beliau berkata :
وعد التسبيح بالأصابع سنة كما قال النبي للنساء سبحن واعقدن بالأصابع فإنهن مسؤولات مستنطقات
وأما عده بالنوى والحصى ونحو ذلك فحسن وكان من الصحابة رضي الله عنهم من يفعل ذلك وقد رأى النبي أم المؤمنين تسبح بالحصى واقرها على ذلك وروى أن أبا هريرة كان يسبح به
وأما التسبيح بما يجعل في نظام من الخرز ونحوه فمن الناس من كرهه ومنهم من لم يكرهه , وإذا أحسنت فيه النية فهو حسن غير مكروه
“Menghitung tasbih dengan jari itu dianjurkan (disunnahkan). Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para wanita, “Bertasbihlah dan hitunglah dengan jari karena sesungguhnya jari jemari itu akan ditanyai dan diminta untuk berbicara.”
Sedangkan berdzikir dengan menggunakan biji atau kerikil atau pun semisalnya maka itu adalah perbuatan yang baik. Di antara para sahabat ada yang melakukan seperti itu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melihat salah seorang isterinya bertasbih dengan menggunakan kerikil dan beliau membiarkannya. Terdapat pula riwayat yang menunjukkan bahwa Abu Hurairah bertasbih dengan menggunakan kerikil.
Adapun bertasbih dengan menggunakan manik-manik yang dirangkai menjadi satu (sebagaimana biji tasbih yang kita kenal saat ini, pent) maka ulama berselisih pendapat. Ada yang menilai hal tersebut hukumnya makruh, ada pula yang tidak setuju dengan hukum makruh untuk perbuatan tersebut.
jika orang yang melakukannya itu memiliki niat yang baik maka berzikir dengan menggunakan biji tasbih adalah perbuatan yang baik dan tidak makruh.
JAWAB : lihatlah beliau bersandarkan pada riwayat yang ada,sedangkan riwayat tersebut lemah.
Bahkan Dalam fatwa beliau yg lain disebutkan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam kitab Fatawa, 22/187 mengatakan: “Terkadang ada orang yang tampak meletakkan sajadah di lututnya dan tasbih di tangannya dan menjadikan hal itu sebagai syiar agama dan shalat. Telah diketahui secara mutawatir, bahwa Nabi sallallahu’alaihi wa sallam beserta para shahabatnya tidak menjadikan hal ini sebagai syiarnya. Dahulu mereka bertasbih dan menghitungnya dengan jari jemarinya sebagaimana dalam hadits,
وَأَنْ يَعْقِدْنَ بِالأَنَامِلِ فَإِنَّهُنَّ مَسْئُولاَتٌ مُسْتَنْطَقَاتٌ.
"Dan hitunglah dengan jari jemari, karena sesungguhnya (jari-jemari itu) akan ditanya dan akan berbicara." (HR. Abu Daud dan Tirmizi)
Boleh jadi ada yang bertasbih dengan kerikil atau biji. Bertasbih dengan tasbih sebagian orang ada yang menganggapnya makruh, di antara mereka ada yang meringankan (boleh). Akan tetapi tidak ada satupun yang mengatakan, ‘Bahwa bertasbih dengannya itu lebih baik daripada bertasbih dengan jemari atau lainnya."
Kemudian baliu rahimahullah berbicara tentang bab riya, "Bertasbih dengan tasbih termasuk riya dengan perkara yang tidak disyariatkan. Hal itu lebih buruk dibandingkan riya dengan perkara yang tidak disyariatkan." Justru Banyak atsar sahabat dan tabi’in lainnya yang menunjukkan, bahwa mereka mengingkari orang yang menggunakan bijian atau kerikil untuk menghitung dzikirnya. Diantara atsar tersebut ialah:
Atsar Abdullah bin Mas’ud lainnya, dari Ibrahim berkata:
كَانَ عَبْدُ اللهِ يَكْرَهُ العَدَّ وَيَقُوْلُ أَيَمُنُّ عَلَى اللهِ حَسَنَاتِهِ
Abdullah bin Mas’ud membenci hitungan (dengan tasbih) dan berkata,”Apakah mereka menyebut-nyebut kebaikannya di hadapan Allah?” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam kitab Al Mushnaf, no. 7667 dengan sanad yang shahih]
Atsar dari Amru bin Yahya; dia menceritakan pengingkaran Abdullah bin Mas’ud terhadap halaqah di masjid Kuffah yang orang-orangnya bertasbih, bertahmid dan bertahlil dengan kerikil. [Riwayat selengkapnya, lihat Sunan Ad Darimi, Kitabul Muqaddimah, hadits no. 206. Juga disebutkan dalam Tarikh Wasith, Aslam bin Sahl Ar Razzaz Al Wasithi. Syaikh Al Albani menshahihkan sanad hadits ini dalam As Silsilah Ash Shahihah, hadits no. 2005]
adapun menyangka itu hanya alat seerti mikrofon maka dia telah salah karena itu bagi sarana yg belum ditentukan,sedangkan dzikir sudah ada cara tersendiri yg nabi pilih untuknya dan ummatnya,bahkan menjadi saksi pada hari kiamat
Syaikh Bakr Abu Zaid menyebutkan, bahwa tasbih sudah dikenal sejak sebelum Islam. Tahun 800M orang-orang Budha sudah menggunakan tasbih dalam ritualnya. Begitu juga Al Barahimah di India, pendeta Kristen dan Rahib Yahudi. Dari India inilah kemudian berkembang ke benua Asia. Beliau juga mengutip sejarah tasbih yang dimuat di Al Mausu’at Al Arabiyah Al ‘Alamiyah, 23/157,
Perkembangan tasbih yang pesat terjadi pada abad 15 M dan 16 M. Dalam kitab Musaahamatul Hindi disebutkan, bahwa orang-orang Hindu terbiasa menggunakan tasbih untuk menghitung ritualnya. Sehingga menghitung dzikir dengan tasbih diakui sebagai inovasi dari orang Hindu (India) yang bersekte Brahma. Dari sanalah kemudian menyebar ke berbagai penjuru dunia.
Sudah disepakati oleh ahli sejarah, bahwa orang-orang Arab Jahiliyah tidak mengenal istilah dan penggunaan tasbih dalam peribadatan mereka. Itulah sebabnya, satu pun tidak ada syair jahiliyah yang menyebutkan kalimat tasbih. Ia merupakan istilah yang mu’arrabah (diarabkan). Begitu juga pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat. Mereka tidak mengenal istilah tasbih, apalagi menggunakannya. Hal ini berlangsung sampai akhir masa tabi’in. Jika mendapatkan sebuah hadits yang memuat lafadz “subhah” jangan sekali-kali membayangkan, bahwa makna lafadz tersebut adalah alat tasbih, seperti yang dipakai oleh orang sekarang ini. Karena, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbicara dengan sahabat dan umatnya dengan bahasa yang mereka pahami dan ketahui. Sedangkan tasbih -seperti yang beredar sekarang ini- tidak dikenal oleh sahabat dan juga tabi’in.
Adapun yang membawa masuk alat tersebut ke dunia Islam dan yang pertama kali memperkenalkannya ialah kelompok-kelompok thariqat atau tasawuf; disebutkan oleh Sidi Gazalba sebagai hasil kombinasi pemikiran antara Islam dengan Yahudi, Kristen, Manawi, Majusi, Hindu dan Budha serta mistik Pytagoras [Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat (Jakarta, Bulan Bintang, Juli 1991), Cet. Kelima, hlm. 20].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar