1) NABI PUASA AROFAH 9 DZULHIJJAH SEBELUM ADA WUKUF/ HAJI
kita jawab : PENDALILAN YANG LUCU ?
puasa arofah tgl 9 dzulhijjah karena puasa arofah sudah ada sebelum haji???
ya iyalah,kalo blum ada haji belum ada wukuf.kalaupun nabi dulu puasa tgl 9 karena cuma itu patokan yg ada.
tapi pertanyaannya setelah ada wukuf gmn,itu faktanya
Berdasarkan kaedah:
الحكم يدور مع علته وجودا و عدما
“Al-Hukmu Yaduru Ma’a illatihi wujudan wa ‘adaman.”
“Berlaku tidaknya hokum tergantung dari ada atau tidaknya illat (sebab) diberlakukannya hukum itu berlaku bersama illat (sebab) nya.”
MEREKA BERDALIL :
Dalam sunan Abu Dawud :
عَنْ هُنَيْدَةَ بْنِ خَالِدٍ عَنِ امْرَأَتِهِ عَنْ بَعْضِ أَزْوَاجِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَصُومُ تِسْعَ ذِى الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ أَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنَ الشَّهْرِ وَالْخَمِيسَ.
Dari Hunaidah bin Kholid dari istrinya dari sebagian istri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkata : "Adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berpuasa pada 9 Dzulhijjah, hari 'Aasyuroo' (10 Muharraom) dan tiga hari setiap bulan" (HR Abu Dawud no 2439 dan dishahihkan oleh Al-Albani, namun hadits ini diperselihkan akan keshahihannya)
KITA KATAKAN : anda kurang teliti mengartikan تِسْعَ ذِى الْحِجَّةِ
artinya bukan hari ke-9 tapi sembilan hari
2) berdalil dg perkataan ulama'
Al-Khirosyi berkata :
(قَوْلُهُ : وَعَرَفَةَ وَعَاشُورَاءَ) هَذِهِ الْمَوَاسِمُ الْمُشَارُ بِقَوْلِهِ وَغَيْرِهِ مِنْ الْمَوَاسِمِ ، وَعَاشُورَاءُ وَنِصْفُ شَعْبَانَ مَوْسِمٌ مِنْ حَيْثُ الصَّوْمُ وَغَيْرُهُ مِمَّا يُطْلَبُ فِيهِ، وَالْمَوَاسِمُ جَمْعُ مَوْسِمٍ الزَّمَنُ الْمُتَعَلِّقُ بِهِ الْحُكْمُ الشَّرْعِيُّ وَلَمْ يُرِدْ بِعَرَفَةَ مَوْضِعَ الْوُقُوفِ بَلْ أَرَادَ بِهِ زَمَنَهُ وَهُوَ الْيَوْمُ التَّاسِعُ مِنْ ذِي الْحِجَّةِ
“Hari Arafah dan Asyura -sebagaimana yang disebutkan- adalah salah satu dari musim-musim ibadah. Jika ditinjau dari sisi puasa maka Hari Asyura’ dan Nisfu Sya’ban dan yang lainnya adalah musim ibadah yang dituntut untuk berpuasa pada musim tersebut. Musim adalah waktu yang terkait dengan suatu hukum syariat. Bukanlah yang dimaksud dengan lafal "Arofah" adalah tempat wukuf, akan tetapi yang dimaksud adalah waktunya, yaitu waktu wukufnya yaitu 9 Dzulhijjah" (Syarh Mukhtashor Al-Kholil)
KITA JAWAB :
apakah benar hari 'Arafah itu tanggal 9 secara mutlak ? Bukankah jika jama'ah haji wuquf karena keliru pada tanggal 10 atau 8 Dzulhijjah, maka wuqufnya adalah sah ? Selain itu, telah banyak penjelasan ulama (semisal An-Nawawiy dan yang lainnya) bahwa hari 'Arafah itu bukan hari kesembilan pada bulan Dzulhijjah secara mutlak.COBA PERHATIKAN:
1.puasa ‘Arafah disunnahkan hanya bagi mereka yang tidak melaksanakan wuquf di ‘Arafah. Ini mengandung pengertian bahwa puasa ‘Arafah ini terkait dengan pelaksanaan ibadah haji/wuquf. Jika para hujjaj telah wuquf, maka pada waktu itulah disyari’atkannya melaksanakan puasa ‘Arafah bagi mereka yang tidak melaksanakan haji.
2. Dalam nash-nash tidak pernah disebutkan puasa di hari kesembilan, namun hanya disebutkan puasa ‘Arafah. Berbeda halnya dengan puasa ‘Aasyuura yang disebutkan tanggalnya secara spesifik :
عن عبد الله بن عباس رضي الله عنهما يقول: حين صام رسول الله صلى الله عليه وسلم يوم عاشوراء وأمر بصيامه، قالوا: يا رسول الله ! إنه يوم تعظمه اليهود والنصارى. فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "فإذا كان العام المقبل إن شاء الله، صمنا اليوم التاسع. قال: فلم يأت العام المقبل، حتى توفي رسول الله صلى الله عليه وسلم.
Dari ‘Abdullah bin ‘Abbaas radliyallaahu ;anhumaa, ia berkata : “Ketika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berpuasa di hari ‘Aasyuuraa dan memerintahkannya, para shahabat berkata : ‘Sesungguhnya ia adalah hari yang diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nashrani’. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Tahun depan, insya Allah, kita akan berpuasa di hari kesembilan”. Ibnu ‘Abbas berkata : “Sebelum tiba tahun depan, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah wafat” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1134].
عن ابن عباس يقول في يوم عاشوراء خالفوا اليهود وصوموا التاسع والعاشر
Dari Ibnu ‘Abbaas ia berkata tentang (puasa) hari ‘Aasyuuraa’ : “Selisihilah orang-orang Yahudi dan berpuasalah di hari kesembilan dan kesepuluh” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq no. 7839 dan Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 4/287; shahih].
Adapun perintah berpuasa ‘Arafah adalah :
صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ، أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِيْ قَبْلَهُ، وَ السَّنَةَ الَّتِيْ بَعْدَهُ
“Puasa pada hari ‘Arafah, aku berharap kepada Allah agar menghapuskan (dengannya) dosa-dosa pada tahun lalu dan tahun yang akan datang”
Jadi jelas perbedaannya bahwa puasa ‘Arafah tidak tergantung pada urutan hari dalam bulan Dzulhijjah, namun pada pelaksanaan wuquf di ‘Arafah.
3. فطركم يوم تفطرون وأضحاكم يوم تضحون وعرفة يوم تعرفون
“Berbuka kalian adalah di hari kalian berbuka, penyembelihan kalian adalah di hari kalian menyembelih, dan ‘Arafah kalian adalah di hari kalian melakukan wuquf di ‘Arafah” [Diriwayatkan oleh Asy-Syaafi’iy dalam Al-Umm 1/230 dan Al-Baihaqiy 5/176; shahih dari ‘Athaa’ secara mursal. Lihat Shahiihul-Jaami’ no. 4224].
يوم عرفة ويوم النحر وأيام التشريق عيدنا أهل الإسلام وهي أيام أكل وشرب
“Hari ‘Arafah, hari penyembelihan (‘Iedul-Adlhaa), dan hari-hari tasyriiq adalah hari raya kita orang-orang Islam. Ia adalah hari-hari makan dan minum” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 2419 dan At-Tirmidziy no. 773; shahih].
Makna ‘Arafah kalian adalah di hari kalian melakukan wuquf di ‘Arafah’ adalah mengikuti dan menyesuaiakan pelaksanakaan hari menyembelih dan pelaksanaan wuquf orang-orang yang melaksanakan haji di Makkah.
An-Nawawiy rahimahullah berkata :
قَال أَصْحَابُنَا: وَليْسَ يَوْمُ الفِطْرِ أَوَّل شَوَّالٍ مُطْلقًا وَإِنَّمَا هُوَ اليَوْمُ الذِي يُفْطِرُ فِيهِ النَّاسُ بِدَليل الحَدِيثِ السَّابِقِ، وَكَذَلكَ يَوْمَ النَّحْرِ، وَكَذَا يَوْمَ عَرَفَةَ هُوَ اليَوْمُ الذِي يَظْهَرُ للنَّاسِ أَنَّهُ يَوْمَ عَرَفَةَ، سَوَاءٌ كَانَ التَّاسِعَ أَوْ العَاشِرَ قَال الشَّافِعِيُّ فِي الأُمِّ عَقِبَ هَذَا الحَدِيثِ: فَبِهَذَا نَأْخُذُ
“Telah berkata shahabat-shahabat kami (fuqahaa’ Syafi’iyyah) : Tidaklah hari berbuka (‘Iedul-Fithri) itu (mempunyai pengertian) hari pertama bulan Syawal secara muthlaq. Ia adalah hari dimana orang-orang berbuka padanya dengan dalil hadits sebelumnya (yaitu : ‘Berbuka kalian di hari kalian berbuka’). Begitu pula dengan hari penyembelihan (Yaumun-Nahr/’Iedul-Adlhaa). Begitu pula dengan hari ‘Arafah, ia adalah hari yang nampak bagi orang-orang bahwasannya hari itu adalah hari ‘Arafah. Sama saja apakah itu hari kesembilan atau hari kesepuluh. Asy-Syaafi’iy berkata dalam Al-Umm saat berkomentar tentang hadits ini : Maka dengan inilah kami berpendapat…..” [Al-Majmu’’, 5/26].
Hari yang nampak sebagai hari ‘Arafah adalah hari ketika orang-orang yang melaksanakan ibdah haji wuquf di ‘Arafah.
kalo cuma asal ikut ulama' agama niscaya dibuat main-main
3) MEREKA BERDALIL AKAL(kalo tidak mau dibilang akal2an)
Jika penduduk Sorong harus berpuasa pada hari yang sama -misalnya- maka jika ia berpuasa sejak pagi hari (misalnya jam 6 pagi WIT) maka di Mekah belum wukuf tatkala itu, bahkan masih jam 12 malam. Dan tatkala penduduk Mekah baru mulai wukuf -misalnya jam 12 siang waktu Mekah-, maka di Sorong sudah jam 6 maghrib?. Lantas bagaimana bisa ikut serta menyesuaikan puasanya dengan waktu wukuf??
KITA JAWAB : yang harus sesuai itu bukan waktu mulai wukufnya tapi hari wukufnya(jum'at misalkan),mungkin hari wukuf diarofah kita dapati walau satu jam atau sesaat.sangat mungkin sekali.
sekarang kita balik bertanya :
Adakah nukilan salaf (terutama generasi awal Islam) yang menyatakan bahwa negeri Syaam, Yaman, 'Iraaq, ataupun Mesir berbeda pelaksanaan 'Arafahnya dengan Makkah ? Saya harap antum tidak memakai dalil Ibnu 'Abbaas dalam masalah Syawal.
pendapat kami ini adalah pendapat jumhur mayoritas ulama sekarang, seperti Syaikh Bin Baaz rahimahullah, Al-Lajnah Ad-Daaimah, dan Syaikh Abdul Muhsin Al-'Abbad Al-Badr hafizohullah
[Fatwa dari Asy-Syaikh Al-‘Ubailaan hafidhahullah - http://kulalsalafiyeen.com/vb/showthread.php?p=97989].
[Fatwa dari Asy-Syaikh Dr. Muhammad Al-Maghrawiy hafidhahullah - http://www.darcoran.org/?taraf=fatawi&file=displayfatawi&id=119]
4) MEREKA BERDALIL MEMAKAI QIYAS :
mengapakah dikhususkan Arafah kepada penduduk Mekah. Begitu juga untuk ibadah2 lain didalam hadith"فطركم يوم تفطرون وأضحاكم يوم تضحون وعرفة يوم تعرفون
“Berbuka kalian adalah di hari kalian berbuka, penyembelihan kalian adalah di hari kalian menyembelih, dan ‘Arafah kalian adalah di hari kalian melakukan wuquf di ‘Arafah” [Diriwayatkan oleh Asy-Syaafi’iy dalam Al-Umm 1/230 dan Al-Baihaqiy 5/176; shahih dari ‘Athaa’ secara mursal. Lihat Shahiihul-Jaami’ no. 4224]."? Ini adalah tafreeq ( membeza2kan ) dengan tanpa dalil. Jika penulis ingin mentafsirkan " kamu " dengan ahli Mekah semua ibadah bersamanya mesti ditafsirkan begitu.
KITA JAWAB : YA IYALAH KARENA WUKUF CUMA ADA DAN HANYA BOLEH DILAKUKAN DISONO,BEDA DENGAN ID
ust abdul hakim amir abdat berkata :qiyas yang mereka gunakan merupakan qiyas yang berbeda dengan apa yang di qiyaskan atau qiyas faariq. Tidak dapat disamakan hukumnya antara Ramadhan dan ‘Iedul Fithri tanggal satu Syawwal dengan puasa hari Arafah dan ‘Iedul Adha. Maka sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam , “Puasalah karena melihat ru’yah (Ramadhan), dan berbukalah ketika melihat ru’yah (Syawwal)”. Jelas sekali untuk puasa di bulan Ramadhan dan ‘Iedul Fithri, bahwa masing-masing negeri atau negeri-negeri yang saling berdekatan mempunyai ru’yah masing-masing menurut pendapat sebagian ulama sebagaimana saya telah jelaskan dengan luas di Al-Masaa-il jilid 2 masalah ke 39.
Diantara para ulama yg berpendapat bahwa puasa arofah harus ikut saudi dan lebaran ikut pemerintah setempat karena Rasulullah bersabda,
الأضحى يوم يضحي الناس
Hari Raya Iedul Adha adalah hari dimana para manusia menyembelih kurban".
Diantaranya Prof. Dr. Sa'ad Al-Khotslaan hafizohulloh (anggota kibarul ulama Arab Saudi), sehingga beliau berpendapat bagi negara yg 10 dzul hijjahnya jatuh pada hari ahad -seperti indonesia- maka puasa arofah hari jumat (ikut saudi) dan lebaran hari ahad (ikut pemerintah) sebagaimana beliau sebarkan di twitter beliau.
Pendapat seperti ini juga merupakan fatwa Syaikh Dr. Anis Thohir al-Andunisi (Pengajar di Masjid Nabawi dan Universitas Islam Madinah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar