Untuk mengetahui sebuah hadits syadz atau tidak kita harus melihat
kembali apa itu definis syadz. Berikut adalah penjelasan dua imam besar
tentang definisi syadz.
Pertama:
Syaikh al Albani berkata dalam mukadimah kitab beliau Tamamul Minnah tentang hadits syadz:
“Hadits syadz adalah (hadits) yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah
yang diterima (periwayatannya, akan tetapi) periwayatannya menyelisihi
periwayatan perawi yang lebih utama darinya, sebagaimana yang dipegang
oleh para ahlul hadits, dan Ibnu ash Shalah pun telah menerangkan hal
itu.
Apabila seorang perawi menyendiri dalam suatu periwayatan, maka harus
diperiksa, dan jika perawi yang menyendiri tersebut menyelisihi
periwayatan perawi yang lebih utama darinya dari segi hafalan atau pun
kedhabitannya maka apa yang diriwayatkannya itu syadz dan tertolak.
Namun apabila dalam (tambahan periwayatannya itu) tidak ada
perselisihan dengan apa yang diriwayatkan oleh yang lain, hanya saja ia
meriwayatkan sesuatu yang tidak diriwayatkan oleh yang lainnya, maka
diperiksa keadaan perawi yang menyendiri ini, jika ia adalah seorang
perawi yang adil, hafizh, terpercaya dalam kekokohan serta kedhabitannya
maka diterima apa yang ia riwayatkan secara menyendiri tersebut”
Kedua:
Ibnu Shalah dalam Al-Muqaddimah, halaman 86:
إذا انفرد الراوي بشئ نظر فيه ، فإن كان مما انفرد به مخالفا لما رواه
من هو أولى منه بالحفظ أو أضبط ، كان ما انفرد به شاذا مردودأ ، وإن لم تكن
فيه مخالفة لما رواه غيره وإنما رواه هو ولم يروه غيره ، فينظر في هذا
الراوي إلمنفرد ، فإن كان عدلا حافظا موثوقأ وإتقانه وضبطه ، قبل ما انفرد
به ، ولم يقدح الانفراد به ، وإن لم يكن ممن يوثق بحفظه وإتقانه لذلك الذي
انفرد به ، كان انفراده خارما له مزحزحا له عن حيز الصحيح ، ثم هو بعد ذلك
دائر بين مراتب متفاوتة بحسب الحال ، فإن كان المنفرد به غير بعيد من درجة
الحافظ الضابط المقبول تفرده ، استحسنا حديثه ذلك ولم نحطه إلى قبيل الحديث
الضعيف ، وإن كان بعيدا من ذلك رددنا ما انفرد به وكان من قبيل الشاذ
المنكر . . ”
“Jika seorang perawi menyendiri dengan sesuatu, perlu diamati. Jika
riwayat tunggalnya bertentangan dengan riwayat orang yang lebih baik dan
kuat hafalannya, maka tergolong riwayat syadz dan tertolak. Jika
riwayat tunggalnya tidak bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan
oleh orang lain, tetapi hanya dia sendiri yang meriwayatkan, sedang
orang lain tidak, maka perlu diamati. Apakah perawi tunggal itu kuat
hafalannya dan dapat dipercaya. (Jika yang terjadi seperti itu), maka
diterimalah ia (dengan tambahan lafadhnya tersebut). Dan apabila ia
tidak baik dan tidak kuat hafalannya, maka terputus dan terlempar jauh
dari wilayah keshahihan. Dan setelah itu berada pada tingkat yang
berbeda-beda sesuai keadaan. Artinya, jika perawi tunggal itu tidak jauh
dari tingkat perawi lain yang kuat hafalan dan diterima kesendiriannya,
maka kami golongkan hadits hasan dan kami tidak menjatuhkan pada
kelompok hadits dla’if. Tetapi jika tidak, kami golongkan riwayat
tunggal itu kepada hadits syadz yang munkar (teringkari)”. – selesai
perkataan Ibnu Shalah -.
Setelah mengetahui definisi tentang hadits syadz di atas maka dua hal
yang harus kita lakukan untuk memeriksa apakah hadits Zaaidah bin
Qudamah tersebut syadz atau tidak:
Pertama: Memeriksa kondisi perawi hadits tersebut yang
diperselisihkan oleh para ulama, dalam hal ini adalah Zaa-idah bin
Qudamah. Berikut keterangan dua Imam hadits tentang Zaa-idah bin
Qudamah:
1. al Hafizh Ibnu Hajar al Asqalani dalam Taqribut Tahzib no. 1046
berkata, “(Zaa-idah bin Qudamah ini) tsiqatun tsabtun (yakni seorang
perawi yang tsiqah lagi tsabit/kuat)”
2. Imam Ibnu Hibban berkata dalam Kitab ats Tsiqat VI/239-240, “Ia
(Zaa-idah bin Qudamah) termasuk dari imam yang mutqin, ia tidak
menganggap suatu pendengaran, kecuali setelah mengulanginya sebanyak
tiga kali dan ia tidak dan ia tidak memuji seorang pun kecuali mereka
yang telah disaksikan keadilannya oleh seseorang (imam) dari Ahlus
(Sunnah)”
Berkata Syaikh al Albani, “Oleh karena itu tidak mudah bagi kita
untuk menganggap syadz riwayat yang disampaikan oleh Zaa-idah (bin
Qudamah) ini, khususnya periwayatan yang ia terima dari gurunya ‘Ashim
bin Kulaib dari bapaknya. karena apabila kita menganggap syadz, maka
niscaya akan banyak sekali riwayat – riwayat yang harus dihukumi seperti
itu” (Dinukil dari kaset Imam al Albani yang berjudul Laa Qusyura fil
Islam no. 167/8037 al Istiqamah)
Demikianlah pendapat para Imam hadits tentang Zaa-idah bin Qudamah,
yang artinya adalah periwayatan hadits yang dilakukan olehnya dapat
diterima.
Kedua : Memeriksa apakah ada pertentangan antara lafadz tahrik
bertentangan dengan lafadz Isyarat ? Jawaban yang tepat bahwasanya tidak
ada pertentangan antara lafadz tahrik dan isyarat baik ditinjau secara
lughoh maupun dari dalil.
Dari segi bahasa dapat difahami bahwa isyarat itu terkadang disertai
dengan gerak dan terkadang tanpa disertai dengan gerak (jadi disini yang
terjadi bukan pertentangan lafazh, tetapi hanya permasalahan lafazh
umum dan lafazh khusus). Syaikh Al ash Sha’idi al ‘Adawi al Maliki dalam
Kitab Hasyiyah al ‘Adawi ‘ala Syarbi Kifayatut Thalibur Rabbani I/356
berkata,
“Bahwa lafazh isyarat itu lebih umum daripada lafazh tahrik, mungkin berisyarat dengan cara menggerakkan (atau) mungkin tidak”.
Dan apabila ditinjau dari segi dalil, maka ada suatu hadits yang
menarik untuk dibahas yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah
radhiyallahu ‘anha tentang kisah shalatnya para shahabat di belakang
Rasulullah dengan cara berdiri, padahal Rasulullah shalat sambil dalam
keadaan duduk, maka beliau pun mengisyaratkan kepada mereka untuk duduk
semua (HR. al Bukhari dan Muslim)
Hadits yang dimaksud adalah:
حدثنا عبد الله بن يوسف قال أخبرنا مالك عن هشام بن عروة عن أبيه عن
عائشة أم المؤمنين أنها قالت صلى رسول الله صلى الله عليه وسلم في بيته وهو
شاك فصلى جالسا وصلى وراءه قوم قياما فأشار إليهم أن اجلسوا فلما انصرف
قال إنما جعل الإمام ليؤتم به فإذا ركع فاركعوا وإذا رفع فارفعوا وإذا صلى
جالسا فصلوا جلوسا
Setiap orang pasti dapat dengan cepat memahami dari lafazh hadits
tersebut bahwasannya isyarat beliau tidak hanya dengan mengangkat tangan
saja, akan tetapi isyarat tersebut juga mengandung gerakan untuk
menyuruh para sahabat agar shalat dalam keadaan duduk.
Ringkasnya adalah isyarat tidak menafikan atau meniadakan tahrik,
maka pernyataan bahwa isyarat itu bertentangan dengan tahrik adalah
tidak benar jika ditinjau dari segi lughah dan dalil.
Sehingga di dalam kitab Tamamul Minnah Syaikh al Albani memberikan
kesimpulannya, “Menolak otensitas gerakan telunjuk dalam riwayat
terkucil dari Zaid bin Qudamah tanpa perawi – perawi ‘Ashim bin Kulaib
yang lain adalah suatu kesalahan besar karena dua alasan, Pertama :
Mereka meriwayatkan isyarat dan isyarat tidak bisa menafikan adanya
gerakan jari, Kedua : Kejujuran Zaidah (bin Qudamah) dan karena sudah
tua, ia sangat teliti dalam meriwayatkan hadits. Para imam sepakat
memberikan kesaksian atas dapat dipercayainya dan al Bukhari – Muslim
pun berhujjah dengannya”
Kesimpulan: Bahwasanya hadits tahrik Zaaidah bin Qudamah bukanlah
hadits syadz, justru hadits inilah yang menjelaskan tentang keumumam
lafadz isyarat dalam hadits yang diriwayatkan dari selain Zaaidah bin
Qudamah. Allahu A’lam
Pertanyaan: “Ada beberapa hadits yang justru menjelaskan bahwasanya
Rasulullah Shollallahu Alaihi Sallam tidak menggerak-gerakkan jari (لا
يحركها ), bagaimana penjelasannya ?”
Maka dijawab: Memang benar ada beberapa hadits yang menjelaskan bahwa
Rasulullah Shollallahu Alaihi Sallam tidak menggerak-gerakkan jari (لا
يحركها ) , setidaknya ada dua buah hadits yaitu hadits Abdullah bin
Zubair dan Ibnu Umar Radhiyallahu Anhum. Hadits tersebut adalah :
Hadits Pertama : Hadits Abdullah bin Zubair, yakni:
حدثنا حجاج عن بن جريج عن زياد عن محمد بن عجلان عن عامر بن عبد الله عن
عبد الله بن الزبير أنه ذكر أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يشير بأصبعه
إذا دعا ولا يحركهاقال بن جريج وزاد عمرو بن دينار قال أخبرني عامر عن أبيه
أنه رأى النبي صلى الله عليه وسلم يدعو كذلك ويتحامل النبي صلى الله عليه
وسلم بيده اليسرى على فخذه اليسرى
Diriwayatkan dari Hajjaj dari Ibnu Juraij dari Ziyad dari Muhammad
bin Ajlan dari Amir bin Abdillah dari Abdullah bin Zubair, sesungguhnya
ia menerangkan, ” Bahwasanya Nabi Shollallahu Alaihi wa Sallam
berisyarat dengan jari (telunjuk)nya apabila beliau berdoa dan ia tidak
menggerak-gerakkannya.” Berkata Ibnu Juraij, “Dan Amr bin Dinar
menambahkan, ia berkata, ‘Telah mengkhabarkan kepadaku Amir dari
bapaknya (Abdullah bin Zubair) : Sesungguhnya ia telah melihat Nabi
Shollallahu Alaihi wa Sallam berdoa seperti itu dan beliau meletakkan
tangan kirinya di atas paha kirinya.’ “ (HR Abu Dawud no 989)
Hadits Semakna juga diriwayatkan oleh Imam An Nasa’i dan Imam Baihaqi, berikut haditsnya :
Riwayat Imam Nasa’i 3/32:
حدثنا حجاج قال بن جريج أخبرني زياد عن محمد بن عجلان عن عامر بن عبد
الله بن الزبير عن عبد الله بن الزبير أن النبي صلى الله عليه وسلم كان
يشير بأصبعه إذا دعا ولا يحركها
Riwayat Imam Baihaqi 2/131-132:
أخبرنا حجاج بن محمد قال قال بن جريج أخبرني زياد عن محمد بن عجلان عن
عامر بن عبد الله بن الزبير عن عبد الله أنه ذكر أن النبي صلى الله عليه
وسلم كان يشير بأصبعه إذا دعا لا يحركها
Keterangan dan Takhrij Hadits :
1. Hajjaj disini ialah Hajjaj bin Muhammad sebagaimana yang tercantum
di sanad Baihaqi yang lengkapnya : Hajjaj bin Muhammad al Mishishi. (
المصيصي حجاج بن محمد )
2. Ziyad disini adalah Ziyad bin Sa’ad bin Abdurrahman (زياد بن سعد
بن عبد الرحمن ), seorang rawi yang tsiqat dan tsabit ( Taqribut Tahzhib
1/268 & Tahdzibut Tahdzib 3/369-370)
3. Perkataan Ibnu Juraij ” Dan Amr bin Dinar menambahkan, ia berkata,
‘Telah mengkhabarkan kepadaku Amir dari bapaknya dan seterusnya.”
Menunjukkan bahwa Ibnu Juraij terima dari dua rawi :
a. Pertama, Ziyad dengan lafadz tegas “telah mengkhabarkan kepadaku”
(أخبرني ). Coba lihat riwayat Imam Nasa’i dan Imam Baihaqi diatas.
b. Kedua, Amr bin Dinar dengan lafadz tadlisnya ” ia berkata” (قال ). Coba lihat riwayat Imam Abu Dawud diatas.
4. Demikian juga ada dua orang rawi yang terima dari Amir bin Abdullah yaitu Muhammad bin Ajlan dan Amr bin Dinar.
Jelasnya, hadits ini diriwayatkan dari Amir bin Abdillah dari bapaknya Abdullah bin Zubair dengan dua jalan.
Jalan pertama :
· حجاج Hajjaj –
· بن جريج Ibnu Juraij –
· زياد Ziyad –
· محمد بن عجلان Muhammad bin Ajlan -
· عامر بن عبد اللهAmir bin Abdillah –
· Abdullah bin Zubair – عبد الله بن الزبير
Dengan Lafadz : أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يشير بأصبعه إذا دعا
ولا يحركها ” Bahwasanya Nabi Shollallahu Alaihi wa Sallam berisyarat
dengan jari (telunjuk)nya apabila beliau berdoa dan ia tidak
menggerak-gerakkannya.”
Pada jalan ini terdapat dua illat/penyakit, yaitu :
Pertama : Hajjaj bin Muhammad, meskipun ia seorang rawi yang tsiqat
dan tsabit, tetapi di akhir umurnya ia telah ikhtilat (bercampur atau
telah berubah hafalannya). Dan dalam keadaan demikian ia masih saja
menceritakan hadits. Sedangkan dalam riwayat ini tidak diketahui atau
diragukan apakah ia meriwayatkan sebelum ikhtilat atau sesudahnya ?
terhadap riwayat yang demikian hukumnya didiamkan atau dianggap lemah
selama belum ada keterangan yang tegas atau ada rawi lain yang tsiqat
yang menyetujui riwayatnya. Kenyataannya riwayat Hajjaj bin Muhammad
telah menyendiri sehingga kalau kita periksa riwayat-riwayat dari Amir
bin Abdillah dari Abdullah bin Zubair tidak kita dapati tambahan لا
يحركها kecuali dari jalan Hajjaj ini ( Baca Tahdzibut Tahdzib 2/205-206
dan Taqribut Tahzhib 1/154)
Kedua : Muhammad bin Ajlan, rawi ini telah dianggap tsiqat oleh
imam-imam : Ahmad, Ibnu Ma’in, Abu Hatim, Abu Zur’ah, Nasa’i, al Ijli,
As Saji, Ibnu Saad dan Ibnu Hibban dan lain-lain. Rawi yang dipakai oleh
imam-imam : Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Majah dan lain-lain.
Adapun Imam Bukhari tidak memakainya dikitab Shahihnya sebagai ‘dasar
atau hujjah’ kecuali dipakai di riwayat-riwayat muallaq sebagaimana
telah diterangkan oleh al Hafizh Ibnu Hajar di Muqaddimah Faathul Baari
hal 458.
Muhammad bin Ajlan ini meskipun ia seorang rawi tsiqat, tetapi ia
juga seorang mudallis dan telah disifatkan tadlisnya oleh Ibnu Hibban,
Ibnu Abi Hatim dan lain-lain. Al Hafidz Ibnu Hajar dikitabnya
Thabaqaatul Mudallisin hal 69 telah memasukkannya di martabat ketiga
dari rawi-rawi mudallis, yaitu tentang seorang mudallis yang sering
melakukan tadlis dan tidak dijadikan hujjah hadits-hadits mereka oleh
para imam kecuali mereka menegaskan didalam hadits mereka yang
menunjukkan mereka mendengar. Sedangkan dalam hadits diatas Muhammad bin
Ajlan telah meriwayatkan dengan lafadz tadlisnya yaitu ia ber-‘an’anah
(memakai lafadz عن), dengan demikian riwayatnya tidak dapat diterima.
Pertanyaan : “Bukankah di Musnad Imam Ahmad, Muhammad bin Ajlan telah
meriwayatkan dari Amir bin Abdillah dengan lafadz yang tegas yaitu :
telah menceritakan kepadaku (حدثني) yang menunjukkan ia betul telah
mendengar dan sekaligus hilanglah tadlisnya ?
Maka dijawab : ”Betul”, untuk lebih jelasnya silahkan lihat hadits berikut :
عن يحيى بن سعيد عن بن عجلان قال حدثني عامر بن عبد الله بن الزبير عن
أبيه قال كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا جلس في التشهد وضع يده
اليمنى على فخذه اليمنى ويده اليسرى على فخذه اليسرى وأشار بالسبابة ولم
يجاوز بصره إشارته
Dari Yahya bin Said dari Ibnu Ajlan, ia berkata, ” Telah menceritakan
kepadaku Amir bin Abdillah bin Zubair, dari bapaknya (Abdullah bin
Zubair), ia berkata , ‘Adalah Rasulullah Shollallahu Alaihi wa Sallam
biasa apabila duduk tasyahud ia letakkan tangan kanannya diatas paha
kanannya dan tangan kirinya diatas paha kirinya sambil ia berisyarat
dengan jari telunjuknya, sedangkan pandangannya tidak melampaui
isyaratnya. (Dikeluarkan oleh Ahmad 4/3, Abu Dawud 990, Nasa’i 3/33 dan
Ibnu Khuzaimah 718 dan ini adalah lafadz Ahmad. Hadits ini dishahihkan
oleh Syaikh Albani)
Pertanyaan: Adakah di hadits diatas disebut tambahan لا يحركها ?
jawabnya, tidak ada ! maka sebetulnya hadits diatas menjadi hujjah yang
memperkuat bahwa lafadz لا يحركها adalah syadz karena menyalahi
rawi-rawi yang meriwayatkan dari Muhammad bin Ajlan sendiri seperti :
Yahya bin Said (hadits diatas), Abu Khalid al Ahmar, Laits (Muslim 2/90
dan Ibnu Hibban 1934) dan lain-lain. Dan menunjukkan bahwasanya lafadz
لا يحركها tidak datang kecuali dari jalan Hajjaj dan Ibnu Juraij sebagai
illat yang lain bagi hadits ini.
Jalan Kedua :
· حجاج Hajjaj –
· Ibnu Juraij – بن جريج
· عمرو بن دينار Amr bin Dinar –
· Amir bin Abdillah – عامر بن عبد الله
· Abdullah bin Zubair – عبد الله بن الزبير
Dengan lafadz, أنه رأى النبي صلى الله عليه وسلم يدعو كذلك ويتحامل
النبي صلى الله عليه وسلم بيده اليسرى على فخذه اليسرى “Sesungguhnya ia
telah melihat Nabi Shollallahu Alaihi wa Sallam berdoa seperti itu dan
beliau meletakkan tangan kirinya di atas paha kirinya.’ “
Pada jalan inipun terdapat dua illat, yaitu :
Pertama : Hajjaj bin Muhammad sebagaimana telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya
Kedua : Tadlisnya Ibnu Juraij dengan lafadz قال . Sudah maklum
bahwsanya Ibnu Juraij adalah seorang rawi yang tsiqat akan tetapi
mudallis dan telah disifatkan tadlisnya oleh banyak imam diantaranya :
Ahmad bin Hambal, Nasa’i, Daruquthni, Ibnu Hibban dan lain-lain.Yahya
bin Said berkata tentang Ibnu Juraij : Jika Ibnu Juraij didalam
riwayatnya menggunakan lafadz حدثني maknanya ia telah mendengar hadits
itu secara langsung dari Syaikh/gurunya. Dan apabila ia menggunakan
lafadz أخبرني menunjukkan ia yang membaca dihadapan gurunya. Kalau ia
meriwayatkan dengan lafadz قال maka disamakan dengan angin yakni tidak
diterima riwayatnya
Walhasil dari uraian diatas tahulah kita bahwasanya hadits Abdullah
bin Zubair dengan tambahan lafadz لا يحركها adalah hadits dhoif. Allahu
A’lam
Hadits Kedua : Hadits Ibnu Umar
حدثنا عمر بن محمد الهمداني ثنا زيد بن أخزم ثنا أبو عامر العقدى ثنا
كثير بن زيد عن مسلم بن أبى مريم عن نافع عن بن عمر أنه كان يضع يده اليمنى
على ركبته اليمنى ويده اليسرى على ركبته اليسرى ويشير بإصبعه ولا يحركها
ويقول إنها مذبة الشيطان ويقول كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يفعله
“Dari Ibnu ‘Umar -radhiyallahu ‘anhu- adalah beliau meletakkan tangan
kanannya di atas lutut kanannya dan (meletakkan) tangan kirinya di atas
lutut kirinya dan beliau berisyarat dengan jarinya dan tidak
menggerakkannya dan beliau berkata : “Sesungguhnya itu adalah penjaga
dari Syaithon”. Dan beliau berkata : “Adalah Rasulullah Shollallahu
Alaihi wa Sallam mengerjakannya”. ( Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu
Hibban dalam Ats-Tsiqot 7/448)
Keterangan dan Takhrij Hadits :
Seluruh rawi sanad Ibnu Hibban tsiqoh (terpercaya) kecuali Katsir bin
Zaid. Para ulama ahli jarh dan ta’dil berbeda pendapat tentangnya. Dan
kesimpulan yang disebutkan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar sudah sangat tepat
menjelaskan keadaannya. Ibnu Hajar berkata : shoduq yukhti (jujur tapi
banyak bersalah), makna kalimat ini Katsir adalah dho’if tapi bisa
dijadikan sebagai pendukung atau penguat. Ini ‘illat (cacat) yang
pertama. Illat yang kedua ternyata Katsir bin Zaid telah melakukan dua
kesalahan dalam hadits ini.
Pertama : Dalam riwayatnya Katsir bin Zaid meriwayatkan dari Muslim
bin Abi Maryam dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar. Dan ini merupakan kesalahan
yang nyata, sebab tujuh rawi tsiqoh juga meriwayatkan dari Muslim bin
Abi Maryam tapi bukan dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar, akan tetapi dari ‘Ali
bin ‘Abdirrahman Al-Mu’awy dari Ibnu ‘Umar. Tujuh rawi tersebut adalah :
1. Imam Malik, riwayat beliau dalam Al-Muwaththa’ 1/88, Shohih Muslim
1/408, Sunan Abi Daud no.987, Sunan An-Nasai 3/36 no.1287, Shohih Ibnu
Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no.193, Musnad Abu ‘Awanah 2/243,
Sunan Al-Baihaqy 2/130 dan Syarh As-Sunnah Al-Baghawy 3/175-176 no.675.
2. Isma’il bin Ja’far bin Abi Katsir, riwayatnya dikeluarkan oleh
An-Nasai 2/236 no.1160, Ibnu Khuzaimah 1/359 no.719, Ibnu Hibban
no.1938, Abu ‘Awanah 2/243 dan 246 dan Al-Baihaqy 2/132.
3. Sufyan bin ‘Uyainah, riwayatnya dikeluarkan oleh Muslim 1/408,
Ibnu Khuzaimah 1/352 no.712, Al-Humaidy 2/287 no.648, Ibnu Abdil Bar
131/26.
4. Yahya bin Sa’id Al-Anshary, riwayatnya dikeluarkan oleh Imam
An-Nasai 3/36 no.1266 dan Al-Kubro 1/375 no.1189, Ibnu Khuzaimah 1/352
no.712.
5. Wuhaib bin Khalid, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 273 dan Abu ‘Awanah 2/243.
6. ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad Ad-Darawardy, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Humaidy 2/287 no.648.
7. Syu’bah bin Hajjaj, baca riwayatnya dalam ‘Ilal Ibnu Abi Hatim 1/108 no.292.
Kedua: Dalam riwayatnya Katsir bin Zaid menyebutkan lafadz laa
yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) dan ini merupakan kesalahan karena
dua sebab :
1. Tujuh rawi yang tersebut di atas dalam riwayat mereka tidak menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan).
2. Dalam riwayat Ayyub As-Sikhtiany : ‘Ubaidullah bin ‘Umar Al-‘Umary
dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar juga tidak disebutkan lafadz laa yuharrikuha
(tidak digerak-gerakkan). Baca riwayat mereka dalam Shohih Muslim
no.580, At-Tirmidzy no.294, An-Nasai 3/37 no.1269, Ibnu Majah 1/295
no.913, Ibnu Khuzaimah 1/355 no.717, Abu ‘Awanah 2/245 no.245,
Al-Baihaqy 2/130 dan Al-Baghawy dalam Syarh As-Sunnah 3/174-175
no.673-674 dan Ath-Thobarany dalam Ad-Du’a no.635.
Nampaklah dari penjelasan di atas bahwa hadits ini adalah hadits Mungkar. Wallahu A’lam.
Kesimpulan: Dari uraian diatas maka pendapat yang tepat tentang hadits لا يحركها adalah Dhoif. Allahu A’lam.
Pertanyaan: “Kita dapati ada sebagian ulama yang menshahihkan hadits لا يحركها seperti Imam Nawawi dalam majmu’.”
Maka dijawab: Nyatanya hadits tersebut adalah dhoif sebagaimana
penjelasan yang telah lalu. Kalaupun ada yang menganggap bahwasanya
hadits diatas Shahih (walaupun pendapat yang lebih rajih bahwasanya
hadits tersebut dhoif) maka hadits لا يحركها adalah Nafi’ sedangkan
hadits يحركها adalah Musbit, sedangkan sudah ma’ruf dikalangan para
Ulama akan kaidah المثبت مقدم على النافي ” Yang menetapkan (adanya gerak
jari) didahulukan daripada yang meniadakan (tidak ada gerak jari).
Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh dua imam besar yaitu :
Pertama: al-Imam Ibnul Qayyim dikitabnya Zaadul Ma’aad 1/238-239 di
ta’liq oleh Abdul Qadir Arnauth dan Syuaib Arnauth, beliau berkata:
وأما حديث أبي داود عَنْ عبد اللّه بن الزبير أن النبي صلى الله عليه
وسلم كان يُشير بأصبعه إذا دعا ولا يُحركها فهذه الزيادة في صحتها نظر، وقد
ذكر مسلم الحديث بطوله في ((صحيحه))عنه، ولم يذكر هذه الزيادة، بل قال:
كان رسولُ اللّه صلى الله عليه وسلم إذا قَعَدَ في الصلاة، جعل قدمَه
اليسرى بين فخذه وساقه، وفرش قدمه اليُمْنى، ووضع يَدَه اليُسرى على رُكبته
اليسرى، ووضع يده اليمنى على فخذه اليمنى، وأشار بأصبعه.
وأيضاً فليس في حديث أبي داود عنه أن هذا كان في الصلاة.
وأيضاً لو كان في الصلاة، لكان نافياً، وحديث وائل بن حُجر مثبتاً،وهو مقدَّم، وهو حديث صحيح، ذكره أبو حاتم في ((صحيحه)).
Adapun hadits Abu Dawud dari Abdullah bin Zubair, Bahwa Nabi
Shollallahu Alaihi wa Sallam berisyarat dengan jari (telunjuk)nya
apabila beliau berdoa dan tidak menggerak-gerakannya. Maka tambahan
(tidak menggerak-gerakkan) perlu diteliti keshahihannya. Karena
sesungguhnya Imam Muslim telah menyebut hadits ini dengan panjang
di(kitab) Shahihnya dari Abdullah bin Zubair dan ia tidak menerangkan
tambahan ini, tetapi Abdullah bin Zubair berkata : “Adalah Rasulullah
Shollallahu Alaihi wa Sallam apabila duduk di dalam sholat, ia jadikan
kaki kirinya diantara paha dan betisnya dan ia hamparkan telapak kaki
kanannya, dan ia letakkan tangan kirinya diatas lutut kirinya dan ia
letakkan tangan kanannya diatas paha kanannya sambil beliau berisyarat
dengan jari (telunjuk)nya.
Lagi pula, pada hadits Abu Dawud dari Abdullah bin Zubair ini tidak
menunjukkan di dalam sholat. Kalaupun memang di dalam sholat keadaannya
sebagai nafi’ (meniadakan menggerak-gerakkan) sedangkan hadits Wail bin
Hujr mutsbit (menetapkan adanya menggerak-gerakkan jari) dan mutsbit
didahulukan, dan hadits Wail adalah hadits Shahih telah diterangkan oleh
Abu Hatim (Ibnu Hibban) di kitab Shahihnya.
Penta’liq kitab Zaadul Ma’aad mengatakan tentang hadits Wail,
sanadnya Shahih dan telah dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu
Hibban. Tentang Abdullah bin Zubair dikatakan “Sanadnya hasan dan telah
dishahihkan oleh an Nawawi di Majmu’ “
Kedua : Ahli Hadits besar Syaikh Albani di kitabnya Sifat Sholat Nabi hal 170, beliau mengatakan:
وحديث أنه كا ن لايحركهالا يثبت من قبل إسنا د ه كما حققته في ” ضعيف
أبي داود ” ولو ثبت فهو نافي و حد يث الباب مثبت و المثبت مقدم على النافي
كما هو معروف عند العلماء
Dan bahwasanya beliau tidak menggerak-gerakkan jari telunjuknya,
tidaklah tsabit (tetap/kuat) dari jurusan sanadnya sebagaimana telah
saya terangkan di Dhoif Abu Dawud, dan kalaupun tsabit, maka dia itu
nafi’ (meniadakan), sedangkan hadits dalam bab ini (maksudnya hadits
Wail) mutsbit (menetapkan adanya menggerak-gerakkan jari). Dan yang
mutsbit itu didahulukan atas nafi’ sebagaimana telah ma’ruf dikalangan
para ulama.
Kesimpulan: Bahwasanya menggerak-gerakkan jari telunjuk waktu
Tasyahud adalah merupakan Sunnah Rasulullah Alaihi Sholatu Wa Sallam,
karena telah tsabit dari beliau akan keterangannya. Oleh karena itu
hendaklah kita menjaga dan melaksanakan segala sesuatu yang merupakan
Sunnah Rasulullah Alaihi Sholatu Wa Sallam. Allahu A’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar