Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى
أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ
فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ (51)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang
Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka
adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu
mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk
golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang lalim.” (QS al-Maidah : 51).
Demikian terjemahan
yang saya kutip dari sebagian versi. Sebagian versi terjemahan,
menerjemahkan, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani
menjadi teman setia dan sahabat-sahabat (mu).
Dari kedua versi
terjemahan tersebut, terjemahan manakah yang benar? Atau salahkah
terjemahan auliya’ dengan terjemahan pemimpin-pemimpin (mu)?
Untuk menjawab kedua pertanyaan ini, marilah kita buka tafsir al-Razi
dan Tafsir al-Jalalain, dua kitab tafsir yang menjadi kajian para ulama
di Indonesia. Dalam tafsir al-Jalalain dijelaskan:
{يأيها
الَّذِينَ آمَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا الْيَهُود وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاء}
تُوَالُونَهُمْ وَتُوَادُّونَهُمْ {بَعْضهمْ أَوْلِيَاء بَعْض}
لاِتِّحَادِهِمْ فِي الْكُفْر {وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ
مِنْهُمْ} مِنْ جُمْلَتهمْ {إنَّ اللهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْم
الظَّالِمِينَ} بموالاتهم الكفار
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi auliya’
(yang kalian jadikan sebagai teman setia dan sahabat yang saling
mengasihi); sebagian mereka adalah auliya’ bagi sebagian yang lain
(karena kesatuan mereka dalam kekufuran). Barang siapa di antara kamu
mengambil mereka menjadi teman setia, maka sesungguhnya orang itu
termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk
kepada orang-orang yang lalim (dengan menjadikan orang-orang kafir
sebagai teman setia).” (QS al-Maidah : 51).
Dalam Tafsir al-Jalalain di atas, jelas sekali, bahwa auliya’ ditafsirkan dengan teman setia dan sahabat yang saling mengasihi.
Al-Imam al-Razi berkata dalam kitabnya al-Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghaib sebagai berikut:
وَمَعْنَى لاَ تَتَّخِذُوهُمْ أَوْلِيَاءَ: أَيْ لاَ تَعْتَمِدُوا عَلَى اْلاِسْتِنْصَارِ بِهِمْ، وَلاَ تَتَوَدَّدُوا إِلَيْهِمْ.
ثُمَّ قَالَ: وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ قَالَ
ابْنُ عَبَّاسٍ: يُرِيدُ كَأَنَّهُ مِثْلُهُمْ، وَهَذَا تَغْلِيظٌ مِنَ
اللهِ وَتَشْدِيدٌ فِي وُجُوبِ مُجَانَبَةِ الْمُخَالِفِ فِي الدِّينِ،
وَنَظِيرُهُ قَوْلُهُ وَمَنْ لَمْ يَطْعَمْهُ فَإِنَّهُ مِنِّي
[الْبَقَرَةِ: 249] .
Makna “janganlah kamu mengambil orang-orang
Yahudi dan Nasrani menjadi auliya’”, yaitu janganlah bersandar pada
pertolongan mereka dan jangan menjadikan mereka sebagai sahabat yang
kalian inginkan kasih sayang mereka.
Kemudian Allah berfirman:
“Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi teman setia, maka
sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka”, Ibnu Abbas berkata:
“Maksudnya seakan-akan ia seperti mereka. Ini adalah peringatan keras
dan dahsyat dari Allah tentang wajibnya menjauhi orang yang berbeda
dalam agama. Hal ini setara dengan firman Allah “Dan barang siapa tiada
meminumnya, maka ia adalah pengikutku (QS al-Baqarah : 249)”. (Al-Imam
al-Razi, al-Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghaib, juz 12 hlm 15).
Dalam uraian di atas, jelas sekali al-Imam al-Razi menafsirkan auliya’
dalam QS al-Maidah : 51 dengan makna teman setia dan sahabat yang saling
mengasihi. Demikian penafsiran kedua kitab tafsir terkenal dan banyak
menjadi rujukan para ulama di Indonesia.
Pertanyaannya sekarang
adalah, bagaimana dengan penafsiran yang mengartikan auliya’ dalam QS
al-Maidah : 51 tersebut dengan makna pemimpin? Atau dalam bahasa yang
lebih simpel, dapatkah QS al-Maidah : 51 sebagai dalil larangan memilih
pemimpin non Muslim?
Dalam ilmu ushul fiqih, telah dikenal
istilah yang namanya manthuq dan mafhum. Manthuq adalah pemahaman secara
tekstual terhadap suatu ayat atau hadits. Sedangkan mafhum adalah
pemahaman kontekstual terhadap suatu ayat atau hadits. Contoh yang
banyak disampaikan oleh para ulama dalam kitab-kitab ushul fiqih adalah
ayat:
فَلا تَقُلْ لَهُما أُفٍّ [الإسراء: 23]
“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah". (QS al-Isra’ : 23).
Secara tekstual, ayat di atas menunjukkan larangan atau keharaman
perkataan “ah” kepada kedua orang tua. Ini disebut dengan istilah
manthuq, pengertian tekstual. Secara kontekstual, ayat tersebut menjadi
larangan memukul orang tua. Ini disebut dengan istilah mafhum, yaitu
pengertian yang ada di luar teks.
Dalam ilmu ushul fiqih, mafhum
dibagi menjadi dua. Pertama, adakalanya hukum kontekstual lebih kuat
daripada hukum tekstualnya seperti dalam kasus memukul orang tua yang
dipahami dari larangan perkataan “ah”. Karena larangan perkataan “ah”
kepada orang tua, sebenarnya adalah larangan menyakiti mereka. Sudah
barang tentu, tekanan memukul dalam hal menyakiti lebih kuat dari pada
sekedar perkataan “ah”. Mafhum yang seperti ini dalam ilmu ushul fiqih
disebut dengan Fahwa al-Khithab, atau Qiyas Aulawi. Siapapun orang yang
berakal sehat, akan dapat menerima bahwa memukul orang tua itu hukumnya
haram berdasarkan ayat larangan perkataan “ah”.
Kedua, adakalanya
hukum kontekstual sama kedudukannya dengan hukum tekstual, seperti
keharaman merusak dan membakar harta anak yatim yang dipahami dari
larangan memakan harta anak yatim. Karena larangan memakan harta anak
yatim pada hakikatnya bertujuan agar tidak merusak harta mereka. Merusak
dan membakar harta mereka, sama saja posisinya dengan memakan harta
mereka. Mafhum yang seperti ini dalam ilmu ushul fiqih disebut dengan
istilah Lahn al-Khithab atau Qiyas Musawi.
Pertanyaannya sekarang
adalah, dapatkan seseorang memberikan penjelasan keharaman memukul
orang tua dengan dasar ayat yang secara tekstual berupa larangan
perkataan “ah”, atau menjelaskan keharaman merusak dan membakar harta
anak yatim dengan dasar ayat yang secara tekstual berupa larangan
memakan harta anak yatim? Para ulama sepakat bahwa penjelasan seperti
ini jelas diterima dan telah berlaku di kalangan para ulama. Al-Imam
al-Zarkasyi berkata dalam kitabnya Tasynif al-Masami’ bi-Jam’ al-Jawami’
sebagai berikut:
وَلاَ خِلاَفَ فِي اْلاِحْتِجَاجِ بِالْمُسَاوِيْ كَاْلأَوْلىَ.
Tidak ada perselihian di kalangan ulama tentang kehujjahan mafhum
musawi, sebagaimana halnya mafhum aula. (Al-Zarkasyi, Tasynif al-Masami’
bi-Jam’ al-Jawami’ juz 1 hlm 343).
Kaitannya dengan QS al-Maidah : 51, dapat diterapkan bahwa ayat tersebut menjadi larangan memilih pemimpin beda agama?
QS al-Maidah : 51, secara tekstual menjadi larangan menjadikan
orang-orang kafir sebagai teman setia dan sahabat yang dikasihi. Secara
kontekstual ayat tersebut menjadi larangan menjadikan orang-orang kafir
sebagai pemimpin. Karena kedudukan pemimpin lebih tinggi dari pada
sekedar teman setia dan sahabat yang dikasihi. Jadi dengan demikian,
penerjemahan auliya’ dalam QS al-Maidah : 51 dengan arti teman setia dan
sahabat adalah pengertian tekstual. Sedangkan penerjemahan dengan
pemimpin adalah pengertian secara kontekstual. Kedua-duanya sama-sama
dijadikan dasar oleh para ulama sejak dahulu kala dalam hukum Islam.
Bahkan penerjemahan auliya’ dalam QS al-Maidah : 51 dengan arti pemimpin
termasuk mafhum Fahwa al-Khithab atau Qiyas Aulawi. Oleh karena itu
para ulama juga menjadikan ayat QS al-Maidah : 51 tersebut termasuk
dalil larangan memilih pemimpin beda agama. Dalam hal ini Imam
al-Haramain berkata dalam kitabnya Ghiyats al-Umam fi Iltiyats al-Zhulam
sebagai berikut:
فَمَنْ لاَ تُقْبَلُ شَهَادَتُهُ عَلَى بَاقَةِ
بَقْلٍ، وَلاَ يُوثَقُ بِهِ فِي قَوْلٍ وَفِعْلٍ، كَيْفَ يَنْتَصِبُ
وَزِيرًا؟ وَكَيْفَ يَنْتَهِضُ مُبَلِّغًا عَنِ اْلإِمَامِ سَفِيرًا، عَلَى
أَنَّا لاَ نَأْمَنُ فِي أَمْرِ الدِّينِ شَرَّهُ، بَلْ نَرْتَقِبُ -
نَفَسًا فَنَفَسًا – ضُرَّهُ.
وَقَدْ تَوَافَتْ شَهَادَةُ نُصُوصِ
الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ عَلَى النَّهْيِ عَنِ الرُّكُونِ إِلَى
الْكُفَّارِ، وَالْمَنْعِ مِنِ ائْتِمَانِهِمْ، وَإِطْلاَعِهِمْ عَلَى
اْلأَسْرَارِ قَالَ اللهُ تَعَالَى: {لاَ تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ
دُونِكُمْ لاَ يَأْلُونَكُمْ خَبَالاً} وَقَالَ: {لاَ تَتَّخِذُوا
الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ}.
وَاشْتَدَّ نَكِيرُ عُمَرَ
عَلَى أَبِي مُوسَى اْلأَشْعَرِيِّ لَمَّا اتَّخَذَ كَاتِبًا
نَصْرَانِيًّا. وَقَدْ نَصَّ الشَّافِعِيُّ - رَحِمَةُ اللهِ عَلَيْهِ -
عَلَى أَنَّ الْمُتَرْجِمَ الَّذِي يُنْهِي إِلَى الْقَاضِي مَعَانِيَ
لُغَاتِ الْمُدَّعِينَ يَجِبُ أَنْ يَكُونَ مُسْلِمًا عَدْلاً رِضًا،
وَلَسْتُ أَعْرِفُ فِي ذَلِكَ خِلاَفًا بَيْنَ عُلَمَاءِ اْلأَقْطَارِ.
فَكَيْفَ يُسَوَّغُ أَنْ يَكُونَ السَّفِيرُ بَيْنَ اْلإِمَامِ
وَالْمُسْلِمِينَ مِنَ الْكُفَّارِ؟ .
Orang (kafir) yang
kesaksiannya tidak dapat diterima terkait seikat sayuran, dan tidak
dapat dipercaya dalam ucapan dan perbuatan, bagaimana ia disahkan
terangkat menjadi menteri, bagaimana ia dapat bangkit sebagai mediator
perantara dari imam (kepada rakyatnya). Sedangkan kami tidak merasa aman
dari keburukannya dalam urusan agama. Bahkan kami mengkhawatirkan
bahayanya dalam setiap nafas demi nafas.
Sungguh telah sempurna
kesaksian nash-nash al-Kitab dan Sunnah tentang larangan condong kepada
orang-orang kafir, melarangan memberikan kepercayaan kepada mereka dan
memperlihatkan mereka tentang rahasia-rahasia (kaum Muslimin). Allah
ta’ala berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil
menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena)
mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudaratan bagimu”. (QS
Alu-Imran : 118). Dan Allah berfirman: “janganlah kamu mengambil
orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi teman setia; sebahagian mereka
adalah teman setia”. (QS al-Maidah : 51).
Sungguh pengingkaran
Umar begitu keras kepada Abu Musa al-Asy’ari ketika menjadikan seorang
Nasrani sebagai sekretaris. Al-Syafi’i rahimahullah telah menetapkan
bahwa penerjemah yang menyampaikan makna bahasa para pendakwa kepada
qadhi haruslah seorang Muslim yang adil dan diridhai. Aku tidak
mengetahui adanya perselisihan dalam hal tersebut di kalangan para ulama
berbagai negeri. Bagaimana dibolehkan seorang perantara antara pemimpin
dengan umat Islam terdiri dari orang kafir?” (Imam al-Haramain, Ghiyats
al-Umam fi Iltiyats al-Zhulam, hlm 309-311, Dar al-Minhaj 2011, ed Dr
Abdul Azhim al-Dayb).
Kita perhatikan, dalam pernyataan di atas
Imam al-Haramain menjadikan QS al-Maidah : 51 termasuk salah satu dalil
larangan mengangkat atau memilh orang yang beda agama sebagai pemimpin.
Oleh karena itu, penjelasan larangan memilih pemimpin beda agama
berdasarkan ayat QS al-Maidah : 51 adalah benar dan menjadi kesepakatan
para ulama. Larangan memilih pemimpin beda agama berdasarkan ayat
tersebut termasuk mafhum, pengertian kontekstual Fahwa al-Khithab atau
Qiyas Aulawi. Pemahaman seperti ini, sama dengan pemahaman para ulama
Ahlussunnah Wal-Jamaah tentang kehidupan para nabi di alam barzakh
dengan ayat sebagai berikut:
وَلا تَقُولُوا لِمَنْ يُقْتَلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتٌ بَلْ أَحْيَاءٌ وَلَكِنْ لا تَشْعُرُونَ
Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan
Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup,
tetapi kamu tidak menyadarinya. (QS al-Baqarah : 154).
وَلا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ
Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu
mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki.
(QS Alu-Imran : 169).
Secara tekstual, kedua ayat di atas
menunjukkan pada kehidupan orang-orang yang dibunuh di jalan Allah,
yaitu para syuhada’. Tentu saja, kedua ayat tersebut secara kontekstual
menjadi dalil kehidupan para nabi yang lebih sempurna di alam barzakh
dari pada syuhada’, karena derajat mereka yang lebih tinggi.
Dalam contoh lain, tentang anjuran perayaan Maulid Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, para ulama berdalil dengan hadits berikut ini:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدِمَ الْمَدِينَةَ فَوَجَدَ الْيَهُودَ
صِيَامًا، يَوْمَ عَاشُورَاءَ، فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَا هَذَا الْيَوْمُ الَّذِي تَصُومُونَهُ؟»
فَقَالُوا: هَذَا يَوْمٌ عَظِيمٌ، أَنْجَى اللهُ فِيهِ مُوسَى وَقَوْمَهُ،
وَغَرَّقَ فِرْعَوْنَ وَقَوْمَهُ، فَصَامَهُ مُوسَى شُكْرًا، فَنَحْنُ
نَصُومُهُ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
«فَنَحْنُ أَحَقُّ وَأَوْلَى بِمُوسَى مِنْكُمْ فَصَامَهُ رَسُولُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ»
Dari Ibnu
Abbas radhiyallaahu ‘anhuma, bahwa ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam datang ke Madinah, kaum Yahudi sedang berpuasa Asyura.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “Hari apa kalian
berpuasa ini?” Mereka menjawab: “Ini hari agung, Allah menyelamatkan
Musa dan kaumnya, menenggelamkan Fir’aun dan kaumnya, lalu Musa berpuasa
karena bersyukur kepada Allah, kami juga berpuasa.” Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Kami lebih berhak mensyukuri Musa dari
pada kalian.” Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa dan
memerintahkan umatnya berpuasa. (HR al-Bukhari dan Muslim).
Hadits di atas, secara tekstual menjadi dalil kesunnahan puasa Asyura
karena merayakan kemenangan Musa ‘alaihissalam dan kaumnya menghadapi
Fir’aun dan bala tentaranya. Secara kontekstual, hadits tersebut menjadi
dalil perayaan hari kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
karena rahmat Allah dengan lahirnya baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam lebih besar dari pada selamatnya Nabi Musa ‘alaihissalam.
Wallahu a’lam.