HUKUM TAKBIR BERJAMAAH
Ada beberapa kebiasaan yang salah ketika melakukan takbiran di hari raya, diantaranya:
a. Takbir berjamaah di masjid atau di lapangan
Karena takbir yang sunnah itu dilakukan sendiri-sendiri dan tidak
dikomando. Sebagaimana disebutkan dalam riwayat Anas bin Malik bahwa
para sahabat ketika bersama nabi pada saat bertakbir, ada yang sedang
membaca Allahu akbar, ada yang sedang membaca laa ilaaha illa Allah, dan
satu sama lain tidak saling menyalahkan… (Musnad Imam Syafi’i 909)
Riwayat ini menunjukkan bahwa takbirnya para sahabat tidak seragam.
Karena mereka bertakbir sendiri-sendiri dan tidak berjamaah.
b. Takbir dengan menggunakan pengeras suara
Perlu dipahami bahwa cara melakukan takbir hari raya tidak sama dengan
cara melaksanakan adzan. Dalam syariat adzan, seseorang dianjurkan untuk
melantangkan suaranya sekeras mungkin. Oleh karena itu, para juru adzan
di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti Bilal, dan Abdullah
bin Umi Maktum ketika hendak adzan mereka naik, mencari tempat yang
tinggi. Tujuannya adalah agar adzan didengar oleh banyak orang. Namun
ketika melakukan takbir hari raya, tidak terdapat satupun riwayat bahwa
Bilal naik mencari tempat yang tinggi dalam rangka melakukan takbiran.
Akan tetapi, beliau melakukan takbiran di bawah dengan suara keras yang
hanya disengar oleh beberapa orang di sekelilingnya saja.
Melakukan takbiran dengan berjamaah adalah satu hal yang keliru. Karena
praktik ini menyimpang dari kebiasaan para sahabat. Demikian pula,
praktik bertakbir menggunakan mikrofon juga keliru. Yang sesuai sunnah
adalah tidak bertakbir secara berjamaah, namun bertakbir
sendiri-sendiri. Sebagaimana keterangan riwayat dari Anas radhiallahu
‘anhu, beliau mengatakan, “Dulu para sahabat ketika bersama Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antara mereka ada yang sedang
melantunkan laa ilaaha illallah.., dan ada yang melantunkan Allahu
akbar…” dan mereka tidak seragam (dalam melantunkan takbiran).
(Liqa’at Bab al-Maftuh, volume 2, no. 31)
Oleh karena itu, sebaiknya melakukan takbir hari raya tidak sebagaimana
adzan. Karena dua syariat ini adalah syariat yang berbeda.
c. Hanya bertakbir setiap selesai shalat berjamaah
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa takbiran itu ada dua. Ada yang
terikat waktu dan ada yang sifatnya mutlak (tidak terikat waktu). Untuk
takbiran yang mutlak sebaiknya tidak dilaksanakan setiap selesai shalat
fardlu saja. Tetapi yang sunnah dilakukan setiap saat, kapan saja dan di
mana saja.
Ibnul Mulaqin mengatakan: “Takbiran setelah shalat
wajib dan yang lainnya, untuk takbiran Idul Fitri maka tidak dianjurkan
untuk dilakukan setelah shalat, menurut pendapat yang lebih kuat.” (Al
I’lam bi Fawaid Umadatil Ahkam: 4/259)
Amal yang disyariatkan
ketika selesai shalat jamaah adalah berdzikir sebagaimana dzikir setelah
shalat. Bukan melantunkan takbir. Waktu melantunkan takbir cukup
longgar, bisa dilakukan kapanpun selama hari raya. Oleh karena itu,
tidak selayaknya menyita waktu yang digunakan untuk berdzikir setelah
shalat.
d. Tidak bertakbir ketika di tengah perjalanan menuju lapangan
Sebagaimana riwayat yang telah disebutkan di atas, bahwa takbir yang
sunnah itu dilakukan ketika di perjalanan menuju tempat shalat hari
raya. Namun sayang sunnah ini hampir hilang, mengingat banyaknya orang
yang meninggalkannya.
e. Bertakbir dengan lafadz yang terlalu panjang
Sebagian pemimpin takbir sesekali melantunkan takbir dengan bacaan yang sangat panjang. Berikut lafadznya:
الله أكبر كَبِيرًا وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا وَسُبْحَانَ اللَّهِ
بُكْرَةً وَأَصِيلًا لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَلَا نَعْبُدُ إلَّا إيَّاهُ
مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ لَا إلَهَ إلَّا
اللَّهُ وَحْدَهُ صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَهَزَمَ الْأَحْزَابَ
وَحْدَهُ…
Takbiran dengan lafadz yang panjang di atas tidak ada dalilnya. Allahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar