
“Setelah dua kota, Basrah dan Kufah ditaklukkan, mereka mendatangi
Khalifah Umar, lalu berkata: “Wahai Amirul Mukmin, sesungguhnya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikan Qarn sebagai batas
miqat bagi penduduk Najd, dan itu jauh dari jalan kami. Dan apabila kami
hendak ke Qarn, kami terasa berat.” Ia menjawab: “Lihatlah daerah yang
lurus Qarn di jalan kalian.” Lalu Umar menjadikan Dzatu ‘Irqin sebagai
batas miqat bagi penduduk Iraq.” (HR. al-Bukhari, [1531]).
Al-Syaukani
berkata, dari redaksi hadits di atas, tampaknya Khalifah Umar
menetapkan Dzatu ‘Irqin sebagai batas miqat berdasarkan ijtihad atau
qiyas. (Al-Syaukani, Nail al-Authar, 4/33). Dalam riwayat Ahmad [4455],
terdapat tambahan, bahwa para sahabat menganalogikan Dzatu ‘Irqin dengan
Qarn.
2) Para sahabat, dipimpin Khalifah Umar radhiyallahu
‘anhum menetapkan hukuman had bagi peminum khamr dengan 80 cambukan,
dengan dianalogikan pada hukuman qadzaf (menuduh berzina), dengan alasan
bahwa peminum khamr, itu mabuk. Jika mabuk dia akan meracau. Jika
meracau, akan membuat tuduhan dusta. Sedangkan hukuman had penuduh
adalah 80 cambukan. Karena itu para sahabat mencambuk peminum khamr
dengan 80 cambukan. Al-Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya:
عَنْ
عَلِىٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ جَلَدَ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم
أَرْبَعِينَ وَجَلَدَ أَبُو بَكْرٍ أَرْبَعِينَ وَعُمَرُ ثَمَانِينَ
وَكُلٌّ سُنَّةٌ.
“Ali radhiyallahu ‘anhu berkata: “Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam mencambuk 40 kali, Abu Bakar 40 kali, dan
Umar 80 kali. Semuanya adalah sunnah.” (HR. Muslim [4554]).
Para
ulama salaf, setelah generasi sahabat juga melakukan qiyas dalam hal
ibadah. Para ulama tabi’in dan imam mujtahid banyak sekali melakukan
qiyas dalam hal ibadah. Hal ini bisa dicontohkan dalam banyak kasus
antara lain kasus hukum zakat:
Imam Malik dan Imam Syafi’i
berpendapat bahwa illat atau alasan kewajiban zakat dalam pertanian dan
buah-buahan adalah faktor dapat menguatkan (iqtiyat) dan dapat disimpan
(iddikhar). Oleh karena itu mereka mewajibkan zakat terhadap gandum,
sya’ir, jagung, kurma, kacang, kacang himmish, kacang turmus dan julban.
Bahkan madzhab Maliki mencatat dua puluh jenis hasil pertanian yang
wajib dizakati, padahal yang dijelaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam, hanya lima jenis saja, dengan alasan sama-sama menjadi makanan
yang menguatkan dan dapat disimpan.
Sementara Imam Ahmad bin
Hanbal, menurut pendapat yang paling populer dari beliau, alasan atau
illat wajib zakat dalam pertanian adalah dapat dikeringkan dan mampu
bertahan (al-yabas wa al-baqa’). Oleh karena itu, setiap hasil pertanian
atau buah-buahan yang dapat dikeringkan dan mampu bertahan, wajib
dizakati. Hal ini seperti gandum sult, beras, gandum dukhn, kacang masy,
buah cumin, biji rami, biji mentimun, kerai, biji lobak, sesame, badam,
kenari, kemiri dan lain-lain. (Al-Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi,
al-Mughni, juz 2 hlm 290-292).
Sementara Imam Abu Hanifah
berpendapat bahwa alasan atau illat wajib zakat pada pertanian dan
buah-buahan adalah dapat mendatangkan hasil dan dapat dikembangkan
(al-istighlal wa al-nama’). Oleh karena itu, Abu Hanifah mewajibkan
zakat pada setiap tumbuh-tumbuhan dan buah-buahan yang keluar dari bumi,
yang bertujuan diambil hasilnya dan dikembangkan. Sehingga seandainya
seseorang memiliki lahan, ditanami bambu atau rumput, maka wajib
dikeluarkan zakatnya. (Ibnu al-Humam, Fath al-Qadir, juz 2 hlm 502).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar