Rabu, 07 Desember 2016

Syubhat quraish shihab (QS) seputar tafsir al maidah :51 bag II

TAFSIR QS AL-MAIDAH ; 51
Meluruskan Beberapa Syubhat Prof Dr Quraish Shihab
Edisi II
SYUBHAT QS I
Lalu bagaimana dengan syubhat-syubhat pernyataan Prof Dr Quraish Shihab (disingkat QS) dalam wawancara yang dimuat di media online yang mengatakan sebagai berikut. Menurut QS:
“Ayat al-Maidah : 51 di atas tidaklah berdiri sendiri namun memiliki kaitan dengan ayat-ayat sebelumnya. Hanya memenggal satu ayat dan melepaskan ayat lain berimplikasi pada kesimpulan akhir. Padahal, Al-Maidah ayat 51 merupakan kelanjutan atau konsekuensi dari petunjuk-petunjuk sebelumnya.”
TANGGAPAN
QS adalah seorang pakar tafsir yang dikatakan terbaik se-Asia Tenggara. Karyanya yang populer adalah Tafsir al-Misbah. Dalam tafsir tersebut, QS banyak menggunakan pendekatan tanasub atau munasabah, atau penjelasan tentang korelasi ayat-ayat yang berdampingan. Dalam tafsir tersebut, QS banyak merujuk pada tiga kitab tafsir:
1) Kitab tafsir Nazhm al-Durar fi Tanasub al-Ayat wa al-Suwar karya al-Imam Burhanuddin Ibrahim bin Umar al-Biqa’i al-Syafi’i al-Asy’ari,
2) Kitab tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir karya Syaikh Muhammad al-Thahir bin Asyur al-Maliki al-Asy’ari. Dengan membaca dua kitab tafsir ini, akan memberikan kesimpulan bahwa seluruh kandungan Tafsir al-Misbah adalah resum dan saduran dari kedua kitab tersebut. Dua kitab inilah yang mengantarkan QS menyandang gelar pakar tafsir terbaik se-Asia Tenggara. Tanpa kedua kitab tersebut, mustahil Tafsir al-Misbah akan lahir ke dunia, dan penulisnya menyandang gelar pakar tafsir terbaik se-Asia Tenggara.
3) Kitab Tafsir al-Manar karya Muhammad Rasyid Ridha, yang menghimpun dari kuliah gurunya, Syaikh Muhammad Abduh. Khusus kitab yang ketiga ini, sepertinya QS sangat kagum terhadap Rasyid Ridha, sehingga dalam bagian mukaddimah bukunya banyak mengikuti alur pemikiran Rasyid Ridha. Sebagaimana dimaklumi, Rasyid Ridha ini seorang penulis yang kontroversial. Di satu sisi ia terpengaruh dengan pemikiran Wahabi, terutama dalam mengkritisi kitab-kitab para ulama besar. Tetapi di sisi lain, Rasyid Ridha terpengaruh pemikiran Barat yang diterimanya dari gurunya, Syaikh Muhammad Abduh.
Terkait dengan penafsiran ayatal-Maidah : 51, ternyata QS membuat penafsiran sendiri dan tidak merujuk kepada kedua kitab yang mengantarnya menyandang gelar pakar tafsir terbaik se-Asia Tenggara, sehingga memberikan kesimpulan bahwa menurut QS, ayat al-Maidah : 51 tidak melarang memilih pemimpin non Muslim. Kesimpulan QS ini jelas salah dan keliru. Dalam tafsir Nazhm al-Durar fi Tanasub al-Ayat wa al-Suwar, Burhanuddin al-Biqa’i, ketika menafsirkan ayat al-Maidah : 51 tersebut berkata:
وَلَمَّا بَيَّنَ عِنَادَهُمْ وَأَنَّ عَدَاوَتَهُمْ لأَهْلِ هَذَا الدِّيْنِ الَّتِيْ حَمَلَتْهُمْ عَلىَ هَذَا اْلأَمْرِ الْعَظِيْمِ لَيْسَ بَعْدَهَا عَدَاوَةٌ، نَهَى مَنِ اتَّسَمَ بِاْلإِيْمَانِ عَنْ مُوَالاَتِهِمْ، لأَنَّهُ لاَ يَفْعَلُهَا بَعْدَ هَذَا الْبَيَانِ مُؤْمِنٌ وَلاَ عَاقِلٌ، فَقَالَ: {يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آَمَنُوْا لاَ تَتَّخِذُوْا الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ}
Setelah Allah menjelaskan penentangan dan permusuhan orang-orang Yahudi dan Nasrani terhadap pengikut agama Islam ini yang telah membawa mereka pada persoalan besar yang tidak ada permusuhan lagi sesudahnya, Allah melarang orang-orang yang memiliki keimanan untuk menjadikan mereka sebagai teman dekat. Karena setelah adanya penjelasan tersebut hubungan pertemanan dekat tidak akan dilakukan bersama mereka oleh seorang yang beriman dan berakal. Allah berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai auliya’.”
Kemudian al-Biqa’i menafsirkan auliya’ tersebut dengan berkata:
{يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آَمَنُوْا لاَ تَتَّخِذُوْا الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ} أَيْ أَقْرِبَاءَ تَفْعَلُوْنَ مَعَهُمْ مَا يَفْعَلُ الْقَرِيْبُ مَعَ قَرِيْبِهِ، وَتَرْجُوْنَ مِنْهُمْ مِثْلَ ذَلِكَ، وَهُمْ أَكْثَرُ النَّاسِ اِسْتِخْفَافاً بِكُمْ وَازْدِرَاءً لَكُمْ؛
“Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai auliya’”, yaitu para kerabat dekat, yang kalian perlakukan mereka seperti seorang kerabat memperlakukan kerabat dekatnya, dan kalian mengharap perlakuan yang sama dari mereka, padahal mereka adalah manusia yang paling banyak meremehkan dan menghina kalian.”
Dalam uraian di atas, jelas sekali al-Biqa’i menafsirkan auliya’ dengan kerabat dekat, yang saling mengetahui rahasia masing-masing, saling tolong menolong dan melakukan pemihakan di antara mereka. Penafsiran ini mirip dengan penafsiran para ulama lainnya, yang menafsirkan auliya’ dengan teman setia dan sahabat yang saling mengasihi, di mana di antara mereka tidak ada rahasia dan saling tolong menolong dalam berbagai persoalan. Pertanyaannya sekarang adalah, apakah larangan ayat tersebut hanya sebatas teman setia, kerabat dekat dan sahabat yang saling mengasihi, dan tidak melarang untuk memilihnya sebagai pemimpin? Jelas tidak demikian. Sebagaimana halnya para ulama lainnya, al-Biqa’i justru mengisyaratkan dengan cerdas, bahwa apabila menjadikan orang kafir seperti kerabat dekat saja dilarang, apalagi memberinya kepercayaan dalam sebuah jabatan, tentu saja sangat dilarang. Oleh karena itu al-Biqa’i mengakhiri penafsirannya dengan berkata:
{إِنَّ اللهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِيْنَ } وَهَذَا تَغْلِيْظٌ مِنَ اللهِ وَتَشْدِيْدٌ فِيْ وُجُوْبِ مُجَانَبَةِ الْمُخَالِفِ فِي الدِّيْنِ وَاعْتِزَالِهِ - كَمَا قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لاَ تَرَاءَى نَارَاهُمَا» وَمِنْهُ قَوْلُ عُمَرَ لأَبِيْ مُوْسَى رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا حِيْنَ اتَّخَذَ كَاتِباً نَصْرَانِياً: لاَ تُكْرِمُوْهُمْ إِذْ أَهَانَهُمُ اللهُ، وَلاَ تَأْمَنُوْهُمْ إِذْ خَوَّنَهُمُ اللهُ، وَلاَ تُدْنُوْهُمْ إِذْ أَقْصَاهُمُ اللهُ، وَرُوِيَ أَنَّ أَبَا مُوْسَى رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: لاَ قِوَامَ لِلْبَصْرَةِ إِلاَّ بِهِ، فَقَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: مَاتَ النَّصْرَانِيُّ - وَالسَّلاَمُ، يَعْنِيْ هَبْ أَنَّهُ مَاتَ فَمَا كُنْتَ صَانِعاً حِيْنَئِذٍ فَاصْنَعْهُ السَّاعَةَ.
“Sesungguhnya Allah tidak akan memberikan petunjuk pada orang-orang yang zalim”. Ayat ini adalah ancaman keras dari Allah dan peringatan keras tentang wajibnya menjauhi orang yang berbeda agama dan mengasingkan diri dari mereka, sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jangan sampai api seorang Muslim dan orang kafir itu saling kelihatan.” Di antaranya lagi adalah perkataan Umar kepada Abu Musa radhiyallaahu ‘anhuma ketika ia mengangkat seorang sekretaris beragama Nasrani: “Janganlah kalian muliakan mereka setelah Allah menghinakan mereka, janganlah memberi kepercayaan mereka, setelah Allah menilai mereka pengkhianat, dan janganlah mendekatkan mereka, setelah Allah menjauhkan mereka.” Diriwayatkan, bahwa Abu Musa radhiyallaahu ‘anhu berkata: “Urusan administrasi di Basrah tidak akan terlaksana tanpa sekretatis Nasrani tersebut.” Lalu Umar menjawab: “Kalau orang Nasrani tersebut meninggal, apa yang akan kamu lakukan pada saat itu, maka lakukanlah dari sekarang.” (Al-Biqa’i, Nazhm al-Durar fi Tanasub al-Ayat wa al-Suwar, juz 2 hlm 480-481, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, 2003).
Dalam paparan di atas jelas sekali, bahwa al-Biqa’i menafsirkan auliya’ dengan kerabat dekat, termasuk dalam konteks al-tanbih bi al-adna ‘ala al-a’la, menjelaskan hukum yang volumenya rendah, sebagai peringatan keberlakuan hukum tersebut pada volume yang lebih tinggi.
SYUBHAT QS II
Bagaimana tanggapan Anda terhadap pernyataan QS berikut ini:
Kita lihat, jika mereka juga menginginkan kemaslahatan untuk kita, boleh tidak kita bersahabat? Quraish Shihab kembali bertanya, jika ada pilihan antara pilot pesawat yang pandai namun kafir dan pilot kurang pandai yang Muslim, “pilih mana?” sontak jamaah yang hadir pun tertawa.
Atau, pilihan antara dokter Nasrani yang kaya pengalaman dan dokter Muslim tapi minim pengalaman. Dalam konteks seperti ini, bagi Quraish Shihab, tidak dilarang. Yang terlarang ialah melebur sehingga tidak ada lagi perbedaan termasuk dalam kepribadian dan keyakinan. Karena tidak ada lagi batas, kita menyampaikan hal-hal yang berupa rahasia pada mereka. “Itu yang terlarang.”
TANGGAPAN
Jawaban QS di atas tidak memberikan jawaban, tidak mendidik layaknya seorang pakar, dan justru lari dari persoalan. Dalam ilmu logika atau ilmu jadal, pertanyaan yang bersifat general atau umum, tidak boleh dijawab dengan jawaban yang bersifat spesifik atau khusus, dengan melokalisir persoalan pada permasalahan tertentu, karena akan memberikan banyak ruangan yang tidak terjawab, dan sama saja jawaban tersebut lari dari persoalan yang ditanyakan.
Kita perhatikan dalam dialog di atas, pertanyaan yang diajukan bersifat umum, yaitu seandainya orang kafir menginginkan kemaslahatan kepada kitab, bolehkan kita bersahabat? Jawaban dari pertanyaan ini haruslah bersifat umum, tidak dilokalisir pada kasus tertentu seperti pilot dan dokter dalam tanya jawab QS di atas. Persoalan seperti ini telah dijelaskan oleh para ulama tentang hukum persahabatan dengan non Muslim. Al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami berkata:
قَالُوْا أَيْ أَئِمَّتُنَا: وَيَحْرُمُ مُوَادَّةُ الْكَافِرِ بِالْقَلْبِ وَيُكْرَهُ بِالظَّاهِرِ، وَقِيَاسُهُ أَنَّهُ يَحْرُمُ مُوَادَّةُ الْفَاسِقِ وَالْمُبْتَدِعِ بِالْقَلْبِ إِلاَّ لِغَرَضٍ صَالِحٍ كَكَوْنِهِ قَرِيْبًا وَكَظَنِّ هِدَايَتِهِ وَكَالنَّظَرِ إِلىَ مِنَّةِ اللهِ تَعَالىَ عَلَيْهِ بِاْلإِسْلاَمِ وَتَوْفِيْقِهِ لَهُ.
Para imam kami berkata: Haram hukumnya bersahabat dengan orang kafir secara batin, dan makruh bersahabat secara lahiriah. Analoginya, haram pula bersahabat dengan orang fasik dan ahli bid’ah dengan hati, kecuali karena tujuan yang baik, seperti dengan kerabat, atau dugaan kuat ia memperoleh hidayah, dan seperti melihat pemberian dan pertolongan Allah kepadanya dengan Islam. (Ibnu Hajar al-Haitami, Asna al-Mathalib fi Shilah al-Aqarib, hlm 237).
Dalam paparan di atas, dijelaskan bahwa bersahabat dengan beda agama, apabila sebatas lahiriah saja, adalah makruh. Yang diharamkan adalah apabila persahabatan secara batin, dalam arti antara yang satu dengan lainnya saling mengetahui rahasia, saling mengasihi, saling tolong menolong dan ada pemihakan.
Sedangkan hubungan transaksi seperti jual beli, berobat, mengikuti mereka sebagai pilot dan sebagainya, hal ini tidak termasuk menjadikan mereka sebagai auliya’ yang dilarang dalam al-Qur’an. Syaikh Muhammad al-Thahir bin Asyur, ketika menafsirkan ayat al-Maidah : 51, berkata dalam tafsirnya al-Tahrir wa al-Tanwir sebagai berikut:
وَأَدْنَى دَرَجَاتِ الْمُوَالاَةِ الْمُخَالَطَةُ وَالْمُلابَسَةُ فِي التِّجَارَةِ وَنَحْوِهَا. وَدُونَ ذَلِكَ مَا لَيْسَ بِمُوَالاَةٍ أَصْلاً، وَهُوَ الْمُعَامَلَةُ. وَقَدْ عَامل النّبي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَهُودَ خَيْبَرَ مُسَاقَاةً عَلَى نَخْلِ خَيْبَرَ، وَقَدْ بَيَّنَّا شَيْئًا مِنْ تَفْصِيلِ هَذَا عِنْدَ قَوْلِهِ تَعَالَى: لاَ يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكافِرِينَ أَوْلِياءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ فِي سُورَةِ آلِ عِمْرَانَ.
Persahabatan yang paling rendah derajatnya adalah bekerjasama dan berbaur dalam perdagangan dan semacamnya. Di bawah itu ada yang bukan muwalat (pertemanan sejati yang dilarang) sama sekali, yaitu muamalah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bermuamalah dengan Yahudi di Khaibar dengan akad musaqat, mempekerjakan mereka untuk menyiram pertanian kurma di Khaibar. Kami telah menjelaskan sebagian rincian hal ini ketika firman Allah: “Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin.” QS Alu-Imran : 28”. (Muhammad al-Thahir bin Asyur, al-Tahrir wa al-Tanwir, juz 6 hlm 213).
Dalam paparan di atas, persoalan muamalah dan berbagai macam transaksi sehari-hari seperti jual beli, bekerja sebagai buruh, berobat dan semacamnya tidak termasuk dalam wilayah muwalah atau auliya’ yang dilarang dalam ayat al-Maidah : 51.
Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar: