قال مالك: لا، والله حتى يصيب الحق، ما الحق إلا واحد، قولان مختلفان يكونان صوابًا جميعًا؟ ما الحق والصواب إلا واحد. Imam Malik berkata “Tidak,demi Allah, hingga ia mengambil yang benar. Kebenaran itu hanya satu. Dua pendapat yang berbeda tidak mungkin keduanya benar, sekali lagi kebenaran itu hanya satu
Minggu, 18 Agustus 2013
AQIDAH HT VS AQIDAH NABI
Bismillah,
Sesungguhnya sebagian aqidah ummat Islam diambil dari hadits ahad yang shohih, aqidah tersebut antara lain :
- Keyakinan adanya pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir didalam kubur.
- Keyakinan bahwa para pelaku dosa besar yang bertauhid tidak kekal di dalam neraka.
- Keyakinan akan turunnya Isa di akhir zaman.
- Keyakinan akan fitnah Dajjal di akhir zaman.
- Keyakinan atas syafa’at Nabi yang terbesar di padang Mahsyar.
- Keyakinan atas syafa’at Nabi untuk para pelaku dosa besar dari ummatnya.
- Keyakinan terhadap 10 orang shahabat yang dijamin masuk surga.
- Keyakinan akan masuknya tujuh puluh ribu dari Ummat Islam ke Surga tanpa Hisab.
- Dan lain-lain.
Selain itu pada mushaf al Qur’an (mushaf utsmani) sebetulnya ada juga ayat yang AHAD periwayatannya yaitu QS at Taubah ayat terakhir. Sebagaimana Imam Bukhari menulis dalam shahihnya sebuah riwayat yang panjang dari Zaid bin Tsabit yang diminta abu bakar mengumpulkan al qur’an dst Zaid bin Tsabit berkata : “…. HINGGA AKU DAPATI AKHIR SURAT AT TAUBAH PADA ABU KHUZAIMAH AL ANSHARI DAN AKU TIDAK MENDAPATKAN ITU DARI SHAHABAT YANG LAIN, YAITU AYAT LAQAD JA’AKUM RASULUN …dst”. (lihat al itqann fil ulumil qur’an bab tertib alqur’an dan penghimpunannya)
Sebagian besar aqidah yang disebutkan diatas (seperti Keyakinan adanya pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir didalam kubur dan seterusnya), terdapat dalam hadits ahad yang shohih dan semua aqidah yang terdapat dalam hadits ahad yang shohih adalah mutawatir ma’nawiy. Memang aqidah diatas tidak tersurat dalam rukun iman yang enam, namun kesemuanya masuk kedalam butir rukun iman terhadap Rasulullah shallallahu alaihi wa ala alihi wa salam, karena semua keyakinan diatas adalah diajarkan dan diyakini oleh Rasulullah.
Misalnya keyakinan kita adanya alam barzakh, ini juga tidak tersurat pada rukun iman yang enam, begitu pula keyakinan adanya surga dan neraka juga tidak tersurat dalam rukun iman yang enam, namun termasuk dalam butir rukun iman terhadap hari akhir.
Maka barangsiapa menolak mengimani aqidah- aqidah diatas jelas telah merusak pondasi keimanan yang terdapat dalam rukun iman.
Selama ini banyak sekali kalangan yang menolak mengimani aqidah- aqidah diatas dengan berbagai alasan yang canggih.
Berawal dari sosok Ibrahim bin Ismail bin Ulayyah (193 H) manusia di zaman tabi’in yang pertama kali mengajarkan pada pengikutnya untuk menolak seluruh hadits ahad sebagai sumber hukum Islam, sehingga ia menuai kecaman keras dari Imam Asy Syafi’ie, bahkan Imam Asy Syafi’ie sampai berkata tentang Ibrahim bin Ulayyah : “Dia orang yang sesat. Duduk dipintu As-Suwal untuk menyesatkan manusia”. (Lihat Lisaanul Mizan Ibnu Hajar I/34 (64) dan Lihat juga Mausu’ah Ahlis Sunnah I/513).
Saat ini beberapa kelompok cendekiawan muslim juga menyatakan penolakannya terhadap hadits ahad meskipun sedikit berbeda dengan Ibnu Ulayyah yang menolak total kandungan hadits ahad, mereka para cendekiawan muslim saat ini hanya menolak sebatas pada kandungan aqidahnya saja.
Hizbut Tahrir sebagai kelompok yang memiliki cita- cita mulia menegakkan syari’at Islam amat disayangkan ternyata menyimpan dan menyebarluaskan penyimpangan aqidah yaitu meragukan keyakinan yang terdapat dalam hadits ahad meskipun hadits tersebut shohih.
Bahkan pendiri Hizbut Tahrir (Taqiyyuddin An Nabhani) mengharamkan mengambil aqidah kecuali pada riwayat yang mutawatir saja. Hal ini karena Taqiyyuddin menganggap hadits ahad meskipun shohih, hanya membuahkan Dhon dan SEMUA Dhon tidak bisa diimani (HARAM DIIMANI).
Taqiyyuddin mengharamkan meyakini aqidah selain dari riwayat yang mutawatir saja meskipun riwayat tersebut shohih. Taqiyyuddin juga berpendapat bahwa SEMUA Dhon tidak bisa dijadikan aqidah.
Taqiyyuddin berkata : “….Apa saja yang tidak terbukti oleh kedua jalan tadi, yaitu akal serta nash al qur’an dan hadits mutawatir, HARAM baginya untuk mengimaninya (menjadikan sebagai aqidah)…”
(Lihat Peraturan Hidup dalam Islam, Penulis: Taqiyyuddin an Nabhani, Judul asli: Nidzomul Islam, Penerjemah: Abu Amin dkk, Penerbit: Pustaka Thariqul ‘Izzah Indonesia, Cetakan II (revisi), April 1993, halaman 12, paragraf ke-4 , baris ke-7 dari atas, dan lihat juga As-Syakhshiyah al-Islamiyah, Taqiyyudin An-Nabhani, Beirut : Al-Quds, 1953, cet. ke-2, Jilid 1 h.129).
Berikut ini sedikit ulasan tentang sejauh mana penyimpangan aqidah tersebut melekat pada Hizbut Tahrir. Semoga yang sedikit ini bisa memberi pencerahan baik bagi para syabab Hizbut Tahrir maupun untuk kaum muslimin yang saya cintai dimanapun berada :
PERTAMA :
Hibut Tahrir mengharamkan mengimani hadits ahad meskipun shohih dan mengharamkan semua jenis dhon aqidah padahal ayat ayat al Qur’an yang dijadikan dalil oleh Hizbut Tahrir, yaitu : Qs. an-Nisa’ : 157; Qs. al-An’am : 116, 148; Qs. Yunus : 36, 66; dan Qs. an-Najm : 23, 28,
Ayat-ayat ini tidak bisa dijadikan hujjah haramnya semua DHON karena yang diharamkan dalam ayat ayat ini hanyalah DHON lemah kaum kafir, seperti :
Persangkaan bahwa Isa alaihis salam mati dibunuh (an Nisa’ 157), persangkaan bahwa Allah memiliki anak (al An’am 116, 148), persangkaan bahwa Allah tidak melarang kesyirikan (al An’am 148), persangkaan bahwa ada sekutu Rabb selain Allah (Yunus 36, 66 dan an Najm 23,28).
Adapun kaidah Ushul “Al Ibratu bi Umuumil lafdhi la bi khushuushis Sabab” menyebabkan ayat- ayat diatas yang asbabun nuzulnya diperuntukkan hanya untuk kaum kafir saja menjadi diperuntukkan juga bagi kaum muslimin yang mengikuti DHON lemah kaum kafir diatas.
Jadi kaidah tersebut tidak lantas mengubah makna ayat menjadi semua jenis DHON adalah haram diimani, sebagaimana kesimpulan penafsiran Hizbut Tahrir selama ini.
Dalam hal ini Hizbut Tahrir telah menafsirkan ayat secara aneh dengan memelintirkan kaidah “Al Ibratu bi Umuumil lafdhi la bi khushuushis Sabab” secara keliru sehingga sangat berbahaya bagi ummat Islam yang awwam dalam memahami kaidah ini.
Untuk jelasnya dalam memahami kaidah mulia ini mari kita lihat QS al Baqarah : 170,
Allah berfirman yang artinya :
“Dan apabila dikatakan kepada mereka (orang-orang kafir) : “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi Kami hanya mengikuti apa yang telah Kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?”. (QS al Baqarah : 170).
Ayat ini berdasarkan kaidah “Al Ibratu bi Umuumil lafdhi la bi khushuushis Sabab” berarti peruntukan ayat ini tidak hanya ditujukan pada orang kafir sebagaimana asbabun nuzulnya, akan tetapi juga ditujukan pada kaum muslimin yang mengikuti perbuatan maksiat nenek moyangnya.
Namun tidak lantas ditafsirkan bahwa semua perbuatan nenek moyang adalah haram diikuti, karena yang dimaksud perbuatan nenek moyang dalam ayat ini adalah yang maksiat saja khususnya kesyirikannya. Adapun perbuatan nenek moyang yang sholih (misalnya perbuatan Ibrahim yang berkorban hewan ternak, menunaikan haji, serta mengkhitan anaknya), maka justru wajib diikuti.
Demikian pula tafsir ayat al Qur’an yaitu : Qs. an-Nisa’ : 157; Qs. al-An’am : 116, 148; Qs. Yunus : 36, 66; dan Qs. an-Najm : 23, 28, yang oleh Hizbut Tahrir disimpulkan kandungan ayat-ayat ini adalah “semua jenis DHON haram diimani”, ini adalah kesalahan fatal mengingat maksud DHON dalam ayat-ayat ini adalah terbatas pada DHON lemah kaum kufur saja, seperti misalnya; DHON bahwa Isa alaihis salam mati dibunuh (an Nisa’ 157), DHON bahwa Allah memiliki anak (al An’am 116, 148), DHON bahwa Allah tidak melarang kesyirikan (al An’am 148), DHON bahwa ada sekutu Rabb selain Allah (Yunus 36, 66 dan an Najm 23,28).
DHON lemah seperti inilah yang dilarang untuk diimani, dan bukan berarti semua jenis DHON adalah dilarang untuk diimani.
Bahkan al Qur’an secara jelas menyatakan bahwa DHON kuat yang berasal dari aqidah tauhid ummat Islam WAJIB diimani, berdasarkan ayat ayat al Qur’an berikut :
QS al Baqarah 45-46, QS. at Taubah : 118, QS. al Haaqqah : 21-20 , dan QS. al Baqarah : 249.
Untuk jelasnya simak arti ayat-ayat al Qur’an berikut :
“ Sesungguhnya aku memiliki DHON, bahwa Sesungguhnya aku akan menemui hisab terhadap diriku. Maka orang itu berada dalam kehidupan yang diridhai”. (QS. al Haaqqah : 20-21)
“……. orang-orang yang memiliki DHON bahwa mereka akan menemui Allah, berkata: “Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. dan Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. al Baqarah : 249).
Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, Padahal bumi itu Luas dan jiwa merekapun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, dan mereka memiliki DHON bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (QS. at Taubah : 118)
“……orang yang khusyu’ adalah orang-orang yang memiliki DHON bahwa mereka akan bertemu dengan Rabb mereka …..”. (QS al Baqarah 45-46)
Semua ayat diatas menunjukkan bahwa orang orang yang beriman memiliki DHON kuat yang rajih yang sesuai dengan ajaran Islam.
Adalah hal yang mengada-ada jika kemudian para syabab Hizbut Tahrir mengatakan bahwa ayat- ayat diatas tidak bisa dijadikan landasan hukum, padahal semua kalimat diatas dari sisi Allah datangnya. Dan secara jelas Allah mencantumkan kalimat “DHON” pada ayat-ayat tersebut. Bahkan para ulama ahli tafsir memaknai kalimat “DHON” dalam ayat- ayat diatas sebagai dhon yang kuat atau bahkan keyakinan.
Bahkan didalam Kamus Arab Indonesia karya Prof. H Mahmud Yunus pada halaman 249 disebutkan :
DHONNUN – DHUNUUNUN (j) berarti : Sangkaan, Dugaan, YAKIN, Syak.
Kamus ini dicetak dan diterbitkan oleh Yayasan Penyelenggara Penterjemah/ Pentafsir al Qur’an yang diketuai oleh Prof. H Bustami Abd. Gani pada tahun 1973 di Jakarta.
Jadi DHON dapat bermakna yakin dan tidak selalu bermakna syak.
Penyimpangan tafsir yang terjadi pada Hizbut Tahrir seperti diatas kemungkinan muncul karena adanya pendapat Taqiyyuddin An Nabhani (pendiri Hizbut Tahrir), yang tentu saja akan didukung pengikutnya mengingat pendapat tersebut tercantum dalam kitab mutabanat Hizbut Tahrir, yaitu kitab-kitab yang isinya merupakan harga mati bagi pengikut Hizbut Tahrir.
Berkata Taqiyyuddin (pendiri Hizbut Tahrir) :
“Jadi aqidah seorang muslim itu harus bersandar kepada akal atau pada sesuatu yang telah terbukti kebenaran dasarnya oleh akal. Seorang muslim wajib meyakini (menjadikan sebagai aqidah) segala sesuatu yang telah terbukti dengan akal atau yang datang dari sumber berita yang yakin dan pasti (Qath’i), yaitu apa-apa yang telah ditetapkan oleh al Qur’an dan hadits mutawatir. Apa saja yang tidak terbukti oleh kedua jalan tadi, yaitu akal serta nash al qur’an dan hadits mutawatir, HARAM baginya untuk mengimaninya (menjadikan sebagai aqidah)…..”.
(SUMBER : Peraturan Hidup dalam Islam, Penulis: Taqiyyuddin an Nabhani, Judul asli: Nidzomul Islam, Penerjemah: Abu Amin dkk, Penerbit: Pustaka Thariqul ‘Izzah Indonesia, Cetakan II (revisi), April 1993, halaman 12, paragraf ke-4 , baris ke-7 dari atas).
Taqiyudin juga Berkata :
“… Khabar ahad tidak memiliki kedudukan pada masalah aqidah, (maka) sesungguhnya khabar ahad dengan syarat-syarat yang terkandung di dalamnya menurut ilmu ushul al-Fiqh tidak bermanfaat kecuali dhon (praduga), dan dhon tidak diperhitungkan dalam bab aqidah (keyakinan).
(Taqiyyudin An-Nabhani, As-Syakhshiyah al-Islamiyah, (Beirut : Al-Quds, 1953), cet. ke-2, Jilid 1 h.129.)
KEDUA :
Hadits Nabi yang Mutawatir hanya berjumlah 324 buah saja (lihat http://hadith.al-islam.com/), dan dari 324 buah hadits yang mutawatir tersebut hanya sekitar 200-an hadits saja yang memuat materi aqidah.
Sementara hadits yang shohih dalam bukhari dan muslim mencapai sedikitnya 13.000 buah (Bukhari+Muslim: Menurut penomoran al-Alamiyah, terdapat 5352 hadits dalam Shahih Muslim. Sedangkan menurut Abdul Baqi, ada 3033 hadits. Menurut Ibnu Hajar Al Asqalani, Imam Bukhari menuliskan sebanyak 9082 hadis dalam karya monumentalnya Al Jami’al-Shahih yang dikenal sebagai Shahih Bukhari.)
, dan dari 13.000 buah hadits shohih tadi didalam Shahih Muslim terdapat sedikitnya 650 hadits tentang aqidah begitu pula didalam shahih bukhari lebih dari itu sehingga terdapat lebih dari 1.500 hadits tentang aqidah yang terjamin keshohihannya.
TERNYATA DARI 1.500-an HADITS AQIDAH YANG SHOHIH, HANYA 200-an SAJA YANG MUTAWATIR.
JADI 86,66 % HADITS NABI YANG MEMUAT AQIDAH (dalam Bukhori dan Muslim) ADALAH HADITS AHAD.
Jika mengimani hadits ahad itu haram hukumnya sebagaimana fatwa pendiri Hizbut Tahrir Taqiyyuddin an Nabhani, maka tentunya Nabi pun tidak akan meriwayatkan hadits aqidah secara ahad.
Namun kenyataannya 80 % hadits Nabi yang memuat aqidah justru diriwayatkan Nabi secara ahad ketika sedang berdua atau sedang bersama sedikit shahabat tanpa mengumpulkan shahabat.
Didalam Islam terdapat sebuah kaidah, jika sesuatu itu hukumnya haram maka jalan menuju sesuatu itu juga haram hukumnya.
Misalnya berzina itu haram maka ikhtilat (campur baur) dan khalwat (menyendiri) dengan lawan jenis yang bukan mahram secara umum haram hukumnya karena merupakan jalan menuju zina.
Begitu pula meminum khamr (mabuk) itu haram maka membuat khamr dan menjual khamr haram juga hukumnya.
Contoh lain berjudi itu haram maka membuat dan membeli peralatan judi (kasino) juga haram hukumnya.
Jika mengimani aqidah dari hadits ahad itu haram maka meriwayatkan hadits aqidah secara ahad pun seharusnya haram hukumnya. Namun kenyataannya sebagian besar hadits Nabi adalah diriwayatkan secara ahad. Maka apakah mungkin Nabi melakukan perbuatan yang haram ???
Sungguh aneh jika para syabab meyakini bahwa Nabi tidak mungkin meriwayatkan hadits aqidah pada beberapa gelintir orang saja, darimana keyakinan ini diperoleh ?.
Faktanya Nabi bahkan pernah mengajarkan aqidah kepada Muadz bin Jabal ketika berboncengan berdua saja diatas kendaraan.
Dari shahabat Muadz bin Jabal radliallahuanhu beliau menuturkan :
“Aku pernah dibonceng Nabi diatas seekor keledai. Lalu beliau bersabda kepadaku: “ Hai Muadz, tahukah kamu apa hak Allah yang wajib dipenuhi oleh para hamba Nya dan apa hak para hamba yang pasti dipenuhi Allah ?”. Aku menjawab: “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” . Beliau pun bersabda: “Hak Allah yang wajib dipenuhi oleh para hamba Nya ialah supaya mereka beribadah kepada Nya saja dan tidak berbuat syirik sedikitpun kepada Nya; sedangkan hak para hamba yang pasti dipenuhi Allah adalah: bahwa Allah tidak akan menyiksa orang yang tidak berbuat syirik sedikitpun kepada Nya”. Aku bertanya: “Ya Rasulullah, tidak perlukah aku menyampaikan kabar gembira ini kepada orang-orang?”. Beliau menjawab: “Janganlah kamu menyampaikan kabar gembira ini kepada mereka, sehingga mereka nanti akan bersikap menyandarkan diri”.
(Lihat Shahih Muslim Kitabul Iman Bab Man LaqiyAllahu ta’ala bil Iman Ghaira Syakki fihi Dakholal Jannah dan Shahih Bukhari No.2856).
Jika alasannya karena Nabi tidak akan menyembunyikan ilmu pada beberapa orang saja maka bukankah Nabi telah bersabda “Sampaikan dariku walaupun satu ayat”, dengan adanya perintah ini maka Nabi tidak bersalah jika hanya meriwayatkan hadits aqidah kepada beberapa gelintir shahabat saja mengingat mereka punya kewajiban menyebarluaskannya.
Maka sunnah perbuatan Nabi mengatakan bahwa mengimani hadits ahad yang shohih adalah wajib hukumnya.
KETIGA :
Para shahabat dalam riwayat yang shohih juga me-WAJIB-kan mengimani hadits ahad meskipun tentang aqidah,
Simak riwayat berikut :
Abdullah bin Umar bertanya pada ayahnya, yaitu Umar bin Khathab tentang hadits bertemakan ‘aqidah ru’yatullah yang disampaikan Sa’ad bin Abi Waqqash kepadanya, maka Umar berkata padanya : “Jika Sa’ad meriwayatkan sesuatu kepadamu dari Nabi, maka jangan engkau bertanya lagi kepada selainnya tentang sesuatu itu”(maksudnya ambilah riwayat itu). (Atsar shahih riwayat Bukhari, No.202)
Adapun riwayat-riwayat lain tentang Umar menolak penyampaian hadits dari shahabat adalah lemah dan bertentangan dengan ayat al Qur’an al Hujurat ayat 6 : “In jaa akum faasiqun binaba’in fatabayyanu”. Yang mafhum mukholafah nya jika yang menyampaikannya bukan orang fasik (termasuk shahabat tentunya bukan orang fasik) maka tidak wajib ada tabayyun.
Dalam periwayatan hadits aqidah Umar tidak pernah mempersyaratkan saksi penguat dari shahabat lain atau dengan kata lain beliau tidak pernah mempersyaratkan adanya saksi perawi lain, kecuali dalam perkara Qadha’ wa syahadah.
KEEMPAT :
Hizbut Tahrir berdalih dengan kemutawatiran ayat ayat dalam mushaf Utsmani dan fakta bahwa para shahabat menolak masuknya riwayat ahad ke dalam pembukuan al Qur’an (mushaf utsmani).
Maka ini adalah pembodohan terhadap ummat Islam tanpa menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya.
Padahal para shahabat menolak masuknya riwayat ahad ke dalam al Qur’an bukan karena dalil aqidah itu wajib mutawatir akan tetapi semata-mata karena hal itu sunnah Nabi. Yaitu berdasar perilaku Nabi bahwa :
1. Nabi tidak pernah meriwayatkan wahyu (ayat al Qur’an) tanpa mengumpulkan shahabat.
2. Nabi selalu menyuruh juru tulis al Qur’an dan para shahabat untuk menulis wahyu yang turun tersebut.
3. Nabi selalu mengulang-ulang ayat-ayat al Qur’an didepan majelis shahabat dan ketika beliau menjadi imam Sholat.
Hal ini tentunya sangat bertolak belakang dengan periwayatan hadits, baik masalah aqidah maupun hukum Islam lainnya, karena ketika meriwayatkan sebuah hadits :
1. Nabi tidak selalu mengumpulkan shahabat bahkan terkadang hanya berdua saja dengan seorang shahabat.
2. Nabi melarang menulis hadits akan tetapi mewajibkan menyebarluaskannya.
3. Nabi tidak mengulang hadits secara persis lafadz haditsnya akan tetapi disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang dihadapi.
Sehingga jelas bahwa kemutawatiran al Qur’an tidak bisa dijadikan dalil mengharamkan meyakini hadits ahad yang shohih.
Karena al Qur’an pada asalnya memang mutawatir dan tidak mungkin ahad sedangkan hadits pada asalnya lazim secara ahad.
Selain itu ditemukan fakta bahwa sebenarnya justru pada mushaf utsmani ada ayat yang ahad periwayatannya yaitu at Taubah ayat terakhir.
Imam Bukhari menulis dalam shahihnya sebuah riwayat yang panjang dari Zaid bin Tsabit yang diminta abu bakar mengumpulkan al qur’an dst Zaid bin Tsabit berkata : “…. HINGGA AKU DAPATI AKHIR SURAT AT TAUBAH PADA ABU KHUZAIMAH AL ANSHARI DAN AKU TIDAK MENDAPATKAN ITU DARI SHAHABAT YANG LAIN, YAITU AYAT LAQAD JA’AKUM RASULUN …dst”.
(lihat al itqann fil ulumil qur’an bab tertib alqur’an dan penghimpunannya)
Maka kesimpulannya ternyata memang ada ayat yang tidak mutawatir dalam mushaf al Qur’an, misalnya dalam kasus ini adalah ayat dari abu khuzaimah al anshari yaitu ayat akhir surat at Taubah.
Jadi meskipun al Qur’an sendiri asalnya memang wajib mutawatir namun mushaf al Qur’an sendiri tidak semua ayatnya mutawatir karena dibukukan saat kondisi para shahabat penghafal banyak yang wafat dalam perang.
Demikian sedikit yang dapat saya sampaikan, kebenaran tidak selalu ada pada diri saya, namun dalil yang saya utarakan kiranya cukup kuat untuk membuktikan kekeliruan aqidah Taqiyyuddin dan jumhur syabab Hizbut Tahrir.
Hidayah kembali kepada Allah subhanahu wata’ala, semoga Allah memudahkan kita menggapainya.
SYUBHAT 1:
Ada sebuah kisah dari bal-Miswar bin Makhramah, ia berkata bahwa Umar bin Khaththab bermusyawarah dengan para sahabat tentang janin seorang wanita, kemudian al-Mughirah bin Syu’bah berkata,
“Saya menyaksikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keputusan (tentang diyat memukul perut seorang ibu sehingga sampai menjatuhkan janin yang ada di dalam perutnya) dengan budak laki-laki atau perempuan. al-Mughirah berkata, “Kemudian Umar berkata, ‘DATANGKAN KEPADAKU ORANG YANG MENYAKSIKAN BERSAMAMU TERHADAP KEPUTUSAN NABI shallallahu ‘alaihi wa sallam ITU.’ al-Mughirah berkata, “Kemudian Muhammad bin Maslamah memberi kesaksian tentang keputusan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu”
(HR. Muslim dalam Kitab Shahih Muslim halaman 1311, juz III.)
Perhatikan kata-kata Umar bin Khaththab ra: “‘DATANGKAN KEPADAKU ORANG YANG MENYAKSIKAN BERSAMAMU TERHADAP KEPUTUSAN NABI shallallahu ‘alaihi wa sallam ITU.”
Pertanyaan untuk antum mengenai penolakan Umar bin Khaththab radhiyaLlahu ‘anhu terhadap hadits dari al-Mughirah ini, apakah Umar bisa disebut sebagai orang yang mengingkari hadits dari salah seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam? Sedangkan sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang-orang yang Adil termasuk al-Mughirah, bahkan Allah sendiri yang mengukuhkan keadilan para sahabat yang mulia..
Lantas apakah dengan kisah diatas antum masih meyakini bahwa para sahabat berpendapat bahwa hadits yang diriwayatkan oleh seorang itu sampai kepada tingkat yaqiniy? Kalau begitu, yang dilakukan oleh Umar itu bagaimana menurut anda?
BANTAHAN:
Saya heran dengan anda yang mengatakan HT tidak mengingkari aqidah dari hadits ahad yang shohih padahal anda kemudian menuliskan atsar Umar untuk menguatkan penolakan anda pada khabar ahad.
Saya tahu HT tidak mengingkari tapi HT juga tidak mengimani 100% kan ??? . Makanya dalam judul saya tulis MERAGUKAN AQIDAH NABI dan bukannya MENGINGKARI AQIDAH NABI.
Sebelum saya jawab ada satu hal yang ingin saya nasihatkan yaitu agar para syabab dan daris HT merubah pola pengambilan dalil mereka yaitu pertama harus merujuk dulu pada al Qur’an, baru kemudian as Sunnah, baru kemudian atsar shahabat, baru kemudian ulama.
Saya sudah sampaikan dalil ayat al Qur’an bahwa Allah memuji Dhon kuat kaum muslimin dalam aqidah yang lurus (lihat kembali tulisan diatas)
Saya juga sudah sampaikan dalil as sunnah yaitu Nabi terbiasa meriwayatkan hadits dengan satu orang atau dua orang shahabat saja, dan tidak ada perintah atau kewajiban bagi Nabi untuk meriwayatkan aqidah secara mutawatir, sehingga Nabi terbiasa meriwayatkan hadits aqidah kepada beberapa shahabat saja bahkan terkadang satu orang shahabat saja pun Nabi berkenan meriwayatkannya tanpa meminta para shahabat berkumpul terlebih dahulu, dan ini banyak dalilnya dalam hadits Nabi (lihat kembali tulisan diatas)
SEMENTARA anda berdalil dengan perbuatan shahabat belaka, MAKA dalil anda tidak bisa menandingi dalil al Qur’an dan as Sunnah. JADI TERTOLAK.
Namun baiklah saya tetap akan menjawab pernyataan saudara,
Jawaban saya sebagai berikut :
Jika anda mau jujur dalil atsar shahabat Umar yang anda bawakan sebenarnya tidak menyangkut materi aqidah akan tetapi berisi syariat hukum tata cara pengadilan dan persaksian dalam Islam (Qadha’ wa Syahadah) dan memang dalam perkara ini mengharuskan saksi sebagaimana QS Al Baqarah 282 dan hadits shohih dari Ibnu Abbas bahwasanya Rasulullah memutuskan perkara atas dasar sumpah dan saksi, sehingga sikap Umar sudah tepat yaitu meminta saksi karena ini perkara pengadilan, bukan karena Umar meragukan shahabat akan tetapi memang dalam syariat pengadilan Islam (Qadha’) mengharuskan saksi.
Sehingga dalil yang anda bawakan tidak ada kaitannya dengan dalil pengambilan aqidah dari hadits ahad dan tidak bisa digunakan pijakan meragukan aqidah dari hadits ahad yang shohih.
Dalil dalam perkara ini justru yang lebih relevan adalah riwayat shahih dari shahabat Umar dan putranya (abdullah bin Umar) sbb :
“Abdullah bin Umar bertanya pada ayahnya, yaitu Umar bin Khathab tentang hadits bertemakan ‘aqidah ru’yatullah yang disampaikan Sa’ad bin Abi Waqqash kepadanya, maka Umar berkata padanya : “Jika Sa’ad meriwayatkan sesuatu kepadamu dari Nabi, maka jangan engkau bertanya lagi kepada selainnya tentang sesuatu itu”(maksudnya ambilah riwayat itu)”. (Atsar shahih riwayat Bukhari, No.202)
Riwayat diatas jelas-jelas berisi perintah Umar kepada anaknya untuk mengimani aqidah dari hadits ahad, karena isi atsar diatas lebih tepat pada pokok permasalahan jadi inilah yang lebih kuat.
Saya berharap anda berkenan membandingkan atsar yang saya hadirkan sebagai dalil dengan atsar yang anda gunakan sebagai dalil.
Manakah dari keduanya yang lebih sesuai dalam perkara aqidah yang bersumber dari riwayat ahad ?
Jika kita mau jujur, maka kesimpulan sikap shahabat Umar bin Khathab menurut dalil-dalil yang saya bawa dan dalil-dalil yang anda bawa mestinya sebagai berikut :
1. Dalam periwayatan hadits untuk perkara hukum qadha’ wa syahadah maka Umar mengharuskan adanya saksi.
2. Dalam periwayatan hadits untuk perkara aqidah maka Umar tidak mengharuskan adanya saksi, bahkan melarang mencari saksi.
Jika anda masih menganggap bahwa adanya saksi perawi lain adalah persyaratan diterimanya hadits oleh Umar, maka mafhum mukholafahnya berarti anda juga menganggap setiap hendak meriwayatkan hadits maka sang periwayat wajib menghadirkan saksi.
Padahal faktanya, ketika anak-anak umar bin khathab meriwayatkan hadits dari Nabi dan hadits tersebut adalah hadits aqidah yang ahad, mereka tidak menghadirksn saksi saat meriwayatkannya, karena begitulah prinsip yang diajarkan Umar kepada mereka.
Berikut bukti-buktinya :
1. Ketika Hafshah bintu Umar meriwayatkan hadits dibawah ini, ia tidak menghadirkan saksi sebagai persyaratannya :
Hafshah bintu Umar berkata : Tidakkah kau tahu Rasulullah bersabda : “Dia (Dajjal) keluar hanyalah karena satu amarah yang ia rasakan”. (HSR Muslim No. 2932)
2. Ketika Abdullah Ibnu Umar meriwayatkan hadits dibawah ini, ia tidak menghadirkan saksi sebagai persyaratannya :
Abdullah bin Umar berkata : Rasulullah bersabda : “… Ketahuilah dia (dajjal) itu buta sebelah matanya, adapun Allah tidaklah demikian”. (HSR Bukhari Muslim No. 2930)
Hal tersebut diatas adalah bukti betapa Umar mengajarkan kepada anak-anaknya (Hafshah dan Abdullah) untuk tidak mempersyaratkan adanya saksi saat periwayatan hadits aqidah secara ahad.
Bahkan Umar sendiri tidak pernah menghadirkan saksi saat beliau meriwayatkan hadits dari Rasulullah.
Contoh :
Dari Umar bin Khathab, ia berkata : Rasulullah bersabda : “… Apabila (seseorang menjawab lafadz muadzin) dengan jawaban sepenuh hatinya maka ia akan masuk Surga”. (HSR Muslim)
Dalam meriwayatkan hadits diatas Umar tidak menghadirkan saksi atau dengan kata lain beliau tidak pernah mempersyaratkan adanya saksi, kecuali dalam perkara Qadha’ wa syahadah.
Nah, hal ini semakin membuat dalil anda tidak berguna sama sekali karena ada atsar shahih yang bertentangan dan lebih sesuai dengan pokok permasalahan.
Kesimpulannya adalah anda dan syabab Hizb menggunakan dalil bukan dari Al Qur’an dan as Sunnah dan parahnya dalil dalil yang anda dan para syabab bawa ternyata tidak sesuai dengan permasalahan dan penuh friksi (pertentangan).
SYUBHAT 2:
dalil-dalil al-Qur’an yang mencela orang-orang yang mengambil zhan dalam ‘aqidah adalah Firman Allah SWT:
إِنَّ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِالْآخِرَةِ لَيُسَمُّونَ الْمَلَائِكَةَ تَسْمِيَةَ الْأُنْثَى وَمَا لَهُمْ بِهِ مِنْ عِلْمٍ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا
Sesungguhnya orang-orang yang tiada beriman kepada kehidupan akhirat, mereka benar-benar menamakan malaikat itu dengan nama perempuan. Dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuanpun tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran. (TQS. an-Najm [53]: 27-28)
Juga firman-Nya:
وَمَا يَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلَّا ظَنًّا إِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا
Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran… (TQS. Yunus [10]: 36)
Juga firman-Nya:
وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ
Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah). (TQS. al-An’âm [6]: 116)
Juga firman-Nya:
كَذَلِكَ كَذَّبَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ حَتَّى ذَاقُوا بَأْسَنَا قُلْ هَلْ عِنْدَكُمْ مِنْ عِلْمٍ فَتُخْرِجُوهُ لَنَا إِنْ تَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ أَنْتُمْ إِلَّا تَخْرُصُونَ
… Demikian pulalah orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (para rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami. Katakanlah: “Adakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga dapat kamu mengemukakannya kepada Kami?” Kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu tidak lain hanya berdusta. (TQS. al-An’âm [6]: 148)
Maka semua ayat ini sharîh (jelas) mengecam orang-orang yang mengikuti zhann, dan jelas dalam mencela orang-orang yang tidak mengikuti hujjah, bukti dan dalil yang qath’i dalam masalah ‘aqidah. Kecaman terhadap mereka, pengungkapan aib mereka, dan celaan kepada mereka, merupakan dalil pelarangan yang bersifat pasti (tegas) agar tidak mengikuti zhann. Serta merupakan larangan yang pasti agar tidak mengikuti segala sesuatu yang tidak dibangun di atas dalil yang qâthi’ (memastikan). Hal ini khusus dalam perkara ‘aqidah, dan tidak meliputi perkara hukum syara. Demikianlah pendapat mayoritas ‘ulama kaum muslimin .
Al-Ghazâli mengatakannya dalam kitab Al-Mustashfa, juga al-Baghdadi dalam kitab Al-Faqîh wa al-Mutafaqih, serta pada kitab lainnya. Juga al-Qâdhi al-Baydhâwi dalam tafsirnya terhadap ayat surat an-Najm dan Yunus “Sesungguhnya persangkaan (Zhann) itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran.”
Juga ar-Râzi dalam tafsirnya terhadap ayat tadi. Juga an-Nawawi dalam kitab Tadrîb ar-Râwi li as-Suyûthi. Juga Sayyid Quthb dalam tafsirnya fi zhilâl al-Qur’ân terhadap surat al-Falaq. Begitu juga mereka yang mengatakan bahwa khabar ahad tidak memiliki faedah qath’i. Dan juga mayoritas ‘ulama seperti al-Ghazali, al-Amidi, Abu Ishaq as-Syiyrâzi, serta para ‘ulama salaf selain mereka. Silahkan antum Lihat kitab-kitab mereka dalam bidang ushul.
BANTAHAN:
Ayat-ayat yang anda tulis diatas (yang juga sering di jadikan acuan HT), tidak bisa dijadikan hujjah haramnya semua DHON karena yang diharamkan dalam ayat ayat ini hanyalah DHON yang lemah atau syak yang berisi aqidah kaum kafir (lihat asbabun nuzul ayat juga), seperti :
- Persangkaan bahwa ada sekutu Rabb selain Allah (Yunus 36, 66 dan an Najm 23,28),
- Persangkaan bahwa Isa alaihis salam mati dibunuh (an Nisa’ 157),
- Persangkaan bahwa Allah memiliki anak (al An’am 116, 148),
- Persangkaan bahwa Allah tidak melarang kesyirikan (al An’am 148), .
Jadi tidak semua DHON lantas diharamkan, dipukul rata, disamakan dengan DHON2 lemah yang berisi kekufuran yang diharamkan pada ayat-ayat tersebut.
Adapun kaidah Ushul “Al Ibratu bi Umuumil lafdhi la bi khushuushis Sabab” menyebabkan ayat- ayat diatas yang asbabun nuzulnya diperuntukkan hanya untuk kaum kafir saja menjadi diperuntukkan juga bagi kaum muslimin yang mengikuti DHON lemah kaum kafir diatas.
Jadi kaidah tersebut tidak lantas mengubah makna ayat menjadi semua jenis DHON adalah haram diimani, sebagaimana kesimpulan penafsiran Hizbut Tahrir selama ini.
Dalam hal ini Hizbut Tahrir telah menafsirkan ayat secara aneh dengan memelintirkan kaidah “Al Ibratu bi Umuumil lafdhi la bi khushuushis Sabab” secara keliru sehingga sangat berbahaya bagi ummat Islam yang awwam dalam memahami kaidah ini.
Untuk jelasnya dalam memahami kaidah mulia ini mari kita lihat QS al Baqarah : 170,
Allah berfirman yang artinya :
“Dan apabila dikatakan kepada mereka (orang-orang kafir) : “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi Kami hanya mengikuti apa yang telah Kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?”. (QS al Baqarah : 170).
Ayat ini berdasarkan kaidah “Al Ibratu bi Umuumil lafdhi la bi khushuushis Sabab” berarti peruntukan ayat ini tidak hanya ditujukan pada orang kafir sebagaimana asbabun nuzulnya, akan tetapi juga ditujukan pada kaum muslimin yang mengikuti perbuatan maksiat nenek moyangnya.
Namun tidak lantas ditafsirkan bahwa semua perbuatan nenek moyang adalah haram diikuti, karena yang dimaksud perbuatan nenek moyang dalam ayat ini adalah yang maksiat saja khususnya kesyirikannya. Adapun perbuatan nenek moyang yang sholih (misalnya perbuatan Ibrahim yang berkorban hewan ternak, menunaikan haji, serta mengkhitan anaknya), maka justru wajib diikuti.
Demikian pula tafsir ayat al Qur’an yaitu : Qs. an-Nisa’ : 157; Qs. al-An’am : 116, 148; Qs. Yunus : 36, 66; dan Qs. an-Najm : 23, 28, yang oleh Hizbut Tahrir disimpulkan kandungan ayat-ayat ini adalah “semua jenis DHON haram diimani”, ini adalah kesalahan fatal mengingat maksud DHON dalam ayat-ayat ini adalah terbatas pada DHON lemah yang berisi kekufuran saja, seperti misalnya; DHON bahwa Isa alaihis salam mati dibunuh (an Nisa’ 157), DHON bahwa Allah memiliki anak (al An’am 116, 148), DHON bahwa Allah tidak melarang kesyirikan (al An’am 148), DHON bahwa ada sekutu Rabb selain Allah (Yunus 36, 66 dan an Najm 23,28).
DHON lemah seperti inilah yang dilarang untuk diimani, dan bukan berarti semua jenis DHON adalah dilarang untuk diimani.
Bahkan al Qur’an secara jelas menyatakan bahwa DHON kuat yang bisa berubah menjadi keyakinan yang berasal dari aqidah tauhid ummat Islam WAJIB diimani, berdasarkan ayat ayat al Qur’an berikut :
QS al Baqarah 45-46, QS. at Taubah : 118, QS. al Haaqqah : 21-20 , dan QS. al Baqarah : 249.
Untuk jelasnya simak arti ayat-ayat al Qur’an berikut :
“ Sesungguhnya aku memiliki DHON, bahwa Sesungguhnya aku akan menemui hisab terhadap diriku. Maka orang itu berada dalam kehidupan yang diridhai”. (QS. al Haaqqah : 20-21)
“……. orang-orang yang memiliki DHON bahwa mereka akan menemui Allah, berkata: “Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. dan Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. al Baqarah : 249).
Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, Padahal bumi itu Luas dan jiwa merekapun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, dan mereka memiliki DHON bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (QS. at Taubah : 118)
“……orang yang khusyu’ adalah orang-orang yang memiliki DHON bahwa mereka akan bertemu dengan Rabb mereka …..”. (QS al Baqarah 45-46)
Semua ayat diatas menunjukkan bahwa Allah memuji orang orang yang beriman memiliki DHON kuat yang sesuai dengan ajaran Islam yang bisa menjadi bermakna keyakinan .
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar