Jumat, 23 September 2016

Benarkah Nafkah Adalah “Uang Jajan” Bagi Istri?


Sebuah tulisan di blog menyatakan,

“kalau kita kembalikan kepada aturan asalnya, yang namanya nafkah itu lebih merupakan ‘gaji’ atau honor dari seorang suami kepada istrinya. Sebagaimana ‘uang jajan’ yang diberikan oleh seorang ayah kepada anaknya.

Adapun kebutuhan rumah tangga, baik untuk makan, pakaian, rumah, listrik, air, sampah dan semuanya, sebenarnya di luar dari nafkah suami kepada istri. Kewajiban mengeluarkan semua biaya itu bukan kewajiban istri, melainkan kewajiban suami”

Inti dari tulisan tersebut menyatakan bahwa yang disebut nafkah dari suami kepada istri adalah pemberian suami di luar pemenuhan kebutuhan rumah, makan, pakaian dan turunannya yang bebas digunakan istri sesuai keinginannya. Dan menurut tulisan ini, nafkah dari suami adalah sebagaimana uang jajan dari orang tua kepada anaknya.

Sanggahan untuk pernyataan ini, terdiri dari beberapa poin:

Definisi nafkah istri secara syar’i adalah kebutuhan pokok dan umumnya berupa quut(makanan pokok), pakaian, tempat tinggal dan turunan-turunannya

Setelah mengetahui wajibnya nafkah suami kepada istri, kita telaah apa yang dimaksud nafkah. Nafkah atau an nafaqah secara bahasa artinya pengeluaran. Dalam kitab Al Fiqhul Muyassar (1/337) dijelaskan,

النفقة لغة: مأخوذة من الإنفاق، وهو في الأصل بمعنى الإخراج والنفاد، ولا يستعمل الإنفاق إلا في الخير

“An Nafaqah secara bahasa diambil dari dari kata al infaq, yang pada dasarnya bermakna: pengeluaran. Dan kata al infaq ini tidak digunakan kecuali dalam hal yang baik”.

Maka semua jenis pengeluaran harta itu secara bahasa dapat disebut infaq atau nafaqah,termasuk pula pengeluaran harta seorang suami untuk istrinya.

Sedangkan, makna nafaqah secara istilah (dan ini yang kita bahas), para ulama mendefinisikan sebagai berikut. Dalam Majma’ Al Anhar (1/484), kitab fiqih Hanafi, disebutkan definisi nafaqah:

مَا يَتَوَقَّفُ عَلَيْهِ بَقَاءُ شَيْءٍ مِنْ نَحْوِ مَأْكُولٍ وَمَلْبُوسٍ وَسُكْنَى

“sesuatu yang keberlangsungan sesuatu ditegakkan di atasnya, semisal makanan, pakaian dan tempat tinggal”

Dalam Fathul Qadir Ibnu Hammam (4/287) disebutkan juga definisi nafaqah,

الْإِدْرَارُ عَلَى الشَّيْءِ بِمَا بِهِ بَقَاؤُهُ

“menyediakan untuk sesuatu yang bisa membuatnya tetap ada dan berlangsung”.

Dalam Ad Durr Al Mukhtar, kitab fiqih Syafi’i, disebutkan:

هِيَ الطَّعَامُ وَالْكُسْوَةُ وَالسُّكْنَى

“nafaqah adalah makanan, pakaian dan tempat tinggal” (dinukil dari Ar Raddul Mukhtar, 3/572).

Dalam Al Fiqhul Muyassar (1/337) juga disebutkan:

وشرعاً: كفاية من يَمُونُه بالمعروف قوتاً، وكسوة، ومسكناً، وتوابعها

“secara syar’i, nafaqah artinya memberikan kecukupan kepada orang yang menjadi tanggungannya dengan ma’ruf berupa quut(makanan pokok), pakaian, tempat tinggal dan turunan-turunan dari tiga hal tersebut”

Jika kita telaah perkataan para ulama, maka kita akan dapati mereka mendefinisikan bahwa nafkah itu tidak lepas dari 2 hal:

Nafkah adalah sesuatu yang membuat pihak yang diberi nafkah tetap eksis. Maka nafkah untuk istri adalah memberikan sesuatu (sebab) yang membuat istri tetap hidup, tetap sehat dan tergaja sebagaimana mestinya manusia. Dengan kata lain, nafkah bisa kita sebut dengan kebutuhan primer.Nafkah pada umumnya berupa tiga hal: makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Yang tiga hal ini berdasarikan dalil syar’i dan juga disepakati setiap orang yang berakal merupakan kebutuhan primer manusia.

Maka, memaknai nafkah sebagai “uang jajan” sama sekali tidak sesuai dengan definisi nafkah yang disebutkan para ulama. Karena “uang jajan” bukanlah kebutuhan primer.

Tidak ada komentar: