Jumat, 09 Juni 2017

Negara islam gak pernah ada?

DEKLARASI NEGARA ISLAM

Pada bulan Ramadhan yang suci ini, seesorang harus lebih berhati-hati dalam bertindak dan mengeluarkan pernyataan. Karena kalau tindakan dan pernyataan keliru dan berdosa, dapat mengurangi dan bahkan menghapus pahala puasanya. Contohnya, beberapa waktu yang lalu, seorang tokoh mengatakan, “Nabi Muhammad tidak pernah mendeklarasikan negara Islam.” Demikian pernyataan tokoh tersebut di depan orang-orang abangan, yang sangat keberatan dengan hal-hal yang berbau  Islam di negera Indonesia tercinta ini.

Sudah barang tentu pernyataan tersebut ditinjau dari sudut apapun sulit untuk diterima karena beberapa hal.

Pertama, Islam itu merupakan agama yang diturunkan oleh Allah untuk seluruh umat manusia. Sebagai agama, Islam tentunya lebih tinggi dari sebuah negara, seperti Indonesia, Arab Saudi, Malaysia atau negara manapun. Sedangkan deklarasi sebuah negara, hanyalah upaya adanya pengakuan dari negara-negara lain tentang eksistensi negara tersebut. Sementara Islam tidak perlu pengakuan dari sebuah negara, karena posisinya lebih tinggi daripada negara. Justru seluruh manusia dan seluruh negara harus mengikuti agama Islam. Dalam sebuah hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

"اَلإِسلامُ يَعْلُوْ وَلاَ يُعْلىَ".

“Islam itu posisinya tinggi, dan tidak ada yang lebih tinggi dari Islam.”

Hadits shahih riwayat al-Ruyani dalam al-Musnad [783], al-Daraquthni dalam al-Sunan juz 3 hlm 252, al-Dhiya’ dalam al-Mukhtarah [291], dan al-Baihaqi dalam al-Sunan al-Kubra juz 3 hlm 205, dari jalur sahabat Aidz bin Amr radhiyallaahu ‘anhu.

Kedua, mungkin maksud pernyataan tokoh di atas, adalah untuk menghilangkan kesan di kalangan orang-orang abangan, bahwa umat Islam tidak dibenarkan memperjuangkan tegaknya hukum Islam dalam ranah kehidupan berbangsa dan bernegara, dengan alasan, negara Islam saja tidak pernah ada, karena memang tidak pernah dideklarasikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sudah barang tentu anggapan ini keliru. Hadits-hadits yang membicarakan tentang wajibnya menegakkan hukum Islam dalam ranah berbangsa dan bernegara bagi umat Islam sangat banyak. Antara lain hadits Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

كَانَ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمُ الأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ، وَإِنَّهُ لا نَبِيَّ بَعْدِي، وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ

“Kaum Bani Israil selalu dipimpin oleh para nabi. Setiap ada nabi dari kalangan mereka meninggal dunia, maka diganti oleh nabi berikutnya. Hanya saja sesudahku tidak ada nabi lagi. Dan akan ada para khalifah, lalu mereka menjadi banyak dalam suatu masa.” (HR al-Bukhari [3455] dan Muslim [1471]).

Hadits shahih tersebut menyampaikan beberapa pesan penting keada kita.

a) Hadits di atas membicarakan tentang kepemimpinan kaum Bani Israil dalam konteks keagamaan dan kenegaraan, yang selalu dipimpin oleh para nabi, dari generasi ke generasi. Para nabi diberi tugas untuk menjaga kaum Bani Israil agar tidak keluar dari ajaran Kitab Taurat yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Musa ‘alaihissalam

b) Setelah Islam datang, baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga berfungsi sebagai pemimpin umat Islam, dan menjaga mereka agar tidak keluar dari ajaran Islam.

c) Hanya saja, setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, Allah tidak akan mengutus nabi lagi sebagai pemimpin umat Islam. Akan tetapi umat Islam akan dipimpin oleh para khalifah sebagai pengganti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

d) Penamaan pemimpin umat Islam dengan nama khalifah, yang berarti pengganti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagai isyarat bahwa para pemimpin umat Islam kapan saja dan di mana saja bertanggung jawab menjaga dan mengatur rakyatnya agar mengikuti dan sesuai dengan ajaran agama, yaitu Islam. Dalam konteks ini, al-Hafizh Ibnu Hajar berkata:

فِيهِ إِشَارَةٌ إِلَى أَنَّهُ لا بُدَّ لِلرَّعِيَّةِ مِنْ قَائِمٍ بِأُمُورِهَا يَحْمِلُهَا عَلَى الطَّرِيقِ الْحَسَنَةِ وَيُنْصِفُ الْمَظْلُومَ مِنَ الظَّالِمِ

“Hadits tersebut mengandung isyarat keharusan rakyat memiliki seorang pemimpin yang mengatur urusan mereka, yang akan membawa mereka ke jalan yang baik dan memenuhi hak orang yang dizalimi dari orang yang zalim.” (Al-Hafizh Ibnu Hajar, Fath al-Bari juz 6 hlm 497).

Ketiga, dalam hadits-hadits shahih dijelaskan, bahwa penegakan hukum Islam dalam konteks kenegaraan, termasuk bagian dari Islam itu sendiri. Diriwayatkan dari sahabat Abu Umamah al-Bahili radhiyallaahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

" لَتُنْقَضَنَّ عُرَى الْإِسْلَامِ عُرْوَةً عُرْوَةً، فَكُلَّمَا انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ تَشَبَّثَ النَّاسُ بِالَّتِي تَلِيهَا، وَأَوَّلُهُنَّ نَقْضًا الْحُكْمُ وَآخِرُهُنَّ الصَّلَاةُ "

“Sungguh tali-tali Islam akan benar-benar diputus satu demi satu. Setiap ada tali yang terputus, maka manusia akan berpegangan pada tali berikutnya. Tali yang pertama kali diputus adalah pelaksanaan hukum Islam, dan tali yang terakhir kali diputus adalah shalat.”

Hadits shahih riwayat Ahmad [22160], al-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir [7486] dan Musnad al-Syamiyyin [1602], al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman [7524], dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban [6715] dan al-Hakim juz 4 hlm 92.

Hadits tersebut memberikan beberapa pesan yang perlu kita renungkan.

a) Hadits tersebut mengabarkan tentang situasi dan kondisi umat Islam pada akhir zaman, yang akan memutus tali-tali Islam satu demi satu.

b) Maksud tali-tali Islam adalah semua ajaran Islam yang wajib diterapkan dan dilaksanakan oleh umat Islam.

c) Tali Islam yang pertama kali diputus adalah terlaksananya hukum Islam dalam konteks kenegaraan. Hal ini benar-benar terjadi pada Daulah Utsmaniyah di Turki pada perode akhir Khilafah Utsmaniyah di sana, yang telah mengganti hukum fiqih Islam yang diambil dari syariah Islam, dan diganti dengan undang-undang yang diambil dari orang-orang Eropa. Di Indonesia, sampai saat ini masih menerapkan hukum warisan Belanda, dan meninggalkan hukum fiqih Islam yang diterapkan oleh para raja Islam sebelum masa penjajahan dan kemerdekaan Indonesia.

d) Dalam hadits di atas, penerapan hukum Islam dianggap sebagai bagian dari Islam itu sendiri. Menegakkan hukum Islam dalam wilayah kenegaraan, berarti menyambung tali Islam. Sedangkan menanggalkan hukum Islam dalam wilayah kenegaraan berarti memutus tali Islam.

Keempat, sejak awal dakwahnya, baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menegaskan tentang eksisteni Islam yang akan menjelma dalam bentuk kekuatan yang akan mengalahkan negara-negara besar pada waktu itu, yaitu Romawi dan Persia. Dalam Sirah Ibnu Hisyam diceritakan. Ketika Abu Thalib menjelang wafat, beberapa pemuka kaum Quraisy berkumpul kepada beliau. Mereka antara lain Utbah bin Rabiah, Syaibah bin Rabiah, Abu Jahal bin Hisyam, Umayah bin Khalaf, Abu Sufyan bin Harb dan lain-lain. Mereka ingin menjalin kerjasama dengan baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Lalu Abu Thalib berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai putra saudaraku! Mereka para pembesar kaummu telah berkumpul untuk menjalin kerjasama denganmu.” Baginda lalu bersabda, “Baik. Saya minta satu kalimat saja, yang kalian berikan kepadaku. Dengan satu kalimat itu, kalian akan menguasai bangsa Arab dan menundukkan bangsa Ajami.” Abu Jahal menjawab, “Baik, demi ayahmu. Kalau itu janjimu, kami siap memberikan sepuluh kalimat.” Baginda bersabda, “Kalian ucapkan Laa ilaaha illallaah, dan kalian tanggalkan berhala-berhala yang kalian sembah.” Mendengar permintaan itu, mereka bertepuk tangan pertanda penolakan dan berkata, “Bagaimana mungkin tuhan-tuhan dijadikan satu? Kamu memang aneh.”

Dalam fragmen Sirah Nabawiyah di atas, jelas sekali, bahwa sejak awal dakwahnya, baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan tentang kekuatan Islam yang akan menjelma menjadi kekuatan yang menguasai seluruh Arab dan menumbangkan kekuatan Ajami, yaitu Persia dan Romawi.

Kelima, setelah hijrah ke Madinah, menjelang periode akhir hijriah, baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirimkan surat-surat kepada para penguasa dan para raja sekitar Jazirah Arab, seperti para penguasa Arab, Raja Persia, Romawi, Mesir dan lain-lain. Di antara surat yang dikirimkan kepada mereka, adalah surat yang dikirim kepada Raja Heraclius yang berbunyi begini:

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم، مِنْ مُحَمَّدٍ عَبْدِ اللهِ وَرَسُولِهِ إِلَى هِرَقْلَ عَظِيمِ الرُّومِ: سَلاَمٌ عَلَى مَنِ اتَّبَعَ الهُدَى، أَمَّا بَعْدُ، فَإِنِّي أَدْعُوكَ بِدِعَايَةِ الإِسْلاَمِ، أَسْلِمْ تَسْلَمْ، يُؤْتِكَ اللهُ أَجْرَكَ مَرَّتَيْنِ، فَإِنْ تَوَلَّيْتَ فَإِنَّ عَلَيْكَ إِثْمَ الأَرِيسِيِّينَ، وَ (يَا أَهْلَ الكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَنْ لاَ نَعْبُدَ إِلا اللهَ وَلاَ نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلاَ يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ).

Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. (Surat ini) dari Muhammad, hamba Allah dan Rasul-Nya ditujukan kepada Heraclius, penguasa Bizantium. Kedamaian bagi mereka, para pengikut jalan kebenaran. Kemudian setelah itu, Aku mengajak Anda untuk masuk agama Islam, dan bila Anda menjadi seorang Muslim Anda akan memperoleh keselamatan, dan Allah Swt akan memberi Anda pahala ganda. Namun jika Anda menolak ajakan untuk masuk Islam ini, Anda akan melakukan perbuatan dosa (dengan mengikuti jalan sesat) kaum Arisiyin. Dan (aku tuliskan untuk Anda firman Allah Swt.): Hai Ahli al-Kitab! Marilah kita bersatu kata, antara kita, kalian dan kami, bahwa kita tidak menyembah selain Allah. Dan bahwa kita tidak mempersekutukan Dia dengan sesuatu pun. Bahwa kita tidak menjadikan antara kita sendiri sembahan-sembahan selain Allah. Jika mereka berpaling, katakanlah, “Saksikan olehmu bahwa kami adalah Muslim (orang yang berserah diri kepada Allah Swt.)” (QS Alu-Imran : 64). HR al-Bukhari [7].

Setelah surat tersebut dibacakan kepada Heraclius, tanda-tanda terkejut dan ketakutan sangat kelihatan dari ekspresi wajah dan gaya bicaranya. Dan akhirnya ia ungkapkan melalui pernyataan, bahwa kerajaannya akan tumbang dan akan dikuasai oleh umat Islam.

Sudah barang tentu, bahwa pengiriman surat oleh baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti di atas kepada para raja, melebihi sekedar deklarasi sebuah negara. Heraclius pada waktu itu merupakan Penguasa Romawi, salah satu negara adidaya dengan ratusan ribu tentara. Sementara umat Islam baru memiliki ribuan tentara. Dan baru sanggup mengirimkan tiga ribu tentara dalam Perang Mu’tah, yang terjadi setelah pengiriman surat-surat tersebut. Apakah ini bukan deklarasi?

Keenam, mungkin tokoh yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad tidak pernah mendeklarasikan negara Islam, akan berkata bahwa tidak ada hadits yang tegas yang menyebutkan tentang negara Islam. Jawaban kami, ajaran Islam yang disampaikan melalui al-Qur’an dan hadits, hanya dapat dipahami oleh para ulama yang ahli. Karena itu dalam ilmu ushul fiqih, ada istilah nash, zhahir, manthuq, mafhum, dilalah iltizam, dilalah tadhammun dan lain-lain.

Tulisan ini hanya menampilkan sekelumit tentang beberapa hadits, dan tidak menampilkan ayat-ayat al-Qur’an, karena yang dinafikan oleh tokoh liberal tersebut adalah deklarasi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mohon maaf, tulisan ini terburu-buru.

Walhasil, seorang Muslim harus yakin, bahwa agamanya akan memberikan yang terbaik apabila ditegakkan dan diterapkan dalam semua lini kehidupan termasuk dalam konteks kenegaraan. Wallahu a’lam.
By idrus ramli

Tidak ada komentar: