hadits ibnu Abbas radliyallahu ‘anhuma:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كُنَّا نَعْرِفُ انْقِضَاءَ صَلاَةِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِالتَّكْبِيرِ.
“Dari ibnu Abbas ia berkata, “Dahulu kami mengetahui selesainya sholat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan takbir.” (HR Muslim).
Dalam riwayat lain:
أَنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِينَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنَ الْمَكْتُوبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم-. وَأَنَّهُ قَالَ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ كُنْتُ أَعْلَمُ إِذَا انْصَرَفُوا بِذَلِكَ إِذَا سَمِعْتُهُ.
“Sesungguhnya mengangkat suara dengan dzikir setelah manusia selesai melaksanakan sholat fardlu ada di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Ibnu Abbas berkata, “Aku mengetahui selesainya sholat mereka apabila aku mendengar suara.” (HR Al Bukhari dan Muslim).
Sebagian ulama berpendapat bahwa berdzikir setelah sholat hendaknya disirrkan berdasarkan keumuman ayat yang memerintahkan kita untuk berdzikir secara lirih:
وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعاً وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ
“Dan berdzikirlah (mengingat) Rabbmu pada dirimu dengan penuh ketundukkan dan rasa takut dan suara yang tidak keras.” (QS Al A’raaf: 205).
Ini adalah pendapat jumhur ulama. Mereka menjawab hadits ibnu Abbas di atas bahwa hadits itu adalah dalam rangka ta’lim (mengajarkan) dzikir-dzikir setelah shalat[lihat syarah Al Muhadzab karya imam An nawawi rahimahullah 5/84.]. Ibnu Bathal rahimahullah berkata, “Perkataan ibnu Abbas, “Sesungguhnya mengangkat suara dengan dzikir setelah manusia selesai melaksanakan sholat fardlu ada di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.” Menunjukkan bahwa perbuatan tersebut tidak dilakukan di zaman shahabat ketika ibnu Abbas menceritakan ini. Sebab kalaulah perbuatan tersebut dilakukan di zaman shahabat tentunya perkataan ibnu Abbas, “…ada di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.” tidak mempunya makna. Ini sama halnya dengan perbuatan Abu Hurairah yang bertakbir pada setiap turun dan naik, dan berkata, “Aku adalah orang yang paling serupa shalatnya dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” Padahal perbuatan tersebut tidak dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam secara terus menerus sepanjang hidupnya. Lalu para shahabat memahami bahwa perbuatan itu bukan sesuatu yang dilakukan terus menerus. Maka merekapun meninggalkannya karena ada kekhawatiran akan disangka oleh orang yang kurang ilmunya bahwa perbuatan itu adalah syarat sah shalat. Oleh karena itu sebagian fuqoha memakruhkannya. Dan diriwayatkan dari Abiidah bahwa ia menganggapnya bid’ah.”
[Syarah shahih Al Bukhari karya ibnu Bathal 2/458.]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar