Rabu, 22 Juli 2015

HUKUM LEBARAN KETUPAT


Konon Sunan Kalijaga yang pertama kali memperkenalkan lebaran ketupat pada masyarakat Jawa.dilakukan seminggu sesudah lebaran Namun demikian, tidak ada data valid mengenai hal ini. Lebaran bermakna usai, menandakan berakhirnya waktu puasa bukan hari raya.
Dalam Kaidah fikih dikatakan, “al-Adah Muhakkamah ma lam yukhalif al-Syar'” (Tradisi itu diperbolehkan selama tidak bertentangan dengan dasar-dasar syariah).
Dalam Hasiyah as-Sanady disebutkan, “Bahwa sesungguhnya sesuatu yang mubah (tidak ada perintah dan tidak ada larangan) bisa menjadi amal ibadah selama disertai niat baik. Pelakunya mendapatkan imbalan pahala atas amal tersebut sebagaimana pahalanya orang-orang yang beribadah”. (Hasiyah as-Sanady, Jilid 4, hal.368)
 yang dinilai bid’ah adalah merayakan “Hari Raya Ketupat”-nya, yang biasa dilaksanakan tujuh hari setelah Iedul Fithri. adapun Lebaran bermakna usai, menandakan berakhirnya waktu puasa bukan hari raya.Dikategorikan bidah karena Umat Islam tidak memiliki hari raya selain Iedul Fithri dan Iedul Adha dan tidak boleh membuat hari raya baru. 
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -rahimahullah- berkata dalam Majmu’ Al-Fatawa (25/298):
“Adapun menjadikan suatu hari raya, selain dari hari raya yang syar’i, seperti beberapa malam dalam bulan Rabi’ul Awwal yang dikatakan bahwa itu adalah malam maulid atau beberapa malam dalam bulan Rajab atau pada tanggal 18 Dzul Hijjah atau Jum’at
pertama dari bulan Rajab atau tanggal 8 Syawal yang disebut oleh orang-orang jahil dengan ‘Iedul Abror (lebaran ketupat), maka semua ini adalah termasuk dari bid’ah-bid’ah yang tidak pernah disunnahkan dan dikerjakan oleh para ulama salaf,  


Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah mengatakan:
Hari kedelapan dari Syawwal ini orang umum menamakannya sebagai Iedul Abrar (hari raya orang yang baik) yaitu orang-orang yang telah puasa enam hari Syawwal. Namun hal ini adalah bid’ah. Maka hari ke delapan ini bukanlah sebagai hari raya, bukan untuk orang baik (abrar) dan bukan pula bagi orang jahat (Fujjar).
Sesungguhnya ucapan mereka (yaitu iedul abrar) mengandung konsekuensi bahwa orang yang tidak puasa enam hari dari Syawwal maka bukan termasuk orang baik, demikian ini adalah keliru. Karena orang yang telah menunaikan kewajibannya maka dia, tanpa diragukan adalah orang yang baik walaupun tentunya sebagian orang kebaikannya ada yang lebih sempurna dari yang lain. (Syarhul Mumti’ Karya As Syaikh Ibnu Utsaimin jilid 6 bab shaum Tathawwu’)
Akan tetapi, sekadar membuat ketupat pada saat Iedul Fithri atau bahkan Iedul Adha, hanya sebagai salah satu hidangan tanpa menganggap bahwa hal itu disunahkan atau memiliki keutamaan, bukanlah bidah. Itu hanya tradisi yang mubah karena tidak menyangkut urusan ibadah. Ketupat dan lontong –yang sebenarnya hanyalah nasi yang dibungkus daun- hanyalah salah satu menu dari menu-menu yang biasa ada pada saat hari raya, disamping kue-kue, opor, soto atau yang lainnya
adapun pemaknaan kupat dg ngaku lepat /mengaku salah hingga harus minta maaf maka ini tidak benar.tidak ada dalilnya idul fitri atau bulan syawwal momen disunnahkan bermaaf-maafan.
adapun pemaknaan Ketupat berasal dari kata "kaaffatan" (ﻛﺎ ﻔﺔ) yg artinya SEMPURNA karena pahala puasa syawwal seperti puasa sempurna setahun penuh maka ini bisa dibenarkan karena memang dalilnya
 sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164).

Tidak ada komentar: