Ada sebagian orang yang berpendapat bahwa Islam itu adalah wasilah atau sarana, sedangkan ghoyah (tujuan akhir)nya adalah Allah. Tentu pendapat tersebut sulit diterima oleh pikiran yang jernih.
Kalau Anda akan bepergian ke Jakarta, memakai mobil, bus, kereta api, atau pesawat, maka mobil, bus, kereta api dan pesawat tersebut disebut wasilah atau sarana. Sedangkan jalur darat atau udara yang Anda lalui itu namanya jalan.
Dalam beragama, ghoyah (tujuan akhir) seseorang adalah Allah. Sedangkan agama yang dianut oleh setiap orang seperti Islam, Yahudi, Nasrani dan lain-lain, disebut jalan yang dilalui. Sedangkan amal shaleh yang dijadikan sarana mempercepat kepada Allah disebut dengan wasilah.
Dasar bahwa agama Islam disebut jalan yang dilalui dalam menuju Allah, dan bukan wasilah, adalah ayat-ayat al-Qur’an. Misalnya Allah berfirman:
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
Tunjukilah kami jalan yang lurus. (QS al-Fatihah [1]:6).
Beberapa ulama salaf, menafsirkan jalan yang lurus (al-shirath al-mustaqim) dengan Islam. Beberapa riwayat disebutkan oleh al-Hafizh Ibnu Katsir dalam tafsirnya:
قال الضَّحَّاكُ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ جِبْرِيلُ لِمُحَمَّدٍ عَلَيْهِمَا السَّلاَمُ «قُلْ يَا مُحَمَّدُ اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ» يَقُولُ: اهْدِنَا الطَّرِيقَ الْهَادِيَ وَهُوَ دين الله الذي لا اعوجاج فِيهِ.
Al-Dhahhak berkata, Ibnu Abbas berkata: “Jibril berkata kepada Nabi Muhammad ‘alaihima al-salam: “Katakanlah wahai Muhammad: “Tunjukilah kami ke jalan yang lurus”. Ibnu Abbas berkata: “Maksudnya tunjukilah kami ke jalan yang menunjukkan, yaitu agama Allah yang tidak ada bengkok di dalamnya.”
وَقَالَ مَيْمُونُ بْنُ مِهْرَانَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ فِي قَوْلِهِ تَعَالَى: اهْدِنَا الصِّراطَ الْمُسْتَقِيمَ قَالَ: ذَاكَ الْإِسْلَامُ.
Maimun bin Mihran berkata, dari Ibnu Abbas, tentang firman Allah: “Tunjukilah kami ke jalan yang lurus”. Ibnu Abbas berkata: “Itu adalah Islam”.
وَقَالَ إِسْمَاعِيلُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ السُّدِّيُّ الْكَبِيرُ عَنْ أَبِي مَالِكٍ وَعَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ وَعَنْ مُرَّةَ الْهَمْدَانِيِّ عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ وَعَنْ نَاسٍ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ قَالُوا: هُوَ الْإِسْلَامُ.
Ismail bin Abdurrahman al-Suddi al-Kabir berkata: “Dari Abi Malik, dan Abi Shalih, dari Ibnu Abbas, dan dari Murrah al-Hamdzani dari Ibnu Mas’ud, dan dari beberapa orang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: “Tunjukilah kami ke jalan yang lurus”. Mereka berkata: “Jalan yang lurus tersebut adalah Islam”.
وَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَقِيلٍ عَنْ جَابِرٍ اهْدِنَا الصراط المستقيم قال: هو الْإِسْلَامُ قَالَ: هُوَ أَوْسَعُ مِمَّا بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ.
Abdullah bin Muhammad bin Aqil berkata, dari Jabir: “Tunjukilah kami ke jalan yang lurus”. Ia berkata: “Jalan yang lurus itu adalah Islam.” Ia berkata: “Ia lebih luas daripada jarak antara langit dan bumi.”
وَقَالَ ابْنُ الْحَنَفِيَّةِ فِي قَوْلِهِ تَعَالَى اهْدِنَا الصِّراطَ الْمُسْتَقِيمَ قَالَ: هُوَ دِينُ اللَّهِ الَّذِي لَا يَقْبَلُ مِنَ الْعِبَادِ غَيْرَهُ.
Ibnu al-Hanafiyah berkata mengenai firman Allah ta’ala: “Tunjukilah kami ke jalan yang lurus.” Ia berkata: “Jalan yang lurus itu adalah agama Allah yang hanya agama tersebut diterima oleh Allah dari hamba-hamba-Nya.”
وَقَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ: اهْدِنَا الصراط المستقيم قال: هو الإسلام.
Abdurrahman bin Zaid bin Aslam berkata: “Tunjukilah kami ke jalan yang lurus.” Ia berkata: “Jalan yang lurus adalah Islam.” (Tafsir Ibnu Katsir, juz 1 hlm ).
Al-Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dari sahabat Nawwas bin Sam’an, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
الصراط الإسلام
“Jalan yang lurus adalah Islam”. (HR Ahmad juz 6 hlm 199).
Mengapa pendapat yang mengatakan bahwa Islam sebagai wasilah perlu diluruskan? Jawabannya pendapat tersebut, selain salah, juga khawatir menjerumuskan pada paham kaum liberal yang menganut paham pluralisme agama, yaitu suatu paham yang mengatakan bahwa, “Umat beragama lain pada dasarnya sama seperti umat muslim, yaitu sedang berusaha menuju-Nya. Semua pilihan orang lain harus dihargai, seperti diri kita ingin dihargai memilih wasilah agama Islam.”
Paham pluralisme agama, yang cenderung membenarkan dan menyamakan semua agama, dengan alasan Islam sebagai wasilah, bukan jalan hidup yang lurus, jelas bertentangan dengan konsep Islam yang paling mendasar. Allah subhanahu wata’ala berfirman:
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإسْلامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (QS Alu-Imran [3]: 85).
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللهِ الإسْلامُ
Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam. (QS Alu-Imran [3]: 19).
فَمَنْ يُرِدِ اللهُ أَنْ يَهدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلإسْلامِ وَمَنْ يُرِدْ أَنْ يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاءِ كَذَلِكَ يَجْعَلُ اللهُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَ
Barang siapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barang siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman. (QS al-An’am : 125).
Dalam ayat-ayat di atas sangat jelas, bahwa agama yang diterima oleh Allah hanyalah Islam. Hal ini jelas bertentangan dengan konsep pluralisme agama kaum liberal, yang menganggap semua agama sama sebagai wasilah. Oleh karena itu, para ulama sangat tegas dalam memberikan vonis hukum terhadap pluralisme agama. Al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami berkata dalam al-I’lam bi-Qawathi’ al-Islam sebagai berikut:
أَنَّ مَنْ لَمْ يُكَفِّرْ مَنْ دَانَ بِغَيْرِ اْلإِسْلاَمِ كَالنَّصَارَى أَوْ شَكَّ فِيْ تَكْفِيْرِهِمْ أَوْ صَحَّحَ مَذْهَبَهُمْ فَهُوَ كَافِرٌ وَإِنْ أَظْهَرَ مَعَ ذَلِكَ اْلإِسْلاَمَ وَاعْتَقَدَهُ. (ابن حجر الهيتمي، الإعلام بقواطع الإسلام، ص 237).
Sesungguhnya orang yang tidak mengkafirkan orang yang beragama selain Islam seperti orang-orang Kristiani, atau meragukan kekafiran mereka, atau membenarkan ajaran mereka, maka dia adalah orang kafir, meskipun ia menampakkan keislaman dan meyakininya. (Ibnu Hajar al-Haitami, al-I’lam bi-Qawathi’ al-Islam, hlm 237, dan al-Qadhi Iyadh, al-Syifa bi-Ta’rif Huquq al-Mushthafa, hlm 851, Imam al-Nawawi, Raudhah al-Thalibin, juz 7 hlm 290).
Lalu bagaimana dengan anggapan sebagian orang bahwa awal mula kesalahan beragama adalah salah menetapkan apa yang menjadi wasilah dan apa yang menjadi ghooyah dalam agama Islam. Maaf, yang salah sebenarnya anggapan beliau. Islam beliau anggap sebagai wasilah. Padahal yang benar, Islam itu jalan yang harus dilalui.
Sebaiknya hati-hati dalam mengeluarkan suatu istilah atas nama agama. Telaah dulu penjelasan para ulama, dalam kitab-kitab yang mu’tabar, lalu sampaikan dengan cara yang baik. Jangan menjelaskan ajaran agama hanya berdasarkan nalar saja, tanpa dilandari oleh dasar yang benar dan dapat diterima. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar