Jumat, 30 September 2016

Ibnu taimiyyah menolak hadits ahad dalam aqidah?


Syubhat:
Ibnu Taimiyyah berkata :

ان هذا من خبر الاحاد فكيف يثبت به اصل الدين اللذي لا يصح لايمان الا به

“ sesungguhnya ini termasuk hadits aahad, bagaimana pondasi agama yang merupakan standar keabasahan iman, bisa menjadi tsubut / tetap dengannya“. (Minhaj As-Sunnah juz 2 hal : 133)

Jawab:
Ibn Taimiyyah (716 H) berkata : “Oleh karena itu, pendapat yang benar adalah hadits ahad bisa memberikan ilmu (keyakinan) manakala didukung oleh qarinah-qarinah yang meyakinkan, -demikian ini ucapan jumhur ulama-,…Meskipun asalnya dia sendiri tidak memberikan ilmu (keyakinan), akan tetapi ketika disertai oleh Ijma’ Ahli Hadits yang menerima dan membenarkannya, maka kedudukannya seperti Ijma’ ulama ahli fiqh atas satu hukum yang didasarkan kepada makna zhahir atau qiyas atau hadits ahad. Menurut jumhur, maka hukum tersebut menjadi qath’i. Dan jika tanpa Ijma’, maka tidak qath’i, sebab Ijma’ itu ma’shum”. (Majmu’ Al Fatawa 18/ 40, 41, 48, 70). Al Amidi (551-631 H) mengatakan : “Pendapat yang terpilih adalah terwujudnya ilmu (keyakinan) dengan hadits ahad bila didukung oleh qarinah. Dan hal tersebut tidak mungkin tanpa qarinah”. (Al Ihkam Fi Ushul Al Ahkam, 2/ 50). Kesimpulannya, secara umum hadits ahad itu memiliki karakter memberikan zhann, akan tetapi ucapan zhanniyah al hadits tidak bermakna lagi setelah hadits itu benar-benar dinyatakan shahih dan diterima oleh para ulama ahli hadits, sebab syarat-syarat yang diterapkan untuk menshahihkannya dan qarinah penerimaan ulama terhadapnya telah menghilangkan seluruh makna zhann. Maka pada saat itu, hadits ahad memberikan keyakinan atau ilmu. Tetapi ilmu di sini bersifat nazhari, artinya didapat setelah penelitian oleh para ahlinya, bukan ilmu dharuri (apriori dan aksiomatik) yang didapat secara otomatis.

Tidak ada komentar: