(Bagian pertama dari tiga tulisan)
Dalam Shahih–nya, Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhu. Terjemahan bebas hadits ini ialah: “Perumpamaan eksistensi kalian (umat Islam) dibanding umat-umat sebelum kalian ialah seperti waktu antara salat asar hingga tenggelam matahari. Ahli Taurat (Yahudi) diberi kitab Taurat, lalu beramal sehingga tatkala mencapai tengah hari (zuhur) mereka tak sanggup lagi beramal, lalu diberi pahala seqirat-seqirat. Kemudian ahli Injil (Nasrani) diberi Injil, lalu beramal hingga masuk waktu salat asar, lalu tidak sanggup melanjutkan, lalu diberi pahala seqirat-seqirat. Kemudian kita diberi Al–Qur’an, dan kita beramal (dari asar) hingga tenggelam matahari, dan kita diberi pahala dua qirat-dua qirat. Maka, kedua ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) bertanya, ‘Wahai Rabb kami, (mengapa) Engkau beri mereka (muslimin) pahala dua qirat, dan kami (hanya) satu qirat, padahal kami lebih banyak amalnya?’ ‘Apakah Aku mengurangi pahala (yang kujanjikan) bagi kalian?’ tanya Allah. ‘Tidak,’ jawab mereka. ‘Itulah keutamaan yang kuberikan kepada siapa yang kukehendaki,’ jawab Allah”.
Dalam hadits lainnya, Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Musa Al–Asy’ari, bahwa Nabi shallallaahu’alaihi wa sallam bersabda yang artinya: “Perumpamaan kaum muslimin, Yahudi, dan Nasrani ialah seperti seseorang yang menyewa suatu kaum agar bekerja hingga malam. Maka kaum tersebut bekerja hingga tengah hari dan mengatakan, ‘Kami tak butuh kepada upahmu.’ Lalu, orang tersebut mengupah kaum lainnya dan berkata, ‘Lanjutkanlah waktu yang tersisa dari hari ini dan kalian akan mendapat upah yang kusyaratkan.’ Maka, mereka pun bekerja hingga tiba waktu salat asar dan berkata, ‘Jerih payah kami untukmu (tidak minta upah).’ Kemudian, orang tersebut menyewa
kaum lainnya dan kaum tersebut bekerja mengisi sisa waktu hari itu
hingga tenggelam matahari dan mereka mendapat upah sebanyak upah kedua
kaum sebelumnya.”1
Dalam syarahnya yang berjudul Fathul Baari (jilid 4 hal 566 cet. Daarul Kutub Al–Ilmiyyah), Ibnu Hajar mengatakan sebagai berikut yang artinya: “Hadits ini dijadikan dalil2
bahwa eksistensi umat ini mencapai lebih dari seribu tahun, sebab
konsekuensi dari hadits ini ialah bahwa eksistensi Yahudi setara dengan
gabungan eksistensi (umur) Nasrani dan muslimin. Sedangkan ahli sejarah telah sepakat bahwa tenggang waktu yang dilalui umat Yahudi hingga diutusnya Nabi adalah lebih dari 2000 tahun, sedangkan tempo yang dilalui Nasrani hingga diutusnya Nabi adalah 600 tahun, dan ada pula yang mengatakan kurang dari itu, sehingga tempo yang akan dilalui kaum muslimin pasti lebih dari seribu tahun.”
Ibnu Hajar juga mengatakan sebelumnya sebagai berikut: “Hadits ini juga mengandung isyarat akan singkatnya umur dunia yang tersisa. Jadi, kalkulasi umur umat Islam sama dengan umur Yahudi dikurangi umur Nasrani, alias 2000 lebih sedikit dikurangi 600 tahun, yakni 1400 tahun lebih sedikit.”
Sementara itu, As–Suyuti dalam kitab (الكشف عن مجاوزة هذه الأمة الألف)
mengatakan: “Berdasarkan sejumlah riwayat (atsar), umur umat ini
(islam) adalah lebih dari seribu tahun, namun lebihnya tidak mungkin
lebih dari 500 tahun (al Kasyf hal 206). Artinya, maksimal umur umat ini
adalah 1500 tahun.”
Dari kedua pendapat
inilah lantas disimpulkan bahwa umur umat Islam berkisar antara
1400-1500 tahun, sedangkan kita saat ini berada pada tahun 1437 H.
Sebagaimana dimaklumi, bila ditambahkan 13 tahun (periode prahijrah
sejak masa kenabian Rasulullah shallallaahu’alaihi wa sallam),
berarti umur umat Islam saat ini adalah 1450 tahun. Artinya, tempo yang
tersisa sehingga umat ini punah ialah 50 tahun saja. Dan bila kita
tinjau dari hadits shahih
tentang turunnya Isa Al-Masih di akhir zaman menjelang kiamat, kita
dapatkan bahwa Isa Al-Masih akan hidup selama 40 tahun di bumi sebelum
akhirnya wafat dan disalatkan oleh kaum Muslimin (berdasarkan H.R. Abu
Dawud, disahihkan oleh Al-Albani). “Artinya, turunnya Isa Al-Masih
tinggal kurang dari 10 tahun lagi dari sekarang! Dan turunnya Isa
Al-Masih merupakan salah satu tanda besar hari kiamat!” demikianlah
menurut pendapat yang meyakini kalkulasi tersebut.
Koreksi Atas Kalkulasi Di Atas
Perlu diketahui,
bahwa kedua hadits dalam Shahih Bukhari di atas, bukanlah dalam konteks
menjelaskan umur umat Islam, melainkan sekadar membuat perumpamaan. Hal
ini dijelaskan oleh Ibnu Rajab Al-Hanbali (wafat 795 H): “Hadits ini
disampaikan oleh Nabi shallallaahu’alaihi wa sallam sekedar sebagai perumpamaan, dan perumpamaan itu cenderung bersifat longgar.” (Fathul Baari 4/341)
Sementara itu,
Imamul Haramain (wafat 478 H) mengatakan: “Hukum-hukum agama tidak boleh
diambil dari hadits-hadits yang disampaikan dalam bentuk perumpamaan.”
(Fathul Baari 2/50).
Jadi, sabda Nabi shallallaahu’alaihi wa sallam bahwa, “Perumpamaan eksistensi kalian (umat Islam) dibanding umat-umat sebelum kalian…” jelas dalam rangka membuat perumpamaan karena menggunakan harf tasybih (“kaaf”). Ini bisa dilihat kembali dalam lanjutan hadits tersebut (كما بين صلاة العصر إلى غروب الشمس) yang diterjemahkan sebagai “seperti waktu antara salat asar hingga tenggelam matahari”.
Perhatikan satu contoh ketika dikatakan (كاألسد زيد)
“Zaid seperti singa”, artinya bukan berarti sama persis seperti singa,
melainkan ada salah satu sifat khas singa yang dimiliki Zaid, yaitu
pemberani. Dan berdasar kaidah dalam metode penyerupaan, yang
diserupakan tidak harus sama dengan contohnya, kata benda yang terletak
sebelum kata “seperti” tidak harus sama persis dengan yang terletak
setelahnya. Ibnu Hajar mengatakan, “Penyerupaan dan permisalan tidak
harus berarti menyamakan dari semua sisi” (Fathul Baari, 2/50).
Dengan demikian,
ketika Nabi menyerupakan eksistensi kita dibanding umat-umat sebelumnya
ialah seperti tempo antara masuknya waktu asar hingga terbenam matahari,
maka ini sekedar permisalan dengan maksud mubaalaghah
(majas hiperbola) dalam menjelaskan dekatnya terjadinya hari kiamat.
Dan hal ini bukan berarti bahwa eksistensi umat akan sesingkat itu. Dari
sini, jelaslah bahwa Nabi tidak sedang menjelaskan umur umat Islam
dalam hadits tersebut, sebagaimana yang dipahami oleh sebagian kalangan.
Bersambung…
Solo, 29 Jumada Tsaniyah 1437 H, bertepatan dengan 7 Maret 2016 M.
***
Penulis: Dr. Sufyan bin Fuad Baswedan
Doktor Ilmu Hadits dari Universitas Islam Madinah, KSA.
Referensi:
-
Kitab (الإفحام لمن زعم انقضاء عمر أمة الإسلام), Abdul Hamid Hindawi.
-
Risalah (كم الباقي من عمر الدنيا؟) Ash Shan’ani.
-
Shahih Bukhari.
-
Fathul Baari, Ibnu Rojab Al Hambaly.
-
Fathul Baari, Ibnu Hajar Al Asqalani.
-
(كتب ورسائل الشيخ ابن عثيمين 8/117) Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin.
1
Artinya, walau tempo kerja mereka paling singkat, namun upahnya setara
dengan upah yang disyaratkan bagi kedua kaum sebelum mereka, yang
bekerja dari pagi hingga sore.
2
Ini berarti bahwa Ibn Hajar sekadar menukil pendapat sebagian kalangan
dalam menafsirkan hadits tersebut tanpa menyebut siapa orang yang
berpendapat. Dengan kata lain, ini pendapat yang bersumber dari orang
misterius yang agaknya bukan tergolong ulama panutan. Andai saja
orangnya tergolong ulama panutan, pastilah namanya layak untuk
disebutkan. Jadi, Ibnu Hajar sendiri sama sekali tidak bisa dianggap
menyetujui pendapat tersebut karena beliau sendiri menukilnya dengan shighat mabni lil majhul, yang identik dengan shighat tamridh, dan shighat tamridh mengesankan lemahnya pendapat yang dinukil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar