Jumat, 31 Oktober 2014

IBNU AL KATIBIY MENGUAK KEJAHILANNYA SENDIRI


DIA BERKATA : Imam al-Qurthubi mengatakan :
كل بدعة صدرت من مخلوق فلا يخلو أن يكون لها أصل في الشرع أولا، فإن كان لها أصل كانت واقعة تحت عموم ما ندب الله إليه وخص رسوله عليه، فهي في حيز المدح وإن لم يكن مثاله موجودا كنوع من الجود والسخاء وفعل المعروف، فهذا فعله من الافعال المحمودة، وإن لم يكن الفاعل قد سبق إليه
“ Setiap bid’ah yang datang dari makhluk, maka tidak terlepas dari dua perkara yakni adakalanya memiliki asal dalam syare’at atau tidak ada asalnya. Jika memiliki asal dalam syare’at, maka masuk dalam keumuman apa yang Allah dan Rasul-Nya anjurkan, perkara ini masuk pujian (baik), walaupun belum ada contoh sebelumnya semisal merk (macam/jenis) dari sifat kedermawanan, kemurahan dan pebuatan ma’ruf, maka ini semua ini jika dilakukan adalah termasuk perbuatan terpuji, meskipun belum ada contoh orang yang melakukannya..
JAWAB : lihat lah baik2 contohnya tentang kedermawanan, kemurahan dan pebuatan ma’ruf. apakah bid'ah mereka dalam hal ini?
ini mah selaras dg hadits yg dijelaskan imam qurtubi (Tafsir al-Qurthubi : 2/87) : وقد بين هذا بقوله : ( من سن في الإسلام سنة حسنة كان له أجرها وأجر من عمل بها من بعده من غير أن ينقص من أجورهم شيء ومن سن في الإسلام سنة سيئة كان عليه وزرها ووزر من عمل بها من بعده من غير أن ينقص من أوزارهم شيء
yang asbabul wurudnya adalah kisah sedekah sahabat.
apakah ini pantas disebut bid'ah istilah atau lughoh/bahasa ???
قول الحافظ ابن حجر العسقلاني رحمه الله في الفتح: (ما كان له أصل يدل عليه الشرع فليس ببدعة)
ini juga senada dg perkataan ibnu hajar bahwa itu yg ada dalilnya tidak boleh disebut bid'ah
masih dihalaman yg sama imam qurtubi menjelaskan : وإن كانت في خلاف ما أمر الله به ورسوله فهي في حيز الذم والإنكار قال معناه الخطابي وغيره قلت : وهو معنى قوله صلى الله عليه وسلم في خطبته : ( وشر الأمور محدثاتها وكل بدعة ضلالة ( يريد ما لم يوافق كتابا أو سنة أو عمل الصحابة رضي الله عنهم
jika bid'ah menyelisihi apa yg diperintah alloh dan rosulnya masuk perkara yg tercela dan diingkari sebagaimana dikatakan alkhottobi dan selainnya.aku berkata : dan itulah makna perkataan nabi di khutbahnya:seburuk2 perkara adalah perkara yg diada-adakan dan setiap bid'ah adalah sesat yg dimaksud adalah apa yg tidak mencocoki kitabulloh,sunnah,dan amal para sahabat.
(Tafsir al-Qurthubi : 2/87)
sekarang bid'ah hasanah mereka yg mencocoki amal para sahabat ?
apakah tahlilan atau sholawat nariyyah ?
lihat tafsir al qurtubi baik2..
Abu Bakr Ath-Thurthuusiy Al-Maalikiy rahimahullah berkata:
يرحمك الله - مذهب الصوفية بطالة وجهالة وضلالة، وما الإسلام إلا كتاب الله وسنة رسول، وأما الرقص والتواجد فأول من أحدثه أصحاب السامري، لما اتخذ لهم عجلا جسدا له خوار قاموا يرقصون حواليه ويتواجدون؛ فهو دين الكفار وعباد العجل؛ ....... وإنما كان يجلس النبي صلى الله عليه وسلم مع أصحابه كأنما على رؤوسهم الطير من الوقار؛ فينبغي للسلطان ونوابه أن يمنعهم عن الحضور في المساجد وغيرها؛ ولا يحل لأحد يؤمن بالله واليوم الآخر أن يحضر معهم، ولا يعينهم على باطلهم؛ هذا مذهب مالك وأبي حنيفة والشافعي وأحمد بن حنبل وغيرهم من أئمة المسلمين وبالله التوفيق.
“Semoga Allah memberikan rahmat kepadamu,… madzhab Shuufiyyah hanyalah kesia-siaan, kebodohan, dan kesesatan. Islam itu hanyalah Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Adapun tarian dan sikap berkasih-kasihan, yang pertama kali mengadakannya adalah rekan-rekan Saamiriy. Ketika ia berhasil membuat patung anak sapi yang bisa bersuara, maka mereka berdiri menari di sekitarnya sambil berkasih-kasihan. Perbuatan tersebut merupakan agama orang kafir dan penyembah anak sapi..... Adapun majelis Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersama para shahabatnya, (keadaannya) adalah seakan-akan di kepala-kepala mereka terdapat burung karena ketenangannya. Sudah seharusnya sulthaan dan para wakilnya melarang mereka (shufiy) menghadiri masjid-masjid dan yang lainnya. Tidak halal bagi seorang pun yang beriman kepada Allah dan hari akhir hadir pada kegiatan mereka. Tidak diperbolehkan menolong kebathilan mereka. Inilah madzhab Maalik, Abu Haniifah, Asy-Syaafi’iy, Ahmad bin Hanbal, dan yang lainnya dari kalangan imam-imam kaum muslimin. Wabillaahit-taufiiq” [Tafsiir Al-Qurthubiy, 11/238].
DIA BERKATA : Imam Syafi’i rahimahullah mengatakan :
المحدثات من الأمور ضربانأحدهما ما أحدث مما يخالف كتابا أو سنة أو أثرا أو إجماعا فهذه البدعة الضلالة والثاني ما أحدث من الخير لا خلاف فيه لواحد من هذا، وهذه محدثة غير مذمومة
“Hal baru terbagi menjadi dua, pertama apa yang bertentangan dengan Al Quran, Sunah, atsar, dan ijma, maka inilah bid`ah dholalah. Yang kedua adalah hal baru dari kebaikan yang tidak bertentangan dengan salah satu dari yang telah disebut, maka baru ini tidaklah tercela..”[2]
Ibnu Rajab al-Hanbali mengatakan :
والمراد بالبدعة: ما أحدث ممّا لا أصل له في الشريعة يدل عليه، فأمّا ما كان له أصل من الشرع يدل عليه فليس ببدعة شرعًا، وإن كان بدعة لغة
“ Yang dimaksud dengan bid’ah adalah : Segala perkara baru yang tidak ada asalnya dalam syare’at yang menunjukkan atasnya. Adapun perkara baru yang ada asal dari syare’at yang menunjukkan atasnya, maka bukanlah bid’ah dalam segi syare’atnya, walaupun itu bid’ah dalam segi bahasanya “. [3]
JAWAB :ente lagi mengartikan serampangan alias tidak limiah,membuat talbis tipu muslihat.
لا خلاف فيه لواحد من هذا
diartikan :tidak bertentangan dengan salah satu dari yang telah disebut
yg benar :tidak ada perbedaan di dalamnya dengan salah satu dari ini.
arti ini selaras dengan penafsiran imam nawawi :"Dan perkara-perkara yang baru ada dua bentuk, yang pertama adalah yang menyelisihi Al-Kitab atau As-Sunnah atau atsar atau ijma', maka ini adalah bid'ah yang sesat. Dan yang kedua adalah yang merupakan kebaikan, tidak seorang ulamapun yang menyelisihi hal ini (bahwasanya ia termasuk kebaikan-pen) maka ini adalah perkara baru yang tidak tercela"(Tahdziib Al-Asmaa' wa Al-Lughoot (3/23))

قاَلَ الشّاَفِعِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ -ماَ أَحْدَثَ وَخاَلَفَ كِتاَباً أَوْ سُنَّةً أَوْ إِجْمَاعاً أَوْ أَثَرًا فَهُوَ البِدْعَةُ الضاَلَةُ ، وَماَ أَحْدَثَ مِنَ الخَيْرِ وَلَمْ يُخاَلِفُ شَيْئاً مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ البِدْعَةُ المَحْمُوْدَةُ -(حاشية إعانة 313 ص 1الطالبين -ج )
Artinya ; Imam Syafi’i ra berkata –Segala hal (kebiasaan) yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah) dan menyalahi (bertentangan) dengan pedoman Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ (sepakat Ulama) dan Atsar (Pernyataan sahabat) adalah bid’ah yang sesat (bid’ah dholalah). Dan segala kebiasaan yang baik (kebaikan) yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah) dan tidak menyalahi (tidak bertentangan) dengan pedoman tersebut maka ia adalah bid’ah yang terpuji, (Hasyiah Ianathuth-Thalibin –Juz 1 hal. 313)
apakah ente lebih mengerti dari imam nawawi

Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah menjelaskan maksud perkataan Imam Asy Syafi’i mengenai bid’ah hasanah (mahmudah) dan bid’ah madzmumah, “Yang dimaksudkan oleh Imam Syafi’i rahimahullah seperti yang telah saya sebutkan sebelumnya bahwa bid’ah madzmumah (yang tercela) adalah segala amalan yang tidak ada asalnya dalam syari’at yang mendukungnya. Inilah bid’ah yang dimutlakkan dalam syari’at. Sedangkan bid’ah yang terpuji (bid’ah hasanah, pen) adalah bid’ah yang bersesuaian dengan sunnah (ajaran Rasul), yaitu yang memiliki asal dari Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pendukung. Namun yang dimaksudkan dengan bid’ah hasanah di sini adalah bid’ah secara bahasa dan bukan bid’ah menurut istilah syar’i karena bid’ah kedua ini bersesuaian dengan ajaran Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.”[ Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 131]
DIA BERKATA : Amaliah maulid Nabi, tidak ada sesuatu hal yang mengharuskan untuk melakukannya di masa Nabi maupun di masa tiga kurun terbaik, karena di masa-masa itu para sahabat atau ulama salaf tidak butuh suatu acara untuk mengingat-ingat supaya lebih mencintai dan mensyukuri Nabi, sebab mereka para sahabat sudah cukup kuat keimanannya kepada Nabi, bahkan suduh cukup Nabi yang selalu berjumpa, bertemu dan menasehati para sahabat langsung ketika itu yang hidup di tengah-tengan para sahabatnya. Tidak seorang pun dai sahabat yang mengalami kesyubhatan, kecuali Nabi mencerahkannya, tidak seorang pun dari sahabat yang kesumpekan dan kesusahan kecuali Nabi melapangkannya, tidak seorang pun dari sahabat yang mengalami kerasnya hati atau was-was kecuali pada Nabi lah mereka menemukan obat dan penawarnya. Hati mereka penuh dengan keimanan, ketenangan dan kekuatan taqwa. Selalu mengikuti sunnah Nabi, mengikuti jejak Nabi dan menysukuri nikmat diwujudkannya Nabi serta selalu mengingat Nabi.
JAWAB : he, lucunya ente mengakui cara menambah iman dg nasehat tapi kemudian membuat cara yg tidak dilakukan nabi,benarlah kata ahli ilmu.
" Jika manusia merasa dirinya lemah, hina, dan tidak dikenal, maka mereka akan mengadakan perkumpulan-perkumpulan berkala untuk mengagungkan pemimpin mereka tanpa memperhatikan prilaku mereka. Pengagungan itu tidaklah berat bagi jiwa yang lemah. Tidak diragukan bahwa pengagungan yang hakiki adalah dengan mentaati orang yang diagungkan, menerima nasehatnya, melaksanakan perintahnya, dan menjunjung tinggi agamanya. Hal tersebut berlaku jika dia seorang Rasul. Jika dia seorang raja, maka dengan cara mengabdi kepadanya."
[ Fatawa Rasail Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim, III, 54-56 ].
DIA BERKATA : Keadaan seperti ini terus berlangsung hingga masa tabi’in, sehingga mereka sama sekali tidak memikirkan atau bahkan tidak terlintas untuk mengadakan suatu acara agar memberikan motivasi dalam mencintai dan mensyukuri nikmat diutusnya Nabi.
JAWAB : he..coba tanya,bagaimana mereka memotivasi diri setelah wafat nabi,apakah dg maulid?kalau tidak,mengapa tidak pakai cara mereka? apakah karena mereka tiga generasi utama pasti terjamin imannya?,sedangkan iman mereka naik turun juga, dari Kalangan tabi’ut Tabi’in, di antaranya:
Abdurrahman bin ‘Amru al-‘Auzaa’i (wafat tahun 157 H) menyatakan,
الإِيْمِانُ قَوْل وَ عَمَلٌ يَزِيْدُ وَ يَنْقُصُ فَمَنْ زَعَمَ أَنَّ الإِيْمِانَ لاَ يَزِيْدُ وَ لاَ يَنْقُصُ فَاحْذَرُوْه فَإِنَّهُ مُبْتَدِعٌ
“Iman adalah perkataan dan perbuatan, bertambah dan berkurang. Siapa yang meyakini iman itu tidak bertambah dan tidak berkurang maka berhati-hatilah terhadapnya karena ia adalah seorang ahli bid’ah.”Diriwayatkan al-Aajuuri dalam kitab asy-Syari’at hlm 117.]
Beliau juga ditanya tentang iman, “Apakah bisa bertambah?” Beliau menjawab, “Iya, hingga menjadi seperti gunung.” Beliau ditanya lagi, “Apakah bisa berkurang?” Beliau rahimahullah menjawab, “Iya, hingga tidak tersisa sedikitpun darinya”.[Diriwayatkan al-Laalakai dalam Ushul I’tiqaad 5/959.]
DIA BERKATA : Kenapa Ibnu Utsaimin tidak mau menyebut perkara itu bid’ah padahal ia meyakini itu perkara baru dalam urusan agama dan tak ada dalil sahihnya ?? terlebih dengan lantang al-Albani dan Bakar Abu Zaid mengakui bahwa hal itu memang bid’ah yang sesat. Apa sebab Ibnu Utsaimin menyebut bid’ah pada persoalan maulid? Padahal kasusnya sama dengan kasus di atas?
JAWAB : kalau gak tau tanya jangan menghukumi,jangan juga bertanya sambil menghukumi di atas kejahilan.
kaidahnya jelas, Imam As Suyuthi mengatakan dalam Al Asybah wan Nazhair:
الْقَاعِدَةُ الْخَامِسَةُ وَالثَّلَاثُونَ ” لَا يُنْكَرُ الْمُخْتَلَفُ فِيهِ ، وَإِنَّمَا يُنْكَرُ الْمُجْمَعُ عَلَيْهِ
Kaidah yang ke-35, “Tidak boleh ada pengingkaran terhadap masalah yang masih diperselisihkan. Seseungguhnya pengingkaran hanya berlaku pada pendapat yang bertentangan dengan ijma’ (kesepakatan) para ulama.” (Imam As Suyuthi, Al Asybah wa An Nazhair, Juz 1, hal. 285.)
itulah mengapa syekh utsaimin tidak membid'ahkan.
sedangkan al-Albani dan Bakar Abu Zaid menggunakan tarjih salh satu pendapat,sebagaimana Berkata Imam An Nawawi Rahimahullah:
وَمِمَّا يَتَعَلَّق بِالِاجْتِهَادِ لَمْ يَكُنْ لِلْعَوَامِّ مَدْخَل فِيهِ ، وَلَا لَهُمْ إِنْكَاره ، بَلْ ذَلِكَ لِلْعُلَمَاءِ . ثُمَّ الْعُلَمَاء إِنَّمَا يُنْكِرُونَ مَا أُجْمِعَ عَلَيْهِ أَمَّا الْمُخْتَلَف فِيهِ فَلَا إِنْكَار فِيهِ لِأَنَّ عَلَى أَحَد الْمَذْهَبَيْنِ كُلّ مُجْتَهِدٍ مُصِيبٌ . وَهَذَا هُوَ الْمُخْتَار عِنْد كَثِيرِينَ مِنْ الْمُحَقِّقِينَ أَوْ أَكْثَرهمْ . وَعَلَى الْمَذْهَب الْآخَر الْمُصِيب وَاحِد وَالْمُخْطِئ غَيْر مُتَعَيَّن لَنَا ، وَالْإِثْم مَرْفُوع عَنْهُ
“Dan Adapun yang terkait masalah ijtihad, tidak mungkin orang awam menceburkan diri ke dalamnya, mereka tidak boleh mengingkarinya, tetapi itu tugas ulama. Kemudian, para ulama hanya mengingkari dalam perkara yang disepati para imam. Adapun dalam perkara yang masih diperselisihkan, maka tidak boleh ada pengingkaran di sana. Karena berdasarkan dua sudut pandang setiap mujtahid adalah benar. Ini adalah sikap yang dipilih olah mayoritas para ulama peneliti (muhaqqiq). Sedangkan pandangan lain mengatakan bahwa yang benar hanya satu, dan yang salah kita tidak tahu secara pasti, dan dia telah terangkat dosanya.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 1/131. Mawqi’ Ruh Al Islam)
DIA BERKATA : para imam masjid di haramain (Makkah dan Madinah) seperti syaikh Abdurrahman Sudais, syaikh Husain bin Abdul Aziz Aalu syaikh, syaikh Ali Al-Hudzaifi dan lainnya, mereka di dalam shalat tarawikh selalu menentukan bacaan Al-Quran di setiap roka’atnya sampai pada hari ke dua puluh tuju atau dua puluh Sembilan, mereka mengkhatamkan Al-Quran, ini mereka lakukan berulang-ulang setiap tahunnya, padahal tidak ada yang melakukannya di tiga kurun terbaik. Demikian juga membaca doa khatam Al-Quran di setiap akhir malam Ramadhan atau malam ke dua puluh sembilannya pada setiap tahunnya. Hal ini merupakan taqyid atau pengkhususan ibadah dan perkara baru yang tidak pernah dilakukan oleh ulama salaf sepanjang tiga kurun terbaik.
JAWAB : INI TUDUHAN,sedangkan dalam islam menuduh harus mengajukan bukti.mana bukti beliau2 mengkhususkan,pernahkah beliau berkata atau ente tanya ke dia ? apakah melakukan berkali2 berarti mengkhususkan?.apalagi dalam sholat ada tempat khusus baca qur'an tanpa batasan,yg melarang silahkan ajukan bukti.
ibnu Taimiyah berkata, “Dalam shalat tarawih disunnahkan untuk mengkhatamkan Al Quran kala itu. Inilah yang disepakati oleh para ulama bahkan itulah bagian dari maksud tarawih. Tujuannya adalah supaya kaum muslimin bisa mendengarkan Al Quran seluruhnya di bulan Ramadhan. Karena bulan Ramadhan adalah bulan diturunkannya Al Quran. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang begitu semangat melakukan kebaikan. Beliau lebih bertambah semangat lagi di bulan Ramadhan, saat itu pula Jibril mengajari beliau Al Quran.” (Majmu’ Al Fatawa, 23: 122-123).

Tidak ada komentar: