SYUBHAT
: Studi Kritis Hadis Larangan Mencela Sahabat Nabi SAW
Jawab
: lebih tepatnya penyimpangan makna Hadis Larangan Mencela Sahabat Nabi
SYUBHAT:
Pada dasarnya mencela seorang Muslim adalah perkara yang haram baik itu dari
kalangan sahabat Nabi ataupun bukan. Tetapi dalam penerapannya terjadi
ketimpangan dan distorsi yang bercampur-aduk dengan berbagai kepentingan. Kita
sepakat bahwa baik sahabat Nabi ataupun bukan adalah pribadi yang bisa saja
melakukan kesalahan dan menyatakan kesalahan seorang muslim bukanlah
termasuk tindakan Mencela.
- Jika seorang Muslim berzina dan kita katakan berzina maka perkataan kita itu bukanlah itu suatu tindakan mencela.
- Jika seorang Muslim berkhianat dan kita katakan ia berkhianat maka yang kita lakukan bukanlah Mencela.
- Jika seorang sahabat Menyakiti Nabi SAW atau Ahlul Bait Nabi SAW dan kita katakan kalau perbuatan sahabat itu salah maka bukanlah perkataan kita itu Mencela.
Jawab
: tidak ada yg mengatakan sahabat nabi atau selain nabi ada yg maksum(terjaga
dari dosa).kecuali syiah Mereka berkata,
“Sesungguhnya para sahabat kami dari kalangan Syiah Imamiyah telah bersepakat
bahwa para imam itu maksum dari berbagai dosa kecil ataupun besar, secara
sengaja, keliru, ataupun lupa, sejak mereka lahir hingga bertemu Allah Subhanahu
wata’ala.” (Biharul Anwar, 25/350—351) bahkan Siapa yang
mengingkari kemaksuman para imam, dia kafir dan keluar dari Islam. tokoh Syiah
yang hidup di abad keempat, Ibnu Babawaih. Ia berkata, “Agama Syiah Imamiyah
menyatakan, ‘Keyakinan kami tentang para imam, mereka adalah maksum, disucikan
dari setiap kotoran, tidak pernah berbuat dosa kecil ataupun besar, dan tidak
pernah bermaksiat kepada Allah Subhanahu wata’ala dalam hal yang
Allah l perintahkan, serta senantiasa mengerjakan apa saja yang diperintahkan.
Siapa yang mengingkari kemaksuman mereka dalam keadaan apa pun, sungguh ia
telah menuduh mereka jahil. Siapa yang menuduh mereka jahil, sungguh ia telah
kafir. Keyakinan kami terhadap mereka bahwa mereka maksum, memiliki sifat yang
sempurna dan ilmu yang sempurna dari awal urusan mereka hingga akhirnya. Setiap
keadaan mereka tidak memiliki sifat kekurangan, maksiat, dan tidak pula
kejahilan’.” (al-I’tiqadat, hlm. 108—109, Ushul Madzhab Syiah,
780)
Seandainya Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dianggap
sebagai imam yang maksum, lantas mengapa beliau berdoa memohon ampunan kepada
Allah Subhanahu wata’ala dari segala dosa dan kesalahan,
sebagaimana yang disebutkan oleh riwayat ini? Demikian pula, mereka
meriwayatkan dari Abu Abdillah Ja’far ash-Shadiq bahwa beliau berkata,
إِنَّا
لَنُذْنِبُ وَنَسِيءُ ثُمَّ نَتُوبُ إِلَى اللهِ مَتَابًا
“Sesungguhnya kami berbuat dosa dan keburukan, lalu kami bertobat kepada
Allah Subhanahu wata’ala dengan sebenar-benarnya.” (Biharul
Anwar, 25/207)sahabat Ali juga menyatakan tentang kewajiban mengangkat seorang imam yang ditaati demi kemaslahatan negara dan masyarakat. Beliau tidak mensyaratkan bahwa imam itu harus seorang yang maksum tidak pernah berbuat dosa . Hal ini disebutkan dalam Nahjul Balaghoh h.82 :” Manusia wajib memiliki seorang pemimpin baik dia itu sholeh maupun orang fasik yang mengatur urusan orang mukmin , mengumpulkan fai’, memerangi musuh, menjaga keamanan dan membantu orang yang lemah.
Dari sini jelas penisbatan syiah ke ahlul bait hanyalah propaganda.
Itu
hanyalah permisalan yg tendensius.mana ada sahabat yg sengaja menyakiti nabi???bukankah
dosa itu aib?pantaskah mengumbar saudaramu?maukah aib bapak mu di sebarkan? ini
jelas ghibah yg tidak pantas apalagi kepada sahabat nabi.
Adapun
aqidah islamiyah jelas melarang membicarakan kesalahan para sahabat.
Ibnu Baththah rahimahullah berkata
:
"Kita harus menahan diri dari pertikaian yang terjadi di antara sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sebab mereka telah melalui berbagai peristiwa bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sllam, dan telah mendahului yang lainnya dalam hal keutamaan. Allah telah mengampuni mereka dan memerintahkan agar memintakan ampunan untuk mereka, dan mendekatkan diri kepadaNya dengan mencintai mereka. Semua itu Allah wajibkan melalui lisan RasulNya. Allah Maha Tahu apa yang bakal terjadi, bahwasanya mereka akan saling berperang. Mereka memperoleh keutamaan daripada yang lainnya, karena segala kesalahan dan kesengajaan mereka telah dimaafkan. Semua pertikaian yang terjadi di antara mereka telah diampuni. Janganlah lihat komentar-komentar negatif tentang peperangan Shiffin, Jamal, peristiwa di kediaman Bani Sa'idah dan pertikaian-pertikaian lain yang terjadi di antara mereka. Janganlah engkau tulis untuk dirimu atau untuk orang lain. Janganlah engkau riwayatkan dari seorangpun, dan jangan pula membacakannya kepada orang lain, dan jangan pula mendengarkannya dari orang yangmeriwayatkannya.
Itulah perkara yang disepakati oleh para ulama umat ini. Mereka sepakat melarang perkara yang kami sebutkan tersebut. Di antara ulama-ulama tersebut adalah: Hammad bin Zaid, Yunus bin Ubaid, Sufyan ats Tsauri, Sufyan bin Uyainah, Abdullah bin Idris, Malik bin Anas, Ibnu Abi Dzi'b, Ibnul Munkadir, Ibnul Mubarak, Syu'aib bin Harb, Abu Ishaq al Fazari, Yusuf bin Asbath, Ahmad bin Hambal, Bisyr bin al Harits dan Abdul Wahhab al Warraq, mereka semua sepakat melarangnya, melarang melihat dan mendengar komentar tentang pertikaian tersebut. Bahkan mereka memperingatkan orang yang membahas dan berupaya mengumpulkannya. Banyak sekali perkataan-perkataan yang diriwayatkan dari mereka yang ditujukan kepada orang-orang yang melakukannya, dengan lafal bermacam-macam namun maknanya senada; intinya membenci dan mengingkari orang yang meriwayatkan dan mendengarnya".[Al Ibanah, karya Ibnu Baththah,halaman268.]
Apabila Umar bin Abdul Aziz ditanya tentang peperangan Shiffin dan Jamal, beliau berkata: "Urusan yang Allah telah menghindarkan tanganku darinya, maka aku tidak akan mencampurinya dengan lisanku!"[ As Sunnah, karya al Khallal, 717.]
Al Khallal meriwayatkan dari jalur Abu Bakar al Marwadzi, ia berkata: "Ada yang berkata kepada Abu Abdillah, ketika itu kami berada di tengah pasukan dan kala itu datang pula seorang utusan khalifah, yakni Ya'qub, ia berkata: "Wahai Abu Abdillah, apa komentar Anda tentang pertikaian yang terjadi antara Ali dan Mu'awiyah?"
Abu Abdillah menjawab,"Aku tidak mengatakan kecuali yang baik, semoga Allah merahmati mereka semua."[ As Sunnah, karya al Khallal, 713.]
"Kita harus menahan diri dari pertikaian yang terjadi di antara sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sebab mereka telah melalui berbagai peristiwa bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sllam, dan telah mendahului yang lainnya dalam hal keutamaan. Allah telah mengampuni mereka dan memerintahkan agar memintakan ampunan untuk mereka, dan mendekatkan diri kepadaNya dengan mencintai mereka. Semua itu Allah wajibkan melalui lisan RasulNya. Allah Maha Tahu apa yang bakal terjadi, bahwasanya mereka akan saling berperang. Mereka memperoleh keutamaan daripada yang lainnya, karena segala kesalahan dan kesengajaan mereka telah dimaafkan. Semua pertikaian yang terjadi di antara mereka telah diampuni. Janganlah lihat komentar-komentar negatif tentang peperangan Shiffin, Jamal, peristiwa di kediaman Bani Sa'idah dan pertikaian-pertikaian lain yang terjadi di antara mereka. Janganlah engkau tulis untuk dirimu atau untuk orang lain. Janganlah engkau riwayatkan dari seorangpun, dan jangan pula membacakannya kepada orang lain, dan jangan pula mendengarkannya dari orang yangmeriwayatkannya.
Itulah perkara yang disepakati oleh para ulama umat ini. Mereka sepakat melarang perkara yang kami sebutkan tersebut. Di antara ulama-ulama tersebut adalah: Hammad bin Zaid, Yunus bin Ubaid, Sufyan ats Tsauri, Sufyan bin Uyainah, Abdullah bin Idris, Malik bin Anas, Ibnu Abi Dzi'b, Ibnul Munkadir, Ibnul Mubarak, Syu'aib bin Harb, Abu Ishaq al Fazari, Yusuf bin Asbath, Ahmad bin Hambal, Bisyr bin al Harits dan Abdul Wahhab al Warraq, mereka semua sepakat melarangnya, melarang melihat dan mendengar komentar tentang pertikaian tersebut. Bahkan mereka memperingatkan orang yang membahas dan berupaya mengumpulkannya. Banyak sekali perkataan-perkataan yang diriwayatkan dari mereka yang ditujukan kepada orang-orang yang melakukannya, dengan lafal bermacam-macam namun maknanya senada; intinya membenci dan mengingkari orang yang meriwayatkan dan mendengarnya".[Al Ibanah, karya Ibnu Baththah,halaman268.]
Apabila Umar bin Abdul Aziz ditanya tentang peperangan Shiffin dan Jamal, beliau berkata: "Urusan yang Allah telah menghindarkan tanganku darinya, maka aku tidak akan mencampurinya dengan lisanku!"[ As Sunnah, karya al Khallal, 717.]
Al Khallal meriwayatkan dari jalur Abu Bakar al Marwadzi, ia berkata: "Ada yang berkata kepada Abu Abdillah, ketika itu kami berada di tengah pasukan dan kala itu datang pula seorang utusan khalifah, yakni Ya'qub, ia berkata: "Wahai Abu Abdillah, apa komentar Anda tentang pertikaian yang terjadi antara Ali dan Mu'awiyah?"
Abu Abdillah menjawab,"Aku tidak mengatakan kecuali yang baik, semoga Allah merahmati mereka semua."[ As Sunnah, karya al Khallal, 713.]
lha
wong membicarakan dosa seorang muslim yang sudah meninggal saja tidak boleh
Dari Aisyah radhiallahu ‘anha dia berkata: Nabi
Shallallahu’alaihiwasallam telah bersabda:
لا تسبوا الأموات فإنهم قد أفضوا
إلى ما قدموا
“Janganlah kalian mencela orang-orang yang telah meninggal karena
mereka telah mendapatkan apa yang telah mereka kerjakan”. (HR. Al-Bukhari no. 6516)
SYUBHAT:
Sungguh luar biasa melihat betapa banyak orang-orang yang tidak mengerti arti “Mencela”.
Seolah-olah bagi mereka menyalahkan sebuah kemungkaran termasuk dalam
kategori “Mencela”. Apa sebenarnya yang meracuni pikiran mereka
ini?, tidak lain adalah doktrin-doktrin tentang Sahabat yang mereka telan tanpa
mempelajari sejarah dengan baik. Bagi mereka sahabat Nabi tidak boleh
diungkapkan kesalahannya, tidak boleh dibicarakan kemungkarannya dan
tidak boleh dikritik perbuatannya. Jika perbuatan sahabat Nabi melanggar
syariat maka cukup berdiam diri dan jika ada yang berani mengungkapkannya maka
orang tersebut harus dikatakan telah mencela Sahabat Nabi. Betapa Naifnya
padahal Rasulullah sendiri tidak pernah berdiam diri atas kesalahan sahabatNya.
Jawab
: menyalahkan kemungkaran???kemunkaran untuk diubah.mungkinkah kamu mengubah
kesalahan atau kemungkaran yg sudah terjadi.
Kamu Cuma mau menunjukkan citra buruk mereka.kalau tidak kenapa tidak
disebutkan juga kebaikan/kebenaran yang begitu banyak mereka lakukan yang
terekam dalam hadits2 dan jumlahnya jauh lebih besar dari kekeliruan yg sahabat
lakukan, jawabannya naif banget.. kan di blog2 salafy sudah sering disebutkan..
hehe… berarti secara otomatis dia mengakui bahwa blognya adalah blog pencela
sahabat… hehe… Ato jawaban naif yg lain seperti : “saya kan hanya memindahkan
apa yang diriwayatkan oleh para ulama hadits”.. iya emang tetapi tanpa porsi
berimbang dalam meriwayatkannya & menggiring pembaca untuk mencela para
sahabat…coba jika ahlul bait disalahkan, pasti mereka akan histeris.. untung
ahlussunnah tidak kayak mereka..kita selalu berusaha menjaga lisan kita
terhadap ahlul bait dan sahabat.. mereka hanya mau mengkambing hitamkan ulama
hadits hehe…
SYUBHAT:
Mari kita lihat hadis yang sering dijadikan dasar untuk menutupi kesalahan dan
kemungkaran Sahabat Nabi
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا
مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ
Dari
Abu Sa’id Al Khudri RA yang berkata Rasulullah SAW bersabda “Janganlah Kalian
mencela para SahabatKu. Seandainya salah seorang dari Kalian berinfaq emas
sebesar gunung Uhud tidak akan menyamai satu mud infaq salah seorang dari
mereka dan tidak pula setengahnya”.
Hadis
ini diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahih Bukhari 5/8 no 3673, Muslim
dalam Shahih Muslim 4/1067 no 221 (2540), Sunan Tirmidzi 5/695 no
3861, Sunan Abu Dawud 2/626 no 4658, Sunan Ibnu Majah 1/57 no 161
dan Musnad Ahmad 3/11 no 11094.
Mari
kita analisis hadis ini dengan seksama dan menggunakan logika yang benar. Hadis
ini diriwayatkan oleh sahabat Nabi Abu Sa’id Al Khudri RA yang mendengar
langsung perkataan Nabi SAW tersebut. Janganlah
Kalian mencela para SahabatKu. Perkataan ini diucapkan Nabi SAW
kepada orang-orang, dan orang-orang inilah yang termasuk dalam kata “Kalian”.
Misalnya kalau kita berhadapan langsung dengan banyak orang dan kita berkata “Janganlah
Kalian” maka yang dimaksud “Kalian” disini jelas orang-orang
yang berhadapan dengan kita. Maka begitu juga hadis di atas. Kata “Kalian”
menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah orang-orang
yang berhadapan dengan Nabi SAW. Rasulullah SAW berbicara dengan
orang-orang dihadapan Beliau bahwa mereka jangan mencela Sahabat Nabi.
Artinya disini ada dua entitas yang berbeda yaitu
- Kalian yang berarti Orang-orang yang berhadapan dengan Nabi dimana Nabi SAW berbicara kepada mereka
- SahabatKu yang berarti Sahabat Nabi yang diinginkan Nabi SAW agar jangan dicela.
Seandainya salah seorang dari Kalian berinfaq emas seperti gunung
Uhud. Artinya Rasulullah SAW mengatakan
kepada orang-orang tersebut yang berada di hadapan Nabi SAW, seandainya mereka
berinfaq emas seperti gunung Uhud. Maka tidak
akan menyamai satu mud infaq salah seorang dari mereka dan tidak pula
setengahnya. Mereka yang dimaksud disini adalah Sahabat Nabi.
Rasulullah SAW mengatakan bahwa seandainya orang-orang yang berada di
hadapan Nabi SAW tersebut berinfaq emas sebesar gunung uhud maka tidak
akan bisa menyamai infaq salah seorang dari “Sahabat Nabi”.
Perkataan ini jelas ditujukan kepada orang-orang Muslim di zaman Nabi
karena hanya seorang Muslim yang bersedia berinfaq, dan jelas bukan ditujukan
kepada orang-orang kafir. Jadi kata Kalian yang dimaksud dalam hadis ini
menunjuk pada Orang-orang Muslim yang berhadapan
dengan Nabi SAW ketika hadis tersebut diucapkan. Orang-orang
inilah yang menurut Nabi infaqnya walau sebesar gunung uhud tidak bisa menyamai
infaq satu mud atau setengahnya dari infaq Sahabat Nabi. Sehingga pertanyaan
kita berikutnya adalah siapakah Sahabat Nabi yang dimaksud oleh Nabi SAW?.
Jawab
: gak faham ushul..”kalian” hanya untuk yg dihadapan saja???pemahaman cetek.
Terlalu
banyak hadits yg menjelaskan itu untuk umat islam semua tanpa terkecuali karena
memang konteksnya sebagai khotbah di hadapan khalayak umum.
Sahabat pun juga bertingkat-tingkat. firman Allah,“Tidak sama di antara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum peristiwa al-Fath. Mereka lebih tinggi derajatnya daripada orang-orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah peristiwa itu.” (Q.S. al-Hadid:10)
Jadi, sahabat yang berinfak dan berperang sebelum Perjanjian Hudaibiyah lebih utama dibandingkan dengan sahabat yang berinfak dan berperang sesudah itu. Adapun Perjanjian Hudaibiyah terjadi pada bulan Dzulqa’dah tahun 6 H. Dan semua itu tetap sahabat nabi tanpa terkecuali sebagaimana definisi ibnu hajar.tidak ada yg salah dengan definisi beliau karena itu definisi yang komperhensif bukan parsial.
Membatasi sahabat yg tidak boleh dicela hanya sebagian saja adalah pemikiran sesat lagi dangkal.
Kalau nilai pahala sedekahnya berbeda berarti hukum mencela juga berbeda???? sungguh naif.berbedanya nilai sedekah tidak melazimkan berbedanya hukum mencela.karena hukum mencela sahabat umum ke semua sahabat dan juga muslim lain tentunya sedangkan perbedaan nilai sedekah khusus untuk sahabat dibanding dg yg lainnya.jelas ini berbeda bagi yg tidak ada dengki dihatinya.
SYUBHAT:
Ada yang mengatakan bahwa sahabat Nabi yang dimaksud adalah semua sahabat Nabi
yang merujuk pada pengertian Ibnu Hajar
Sahabat
adalah orang yang berjumpa dengan Nabi SAW dalam keadaan mukmin (beriman kepadanya)
dan meninggal dalam keadaan Islam”. Sehingga definisi ini mencakup orang yang
berjumpa dengan Beliau dan ber-mulazamah lama atau sebentar, orang yang
meriwayatkan hadits dari beliau atau yang tidak, orang yang berperang bersama
beliau atau tidak dan orang yang melihat beliau walaupun belum bermajelis
dengannya dan orang yang tidak melihat beliau karena buta.
Definisi
Ibnu Hajar jelas menunjukkan bahwa Sahabat Nabi adalah semua orang muslim
yang berada di zaman Nabi dan bertemu dengan Beliau. Definisi ini jelas
tidak bisa dicocokkan dengan pernyataan Nabi SAW di atas. Karena kalau kita
menuruti definisi Ibnu Hajar maka kata “Kalian” yang berarti “Orang-orang
Muslim yang berhadapan dengan Nabi” juga termasuk kedalam Sahabat Nabi.
Padahal hadis di atas menjelaskan bahwa infaq Orang-orang itu (“Kalian”)
walau sebesar gunung Uhud tidak akan menyamai infaq satu mud atau
setengahnya salah seorang dari Sahabat Nabi (“Mereka”). Nah kalau memang “Kalian”
itu adalah sahabat Nabi sudah jelas infaqnya akan sama dengan “Mereka”
(yang juga Sahabat Nabi). Buktinya Rasul SAW mengatakan tidak sama. Inilah
kekacauan yang tidak terlihat karena pikiran yang cuma sekedar taklid.
Hadis
di atas justru menunjukkan bahwa Sahabat Nabi yang dimaksud oleh Nabi SAW
di atas memiliki definisi yang berbeda dengan definisi Ibnu Hajar. Artinya yang
dimaksudkan Nabi SAW adalah bukan semua sahabat yang berdasarkan definisi
Ibnu Hajar yaitu setiap orang muslim yang beriman dan bertemu Nabi SAW.
Intinya
ada ketimpangan antara Sahabat Nabi yang dimaksud oleh Nabi SAW dalam hadis
di atas dan Sahabat Nabi menurut definisi Ibnu Hajar.
Jawab
: ente yg ada ketimpangan bukan ibnu hajar.karena membatasi yg tidak
terbatas.sejak kapan kata kalian yg itu sifatnya himbauan di depan khalayak
ramai hanya ditujukan yg hadir saat itu saja???
Dari Abû Mas’ûd Radhiyallâhu ‘anhu beliau berkata : Rasulullah
Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam bersabda :اسْتَوُوْا وَلاَ تَخْتَلِفُوْا فَتَخْتَلِفُوْا قُلُوْبَكُمْ
“Luruskanlah shaf dan janganlah kalian berselisih, yang menyebabkan hati kalian akan berselisih.” (HR Muslim : 432)
Apakah perintah meluruskan shaf itu hanya berlaku bagi sahabat saja?
Al’ibroh
bi’umuumil lafdzi laa bi khususis sabab
Yang
jadi pegangan itu umumnya lafadz bukan khususnya sebab.
Misalkan
seorang presiden bukan sekedar dosen. berpidato di depan para pencari ilmu
:wahai para penuntut ilmu jangan mencela para pencari ilmu karena pahala
sedekah salah seorang kalian tidak apa-apanya dibanding yang bukan pencari ilmu
Apakah
itu berarti boleh mencela sebagian pencari ilmu saja???apakah pak presiden itu
bodoh? Sedangkan dia presidennya pencari ilmu dan yg lainnya.juga nabi
berkhotbah saat itu bukan hanya sebagai pemimpin sahabat saat itu saja tapi
sebagai pemimpin seluruh umat islam saat itu dan yg akan datang.kata ahadakum
lebih umum di banding langsung angfaqtum misalkan.
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhun:“Janganlah salah seorang di antara kalian mencela Ad-Dahr karena sesungguhnya Allah adalah Ad-Dahr (waktu).” (HR.Muslim)
Apakah yg dilarang mencela waktu itu hanya sahabat saja? Sedangkan kita boleh?
SYUBHAT: Sekarang mari kita lihat hadis
berikut (juga riwayat Abu Sa’id) dalam Musnad Ahmad 3/28 no 11236 yang
dinyatakan shahih oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth
عن أبي سعيد الخدري ان النبي صلى الله
عليه و سلم قال فأقول أصحابي أصحابي فقيل انك لا تدري ما أحدثوا بعدك قال فأقول
بعدا بعدا أو قال سحقا سحقا لمن بدل بعدي
Dari
Abu Sa’id Al Khudri bahwa Nabi SAW bersabda “Aku berkata “SahabatKu, SahabatKu,” maka dikatakan kepadaku
“Sesungguhnya Engkau tidak mengetahui apa yang sudah mereka ubah
sepeninggalMu”. Lalu aku berkata “Jauh, jauh” atau berkata “celakalah celakalah
mereka yang mengubah sepeninggalKu”.
Berhadapan
dengan hadis ini akankah kita katakan berdasarkan definisi Ibnu Hajar bahwa
Sahabat Nabi di atas adalah semua orang muslim yang beriman kepada Nabi dan
bertemu dengan Nabi SAW. Akankah kita mengatakan bahwa kata SahabatKu
yang diucapkan oleh Nabi SAW adalah semua sahabat Nabi berdasarkan definisi
Ibnu Hajar. Jika iya maka berarti semua sahabat Nabi itu telah mengadakan
hal-hal baru sepeninggal Nabi yang membuat mereka celaka. Sepertinya akan
banyak orang yang tidak rela dengan penjelasan seperti ini.
Jawab
: hehe..sungguh lucu..ketika yg dipanggil semua sahabat apakah itu berarti yg
diusir semua sahabat???ataukah pengusiran dg syarat?orang yg melek tidak buta
kayak dajjal.akan melihat dg jelas dalam hadits itu yg diusir hanyalah yg
mengubah agama saja.
Apakah itu berarti yg dipanggil sahabat itu bukan muslim semua alias ada yg
murtad tapi di panggil sahabat???sungguh pemahaman yg tendensius.Asy Syathibi –rahimahullah- berkata:
ولقوله : ( قد بدلوا بعدك ) ، ولو كان الكفر : لقال : "
قد كفروا بعدك " ، وأقرب ما يحمل عليه : تبديل السنة ، وهو واقع على أهل
البدع ، ومن قال : إنه النفاق : فذلك غير خارج عن مقصودنا ؛ لأن أهل النفاق إنما
أخذوا الشريعة تقيةً ، لا تعبداً ، فوضعوها غير مواضعها ، وهو عين الابتداع .
Berdasarkan hadits di atas: قد بدلوا بعدك “Mereka telah merubah (agama) sepeninggalmu”.
Kalau sekiranya mereka kafir, maka redaksi haditsnya adalah:
" قد كفروا بعدك "“Mereka telah kafir sepeninggalmu”
Pemahaman terdekatnya adalah mereka merubah sunnah, yang berarti mereka adalah para pelaku bid’ah. Dan barang siapa yang mengatakan bahwa maknanya: “Kemunafikan” maka sebanarnya tidak jauh berbeda dengan maksud kami; karena orang-orang munafik mengamalkan syari’at karena “taqiyyah” (berpura-pura) saja, bukan karena niat beribadah, mereka menempatkan syari’at tidak pada tempatnya, itulah indikasi bid’ah tersebut. (Al I’tisham: 1/96)
Al Hafidz Ibnu Hajar –rahimahullah- berkata:
وقال الخطابي : لم يرتد من الصحابة أحد ، وإنما ارتد قوم من
جفاة العرب ، ممن لا نصرة له في الدين ،
لا يوجب قدحاً في الصحابة المشهورين ، ويدل قوله
:
(أصيحابي بالتصغير
على قلة عددهم
(
Al Khottobi berkata: “Tidak satu pun dari para sahabat yang murtad, akan
tetapi mereka yang murtad adalah dari orang-orang Arab yang berpaling dan
keras, yang tidak berhak mendapatkan pertolongan dalam agama, hal tersebut
tidak menjadikan celah untuk mencela para sahabat. Sabda Rasulullah
–shallallahu ‘alaihi wa sallam-: أصيحابي adalah tashghir (bentuk kecil)
artinya menunjukkan jumlah mereka sedikit. (Fathul Baari: 11/385)
Dari Anas bin Malik bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
لَيَرِدَنَّ
عَلَيَّ الْحَوْضَ رِجَالٌ مِمَّنْ صَاحَبَنِي ، حَتَّى إِذَا رَأَيْتُهُمْ
وَرُفِعُوا إِلَيَّ ، اخْتُلِجُوا دُونِي ، فَلَأَقُولَنَّ : أَيْ رَبِّ
أُصَيْحَابِي ، أُصَيْحَابِي ، فَلَيُقَالنَّ لِي : إِنَّكَ لَا تَدْرِي مَا
أَحْدَثُوا بَعْدَكَ
(رواه البخاري،
رقم 6211 ومسلم، رقم 2304)
“Maka pasti akan ada beberapa orang yang telah menemaniku akan menghampiriku
di telaga, hingga setelah kalian melihat dan mereka mendekatiku, mereka
dijauhkan dariku, maka aku berkata: “Ya Tuhanku, sahabat-sahabat kecilku”. Maka
dikatakan kepadaku: “Sesungguhnya kamu tidak mengetahui apa yang mereka perbuat
sepeninggalmu”. (HR. Bukhori 6211, dan Muslim 2304)Adapun yg dipanggil itu adalah semua sahabat yg beliau kenal masa hidup beliau dan belum murtad. Adapun ada yg murtad setelahnya juga dipanggil namun akhirnya diusir menunjukkan bukti bahwa nabi tidak mengetahui yg ghoib apa yg akan terjadi kecuali khabar dari alloh.itu pun tidak merusak definisi ibnu hajar sama sekali.karena nabi memanggil sesuai kadar pengetahuan beliau saat hidup beliau.
SYUBHAT:
Tetapi betapa anehnya ketika hadis larangan mencela Sahabat Nabi di atas
yang juga menggunakan lafaz yang sama “SahabatKu” maka itu dikatakan semua
sahabat Nabi berdasarkan definisi Ibnu Hajar. Padahal matan hadisnya justru
menunjukkan bahwa Sahabat Nabi yang dimaksud oleh Nabi bukanlah semua orang
islam yang ada pada zaman Nabi. Lucu sekali jika dikatakan bahwa kata
“sahabat Nabi” dalam hadis di atas adalah semua sahabat Nabi seluruhnya dan
kata “Kalian” dalam hadis di atas adalah generasi setelah sahabat
Nabi. Padahal matan hadisnya menjelaskan bahwa Rasulullah SAW berbicara
langsung dengan orang-orang yang dimaksud. Apakah generasi setelah sahabat
bisa muncul di hadapan Nabi SAW sehingga ketika berkata-kata Nabi SAW
menggunakan lafaz “Kalian”. Sungguh mustahil.
Jawab
: ente yang syadz nyeleneh aneh bin menyimpang persepsinya kenapa ibnu hajar yg
kena hajar ??? tidak ada yg aneh kalau kita dudukkan sesuai porsinya.
Definisi
Sahabat ibnu hajar itu global baik sebelum nabi wafat atau setelahnya.adapun
panggilan nabi tentu sesuai apa yang diketahui nabi saat hidup karena nabi
tidak tahu keadaan mereka setelah wafatnya beliau. Ini tidak bertentangan sama
sekali.buktinya nabi segera mengusir setelah tahu
Kata
“Kalian” dalam hadis tersebut ditujukan kepada sebagian orang-orang
islam yang ada di zaman Nabi dan orang-orang ini berdasarkan definisi Ibnu
Hajar adalah sahabat Nabi. Orang-orang inilah yang dikatakan Nabi SAW bahwa
infaq mereka walau sebesar gunung Uhud tidak menyamai infaq Sahabat
Nabi (yang dimaksudkan oleh Nabi SAW bukan definisi Ibnu Hajar). Sepertinya
Rasulullah SAW memiliki pengertian sendiri mengenai siapa yang dimaksud Sahabat
Nabi dalam hadis di atas, pengertian yang berbeda dengan sahabat Nabi menurut
definisi Ibnu Hajar.
Jawab
: itu semua rekayasa hayalan ente..mengharuskan nabi punya pengertian
sendiri?memaksa nabi harus berbeda dg ibnu hajar?
Ente
Cuma mau menggiring kita bahwa tidak semua orang ada zaman nabi itu
sahabat???sehingga tidak masalah ungka aibnya???licik..
Yang
namanya kalian itu ya semua.kalau semua itu jangan dibatas-batasi pakai akal
ente yg terbatas.Cuma lafadz haditsnya itu bukan sekedar kalian tapi”SALAH
SEORANG DARI KALIAN”jadi maksudnya salah seorang dari umat islam yg mana saja
sepanjang zaman selain sahabat.apalagi sesama sahabat pun bertingkat derajat
sahabatnya.
Berarti
nabi berbicara kepada umat yg belum ada juga?emang kenapa masalaaaah buat
syiaaah.karena nabi memang pemimpin umat semua termasuk yg belum ada.
Apakah
berarti semua sahabat nilai sedekahnya sama sebesar uhud misalkan?sudah kita
katakan sesama sahabat pun bertingkat derajat sahabatnya.
SYUBHAT:
Orang-orang yang mendengar hadis di atas ternyata tidak semuanya mematuhi
perintah Nabi SAW. Sejarah membuktikan bahwa mereka yang pertama-tama melanggar
hadis ini adalah mereka yang dikatakan sebagai Sahabat Nabi berdasarkan
definisi Ibnu Hajar. Diantara mereka adalah Muawiyah, Mughirah bin
Syu’bah dan Busr bin Arthah. Mereka adalah orang-orang yang telah
mencaci atau mencela sahabat Nabi yaitu Imam Ali bin Abi Thalib. Mereka
adalah orang islam yang hidup di zaman Nabi dan bisa dikatakan mereka juga
mengetahui hadis Nabi SAW bahwa tidak boleh mencaci sahabat Nabi.
Jawab
: mereka patuh.ente yg menuduh serampangan.tidak ada yg saling mencela
keagamaan mereka.namun menunjukkan perbedaan ijtihad diantara mereka itu hal
biasa di kalangan ulama’.
Sebelum
mengakhiri tulisan ini kami akan membahas sedikit soal apa yang dimaksud
Mencela atau Mencaci. Menunjukkan kesalahan Sahabat Nabi bukanlah termasuk
Mencela atau Mencaci karena
- Rasulullah SAW sendiri justru pernah menyatakan kesalahan Sahabat-sahabat Beliau.
- Allah SWT pernah menyatakan fasiq kepada salah seorang Sahabat Nabi.
- Rasulullah SAW pernah pula mengatakan bahwa ada Sahabat Nabi yang masuk neraka.
Jawab:
kalau alloh dan rosul menyatakan fulan salah itu wajar.tapi kalau ente siapa???
gak usah ikut2lah yg bukan kapasitas ente.
SYUBHAT:
Mencela atau Mencaci adalah jika seseorang menggunakan kata-kata yang kasar dan
tidak pantas kepada seseorang padahal orang tersebut tidak bersifat seperti
itu. Mencela atau Mencaci adalah jika seseorang menisbatkan perbuatan tercela
kepada seseorang padahal orang tersebut tidaklah melakukan perbuatan tercela
tersebut. Dan yah mungkin anda bisa menambahkan contoh-contoh yang lain hanya
saja mengungkapkan kesalahan atau mengingatkan orang lain atas
kesalahannya bukan termasuk dalam kategori mencela atau mencaci.
Dan sudah seharusnya kita sebagai seorang Muslim tidak diperbolehkan mencaci
atau mencela Muslim lainnya sebagaimana sabda Rasulullah SAW
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ
Nabi
SAW bersabda “Mencaci seorang Muslim adalah kefasiqan dan Membunuhnya adalah
kekufuran”.
Hadis
ini diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahih Bukhari 1/19 no 48, Shahih
Bukhari 8/15 no 6044 dan Shahih Bukhari 9/50 no 7076. Hadis ini juga
diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih Muslim 1/81 no (64) 116.
Jawab
: definisi ente ini menyelisihi kaidah bahasa.
Berikut saya kutip dari KBBI:CELA
Definisi:
1. sesuatu yang menyebabkan kurang sempurna; cacat; kekurangan: tidak ada cacat — nya sedikit pun
2. aib; noda (tentang kelakuan dsb)
3. hinaan; kecaman; kritik:
MENCELA = mengatakan bahwa ada celanya; mencacat; mengecam; mengkritik; menghina: dng terang-terangan.
CACI
Definisi:
1. cela; cerca; damprat
2. alat penggulung layar
MENCACI = 1. mencacat keras; memaki; mencela; menistakan: ia ~ orang di depan umum sehingga orang itu marah-marah; 2 mengeluarkan perkataan yg tidak sopan; memaki-maki
Menyatakan
sahabat ada celanya begini dan begitu termasuk kategori mencela.
Imam Ahmad menulis surat kepada
Musaddad bin Musarhad yang isinya: "Menahan diri dari memperbincangkan
kejelekan sahabat. Bicarakanlah keutamaan mereka dan tahanlah diri dari
membicarakan pertikaian di antara mereka. Janganlah berkonsultasi dengan
seorangpun dari ahli bid'ah dalam masalah agama, dan janganlah menyertakannya
dalam perjalananmu".[Thabaqaatul Hanaabilah, I/344.]
Imam Ahmad juga menulis surat kepada Abdus bin Malik tentang pokok-pokok dasar Sunnah. Beliau menuliskan di dalam suratnya:
"Termasuk pokok dasar, (yaitu) barangsiapa melecehkan salah seorang sahabat Nabi atau membencinya karena kesalahan yang dibuat atau menyebutkan kejelekannya, maka ia termasuk mubtadi' (ahli bid'ah), hingga ia mendoakan kebaikan dan rahmat bagi seluruh sahabat dan hatinya tulus mencintai mereka"[Thabaqaatul Hanaabilah, I/345.]
Imam Ahmad juga menulis surat kepada Abdus bin Malik tentang pokok-pokok dasar Sunnah. Beliau menuliskan di dalam suratnya:
"Termasuk pokok dasar, (yaitu) barangsiapa melecehkan salah seorang sahabat Nabi atau membencinya karena kesalahan yang dibuat atau menyebutkan kejelekannya, maka ia termasuk mubtadi' (ahli bid'ah), hingga ia mendoakan kebaikan dan rahmat bagi seluruh sahabat dan hatinya tulus mencintai mereka"[Thabaqaatul Hanaabilah, I/345.]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar