Senin, 07 Desember 2015

YANG MENGATAKAN MEMILIH PEMIMPIN NON MUSLIM BOLEH HANYALAH PELAWAK BERKEDOK AGAMA




SYUBHAT: Penanya yang budiman, ulama berbeda pendapat perihal memilih pemimpin dari kalangan non muslim. Misalnya Badruddin Al-Hamawi As-Syafi’i yang wafat di abad 8 H. Ia menyatakan dengan jelas keharaman memilih pemimpin dan juga aparat dari kalangan kafir dzimmi.

وَلَا يجوز تَوْلِيَة الذِّمِّيّ فِي شَيْء من ولايات الْمُسلمين إِلَّا فِي جباية الْجِزْيَة من أهل الذِّمَّة أَو جباية مَا يُؤْخَذ من تِجَارَات الْمُشْركين. فَأَما مَا يجبى من الْمُسلمين من خراج أَو عشر أَو غير ذَلِك فَلَا يجوز تَوْلِيَة الذِّمِّيّ فِيهِ، وَلَا تَوْلِيَة شَيْء من أُمُور الْمُسلمين، قَالَ تَعَالَى: {وَلنْ يَجْعَل الله للْكَافِرِينَ على الْمُؤمنِينَ سَبِيلا} وَمن ولى ذِمِّيا على مُسلم فقد جعل لَهُ سَبِيلا عَلَيْهِ.
Tidak boleh mengangkat dzimmi untuk jabatan apapun yang mengatur umat Islam kecuali untuk memungut upeti penduduk kalangan dzimmi atau untuk memungut pajak transaksi jual-beli penduduk dari kalangan musyrikin. Sedangkan untuk memungut upeti, pajak seper sepuluh, atau retribusi lainnya dari penduduk muslim, tidak boleh mengangkat kalangan dzimmi sebagai aparat pemungut retribusi ini. Dan juga tidak boleh mengangkat mereka untuk jabatan apapun yang menangani kepentingan umum umat Islam.

Allah berfirman, “Allah takkan pernah menjadikan jalan bagi orang kafir untuk mengatasi orang-orang beriman.” Siapa yang mengangkat dzimmi sebagai pejabat yang menangani hajat muslim, maka sungguh ia telah memberikan jalan bagi dzimmi untuk menguasai muslim. (Lihat Badruddin Al-Hamawi As-Syafi’i, Tahrirul Ahkam fi Tadbiri Ahlil Islam, Daruts Tsaqafah, Qatar, 1988).

JAWAB : anda gagal faham.tidak ada perbedaan tentang keharaman pemimpin dari non muslim.justru para ulama’ sepakat IJMA tentang keharamannya.
Al-Imam Al-Qodhi ‘Iyadh Al-Yahshobiy -rahimahullah- berkata,
أجمع العلماءُ على أنَّ الإمامة لا تنعقد لكافر، وعلى أنَّه لو طرأ عليه الكفر انعزل
“Para ulama telah bersepakat (ijma’) bahwa kepemimpinan tidak terlaksana (tidak sah) bagi orang kafir dan bahwa andaikan ia terkena kekafiran, maka ia terlengserkan.” [Lihat Al-Minhaj Syarh Shohih Muslim (6/315) karya An-Nawawiy]
Al-Imam Ibnul Mundzir Asy-Syafi’iy -rahimahullah- berkata,
إنَّه قد أجمع كلُّ مَن يُحفَظ عنه مِن أهل العلم أنَّ الكافر لا ولايةَ له على المسلم بِحال
“Sesungguhnya telah ijma’ (bersepakat) semua ulama yang terhafal darinya ilmu bahwa orang kafir tidak memiliki hak kepemimpinan atau orang Islam sedikitpun.” [Lihat Ahkam Ahlidz Dzimmah (2/787) oleh Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah]
Ibnu Hazm Al-Andalusiy -rahimahullah- berkata,
واتَّفقوا أنَّ الإمامة لا تجوز لامرأةٍ ولا لكافر ولا لصبِي
“Mereka (para ulama) telah bersepakat bahwa kepemimpinan itu tidak boleh bagi wanita, orang kafir dan anak kecil.” [Lihat Marotib Al-Ijma’ (hal. 208)]
Al-Imam Al-Hafizh Abul Fadhl Ibnu Hajar Al-Asqolaniy -rahimahullah- berkata,
إنَّ الإمام ينعزل بالكفر إجماعًا، فيَجِب على كلِّ مسلمٍ القيامُ في ذلك، فمَن قوي على ذلك فله الثَّواب، ومَن داهن فعليه الإثم، ومن عَجز وجبَتْ عليه الهجرةُ من تلك الأرض
“Seorang imam (pemimpin) terlengserkan dengan sebab kekafirannya menurut ijma’. Wajib bagi setiap muslim bangkit (melengserkan si pemimpin kafir) dalam hal itu. Siapa saja yang kuat untuk (melakukan hal itu), maka ia akan meraih pahala. Siapa yang menjilat (mencari muka kepada si kafir itu), maka ia akan memetik dosanya. Siapa yang lemah (tidak mampu), maka wajib baginya berhijrah dari negeri itu.” [Lihat Fathul Bari (13/123) karya Ibnu Hajar]
SYUBHAT: Sementara ulama lain yang membolehkan pengangkatan non muslim untuk jabatan publik tertentu antara lain Al-Mawardi yang juga bermadzhab Syafi’i. Ulama yang wafat pada pertengahan abad 5 H ini memberikan tafshil, rincian terhadap jabatan.

ويجوز أن يكون هذا الوزير من أهل الذمة وإن لم يجز أن يكون وزير التفويض منهم

Posisi pejabat ini (tanfidz/eksekutif) boleh diisi oleh dzimmi (non muslim yang siap hidup bersama muslim). Namun untuk posisi pejabat tafwidh (pejabat dengan otoritas regulasi, legislasi, yudikasi, dan otoritas lainnya), tidak boleh diisi oleh kalangan mereka. (Lihat Al-Mawardi, Al-Ahkamus Sulthoniyah wal Wilayatud Diniyah, Darul Fikr, Beirut, Cetakan 1, 1960, halaman 27).

Al-Mawardi dalam Al-Ahkamus Sulthoniyah menguraikan lebih rinci. Menurutnya, kekuasaan dibagi setidaknya menjadi dua, tafwidh dan tanfidz. Kuasa tafwidh memiliki cakupan kerja penanganan hukum dan analisa pelbagai kezaliman, menggerakkan tentara dan mengatur strategi perang, mengatur anggaran, regulasi, dan legislasi. Untuk pejabat tafwidh, Al-Mawardi mensyaratkan Islam, pemahaman akan hukum agama, merdeka.

Sementara kuasa tanfidz (eksekutif) mencakup pelaksanaan dari peraturan yang telah dibuat dan dikonsep oleh pejabat tafwidh. Tidak ada syarat Islam, alim dalam urusan agama, dan merdeka.
JAWAB : sebenarnya ini adalah pendapat yang lemah sebagaimana diisyaratkan oleh abu ya’la dalam Al-Ahkamus Sulthoniyah hal 29-30 dengan sighoh tamrid qod qiila.dan juga telah dibantah oleh imam al juwaini dalam kitabnya ghiyasul umam hal 114-115

SYUBHAT: Menurut hemat kami, memilih pajabat eksekutif seperti gubernur, walikota, bupati, camat, lurah, atau ketua RW dan RT dari kalangan non muslim dalam konteks Indonesia dimungkinkan. Pasalnya, pejabat tanfidz itu hanya bersifat pelaksana dari UUD 1945 dan UU turunannya. Dalam konteks Indonesia pemimpin non muslim tidak bisa membuat kebijakan semaunya, dalam arti mendukung kekufurannya. Karena ia harus tunduk pada UUD dan UU turunan lainnya. Pemimpin non muslim, juga tidak memiliki kuasa penuh. Kekuasaan di Indonesia sudah dibagi pada legislatif dan yudikatif di luar eksekutif. Sehingga kinerja pemimpin tetap terpantau dan tetap berada di jalur konstitusi yang sudah disepakati wakil rakyat. Mereka seolah hanya sebagai jembatan antara rakyat dan konstitusi.

Kecuali itu, sebelum menjadi pemimpin, mereka telah melewati mekanisme pemilihan calon, penyaringan ketat dan verifikasi KPU. Mereka juga sebelum dilantik diambil sumpah jabatan. Jadi dalam hal ini kami lebih cenderung sepakat dengan pendapat Al-Mawardi yang membolehkan non muslim menduduki posisi eksekutif. Di sinilah letak kearifan hukum Islam.
JAWAB : ini jelas pemaknaan tanfidz yg ngawur..maksud imam mawardi dh tanfidz itu pelaksana yg tidak punya kewenangan untuk mengeluarkan peraturan.adapun gubernur mungkinkah mengeluarkan peraturan gubernur yg itu harus ditaati???sangaaat
Beliau imam mawardi tentang tugas wazir tanfidz mengatakan:
ليعمل فيه ما يؤمر به ، فهو معين في تنفيذ الأمور وليس بوال عليها
Artinya : tugasnya melaksanakan apa yg diperintah kepadanya(tidak punya hak memerintah) maka tugasnya tertentu dalam hal pelaksanaan perintah atasan dan bukan sebagai wali pemimpin atas suatu wilayah(Lihat Al-Mawardi, Al-Ahkamus Sulthoniyah wal Wilayatud Diniyah halaman 43).
Sebagaimana pernah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mempekerjakan non muslim sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut,
وَاسْتَأْجَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَأَبُو بَكْرٍ رَجُلًا مِنْ بَنِي الدِّيلِ هَادِيًا خِرِّيتًا، وَهُوَ عَلَى دِينِ كُفَّارِ قُرَيْشٍ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakar mengupah seorang laki-laki dari Bani Ad Diil sebagai petunjuk jalan, dan dia adalah seorang beragama kafir Quraisy.” (HR. Bukhari no. 2264). Namun ingat itu dipekerjakan, bukan berada di atas, bukan sebagai pemimpin.
Jadi kalau mau satpol pp atau tukang sapu kebersihan maka itu boleh menurut imam mawardi bukan gubernur atau walikota.jelas ini pemaknaan yg melenceng jauuh bainas samai wassumuur…

SYUBHAT: Sedangkan ayat pengharaman memilih pemimpin non muslim sering beredar menjelang pemilihan. Sebut saja ayat berikut ini.

يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَكُمْ هُزُوًا وَلَعِبًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاءَ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

“Hai orang-orang beriman, janganlah jadikan orang-orang yang membuat agamamu sebagai olok-olok dan mainan baik dari kalangan ahli kitab sebelum kamu maupun orang kafir sebagai wali. Bertaqwalah kepada Allah jika kamu orang yang beriman.”

Apakah kata “wali” yang dimaksud itu pemimpin? Penerjemahan “wali” inilah, menentukan jawaban dari yang saudara Abdurrahman pertanyakan. Imam Ala’uddin Al-Khazin menyebutkan dalam tafsirnya sebagai berikut.


والمعنى لا تتخذوا أولياء ولا أصفياء من غير أهل ملتكم ثم بين سبحانه وتعالى علة النهي عن مباطنتهم فقال تعالى: لا يَأْلُونَكُمْ خَبالًا

Maknanya, “Janganlah kamu jadikan orang-orang yang tidak seagama denganmu sebagai wali dan kawan karib.” Allah sendiri menjelaskan alasan larangan untuk bergaul lebih dengan sehingga saling terbuka rahasia dengan mereka dengan ayat “Mereka tidak berhenti menjerumuskanmu dalam mafsadat”. (Lihat Al-Khazin, Lubabut Ta’wil fi Ma’anit Tanzil, Darul Kutub Al-Ilmiyah, Beirut).

Pengertian “wali” di atas ialah teman dekat. Sehingga saking dekatnya, tidak ada lagi rahasia antara keduanya. Ayat ini turun dalam konteks perang. Sehingga sangat berisiko bergaul terlalu dekat dengan ahli kitab dan orang-orang musyrik dalam suasana perang karena ia dapat mengetahui segala taktik perang, pos penjagaan, dapur umum, dan segala strategi dan rencana perang yang dapat membahayakan pertahanan umat Islam. Sementara komunitas-komunitas sosial saat itu berbasis agama.
JAWAB : jelas sekali dalam tafsir yg anda nukil sendiri diatas ada dua makna denganmu sebagai wali dan kawan karib.”  Mengapa hanya mengambil satu makna saja tanpa qorinah yg kuat. Bukankan makna teman dekat dan pemimpin kafir sama -sama haram? Inilah kesalahan fatal
Mereka meminta membuka tafsir? Baik. Kami akan berikan tafsir yang membahas Ahkam atau hukum -hukum yang terkandung dalam Al Qur’an yaitu kitab tafsir Al Jamii’ Li Ahkam Al Qur’an ‏ﺍﻟﺠﺎﻣﻊ ﻷﺣﻜﺎﻡ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ، ﻭﺍﻟﻤﺒﻴﻦ ﻟﻤﺎ ﺗﻀﻤﻦ ﻣﻦ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﻭﺃﺣﻜﺎﻡ ﺍﻟﻔﺮﻗﺎن  yang ditulis Imam ﻟﻤﺆﻟﻔﻪ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺃﺑﻮ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﺃﺣﻤﺪ ﺍﻷﻧﺼﺎﺭﻱ ﺍﻟﻘﺮطبي.
ﻭﻗﺎﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﺰَّ ﻭﺟﻞَّ :﴿ ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﻟَﺎ ﺗَﺘَّﺨِﺬُﻭﺍ ﺑِﻄَﺎﻧَﺔً ﻣِﻦْ ﺩُﻭﻧِﻜُﻢْ ﻟَﺎ ﻳَﺄْﻟُﻮﻧَﻜُﻢْ ﺧَﺒَﺎﻟًﺎ ﻭَﺩُّﻭﺍ ﻣَﺎ ﻋَﻨِﺘُّﻢْ ﻗَﺪْ ﺑَﺪَﺕِ ﺍﻟْﺒَﻐْﻀَﺎﺀُ ﻣِﻦْ ﺃَﻓْﻮَﺍﻫِﻬِﻢْ ﻭَﻣَﺎ ﺗُﺨْﻔِﻲ ﺻُﺪُﻭﺭُﻫُﻢْ ﺃَﻛْﺒَﺮُ ﻗَﺪْ ﺑَﻴَّﻨَّﺎ ﻟَﻜُﻢُ ﺍﻟْﺂﻳَﺎﺕِ ﺇِﻥْ ﻛُﻨْﺘُﻢْ ﺗَﻌْﻘِﻠُﻮﻥَ ﴾ ‏[ﺁﻝ ﻋﻤﺮﺍﻥ : 118 ‏].
ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻘﺮﻃﺒﻲُّ: ” ﻧَﻬﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ ﺑِﻬﺬﻩ ﺍﻵﻳﺔ ﺃﻥ ﻳَﺘَّﺨِﺬﻭﺍ ﻣﻦ ﺍﻟﻜُﻔَّﺎﺭ ﻭﺍﻟﻴﻬﻮﺩ ﻭﺃﻫﻞ ﺍﻷﻫﻮﺍﺀ ﺩُﺧﻼﺀَ ﻭﻭُﻟَﺠﺎﺀ ﻳُﻔﺎﻭﺿﻮﻧﻬﻢ ﻓﻲ ﺍﻵﺭﺍﺀ، ﻭﻳُﺴﻨﺪﻭﻥ ﺇﻟﻴﻬﻢ ﺃﻣﻮﺭَﻫﻢ. ﺗﻔﺴﻴﺮ “ﺍﻟﺠﺎﻣﻊ ﻷﺣﻜﺎﻡ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ”
Berkata Imam Qurthubi dalam tafsir Surat Ali Imron:118 “Allah melarang/mengharamkan dengan ayat ini kepada kaum mukminin yang menjadikan orang -orang kafir, yahudi, dan ahlu ahwa yang menuruti hawa nafsunya hingga haram kaum mukminin menyerahkan pendapat -pendapatnya kepada mereka dan haram menyerahkan urusan -urusannya kepada mereka. (Juz 4 Hal. 179).
Lihatlah menyerahkan pendapat, perkara dan urusan mereka saja haram apalagi menjadikan pemimpin? Bukankan ulul amri adalah pemimpin? Dan lafadh اﻷمور adalah jama’ dari اﻷمر? Sebagaimana اﻷولياء adalah jama’ dari Wali yang di mana ada Waliyul Amri yang artinya pemimpin dan Wali Allah yang artinya kekasih? Jadi haram kekasih dan pemimpin kafir?
Imam al-jasshos dalam tafsirnya 2/291 menerangkan secara gamblang terang benderang maknanya saat menjelaskan surat annisa ayat 144
فَإِنَّ الْوَلِيَّ هُوَ الَّذِي يَتَوَلَّى صَاحِبَهُ بِمَا يَجْعَلُ لَهُ مِنْ النُّصْرَةِ وَالْمَعُونَةِ عَلَى أَمْرِهِ وَالْمُؤْمِنُ وَلِيُّ اللَّهِ بِمَا يَتَوَلَّى مِنْ إخْلاصِ طَاعَتِهِ , وَاَللَّهُ وَلِيُّ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا يَتَوَلَّى مِنْ جَزَائِهِمْ عَلَى طَاعَتِهِ . وَاقْتَضَتْ الآيَةُ النَّهْيَ عَنْ الاسْتِنْصَارِ بِالْكُفَّارِ وَالاسْتِعَانَةِ بِهِمْ وَالرُّكُونِ إلَيْهِمْ وَالثِّقَةِ بِهِمْ , وَهُوَ يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الْكَافِرَ لا يَسْتَحِقُّ الْوِلايَةَ عَلَى الْمُسْلِمِ بِوَجْهٍ وَلَدًا كَانَ أَوْ غَيْرَهُ . وَيَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ لا تَجُوزُ الاسْتِعَانَةُ بِأَهْلِ الذِّمَّةِ فِي الأُمُورِ الَّتِي يَتَعَلَّقُ بِهَا التَّصَرُّفُ وَالْوِلايَةُ

artinya : maka sesungguhnya wali yaitu yg mengurusi temannya yg meminta pertolongan dan bantuan atas perintahnya.dan mukmin waliyulloh dg mengurusi keikhlasan ketaatannya.dan alloh adalah walinya orang2 beriman karena mengurus balasan pahala dari ketaatan kepadanya.dan ayat ini menuntut larangan dari minta tolong kepada orang2 kafir dan memperbantukan mereka dan merasa tenang bersama mereka dan percaya penuh dg mereka.dan juga menunjukkan bahwa orang kafir tidak berhak atas kepemimpinan atas orang islam dalam keadaan apapun entah itu anaknya atau bukan.dan juga tidak boleh memperbantukan ahli dzimmah dalam perkara-perkara yg berkaitan tentang tehnis dan kepemimpinan
jadi gamblang sekali siapa pengikut hawa nafsu musuh dalam selimut dan siapa pembela islam yg sebenarnya

SYUBHAT: Karenanya, mencermati ketarangan ulama di atas kita akan menemukan tidak sambung dan tidak tepat kalau ayat ini dijadikan dalil sebagai pengharaman atas pengangkatan calon pemimpin dari kalangan non muslim. Menurut hemat kami, kitab-kitab terjemah Al-Quran yang mengartikan “wali” sebagai pemimpin ada baiknya menelaah kembali tafsir-tafsir Al-Quran.

Saran kami berhati-hatilah memilih pemimpin baik muslim maupun non muslim. Karena mereka ke depan akan mengatur hajat hidup orang banyak. Kita perlu melihat integritas calon dan track record mereka. Kami juga berharap kepada warga untuk tidak mudah terporovokasi oleh isu-isu SARA menjelang pemilihan.

JAWAB : jelas anda pemahamannya yg asal comot sesuai selera.tidak ada yg salah terjemah kecuali yg dibutakan oleh gemerlap kekafiran.
Sejak kapan menyampaikan ilmu agama sebagai provokasi??? ya sejak ada syetan liberal berkeliaran pake jubah ijo

SYUBHAT: Ada yang membela pendapat si Maulana (pelawak yang berkedok agama) dengan qaul  yang dibawah ini:
ﻧَﻌَﻢْ ﺇِﻥِ ﺍﻗْﺘَﻀَﺖْ ﺍﻟْﻤَﺼْﻠَﺤَﺔُ ﺗَﻮْﻟِﻴَّﺘَﻪُ ﻓِﻲْ ﺷَﻲْﺀٍ ﻻ ﻳَﻘُﻮْﻡُ ﺑِﻪِ ﻏَﻴْﺮُﻩُ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻤِﻴْﻦَ ﺃَﻭْ ﻇَﻬَﺮَ ﻣِﻦ ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻤِﻴْﻦَ ﺧِﻴَﺎﻧَﺔٌ ﻭَﺃَﻣِﻨَﺖْ ﻓِﻲْ ﺫِﻣِّﻲٍّ ﻭَﻟَﻮْ ﻟِﺨَﻮْﻓِﻪِ ﻣِﻦْ ﺍﻟْﺤَﺎﻛِﻢِ ﻣَﺜَﻠًﺎ ﻓَﻼَ ﻳَﺒْﻌُﺪُ ﺟَﻮَﺍﺯُ ﺗَﻮْﻟِﻴَّﺘِﻪِ ﻟِﻀَﺮُﻭْﺭَﺓ ﺍﻟْﻘِﻴَﺎﻡِ ﺑِﻤَﺼْﻠَﺤَﺔِ ﻣَﺎ ﻭَﻟِّﻲَ ﻓِﻴْﻪِ، ﻭَﻣَﻊَ ﺫَﻟِﻚَ ﻳَﺠِﺐُ ﻋَﻠَﻰ ﻣَﻦْ ﻳَﻨْﺼِﺒُﻪُ ﻣُﺮَﺍﻗَﺒَﺘُﻪُ ﻭَﻣَﻨْﻌُﻪُ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺘَّﻌَﺮُّﺽِ ﻟِﺄَﺣَﺪٍ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻤِﻴْﻦَ
“Jika suatu kepentingan mengharuskan penyerahan sesuatu yang tidak bisa dilaksanakan oleh orang lain dari kalangan umat Islam atau tampak adanya pengkhianatan pada si pelaksana dari kalangan umat Islam, dan aman berada di kafir dzimmi walaupun karena rasa takutnya kepada penguasa. (Dalam konteks ini) maka boleh menyerahkan jabatan padanya karena adanya keharusan ( dlarurah ) untuk mewujudkan kemaslahatan sesuatu yang dia diangkat untuk mengurusinya. Meskipun demikian,bagi pihak yang mengangkatnya, harus selalu mengawasi orang kafir tersebut
dan mampu mencegahnya dari mengganggu terhadap siapapun dari kalangan umat Islam” (Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfah al- Muhtaj, dalam Abdul Hamid asy-Syirwani dan Ibnu Qasim al-‘Abbadi, Hawasyai asy Syirwani wa al-‘Abbadi, Mesir-at-Tijariyyah al-Kubra, tt, juz, 9, h. 73)
JAWAB : TERLALU CEROBOH jika menisbatkannya kepada ulama setingkat ibnu hajar al haitami.
Jadi si pengutip disini mengambil qaul ini dari kitab Tuhfah, jadi seolah2 disini dia mengatakan bahwa qaul ini adalah qaulnya Ibnu Hajar al Haitami, padahal bukan qaul beliau.
Tetapi itu adalah qaulnya Imam Ali Syibra Malisi atau yg di rumuskan di fiqh dengan kode ( ﻉ ﺵ ),
Imam Ali Syibra ini mengatakan qaul diatas itu didalam kitab Hasyiah Nihayatul Muhtaj, yang beliau karang sendiri, dalam jilid 7 hal 407, inilah ibaratnya:
( ﻗﻮﻟﻪ : ؛ ﻷﻧﻪ ﻳﺤﺮﻡ ﺗﺴﻠﻴﻄﻪ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻤﺴﻠﻢ ‏) ﻭﻛﺬﺍ ﻳﺤﺮﻡ ﺟﻌﻠﻪ ﺟﻼﺩﺍ ﻳﻘﻴﻢ ﺍﻟﺤﺪﻭﺩ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﺍﻩـ ﺯﻳﺎﺩﻱ . ﺃﻗﻮﻝ : ﻭﻛﺬﺍ ﻳﺤﺮﻡ ﻧﺼﺒﻪ ﻓﻲ ﺷﻲﺀ ﻣﻦ ﺃﻣﻮﺭ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ، ﻧﻌﻢ ﺇﻥ ﺍﻗﺘﻀﺖ ﺍﻟﻤﺼﻠﺤﺔ ﺗﻮﻟﻴﺘﻪ ﺷﻴﺌﺎ ﻻ ﻳﻘﻮﻡ ﺑﻪ ﻏﻴﺮﻩ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﺃﻭ ﻇﻬﺮ ﻓﻴﻤﻦ ﻳﻘﻮﻡ ﺑﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﺟﻨﺎﻳﺔ ﻭﺃﻣﻨﺖ ﻓﻲ ﺫﻣﻲ ﻭﻟﻮ ﻟﺨﻮﻓﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﺤﺎﻛﻢ ﻣﺜﻼ ﻓﻼ ﻳﺒﻌﺪ ﺟﻮﺍﺯ ﺗﻮﻟﻴﺘﻪ ﻓﻴﻪ ﻟﻠﻀﺮﻭﺭﺓ ﻭﺍﻟﻘﻴﺎﻡ ﺑﻤﺼﻠﺤﺔ ﻣﺎ ﻭﻟﻲ ﻓﻴﻪ، ﻭﻣﻊ ﺫﻟﻚ ﻳﺠﺐ ﻋﻠﻰ ﻣﻦ ﻳﻨﺼﺒﻪ ﻣﺮﺍﻗﺒﺘﻪ ﻭﻣﻨﻌﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﺘﻌﺮﺽ ﻷﺣﺪ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﺑﻤﺎ ﻓﻴﻪ ﺍﺳﺘﻌﻼﺀ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ .
Dari sinilah kita tahu, bahwa awal-awal orang yang berpendapat kebolehannya itu adalah Imam Ali Syibra Malisi, dan  dicari-cari di beberapa kitab, ternyata Imam lain (jumhur) tidak sependapat dengan beliau, hanya beliau sendiri yang berpendapat seperti ini.
Syeikh Syarwani dalam kitabnya Hasyiah Tuhfah mengutip qaul yang ada dalam Hasyiah Nihayatul Muhtaj milik Imam Syibra Malisi itu, begini ibarat aslinya:
ﻭﻗﺎﻝ ﻋ ﺷ ﺑﻌﺪ ﻧﻘﻞ ﻣﺎ ﺫﻛﺮ ﻋﻦ ﺍﻟﺰﻳﺎﺩﻱ ﺃﻗﻮﻝ ﻭﻛﺬﺍ ﻳﺤﺮﻡ ﻧﺼﺒﻪ ﻓﻲ ﺷﻲﺀ ﻣﻦ ﺃﻣﻮﺭ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﻧﻌﻢ ﺇﻥ ﺍﻗﺘﻀﺖ ﺍﻟﻤﺼﻠﺤﺔ ﺗﻮﻟﻴﺘﻪ ﻓﻲ ﺷﻲﺀ ﻻ ﻳﻘﻮﻡ ﺑﻪ ﻏﻴﺮﻩ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﺃﻭ ﻇﻬﺮ ﻓﻴﻤﻦ ﻳﻘﻮﻡ ﺑﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﺧﻴﺎﻧﺔ ﻭﺃﻣﻨﺖ ﻓﻲ ﺫﻣﻲ ﻭﻟﻮ ﻟﺨﻮﻓﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﺤﺎﻛﻢ ﻣﺜﻼ ﻓﻼ ﻳﺒﻌﺪ ﺟﻮﺍﺯ ﺗﻮﻟﻴﺘﻪ ﻓﻴﻪ ﻟﻀﺮﻭﺭﺓ ﺍﻟﻘﻴﺎﻡ ﺑﻤﺼﻠﺤﺔ ﻣﺎ ﻭﻟﻲ ﻓﻴﻪ ﻭﻣﻊ ﺫﻟﻚ ﻳﺠﺐ ﻋﻠﻰ ﻣﻦ ﻳﻨﺼﺒﻪ ﻣﺮﺍﻗﺒﺘﻪ ﻭﻣﻨﻌﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﺘﻌﺮﺽ ﻷﺣﺪ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﺑﻤﺎ ﻓﻴﻪ ﺍﺳﺘﻌﻼﺀ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﺍﻩ
lalu disini seolah-olah qaulnya ada dalam kitab Tuhfah, padahal adanya dalam Hasyiah Tuhfahnya, bukan ada dalam dzat Tuhfahnya,
karena Hasyiah Syarwani ini isinya mengumpulkan bnyak kitab, diantaranya:
Mughnil Muhtaj, Nihayatul Muhtaj, dan Tuhfah itu sendiri, dan Hasyiah2nya.

Tidak ada komentar: