Senin, 28 April 2014

pembagian tauhid bid'ah ???

 
Ibnu Baththah rahimahullah mempunyai perkataan yang bagus dalam hal ketauhidan. Ia berkata :
وَذَلِكَ أَنَّ أَصْلَ الإِيمَانِ بِاللَّهِ الَّذِي يَجِبُ عَلَى الْخَلْقِ اعْتِقَادُهُ فِي إِثْبَاتِ الإِيمَانِ بِهِ ثَلاثَةُ أَشْيَاءَ:
أَحَدُهَا: أَنْ يَعْتَقِدَ الْعَبْدُ آنِيَّتَهُ لِيَكُونَ بِذَلِكَ مُبَايِنًا لِمَذْهَبِ أَهْلِ التَّعْطِيلِ الَّذِينَ لا يُثْبِتُونَ صَانِعًا،
وَالثَّانِي: أَنْ يَعْتَقِدَ وَحْدَانِيَّتَهُ، لِيَكُونَ مُبَايِنًا بِذَلِكَ مَذَاهِبَ أَهْلِ الشِّرْكِ الَّذِينَ أَقَرُّوا بِالصَّانِعِ، وَأَشْرَكُوا مَعَهُ فِي الْعِبَادَةِ غَيْرَهُ.
وَالثَّالِثُ: أَنْ يَعْتَقِدَهُ مَوْصُوفًا بِالصِّفَاتِ الَّتِي لا يَحُوزُ إِلا أَنْ يَكُونَ مَوْصُوفًا بِهَا مِنَ الْعِلْمِ، وَالْقُدْرَةِ، وَالْحِكْمَةِ، وَسَائِرِ مَا وَصَفَ بِهِ نَفْسَهُ فِي كِتَابِهِ، إِذْ قَدْ عَلِمْنَا أَنَّ كَثِيرًا مِمَّنْ يُقَرِّبُهُ، وَيُوَحِّدُهُ بِالْقَوْلِ الْمُطْلَقِ قَدْ يُلْحِدُ فِي صِفَاتِهِ، فَيَكُونُ إِلْحَادُهُ فِي صِفَاتِهِ قَادِحًا فِي تَوْحِيدِهِ ؛
وَلأَنَّا نَجِدُ اللَّهَ تَعَالَى قَدْ خَاطَبَ عِبَادَهُ بِدُعَائِهِمْ إِلَى اعْتِقَادِ كُلِّ وَاحِدَةٍ فِي هَذِهِ الثَّلاثِ وَالإِيمَانِ بِهَا، .......
“Hal itu disebabkan karena pokok keimanan kepada Allah yang diwajibkan kepada makhluknya untuk meyakininya dalam menetapkan keimanan kepada-Nya mencakup tiga hal :
1.     Agar seorang hamba meyakini keberadaan/wujud Allah ta’ala agar dapat menjadi pemisah dengan madzhab ahluth-ta’thiil (mu’aththilah) yang tidak menetapkan adanya Pencipta.
2.     Agar (seorang hamba) meyakini keesaan-Nya (wahdaniyyah) agar dapat menjadi pemisah dengan madzhab orang-orang musyrik yang mengakui adanya Pencipta, akan tetapi mereka menyekutukan-Nya dalam peribadahan dengan selain-Nya.
3.     Agar (seorang hamba) meyakini-Nya mempunyai sifat-sifat yang memang harus dimiliki oleh-Nya berupa ilmu, kekuasaan (qudrah), hikmah, dan seluruh yang telah Allah sifatkan bagi diri-Nya dalam Kitab-Nya (Al-Qur’an). Karena kita mengetahui bahwa kebanyakan orang yang mendekatkan diri dan mengesakan-Nya dengan perkataan yang mutlak, namun ternyata menyimpang dalam masalah sifat-sifat-Nya dimana penyimpangannya dalam masalah sifat-sifat Allah tersebut merusak ketauhidannya.
Selain itu kita juga mendapatkan bahwa Allah ta’ala telah berbicara kepada hamba-Nya dengan menyeru mereka untuk meyakini ketiga hal di atas dan sekaligus mengimaninya…..” [Al-Ibaanah ‘an Syarii’atil-Firqatin-Naajiyyah (Ar-Radd ‘alal-Jahmiyyah), 2/172-173, tahqiq : Dr. Yuusuf Al-Waabil; Daarur-Raayah, Cet. 1/1415 H].
 Ibnu Baththah Al-‘Ukbariy rahimahullah adalah ulama Ahlus-Sunnah kenamaan di masanya. Nama aslinya adalah Abu ‘Abdillah ‘Ubaidullah bin Muhammad bin Muhammad bin Hamdaan bin ‘Umar bin ‘Iisaa bin Ibraahiim bin Sa’d bin ‘Itbah bin Farqad Al-‘Ukbariy Al-Hanbaliy. Ia lahir pada tahun 304 H dan wafat tahun 387 H. Adz-Dzahabiy berkata : “Ia seorang imam dalam sunnah dan fiqh[1]” [Miizaanul-I’tidaal, 3/15 no. 5394].

Meskipun Ibnu Baththah tidak mengatakannya secara eksplisit, namun sangat dapat dipahami bahwa keyakinan yang dituntut pada hal yang pertama adalah tauhid Rububiyyah, kedua adalah tauhid Uluhiyyah, dan ketiga adalah tauhid Al-Asmaa’ wash-Shifaat. Inilah pembagian tauhid menurut Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah. Hal yang sama dikatakan oleh imam-imam yang lain, diantaranya
Abu Bakr Al-Thurthuusiy rahimahullah (w. 520 H) berkata :
وأشهد له بالربوبيَّة والوحدانية، وبما شهد به لنفسه من الأسماء الحسنى والصفات العلى والنعوت الأوفى
“Dan aku bersaksi kepada Allah dengan Rubuubiyyah, Wahdniyyah, dan dengan segala sesuatu yang Allah persaksikan bagi diri-Nya dari nama-nama yang paling baik serta sifat-sifat yang tinggi lagi sempurna” [Siraajul-Muluuk, hal. 7, tahqiq : Muhammad Fathiy Abu Bakr; Ad-Daarul-Mishriyyah, Cet. 1/1414 H].
Mereka semua hidup jauh sebelum Ibnu Taimiyyah, apalagi Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab rahimahumallah. Adakah kita pernah berpikir bahwa pembagian tauhid ini bukan ciptaan ulama Wahabiy ?.

Tidak ada komentar: