idrus : kaedah yang Anda sebutkan (الأصل في العبادة التوقيف Hukum asal
dalam ibadah itu harus ada tuntunan.) ternyata tidak ada dalam
kitab-kitab para fuqaha terdahulu. Kaedah yang Anda sebutkan itu
sepertinya buatan al-Albani, ulama Wahabi yang tidak mengerti ilmu
fiqih, dan berpenampilan seolah-olah ahli hadits. Kaedah yang Anda
sebutkan jelas salah, dan tidak benar.”
JAWAB : he,ente gak tau bukan berarti gak ADA,jangan mencela kecuali diri kamu sendiri atas kebodohanmu.
(1) فتح الباري للشيخ ابن حجر الجزء الثالث ص: 54
الأصل في العبادة التوقف.
(2) وفيه أيضا (2/80):
التقرير فى العبادة إنما يؤخذ عن توقيف.
وفي شرح زُبَدِ ابن رسلان للشافعي الصغير (1/79):
الأصل في العبادات التوقيف.
(3) إحكام الأحكام شرح عمدة الأحكام ابن دقيق العيد – (ج 1 / ص 281)
لِأَنَّ الْغَالِبَ عَلَى الْعِبَادَاتِ التَّعَبُّدُ، وَمَأْخَذُهَا التَّوْقِيفُ.
(4) الآداب الشرعية لابن مفلح (2/265)
الأعمال الدينية لا يجوز أن يتخذ شيء منها سببا إلا أن تكون مشروعة فإن العبادات مبناها على التوقيف
(5) شرح الزرقاني على الموطأ (1/434)
الأصل في العبادة التوقيف .
(6) قال ابن تيمية في مجموع الفتاوى (29/17)
ولهذا كان أحمد وغيره من فقهاء أهل الحديث يقولون: إن الأصل فى العبادات التوقيف فلا يشرع منها إلا ما شرعه الله تعالى.
(7) أصول السرخسي الحنفية – (ج 2 / ص 122)
ولا مدخل للرأي في معرفة ما هو طاعة لله، ولهذا لا يجوز إثبات أصل العبادة بالرأي
(8) نيل الأوطار – (ج 2 / ص 413)
وَعَنْ أَنَسٍ قَالَ: {أُمِرَ بِلَالٌ أَنْ يَشْفَعَ الْأَذَانَ وَيُوتِرَ
الْإِقَامَةَ إلَّا الْإِقَامَةَ}.رَوَاهُ الْجَمَاعَةُ. وَلَيْسَ فِيهِ
لِلنَّسَائِيِّ وَالتِّرْمِذِيِّ وَابْنِ مَاجَهْ إلَّا الْإِقَامَةَ .
قَوْلُهُ: (أُمِرَ بِلَالٌ) هُوَ فِي مُعْظَمِ الرِّوَايَاتِ عَلَى
الْبِنَاءِ لِلْمَفْعُولِ. وَقَدْ اخْتَلَفَ أَهْلُ الْأُصُولِ
وَالْحَدِيثِ فِي اقْتِضَاءِ هَذِهِ الصِّيغَةِ لِلرَّفْعِ، وَالْمُخْتَارُ
عِنْدَ مُحَقِّقِي الطَّائِفَتَيْنِ أَنَّهَا تَقْتَضِيهِ؛ لِأَنَّ
الظَّاهِرَ أَنَّ الْمُرَادَ بِالْآمِرِ مَنْ لَهُ الْأَمْرُ الشَّرْعِيُّ
الَّذِي يَلْزَمُ اتِّبَاعُهُ، وَهُوَ الرَّسُولُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ لَا سِيَّمَا فِي أُمُورِ الْعِبَادَةِ ، فَإِنَّهَا إنَّمَا
تُؤْخَذُ عَنْ تَوْقِيفٍ
Ulama Syafi’iyyah.
Perkataan al-Imam as-Subki seperti yang dinukilkan oleh Ibn Hajar al-‘Asqalani as-Syafi’ie:
اَلْأَصْلَ فِي اَلْعِبَادَةِ اَلتَّوَقُّف
Terjemahan: “Asal hukum di dalam ibadat adalah tawaqquf (berhenti hingga ada dalil)”.
(Fath al-Bari: 4/174)
Kata pengarang Nihayah al-Muhtaj dalam mazhab As-Syafi’ie:
الْأَصْلُ فِي الْعِبَادَةِ أَنَّهَا إذَا لَمْ تُطْلَبْ لَا تَنْعَقِدُ
Terjemahan: “Asal hukum di dalam ibadat adalah jika ia tidak dituntut, ia tidak berlaku”.
(Nihayah al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj:3/109)
Kata al-Bujairami as-Syafi‘ie menukilkan perkataan as-Syaubari:
الْأَصْلَ فِي الْعِبَادَةِ إذَا لَمْ تَطْلُبْ بُطْلَانَهَا
Terjemahan: “Asal hukum di dalam ibadat adalah jika tidak dituntut, adalah terbatal”.
(Hasyiah al-Bujairami ‘ala al-Khatib: 3/497)
Kata Muhammad Bin Yusuf Bin Isa Atfisy al-Ibadi:
وَأَنَّ الْأَصْلَ فِي الْعِبَادَةِ أَنْ لَا تُحْمَلَ عَلَى الْوُجُوبِ إلَّا لِدَلِيلٍ
Terjemahan: “ Bahawasanya asal hukum di dalam ibadat adalah tidak membawa kepada wajib melainkan dengan adanya dalil”.
(Syarh al-Nayl wa Syifa’ al-‘Alil: 7/211)
Kata as-Syeikh Muhammad Bin Muhammad:
الْأَصْلُ فِي الْمَنَافِعِ الْإِبَاحَةُ وَفِي الْمَضَارِّ
التَّحْرِيمُ فَقَالَ غَيْرُ وَاحِدٍ مِنْهُمْ الْإِسْنَوِيُّ وَهَذَا
إنَّمَا هُوَ بَعْدَ وُرُودِ الشَّرْعِ بِمُقْتَضَى الْأَدِلَّةِ
الشَّرْعِيَّةِ وَأَمَّا قَبْلَ وُرُودِهِ فَالْمُخْتَارُ الْوَقْفُ
Terjemahan: “Asal hukum dalam perkara bermanafaat ialah mubah (harus)
manakal dalam perkara mudarat ialah haram. Maka berkata ramai ulama
antaranya al-Imam al-Isnawi: dan ini hanya berlaku selepas disyariatkan
dengan dalil-dalil syar‘ie, sedangkan sebelum warid (ada dalil), maka
pilihan para ulama ialah waqf (berhenti pada dalil)”.
(Al-Taqrir wa al-Tahbir: 3/19 8)
Kata pengarang kitab Syarah al-Bahjah al-Wardiyyah dalam Fiqh Syafi‘ie:
الْأَصْلَ فِي الْعِبَادَاتِ التَّوْقِيفُ
Terjemahan: “Asal hukum di dalam ibadat adalah tawqif (bersandarkan kepada dalil)”.(Syarh al-Bahjah al-Wardiyyah: 4/150)
Imam Ibnu Daqiiq Al ‘Iid:
“Karena umumnya ibadah adalah ta’abbud (beribadah pada Allah). Dan patokannya adalah dengan melihat dalil”
SYARH ZUBAD karya arRomly asySyafii(w.1004)
وفي شرح زُبَدِ ابن رسلان للشافعي الصغير (1/79): (( الأصل في العبادات التوقيف ))
Ulama Hanabilah (Imam Ahmad Bin Hanbal).
Imam Ibnu Muflih:
“Amal-amal yang berkaitan dengan agama tidak boleh membuat sebab
(berkreasi), kecuali disyariatkan. Karena pokok ibadah adalah tauqif
(diam sampai datang dalil).”
Ulama Malikiyyah
Imam Zarqoni:
“Asal dalam Ibadah adalah tauqif”
Ulama Hanafiyyah (Imam Abu Hanifah)
Imam Syarkhisyi:
“Logika tidak masuk dalam mengetahui sesuatu yang merupakan taat kepada
Alloh (ibadah), oleh karena itu tidak boleh menetapkan asal ibadah
dengan logika”.
Ulama Zaidiyyah
Imam Syaukani:
وفي نيل الأوطار للشوكاني (2/20): (( ... لا سِيَّمَا في أُمُورِ الْعِبَادَةِ فَإِنَّهَا إنَّمَا تُؤْخَذُ عن تَوْقِيفٍ ))
“Ibadah di ambil dari tauqif.”
IDRUS :Syaikh Abdul Aziz bin Baz, mufti Wahabi Saudi Arabia, yang wafat
beberapa waktu yang lalu, juga melakukan qiyas dalam bab ibadah. Dalam
hal ini, beliau berfatwa:
حُكْمُ رَفْعِ الْيَدَيْنِ فِي دُعَاءِ الْوِتْرِ
س: مَا حُكْمُ رَفْعِ الْيَدَيْنِ فِي الْوِتْرِ؟
ج: يُشْرَعُ رَفْعُ الْيَدَيْنِ فِيْ قُنُوْتِ الْوِتْرِ؛ لأَنَّهُ مِنْ
جِنْسِ الْقُنُوْتِ فِي النَّوَازِلِ، وَقَدْ ثَبَتَ عَنْهُ صَلىَّ اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ رَفَعَ يَدَيْهِ حِيْنَ دُعَائِهِ فِيْ
قُنُوْتِ النَّوَازِلِ. خَرَّجَهُ الْبَيْهَقِيُّ رَحِمَه ُاللهُ
بِإِسْنَادٍ صَحِيْحٍ .
“Hukum mengangkat kedua tangan dalam doa
witir. Soal: Bagaimana hukum mengangkat kedua tangan dalam shalat witir?
Jawab: Disyariatkan (dianjurkan) mengangkat kedua tangan dalam qunut
shalat witir, karena termasuk jenis qunut nazilah (yang dilakukan karena
ada bencana). Dan telah sah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
bahwa beliau mengangkat kedua tangannya dalam doa qunut nazilah. Hadits
tersebut diriwayatkan oleh al-Baihaqi rahimahullah dengan sanad yang
shahih.” (Fatawa Islamiyyah, juz 1 hal. 349, dan Majmu’ Fatawa wa
Maqalat Mutanawwi’ah, juz 30 hal. 51.)
Berdasarkan paparan di atas,
dapat disimpulkan bahwa qiyas termasuk sumber pengambilan hukum
syari’at, termasuk hukum-hukum ibadah. Sedangkan asumsi sebagian kaum
Wahabi bahwa qiyas tidak boleh dilakukan dalam bab ibadah, jelas
tertolak, karena tidak memiliki landasan dari al-Qur’an, Sunnah dan
tradisi para sahabat dan kaum salaf. Wallahu a’lam.
JAWAB : itu
akibat kejahilan ente.lihat kata syeikh ibn baz : لأَنَّهُ مِنْ جِنْسِ
الْقُنُوْتِ karena termasuk jenis qunut.sedang nazilah dan witir
cabangnya sedangkan dalam cabang ibadah disitu boleh qiyas.bukan ashl
ibadah.Syaikh Dr Saad as Syatsri mengatakan, “Ashl ibadah
itu tidak boleh ditetapkan dengan dasar qiyas atau analog. Kita tidak
boleh menetapkan shalat baru dengan dasar qiyas. Andai ada yang
mengatakan bahwa di pertengahan siang ada dua shalat yaitu zhuhur dan
ashar maka hendaknya di pertengahan malam juga ada dua shalat yaitu Isya
dan selainnya. Dengan tegas kita katakan bahwa ini adalah amalan yang
tertolak dan tidak diterima karena ashl ibadah tidaklah ditetapkan
dengan qiyas.
بخلاف
تفاريع العبادة فإننا قد نثبتها بواسطة القياس مثال ذلك لو جاء الإنسان
فقال التيمم يشرع له التسمية قياسا على الوضوء. الوضوء واضح هناك الأحاديث
ترد التسمية في الوضوء فنقول بمشروعية التسمية للوضوء لذا لو جاء الإنسان
قال نقيس الوضوء بالاغتسال والتيمم فيقول يشرع لها البسملة فيكون بذلك
وجهه.
Lain halnya dengan cabang2 ibadah, maka terkadang kita
menetapkannya dengan qiyas. Misalnya dituntunkan untuk menyebut nama
Allah ketika bertayamum dengan dasar qiyas dengan wudhu. Untuk wudhu
terdapat hadits yang menunjukkan dituntunkannya tasmiyah atau menyebut
nama Allah ketika berwudhu sehingga dengan tegas kita katakan
dituntunkan menyebut nama Allah ketika berwudhu sehingga jika ada yang
mengatakan kita analogkan mandi dan tayamum dengan wudhu oleh karena itu
dituntunkan menyebut nama Allah ketika itu maka ini adalah pendapat
yang sangat beralasan”
demikianlah pemahaman ibn baz sama dg imam ahmad, kalau ente
menyalahkan ibn baz sama aja ente merasa lebih hebat dari imam ahmad
murid imam syafi'i langsung imam ahlussunnah.
idrus : Al-Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dengan sanad yang shahih:
عَنِ ابْنِ سِيْرِيْنَ أَنَّ أَنَسَ بْنِ مَالِكٍ : شَهِدَ جَنَازَةَ
رَجُلٍ مِنَ اْلأَنْصَارِ قَالَ فَأَظْهَرُوا اْلاِسْتِغْفَارَ فَلَمْ
يُنْكِرْ ذَلِكَ أَنَسٌ
“Dari Ibnu Sirin, bahwa Anas bin Malik
menghadiri jenazah seorang laki-laki dari kaum Anshar. Lalu orang-orang
membaca istighfar dengan suara keras. Ternyata Anas tidak mengingkari
terhadap mereka.” (HR. Ahmad [4080]).
Dalam hadits di atas, Anas
bin Malik tidak mengingkari atau memprotes terhadap mereka yang membaca
istighfar dengan suara keras di hadapan jenazah. Padahal bacaan tersebut
belum pernah dilakukan pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
JAWAB : itu akibat kedangkalan ilmu ente, sebenarnya dalam sanadnya ada
husyaim,dia kata ibrohim ibn ya'qub : ما شئت من رجل غير أنه كان يروى عن
قوم لم يلقاهم فالتثبت في حديثه الذي ليس فيه تبيان سماعه من الذين روى
عنهم أصوب
aku tidak mencela dari lelaki selain karena dia sering
meriwayatkan dari kaum yg tidak ditemuinya,maka tasabutlah,telitilah
dulu haditsnya yg tidak ada kejelasan sama' yakni dia mendengar langsung
dari mereka yg lebih benar.
sedangkan disana tidak ada kejelasan sama'nya
imam annasai berkata :dia mudallis
yazid ibn harun ما رأيت أحفظ من هشيم إلا سفيان الثوري إن شاء الله tidak
ada yg lbih hafal darinya kecuali sufyan attsauri,sdangkan beliau
sendiri berkata,imam sufyan astsauri: لا تكتبوا عنه jangan kalian tulis
hadits darinya.
yahya ibn ma'in :ما أدراه ما يخرج من رأسه aku tidak tahu apa itu yg keluar dari kepalanya
begitu juga ada rowi kholid,ibnu ady memasukkan dalam daftar perawi lemah,
abu hatim arrozi:يكتب حديثه ، ولا يحتج به ditulis haditsnya tapi tidak berhujjah dengannya
ibnu hajar :ثقة يرسل ، وعاب عليه بعضهم دخوله في عمل السلطان tsiqoh tapi
sering memursalkan dantelah mencelanya sebagian ahli hadits karena
masuknya dia ke dalam amal sulton
kalaupun shohih,itu bukan hujjah
qiyasnya idrus,tapi disana bukan sekedar menampakkan istighfar,namun
istighfar minta ampun untuk mayit.dan tidak ada istighfar berjamaah.
kalau sekedar menampakkan minta amun untuk mayit itu temasuk sunnah nabi,ya jelas anas tidak mengingkarinya.
semua itu jelas dalam riwayat lengkapnya
حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ ، أَخْبَرَنَا خَالِدٌ ، عَنْ ابْنِ سِيرِينَ ، أَنَّ
أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ ، شَهِدَ جِنَازَةَ رَجُلٍ مِنَ الأَنْصَارِ ، قَالَ :
فَأَظْهَرُوا الاِسْتِغْفَارَ - فَلَمْ يُنْكِرْ ذَلِكَ أَنَسٌ ، قَالَ
هُشَيْمٌ : قَالَ خَالِدٌ ، فِي حَدِيثِهِ - وَأَدْخَلُوهُ مِنْ قِبَلِ
رِجْلِ الْقَبْرِ وَقَالَ هُشَيْمٌ مَرَّةً : إِنَّ رَجُلاً مِنَ
الأَنْصَارِ مَاتَ بِالْبَصْرَةِ ، فَشَهِدَهُ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ ،
فَأَظْهَرُوا لَهُ الاِسْتِغْفَارَ.
“menceritakan kami
husyaim,mengkabarkan kami kholid,Dari Ibnu Sirin, bahwa Anas bin Malik
menghadiri jenazah seorang laki-laki dari kaum Anshar. Lalu orang-orang
membaca istighfar dengan suara keras. Ternyata Anas tidak mengingkari
terhadap mereka.”husyaim berkata:kholid berkata dalam haditsnya,maka
masukkan mayit itu melalui kaki qubur.suatu waktu husyaim berkata :
sungguh seorang lelaki dari anshor mati di bashroh maka anas
menyaksikannya,maka mereka menampakkan istighfar BAGI MAYIT