SYUBHAT : Kami membaca bantahan yang luar biasa
jahil atas tulisan kami tentang shalat jama’ dari seorang jahil yang bernama
Toyib Mutaqin. Dalam bantahannya ia sok bergaya ulama sok menuduh orang curang
menterjemahkan padahal ia sendiri yang jahil. Orang ini tong kosong nyaring
bunyinya dan ya kami juga cukup sering melihat kejahilannya ketika ia
berdiskusi di forum facebook Multaqa Ahlalhdeeth
Indonesia.
Salah satu kejahilannya dalam forum tersebut
adalah ketika ia berhujjah dengan hadis atau riwayat dalam kitab Musnad Zaid
bin Aliy bin Husain, padahal orang yang memang membaca kitab tersebut dari awal
maka akan mengetahui kalau kitab tersebut tidak layak dijadikan hujjah di sisi
Ahlus Sunnah karena salah satu perawi kitab tersebut adalah seorang pendusta
pemalsu hadis. Dan puncak kejahilannya adalah ketika ia mengatakan bahwa “hukum
asal suatu hadis itu shahih”. Kami sampai terkejut melihat kejahilan yang luar
biasa seperti ini. Orang yang baru belajar ilmu hadis saja kami yakin tidak
akan mengatakan hukum asal suatu hadis adalah shahih.
JAWAB : he..lucunya
ente wahai syi’i..memang bukan syiah kalau tidak taqiyah alias ngelees..lari
dari substansi.orang yg ikut forum itu pasti ketawa ngeliat tingkah
ente..karena hujjah telah ana sampaikan.namun ente mendistorsinya.kalau ente
beda pendapat itu urusan ente.sekali lagi ini hanyalah manuver taqiyah ente.
Al-Kulîni (seorang Ulama Syiah) meriwayatkan perkataan
Ja’far ash-Shâdiq yang berbunyi:
التَّقِيّةُ دِيْنِيْ وَدِيْنُ آبَاءِيْ، لاَإِيْمَا ن لِمنْ لاَتقِيَّةَ لَهُ
Taqiyah adalah agamaku dan agama moyangku. Tidak ada keimanan bagi orang yang tidak melakukan taqiyah
Abu ‘Abdillâh berkata: “Sesungguhnya Sembilan persepuluh dari agama terdapat dalam taqiyah. Tidak ada agama bagi orang yang tidak bertaqiyah” [al-Khishâl,Ibnu Bâbuyah al-Qummi, 1/25].
التَّقِيّةُ دِيْنِيْ وَدِيْنُ آبَاءِيْ، لاَإِيْمَا ن لِمنْ لاَتقِيَّةَ لَهُ
Taqiyah adalah agamaku dan agama moyangku. Tidak ada keimanan bagi orang yang tidak melakukan taqiyah
Abu ‘Abdillâh berkata: “Sesungguhnya Sembilan persepuluh dari agama terdapat dalam taqiyah. Tidak ada agama bagi orang yang tidak bertaqiyah” [al-Khishâl,Ibnu Bâbuyah al-Qummi, 1/25].
Inilah syiar syiah rofidhoh seperti
kata ibnu taimiyyah :
الرَّافِضَةَ " الَّذِينَ هُمْ شَرٌّ مِنْ هَؤُلَاءِ وَهُمْ
الَّذِينَ يُكَفِّرُونَ جَمَاهِيرَ الْمُسْلِمِينَ مِثْلَ الْخُلَفَاءِ
الثَّلَاثَةِ وَغَيْرِهِمْ . وَيَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ هُمْ الْمُؤْمِنُونَ وَمَنْ
سِوَاهُمْ كَافِرٌ وَيُكَفِّرُونَ مَنْ يَقُولُ : إنَّ اللَّهَ يُرَى فِي
الْآخِرَةِ أَوْ يُؤْمِنُ بِصِفَاتِ اللَّهِ وَقُدْرَتِهِ الْكَامِلَةِ وَمَشِيئَتِهِ
الشَّامِلَةِ وَيُكَفِّرُونَ مَنْ خَالَفَهُمْ فِي بِدَعِهِمْ الَّتِي هُمْ
عَلَيْهَا . فَإِنَّهُمْ يَمْسَحُونَ الْقَدَمَيْنِ وَلَا يَمْسَحُونَ عَلَى
الْخُفِّ وَيُؤَخِّرُونَ الْفُطُورَ وَالصَّلَاةَ إلَى طُلُوعِ النَّجْمِ وَيَجْمَعُونَ
بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ
syiah rofidhoh mereka adalah orang lebih buruk dari khowarij dan mereka mengkafirkan mayoritas kaum muslimin seperti tiga kholifah dan selain mereka.mereka menyangka bahwa mereka orang beriman dan selain mereka kafir.mereka juga mengkafirkan orang yg berkata bahwa alloh dapat dilihat di akhirat atau beriman dg sifat alloh dan kuasanya yg sempurna dan kehendaknya yg menyeluruh.mereka mengkafirkan orang yg berbeda dg bid'ah mereka.maka sesungguhnya mereka mengusap kedua telapak kaki dan tidak mengusap sepatu dan mereka mengakhirkan berbuka dan sholat sampai muncul bintang.dan mereka menggabung 2 sholat tanpa udzur
SYUBHAT : Cuma orang jahil yang bertanya padahal jawaban sudah ada di depan matanya. Tidak diragukan kalau kantong anda sudah penuh dengan ilmu-ilmu rusak dan ilmu agama setengah jadi sehingga anda tidak bisa melihat kebenaran dalam hujjah orang lain. Hadis shahih Ibnu ‘Abbas [yaitu riwayat Abdullah bin Syaqiiq] adalah hujjah pemutus dalam perkara ini dimana Ibnu ‘Abbas sendiri melakukan shalat jamak padahal ia tidak memiliki udzur saat itu. Beliau sedang berkhutbah dan ingin tetap meneruskan khutbahnya. Dimana letak udzurnya wahai Toyib?. Maaf anda paham atau tidak artinya udzur. Atau anda pikir berkhutbah itu termasuk udzur syar’i yang anda maksud?. Coba sebutkan ulama mana yang mengatakan khutbah itu termasuk udzur?
SYUBHAT : Cuma orang jahil yang bertanya padahal jawaban sudah ada di depan matanya. Tidak diragukan kalau kantong anda sudah penuh dengan ilmu-ilmu rusak dan ilmu agama setengah jadi sehingga anda tidak bisa melihat kebenaran dalam hujjah orang lain. Hadis shahih Ibnu ‘Abbas [yaitu riwayat Abdullah bin Syaqiiq] adalah hujjah pemutus dalam perkara ini dimana Ibnu ‘Abbas sendiri melakukan shalat jamak padahal ia tidak memiliki udzur saat itu. Beliau sedang berkhutbah dan ingin tetap meneruskan khutbahnya. Dimana letak udzurnya wahai Toyib?. Maaf anda paham atau tidak artinya udzur. Atau anda pikir berkhutbah itu termasuk udzur syar’i yang anda maksud?. Coba sebutkan ulama mana yang mengatakan khutbah itu termasuk udzur?
JAWAB : justru ente yg menuduh ibnu abbas tidak mengerti
udzur syar’i.justru ibnu abbaslah yg menunjukkan itu udzur.bukan dibalik kayak
logika ente yg terbalik.apakah ibnu abbas bukan ulama? ya beliau bukan ulama
syiah
ibnu taimiyyah dalam majmu’ fatawa
24/77 :
كَانَ ابْنُ عَبَّاسٍ
فِي أَمْرٍ مُهِمٍّ مِنْ أُمُورِ الْمُسْلِمِينَ
يَخْطُبُهُمْ فِيمَا يَحْتَاجُونَ إلَى مَعْرِفَتِهِ وَرَأَى أَنَّهُ إنْ قَطَعَهُ
وَنَزَلَ فَاتَتْ مَصْلَحَتُهُ فَكَانَ ذَلِكَ عِنْدَهُ مِنْ الْحَاجَاتِ الَّتِي
يَجُوزُ فِيهَا الْجَمْعُ
Dulu ibnu abbas
dalam perkara penting dari perkara kaum muslimin.beliau berkhotbah kepada
mereka tentang apa yg mereka butuhkan pengetahuannya dan beliau memandang
sesungguhnya jika beliau memotongnya dan turun dari mimbar maka akan maslahat
tidak akan diperoleh.maka itu disisi beliau termasuk hajat yg boleh didalamnya
jama’.
SYUBHAT : Pendapat ulama siapa yang anda maksud
Asy Syaukaniy kah? Lha itu sudah dibuktikan bahwa ia telah keliru dalam
berhujjah dengan hadis yang mengandung idraaj. Zhahir riwayat-riwayat Ibnu
‘Abbas [terutama riwayat Abdullah bin Syaqiiq] telah menafikan pendapat jama’
shuuriy. Kami yakin anda tidak mampu memahaminya karena akal anda sudah kelewat
rusak.
Silakan tuh anda baca An Nawawiy dalam Syarh
Shahih Muslim dimana Ia telah melemahkan dan menganggap bathil penakwilan jamak
shuuriy tersebut berdasarkan zhahir riwayat Ibnu ‘Abbaas [Syarh Shahih Muslim
An Nawawiy 5/218]. Atau silakan anda lihat Ibnu Hajar yang berhujjah dengan
lafaz hadis ketika ditanya mengapa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]
melakukannya, dijawab bahwa Beliau menginginkan tidak menyulitkan umatnya. Ibnu
Hajar melanjutkan bahwa lafaz ini menafikan penakwilan jama’ shuriy karena
jamak shuuriy justru tidak melepaskan dari kesulitan [Fath Al Bariy 2/31].
JAWAB : lagi2 ente gagal faham.apakah menukil
idroj berarti otomatis salah.itu hanya logika bobrok ente yg menuduh ulama’
sekaliber imam assyaukani.
Imam nawawi dan ibnu hajar Cuma menafikan
pendapat bahwa itu bukan jama’ beneran.beliau tidak menyalahkan atau melarang
sholat jama’ shuri.
Ibnu hajar menyatakan :
ويجمع بها بين
مفترق الأحاديث والجمع الصوري أولى والله أعلم
Dan menggabungkan antara hadits-hadits yg berbeda
dg jama’ shuri adalah lebih baik wallohu a’lam [Fath Al Bariy 2/24].
Mau disebut jama shuri atau apapun kalau tidak keluar
waktu ya boleh saja bahkan harus sholat pada waktunya..itu kan hukum asalnya.
Imam abdil bar dalam at-tamhid :
قد يحتمل أن
يكون جمع بينهما بأن صلى الأولى في آخر وقتها وصلى الثانية في أول وقتها فكانت
رخصة في التأخير بغير عذر إلى آخر الوقت للسعة والله أعلم
Kadang itu kemungkinan penjamaan keduanya dg
sholat yg pertama di akhir waktunya dan sholat kedua di awal waktu maka itu
rukhsoh dalam mngakhirkan tanpa udzur ke akhir waktu karena lapangnya waktu
Syiah ini seakan ingin menyatakan sholat diluar
waktu tanpa udzur lebih afdhol dari sholat pada waktunya.sungguh masih adakah
orang yg akan tertipu dg muslihatnya???
SYUBHAT : Bukankah kami menuliskan disana kalimat
“Oleh karena itu nampak jelas kekeliruan Asy Syaukaniy yaitu ulama yang dikutip
oleh Al Amiriy perkataannya”. Kami sedang menanggapi nukilan Asy
Syaukaniy yang ditulis oleh Al Amiriy. Jadi terjemahan perkataan Asy Syaukaniy
adalah tulisan Al Amiriy bukan terjemahan dari kami, paham anda wahai jahil.
JAWAB : bukan syiah kalau merasa sok suci.mut’ah
aja dianggap menjaga kesucian.parahnya..
SYUBHAT : Alangkah memalukannya ocehan anda itu.
Asy Syaukaniy tidak menyebutkan tentang idraaj wahai jahil, Ia justru tidak
tahu kalau lafaz tersebut adalah idraaj. Ia mengira bahwa lafaz itu adalah
perkataan Ibnu ‘Abbaas kemudian ia berhujjah dengannya. Nah disitulah letak
kekeliruannya.
Coba anda lihat apa yang dikatakan Asy Syaukaniy
[sebagaimana dinukil Al Amiry]. Asy Syaukaniy menjadikan lafaz idraaj tersebut
sebagai perkataan Ibnu Abbas dimana Ibnu Abbas adalah perawi hadis tersebut.
Yang ingin ditunjukkan Asy Syaukaniy adalah Ibnu Abbaas sebagai perawi hadis
tersebut menjelaskan bahwa itu adalah jamak shuuriy. Sayang sekali hujah ini
mandul karena lafaz yang disangkakan sebagai lafaz Ibnu Abbaas adalah idraaj
dari perawi setelahnya yaitu dari kalangan tabiin.
Kalau anda katakan seorang tabiin lebih
mengetahui atau lebih mengerti hadis yang ia riwayatkan lantas mengapa ia tidak
konsisten malah di saat lain ia menyatakan zhan yang lain. Dari situ saja dapat
dilihat bahwa zhan tersebut tidak menjadi hujjah, kecuali maaf jika memang akal
anda tidak nyampe kesana. Dan kesimpulan kami menolak penakwilan jamak shuuriy
justru berdasarkan hadis Ibnu ‘Abbaas [radiallahu ‘anhu] selaku sahabat
yang meriwayatkan hadis tersebut.
JAWAB : he..bukan syiah kalau tidak mencela ulama sunni.apalagi saat ada
ketergelinciran akibat yg wajar yaitu
karena belum tahu sebab saat itu kitab hadits belum dibukukan semacam sekarang.
Ente sok taqiyah dg menyalahkan imam
besar selevel imam assyaukani untuk menutupi kesesatan ente yg jelas itu tambahan dari kantong syiah ente dg
mengatakan itu tanpa udzur.justru ini idraj ente yg luar biasa sesat dan
jahil.pertanyaan ane..apakah riwayat
tafsir tabiin itu shohih perkataan
mereka ? Walaupun berbeda2 namun semua menjurus ke satu tujuan yaitu membawanya
ke udzur bukan tanpa udzur kayak tafsir syiah.dan tafsir berbeda2 dari tabiin
itu biasa bagi ahli ilmu bukan bagi ahli menyesatkan.contoh : tafsir as-shirot
al mustaqim dalam al fatihah multi tafsir.tiada satu ulama pun yg menganggapnya
suatu kesalahan tafsir.justru itu memperjelas maksud ayat itu.
Tafsir tabiin Itu ente anggap sesat
emang itulah watak asli syiah pembenci bahkan pelaknat sahabat dan tabiin.jadi
kalau gak mau dianggap syiah jangan terlalu nampaklah kebencian ente..he
Sekarang dalam riwayat itu tidak ada
kata udzur atau tanpa udzur.lalu semua tafsir itu mengarah kemana ??? siapa sahabat
lain atau tabiin yg menafsirkan itu tanpa udzur ???
Jadi alasan tafsir tabiin
berbeda2 tidaklah otomatis salah.justru
satu dg yg lain saling menguatkan.
SYUBHAT : Sok berhujjah dengan penjelasan ulama
padahal hakikatnya jahil. Anda ini mengerti apa tidak apa yang anda baca?. apa
yang anda kutip itu sebagaimana anda tulis sendiri adalah tentang penafsiran
sahabat, lha sekarang yang dipermasalahkan disini adalah zhan [dugaan]
perawi setelah shahabat yaitu dari kalangan tabiin. Perhatikan juga wahai jahil
bahwa itu adalah “zhan [dugaan]” tabiin itu tidak memastikan, oleh karena
itu di saat lain ia menyebutkan zhan [dugaan] yang lain.
Kemudian telah kami tunjukkan bahwa zhan
[dugaan] perawi tersebut tidak menjadi hujjah. Mengapa? Karena disaat lain ia
menduga bahwa itu karena hujan. Jadi mana yang benar jamak shuuriy atau karena
hujan?. Dan yang lebih menguatkan bahwa zhan perawi tersebut tidak menjadi
hujjah adalah hadis Ibnu ‘Abbaas [riwayat ‘Abdullah bin Syaqiiq] bahwa itu
memang betul-betul shalat jamak bukannya jamak shuuriy. Jadi Ibnu Abbaas selaku
perawi hadis tersebut telah menjelaskan bahwa itu memang betul shalat jamak. Oh
iya kami sudah menunjukkan sebagian ulama yang membantah jamak shuuriy, silakan
tuh diperhatikan
Jahil ooh jahil, Silakan bawakan dalil shahih
wahai jahil bahwa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] pernah melakukan jamak
shuuriy, insya Allah itu akan jadi tambahan ilmu bagi kami. Lucunya anda
mengatakan Jamak shuuriy dan Jama’ beneran tidaklah bertentangan?. Ini
perkataan orang jahil, Jamak shuuriy hakikatnya bukan Jamak beneran, itu sudah
ma’ruf di kalangan ulama. Yang dipermasalahkan disini adalah shalat Jamak yang
dibicarakan oleh Ibnu Abbaas itu apakah Jamak shuuriy atau apakah itu Jamak
yang sebenarnya?. Jadi gak perlu ngalor ngidul tidak karuan bicara ini itu,
padahal hakikat permasalahan saja tidak paham.
Jawab saja pertanyaan ini?. Shalat Jamak yang
dimaksudkan Ibnu Abbas dalam hadisnya itu apakah Jamak shuuriy atau Jamak
sebenarnya?. Jawabannya cuma satu gak bisa dua-duanya dan sudah kami bawakan
bukti hadis Ibnu Abbaas [riwayat Abdullah bin Syaqiiq] kalau shalat Jamak itu
adalah Jamak sebenarnya. Kalau anda sok mengatakan dua-duanya tidak
bertentangan maka silakan bawakan bukti hadis shahih yang menunjukkan bahwa
Ibnu Abbaas mengatakan shalat jamak itu adalah Jamak shuuriy. Jangan berhujjah
dengan zhan [dugaan] perawi justru Ibnu Abbaas sebagai sahabat yang menyaksikan
jauh lebih paham dibanding perawi setelahnya. Mengerti anda wahai jahil.
Halah cuma bisa menukil doang tapi tidak paham
apa yang dinukil. Mana nash dari Ibnu Abbaas
bahwa itu adalah Jamak Shuuriy. Buktikan dulu ini baru sok bicara “sesuatu yang
sama-sama ada nash-nya”.
Apa yang anda kutip itu menentang anda
sendiri. Tidak boleh bagi seorangpun mengotak atik hadis dengan hal yang tidak
terdapat di dalamnya. Maka silakan tuh lihat mana ada dalam hadis Ibnu Abbaas
bahwa yang dimaksud adalah Jamaak Shuuriy bahkan dalam hadis Ibnu Abbas, shalat
Jamak yang dimaksud adalah jamak sebenarnya. Jadi sangat tidak pantas ketika
zhahir hadis telah jelas maka anda berhujjah dengan zhan [dugaan] perawi
padahal justru zhan perawi tersebut yang sedang mengotak atik hadisnya.
Buktinya perawi tersebut tidak konsisten sekedar menduga-duga kadang berkata jamak
shuuriy kadang berkata jamak karena udzur hujan.
JAWAB : he..ini lebih menggelikan..yg otak atik
tu ente..kenapa ane yg dituduh? Yg nuduh tanpa udzur siapa? Justru yg menambah
kata tidak ada udzur tu ente bukan ane.kalau ane sih ngikuti tafsir ulama tabiin
yg jelas mumpuni.logika yg luar biasa jahil syiah seakan kalau itu bukan jama’
shuri berarti ya tanpa udzur?? apa-apaan ini he…
Ana katakan iya itu jama’ beneran dg udzur dg
indikasi tafsir para perawi.namun jama shuri hakikatnya tidak menjama.kalau tidak
menjama ya jelas bolehlah.apalagi ada tafsir tabiin.kalau jama shuri.kalau itu tidak
boleh gak mungkin ditafsiri semacam itu.
Inilah yg dikuatkan imam nawawi yaitu jama’
beneran dg udzur sakit atau udzur lainnya
ومنهم
من قال هو محمول على الجمع بعذر المرض أو نحوه مما هو في معناه من الأعذار وهذا
قول أحمد بن حنبل والقاضي حسين من أصحابنا واختاره الخطابي والمتولي والروياني من
أصحابنا وهو المختار
Sebagian ulama’ ada yg berkata itu dibawa kepada
jama’ dg udzur sakit atau semacamnya yg termasuk makna udzur dan pendapat imam
ahmad dan al qodhi husein dari madzhab syafii dan memilihnya alkhottobi dan al
mutawalli dan arruyani dari madzhab syafii dan itulah pendapat terpilih [Syarh
Shahih Muslim An Nawawiy 5/218]
Begitu pula Imam ibnu hajar menguatkan jama’ dg
udzur kesibukan/syughl dan kesempitan (alharoj) :
أن شغل بن عباس
المذكور كان بالخطبة
Sesungguhnya kesibukannya ibnu abbas yg
disebutkan disitu adalah dg khutbah. [Fath Al Bariy 2/24] jadi khawatir kalau khotbahnya terputus-putus
hingga salah persepsi.
Kalau ente tidak menganggap khotbah bukan udzur
syar’I ya itu urusan ente dg hawa nafsu ente.urusan ane ikut ulama’ sunni bukan
syiah.
Mau disebut jama shuri atau apapun kalau tidak keluar
waktu ya boleh saja bahkan harus sholat pada waktunya..itu kan hukum asalnya.
SYUBHAT : Wahai jahil, sebelum banyak bicara
tolong jawab mana contoh hadis yang mengandung lafaz “jamak shuuriy”. Silakan
bawakan hadis Ibnu Abbaas dengan lafaz “jamaak shuuriy”. Jadi bukan cuma anda
kok yang bisa berhujjah kepada kami mana kata-katanya?. Kami juga bisa bertanya
pada anda mana kata-katanya “jamak shuuriy” yang anda jadikan hujjah
sebelumnya. Jangan sok berhujjah mana lafaz atau mana kata-katanya kalau anda
sendiri tidak paham.
Jelas sekali hadis Ibnu ‘Abbaas tidak menyebutkan
udzur yang terjadi pada Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] saat itu.
Pahami baik-baik wahai jahil namanya udzur itu sebabnya ada pada saat kejadian.
Adapun yang dikatakan Ibnu ‘Abbaas adalah Rasulullah
[shallallahu ‘alaihi wasallam] ingin tidak menyulitkan umatnya. Ibnu
Abbaas bukan sedang menjelaskan bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi
wasallam] saat itu sedang mengalami udzur kesulitan, ini namanya pemahaman
orang jahil. Kalau memang Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] saat itu
mengalami udzur maka Ibnu Abaas akan menyebutkan udzur tersebut. Al Baghawiy
setelah meriwayatkan hadis ini justru mengatakan hadis ini adalah dalil
dibolehkan shalat jamak tanpa udzur. Bukankah perawi hadis dalam hal ini Al
Baghawiy lebih paham hadis yang ia riwayatkan dibanding anda yang jahil.
JAWAB : hadeuh..jahil yg kebablasan..benarkah
ibnu abbas tidak menyebutkan udzurnya??? Kata2 ente aja bertentangan itu
menunjukkan akal ente udah jungkir balik.diawal mengatakan “Jelas sekali hadis
Ibnu ‘Abbaas tidak menyebutkan udzur yang terjadi pada Rasulullah [shallallahu
‘alaihi wasallam] saat itu .lalu mengatakan
Adapun yang dikatakan Ibnu ‘Abbaas adalah Rasulullah
[shallallahu ‘alaihi wasallam] ingin tidak menyulitkan umatnya.emang itu
perkataan siapa kalau bukan ibnu abbas? itulah TA’LILnya alasannya setelah
beliau ditanya.itulah adab yg benar kalau ente jahil yaitu bertanya
bukan pakai tafsir hawa nafsu.
وما
ذكره بن عباس من التعليل بنفى الحرج ظاهر في مطلق الجمع
Dan apa yg disebutkan ibnu abbas dari alasan dg
menafikkan kesulitan menunjukkan mutlaq jama’ (jama’ beneran) . [Fath Al Bariy
2/24]
Justru Perawinya itu abu tsa’tsa’ beliau lebih
tinggi derajat periwayatannya dan lebih mngetahui apa maksudnya daripada al
baghowi
قال بن سيد الناس
وراوي الحديث أدري بالمراد من غيره
Berkata
ibnu sayyidinnas : dan perawi hadits lebih tahu maksud daripada
selainnya [Fath Al Bariy 2/24]
SYUBHAT : Ternyata selain jahil anda memang
pendusta. Dimana letak kecurangan kami?. Anda itu sudah terkena penyakit waham
skizofrenik alias ngayal yang bukan-bukan tapi sok yakin betul. Padahal mana
ada kami mengesankan macam-macam. Yang kami jadikan hujjah adalah Al Baghawiy memahami hadis tersebut sebagai dalil
membolehkan shalat jamak tanpa udzur. Dan itu memang terbukti dari
nukilan yang kami tuliskan. Dimana letak curangnya wahai jahil.
Jadi jangan bawa-bawa khayalan dusta anda
terhadap kami. Mana perkataan kami yang curang? Mana perkataan kami yang anda
tuduh membuat seolah-olah Ibnu Sirin mengakuinya?. Apalagi soal terjemahan koma
dan huruf waw, maaf ya anda ini sok berlagak paling tahu menerjemahkan dan
meganggap orang lain menerjemahkan dengan curang. Silakan tinggal tambahkan
arti huruf waw dan lihat apakah beda maknanya dengan terjemahan kami. Tentu
saja tidak, cuma orang yang menderita waham paranoid yang membeda-bedakannya.
Ditunggu wahai pendusta, mana bukti tuduhan anda bahwa kami mengesankan Ibnu
Sirin begini begitu?.
Justru anda yang busuk wahai Toyib, apa pernah
kami menafikan bahwa banyak ulama tidak membolehkan
shalat jama’ tanpa udzur?. Kami lebih berpegang pada hadis shahih yang
membolehkannya dan berpegang pada sedikit ulama yang membolehkan shalat jama’
tanpa adanya udzur jika memang memiliki hajat atau keperluan. Mengapa? Karena
mereka memiliki dalil yang lebih kuat dan lebih rajih.
Bolehlah anda mengatakan busuk jika memang kami
mengada-adakan sesuatu atau berdusta atas nukilan ulama misalnya jika kami
mengatakan jumhur ulama membolehkan shalat jamak tanpa udzur,
kenyataannya tidak pernah kami mengatakan demikian. Lha ini dengan jelas kami
menyatakan bahwa Al Baghawiy memahami hadis Ibnu
Abbaas sebagai dalil boleh shalat jamak tanpa udzur dan itu terbukti
dari nukilan yang kami tampilkan. Eeeh anda datang-datang menuduh kami curang
busuk dengan mempermasalahkan Ibnu Sirin dan nukilan lain yang tidak ada
hubungannya. Jaka sembung makan pepes ya gak nyambung keles. Maaf, akal
anda itu sepertinya rusak cukup parah ya.
Selain Al Baghawiy, Ibnu Mundzir juga memahami hadis Ibnu
‘Abbaas tersebut tanpa ada udzur. Ibnu Mundzir menyebutkan bahwa hadis Ibnu
‘Abbaas tersebut bukan bermakna adanya uzur karena dalam hadis tersebut telah
dikabarkan oleh Ibnu Abbaas bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]
ingin tidak menyulitkan umatnya. Hal ini sebagaimana dinukil dalam ‘Aun Al
Ma’buud ‘Alaa Sunan Abu Daawud hal 578
Subhanallah,
apalagi komentar yang ini sungguh luar biasa jahil. Kejahilan pertama anda
mengatakan tanpa illah [sebab] bukan berarti tanpa udzur. Dan anda mengatakan
illah itu seperti sakit dan semisalnya. Kalau begitu wahai jahil yang anda
maksud Udzur itu apa?. Apa anda mau mengatakan bahwa sakit bukan Udzur bagi
shalat jamak?. Sakit bukan Udzur tapi Illah bagi shalat Jamak, begitukah yang
anda maksud. Rasanya ingin tertawa tapi melihat anda seperti ini, disitu kadang
kami merasa sedih. Please, tolong dipikir dulu dengan baik sebelum membantah.
Siapapun tahu kalau yang namanya istilah Udzur adalah illah [sebab] yang
menghalangi.
JAWAB : justru
menetapkan itu ada ‘illahnya.dan ente sendiri mengatakan : Udzur adalah illah
[sebab] yang menghalangi .dan memang ‘illah dan udzur jika disebut sendiri
maksudnya sama namun jika disebut bersama berbeda.disinilah letak kesalahan
ente tidak bisa membedakan.seperti kaidah :
كلمتان
إذا اجتمعا افترقا، و إذا افترقا اجتمعا
dua kata yang jika berkumpul lafadznya maka berbeda maknanya.
Namun, jika tidak berkumpul lafadznya maka berkumpullah maknanya (mempunyai
makna yang sama), makna kata yang satu mencakup makna kata yang lain
jadi udzur itu :
العُذْرُ
:
الحُجَّةُ التي يُعتَذرُ بها
Hujjah yg diizinkan dengannya
Jadi kalau itu alasan yg diizinkan syariat bisa saja masuk
kategori udzur syar’i
Adapun perkataan ibnul mundzir :
وتأوله بعضهم على
أن يكون ذلك في حال المرض
قال
بن المنذر ولا معنى لحمل الأمر فيه على عذر من الأعذار
لأن بن عباس قد أخبر بالعلة فيه وهو قوله أراد أن لا يحرج أمته
Yg faham gaya bahasa arab akan ketawa melihat
kesimulan ente.
Jadi itu membantah orang yg membawa atau
mentakwil hadits itu ke sakit dan udzur lain yg tersebut dalam hadits bukan
semua udzur
SYUBHAT : Maaf belajar dulu sana ilmu Musthalah
hadis, baru sok bicara hadis dan jarh wat ta’dil. Muhammad bin Muslim Ath Tha’ifiy
memang diperselisihkan tetapi pendapat yang rajih ia seorang yang shaduq.
Hadisnya hasan jika tidak ada penyelisihan.
Berikut keterangan rinci mengenai Muhammad bin Muslim Ath Tha’ifiy. Ia adalah perawi
Bukhariy dalam At Ta’liq, Muslim dan Ashabus Sunan. ‘Abdurrahman bin Mahdiy
meriwayatkan darinya [dan telah dikenal bahwa ia hanya meriwayatkan dari perawi
yang tsiqat dalam pandangannya]. Ahmad mendhaifkannya. Yahya bin Ma’in
menyatakan ia tsiqat jika meriwayatkan dari hafalannya terkadang keliru dan
jika meriwayatkan dari kitabnya maka tidak ada masalah padanya. Ibnu Adiy berkata
“ia memiliki hadis-hadis hasan gharib, ia hadisnya baik tidak ada masalah
padanya, dan aku tidak melihat ia memiliki hadis mungkar”. Ibnu Hibban
memasukkannya dalam Ats Tsiqat dan berkata “terkadang keliru”. Al Ijliy dan Abu
Dawud berkata “tsiqat”. As Saajiy berkata “shaduq sering salah dalam hadis”.
Yaqub bin Sufyaan berkata “ tsiqat tidak ada masalah padanya” [Tahdzib At
Tahdzib 6/46 no 7434]
Dengan mengumpulkan perkataan para ulama jarh wat
ta’dil maka disimpulkan bahwa kedudukannya adalah shaduq
hasanul hadis. Adapun kesalahan atau kekeliruan yang dinisbatkan padanya
tidak menjatuhkan hadisnya ke derajat dhaif. Ia seorang yang hadisnya hasan
jika tidak ada penyelisihan. Penulis kitab Tahrir Taqrib At Tahdziib telah
mengumpulkan jarh dan ta’dil terhadapnya dan menyimpulkan dia seorang yang
shaduq hasanul hadis.
JAWAB : inilah kecerobohan ente hanya bersandar
pada ta’dil umum
Ibnu Shalah rahimahullah berkata: “Jika
terkumpul pada seseorang jarh dan ta’dil maka jarh didahulukan, karena pihak
yang menta’dil mengabarkan apa yang nampak dari keadaan orang tersebut,
sedangkan pihak yang menjarh mengabarkan apa yang tidak diketahui oleh pihak
penta’dil. Jika jumlah pihak yang menta’dil lebih banyak maka ada yang
berpendapat bahwa ta’dil didahulukan. Namun pendapat yang benar –dan ini
merupakan pendapat jumhur– adalah bahwasanya jarh didahulukan berdasarkan apa
yang telah kami sebutkan, wallahu a’lam.”
(Uluumul Hadits hal. 110)
Az-Zarkasy rahimahullah berkata: “Yang benar
adalah mendahulukan jarh berdasarkan apa yang telah kami sebutkan,
maksudnya karena mendahulukan jarh mengandung tambahan ilmu yang tidak
diketahui oleh pihak yang menta’dil, dan itu sesuatu yang mungkin ada, sama
saja apakah jumlah yang menta’dil lebih banyak atau lebih sedikit atau
seimbang. Jadi seandainya ada satu orang yang menjarh dan ada seratus orang
yang menta’dil, tetap didahulukan perkataan satu orang tersebut.”
(An-Nukat 3/263)
Imam ibnu ma’in berkata dalam atstsiqot :
يروي عن عمرو بن
دينار وإبراهيم بن ميسرة، وروى عنه يحيى بن سليم الطائفي وأهل العراق، كان يخطئ،
وزعم عبد الرحمن بن مهدي أن كتبه صحاح
Diriwayatkan
dari amru ibn dinar dan ibrohim ibn maisaroh dan diriwayatkan darinya yahya ibn
salim ath-thoifiy dan ahli iroq dia perawi yg keliru.dan ibnu mahdy menyangka
kitab-kitabnya shohih
Dalam kitab
tahrir pun sudah dijelaskan kesalahan ta’qib itu.bacalah baik2
قلنا:
هذا التعقب لا قيمة له ولا معنى، ويستدرك عليهما فيه من أربعة أوجه:
الأول: النتيجة واحدة فالحافظ حكم بأنه ((صدوق)) وحكمهما موافق لحكم الحافظ لكن يختلف حكم الحافظ عنهما بزيادة لفظة: ((له أوهام)) وهي مهمة للغاية لاتقاء أوهامه وللانتفاع بها عند المقارنة والاختلاف والتعارض.
الثاني: أهملا قول الحافظ: ((له أوهام)) وهي لازمة كما سبق فقد عُدَّت له بعض الأوهام، ذكر الحافظ ابن حجر عن محمد بن يحيى الذهلي أنه وهم في ثلاثة أحاديث ثم ذكرها الحافظ (تهذيب 9/ 279)، لذا قال الذهبي في " الميزان " (3/ 592 الترجمة 7743): ((انفرد عن عمه بثلاثة أحاديث)) (وراجع: علل الدارقطني س1 و س7)، وما نقله ابن حجر عن الساجي بل قال ابن حبان في المجروحين (2/ 249): ((كان رديء الحفظ، كثير الوهم يُخطئ عن عمه في الروايات ويخالف فيما يروي عن الأثبات، فلا يجوز الاحتجاج به إذا انفرد. وإني سأذكر قصته وما خالف الأثبات من حديث عمر في كتاب الفصل بين النقلة)).
الثالث: قالا: ((واحتج به البخاري ومسلم في " صحيحيهما "))، وهذه من مجازفات المحررين الكثيرة فهما يطلقان الألفاظ على عمومها إذا كانت توافق مرادهما؛ فإنما أخرج له البخاري ومسلم في المتابعات والشواهد حسب. فأحاديثه التي في البخاري كلها متابع عليها كما نص عليه الحافظ ابن حجر في " هدي الساري " (ص 440).
وأما مسلم فقد قال الحاكم النيسابوري: ((إنما أخرج له مسلم في الاستشهاد)) (تهذيب التهذيب 9/ 280).
الرابع: إن المحررين قد زعما أنهما تتبعا أحاديث بعض الرواة (مقدمة التحرير 1/ 46 فقرة 3) فأصدرا الأحكام نتيجة لتلك الاستقراءات، وكل ذلك لم يكن، لأننا تتبعنا أحاديث كثير من الرواة ووجدنا لهم بعض الأغلاط التي غفل عنها المحرران.
وإن من نعم الله علينا، وعميم إحسانه إلينا أنا وقفنا على بعض أخطاء المترجم من ذلك اضطرابه في حديث الكوثر.
فقد أخرج الإمام أحمد (3/ 220 و 236 و 237)، والترمذي (2542)، والطبري (30/ 209) من طريق محمد بن عبد الله بن مسلم، عن أبيه، عن أنس بن مالك، قال: سُئل رسول الله ?: ما الكوثر؟ قال: ((ذاك نهرٌ أعطانيه الله – يعني في الجنة – أشد بياضاً من اللبن، وأحلى من العسل، فيه طير أعناقها كأعناق الجزر))، هكذا رواه عن أبيه، عن أنس. وقد اضطرب فيه.
فقد أخرجه الطبري أيضاً (30/ 209) من طريق محمد بن عبد الله بن مسلم، عن أنس، وليس فيه: ((عن أبيه)).
وأخرجه النسائي في الكبرى (11703) من طريقه عن أخيه، عن أنس.
فهذا التلون مع اتحاد المخرج يدل على الخطأ. والله أعلم.
ومن التناقضات الكثيرة المتوالية للدكتور بشار أنه قال عن الحديث الوحيد لصاحب الترجمة الذي في سنن ابن ماجه برقم (1397): ((إسناده صحيح))، مع أنه صرح هنا في التحرير بأنه: ((صدوق حسن الحديث))!
نسأل الله الثبات في الأمر كله.
الأول: النتيجة واحدة فالحافظ حكم بأنه ((صدوق)) وحكمهما موافق لحكم الحافظ لكن يختلف حكم الحافظ عنهما بزيادة لفظة: ((له أوهام)) وهي مهمة للغاية لاتقاء أوهامه وللانتفاع بها عند المقارنة والاختلاف والتعارض.
الثاني: أهملا قول الحافظ: ((له أوهام)) وهي لازمة كما سبق فقد عُدَّت له بعض الأوهام، ذكر الحافظ ابن حجر عن محمد بن يحيى الذهلي أنه وهم في ثلاثة أحاديث ثم ذكرها الحافظ (تهذيب 9/ 279)، لذا قال الذهبي في " الميزان " (3/ 592 الترجمة 7743): ((انفرد عن عمه بثلاثة أحاديث)) (وراجع: علل الدارقطني س1 و س7)، وما نقله ابن حجر عن الساجي بل قال ابن حبان في المجروحين (2/ 249): ((كان رديء الحفظ، كثير الوهم يُخطئ عن عمه في الروايات ويخالف فيما يروي عن الأثبات، فلا يجوز الاحتجاج به إذا انفرد. وإني سأذكر قصته وما خالف الأثبات من حديث عمر في كتاب الفصل بين النقلة)).
الثالث: قالا: ((واحتج به البخاري ومسلم في " صحيحيهما "))، وهذه من مجازفات المحررين الكثيرة فهما يطلقان الألفاظ على عمومها إذا كانت توافق مرادهما؛ فإنما أخرج له البخاري ومسلم في المتابعات والشواهد حسب. فأحاديثه التي في البخاري كلها متابع عليها كما نص عليه الحافظ ابن حجر في " هدي الساري " (ص 440).
وأما مسلم فقد قال الحاكم النيسابوري: ((إنما أخرج له مسلم في الاستشهاد)) (تهذيب التهذيب 9/ 280).
الرابع: إن المحررين قد زعما أنهما تتبعا أحاديث بعض الرواة (مقدمة التحرير 1/ 46 فقرة 3) فأصدرا الأحكام نتيجة لتلك الاستقراءات، وكل ذلك لم يكن، لأننا تتبعنا أحاديث كثير من الرواة ووجدنا لهم بعض الأغلاط التي غفل عنها المحرران.
وإن من نعم الله علينا، وعميم إحسانه إلينا أنا وقفنا على بعض أخطاء المترجم من ذلك اضطرابه في حديث الكوثر.
فقد أخرج الإمام أحمد (3/ 220 و 236 و 237)، والترمذي (2542)، والطبري (30/ 209) من طريق محمد بن عبد الله بن مسلم، عن أبيه، عن أنس بن مالك، قال: سُئل رسول الله ?: ما الكوثر؟ قال: ((ذاك نهرٌ أعطانيه الله – يعني في الجنة – أشد بياضاً من اللبن، وأحلى من العسل، فيه طير أعناقها كأعناق الجزر))، هكذا رواه عن أبيه، عن أنس. وقد اضطرب فيه.
فقد أخرجه الطبري أيضاً (30/ 209) من طريق محمد بن عبد الله بن مسلم، عن أنس، وليس فيه: ((عن أبيه)).
وأخرجه النسائي في الكبرى (11703) من طريقه عن أخيه، عن أنس.
فهذا التلون مع اتحاد المخرج يدل على الخطأ. والله أعلم.
ومن التناقضات الكثيرة المتوالية للدكتور بشار أنه قال عن الحديث الوحيد لصاحب الترجمة الذي في سنن ابن ماجه برقم (1397): ((إسناده صحيح))، مع أنه صرح هنا في التحرير بأنه: ((صدوق حسن الحديث))!
نسأل الله الثبات في الأمر كله.
SYUBHAT
: Kejahilan kedua, hadis yang anda jadikan hujjah mengenai lafaz Udzur
bersamaan dengan lafaz Illat adalah hadis yang dhaif karena mursal
وحدثني عن مالك عن صفوان بن سليم قال
مالك لا أدري أعن النبي صلى الله عليه وسلم أم لا أنه قال من ترك الجمعة ثلاث مرات
من غير عذر ولا علة طبع الله على قلبه
Dan
telah menceritakan kepadaku dari Malik dari Shafwaan bin Sulaim, Malik berkata
“aku tidak mengetahui apakah dari Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] atau
tidak bahwa Beliau berkata barang siapa meninggalkan shalat Jum’at tiga kali
tanpa udzur dan tanpa sebab maka Allah SWT akan menutup hatinya [Al Muwatta
Malik 1/168 no 297]
Sebagaimana
disebutkan Az Zarqaniy bahwa Shafwaan bin Sulaim adalah tabiin tsiqat [Syarh Az
Zarqaaniy ‘Alaa Al Muwatta 1/209]. Maka berdasarkan kaidah ilmu hadis, hadis
tabiin langsung dari Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] adalah mursal tidak
shahih sanadnya.
Silakan
cari dan buktikan sanad shahih hadis dengan lafaz riwayat Malik di atas yang
mengandung kata illat dan udzur bersama-sama. Jika tidak bisa maaf kami
khawatir anda termasuk orang yang dengan sengaja berdusta atas nama Nabi
[shallallahu ‘alaihi wasallam]. Bukankah anda berkata “begitu
pula Nabi membedakan dalam hadits”. Silakan buktikan, semoga anda sadar
wahai jahil bahwa berbicara soal hadis itu tidak asbun dan tong kosong nyaring
bunyinya.
JAWAB : he..apakah anda ingin
menertawakan perkataan ulama’? tertawakan diri ente yg terlalu dangkal sebelum
menertawakan ulama’.sudah ana jelaskan ketika ‘illah dan udzur bersatu maka
maknanya berbeda.sebagaimana imam azzarqoni menafsirkannya.inilah wajh
istidlalnya.
Kalau ente gak percaya penafsiran
imam azzarqoni itu urusan ente sama otak ente.
Soal riwayat itu mursal ya memang
namun kalau dikatakan tidak shohih sanadnya maka perlu dirinci karena sanad itu
shohih sampai tabi’in.jadi itu mursal shohih.
Dalam lafadz yg lain
حَدَّثَنَا أَبُو مُصْعَبٍ،
قَالَ: حَدَّثَنَا مَالِكٌ، عَنْ صَفْوَانَ بْنِ سُلَيْمٍ، قَالَ مَالِك: لا
أَدْرِي أَيَرْفَعُهُ عَنِ النَّبِيِّ أَمْ لا، إِلا أَنَّهُ قَالَ: " مَنْ
تَرَكَ الْجُمُعَةَ مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ وَلَا عِلَّةٍ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ مِنْ
غَيْرِ عُذْرٍ وَلَا عِلَّةٍ طَبَعَ اللَّهُ عَلَى قَلْبِهِ
Jadi tidak serta merta tidak bisa
dijadikan hujjah.yg tidak diketahui oleh imam malik adalah itu marfu’ atau
tidak.adapun perkataan itu ditetapkan imam malik sebagai perkataan tabi’in.
Pendapat ini masyhur dalam madzhab Malik, Abu Hanifah, dan
salah satu dari dua pendapat Imam Ahmad bahwa hadits mursal adalah shahih dan
dapat dijadikan sebagai hujjah, terlebih lagi jika si tabi’in tidak
meriwayatkan hadits kecuali dari orang-orang yang tsiqah dan dapat dipercaya.
Imam Syafi’I dan ulama lainnya berpendapat bahwa Hadits mursal bisa diterima
dengan memenuhi syarat.Syarat yang harus dipenuhi ada empat. Tiga syarat
berkaitan dengan perowi dan satu syarat berkaitan dengan hadits mursalnya. Syarat
yang dimaksud adalah sebagai berikut.- Yang meriwayatkan hadits mursal adalah tabi’in senior (bukan junior).
- Tabi’in tersebut dikatakan tsiqoh oleh orang yang meriwayatkannya.
- Didukung oleh pakar hadits terpercaya lainnya yang tidak menyelisihinya.
- Hadits mursal tersebut didukung oleh salah satu dari: (1) hadits musnad, (2) hadits mursal lain, (3) bersesuaian dengan perkataan sahabat, atau (4) fatwa mayoritas ulama.
قال
بن عبد البر هذا الحديث يسند من وجوه عن النبي صلى الله عليه و سلم
Berkata imam ibn abdil bar : hadits
ini memiliki berbagai sanad dari nabi (tanwirul hawalik 1/102)
Begitupula imam azzarqoni :
وقال الزرقاني في شرح
الموطأ (1/332) قال أبو عمر : هذا يسند من وجوه
dalam kitabnya Al Manhal Al ‘Adzb Al Maurud Syarh Sunan Abi Dawud :
لم يعرف الواسطة بينه وبين النبي صلى الله تعالى عليه وعلى اله وسلم،
وجهالة الصحابة لا تضر
“Tidak diketahui siapakah shahabat yang menjadi perantara antara dia dengan Nabi, namun ketidaktahuan dalam hal [siapa] shahabat ini tidaklah membahayakan (Al Manhal Al ‘Adzb Al Maurud Syarh Sunan Abi Dawud, Juz 10 hlm. 81).
Menurut Syeikh Mahmud Thahhan, hadits yang aslinya dhaif dapat meningkat derajatnya menjadi hasan li ghairihi jika memenuhi 2 (dua) syarat; Pertama, ada jalur periwayatan lain dengan derajat yang sama atau lebih kuat. Kedua, penyebab dhaifnya bukan karena kefasikan periwayat dan kedustaan perawi, melainkan karena sebab-sebab lain, yaitu buruknya hapalan, atau terputusnya sanad, atau ketidaktahuan (al jahaalah) mengenai siapa yang menjadi periwayat-periwayat suatu hadits. (Mahmud Thahhan, Taisir Mustholah Al Hadits, hlm. 52-53).
Dalam ilmu mushthalah hadits
disebutkan:
الثالث:
إذا روي الحديث من وجوه ضعيفة لا يلزم أن يحصل من مجموعها حسن، بل إذا كان ضعفه
لإرسال أو تدليس أو جهالة رجال زال بمجيئه من وجه آخر، وصار الحديث حسنا بذلك وكان
دون الحسن لذاته.
“Apabila suatu hadits diriwayatkan
dari beberapa jalur yang lemah, maka tidak memastikan dari kesemuanya akan
disimpulkan sebagai hadits hasan. Akan tetapi apabila kelemahannya karena
faktor mursal, tadlis atau perawi-perawinya yang majhul, maka akan hilang
kelemahannya sebab datang dari jalur lain, dan hadits menjadi hasan sebab itu,
tetapi di bawahnya hasan lidzatihi.” (Al-Imam al-Nawawi, al-Taqrib wa
al-Taisir, bersama Tadrib al-Rawi oleh al-Suyuthi, hal. 110-111, cet Dar
el-Fikr, 2006, dengan disederhanakan).
Dan masih banyak riwayat para imam
yg jelas kehebatannya membedakan hal itu.
وَرَوَى
ابْنُ حَبِيبٍ عَنْ مَالِكٍ مَنْ تَرَكَهُ مِنْ
غَيْرِ عُذْرٍ وَلَا عِلَّةٍ لَمْ تَجُزْ إمَامَتُهُ
وَلَا شَهَادَتُهُ
Dan ibnu habib meriwayatkan dari
malik barangsiapa meninggalkan khitan tanpa udzur dan ‘illah tidak boleh
imamahnya dan persaksiannya.(al muntaqo syarh al muwatto’ 4/321)
SYUBHAT : Berikut kami bawakan contoh lain
pendapat yang membolehkan shalat jamak tanpa udzur sebagaimana dinukil Ibnu
Rusyid
وأما الجمع في الحضر لغير عذر فإن مالكا وأكثر الفقهاء لا يجيزونه. وأجاز ذلك جماعة من أهل الظاهر وأشهب من أصحاب مالك.
Adapun shalat jamak ketika mukim tanpa adanya
udzur maka sesungguhnya Malik dan banyak fuqaha tidak membolehkannya. Dan telah
membolehkannya jamaah dari ahlu zhahir dan Asyhab dari sahabat Maalik
[Bidaayatul Mujtahid Ibnu Rusyid 1/398]
Intinya adalah wahai jahil apa gunanya klaim
Ijma’ jika ternyata sebagian ulama menyelisihinya.
JAWAB : he..itu hanyalah pendapat lemah dari kaum
dhohiri dan asyhab dari pengikut imam malik.sedangkan imam malik sendiri dan
kebanyakan ulama’ melarangnya.itu jelas terlihat dari sebab perbedaan mereka :
وسبب
اختلافهم اختلافهم في مفهوم حديث ابن عباس فمنهم من تأوله على أنه كان في مطر كما
قال مالك. ومنهم من أخذ بعمومه مطلقا. وقد خرج مسلم زيادة في حديثه وهو قوله عليه
الصلاة والسلام: "في غير خوف ولا سفر ولا مطر" وبهذا تمسك أهل الظاهر
Sebab
perbedaan mereka adalah perbedaan pada pemahaman hadits ibnu abbas dan sebagian
mereka mentakwilnya saat hujan seperti kata imam malik.sebagian mereka
mengambil umumnya lafad yg muthlaq.dan sungguh imam muslim telah meriwayatkan
tambahan dalam haditsnya yaitu perkataan nabi : dalam keadaan tidak takut dan
tidak safar dan tidak hujan.dan dg inilah ahlu dzhohir berpegangan.
Sekarang
carikan dalam shohih muslim dg redaksi seperti itu !!!
وَاعْلَمْ أَنَّهُ لَمْ يَقَعْ
مَجْمُوعًا بِالثَّلَاثَةِ فِي شَيْءٍ مِنْ كُتُبِ الْحَدِيثِ بَلْ الْمَشْهُورُ
مِنْ غَيْرِ خَوْفٍ وَلَا سَفَرٍ
“Ketahuilah
bahwasannya ketiganya (ketakutan, safar, dan hujan) tidak pernah dikumpulkan
semuanya dalam kitab-kitab hadits. Namun yang masyhur adalah lafadh : ‘bukan
karena ketakutan maupun hujan’” [Tuhfatul-Ahwadziy, 1/215].
Jadi
sumber perbedaan itu lemah.
Muhammad ibn Jarir al-Thabari, Abu Bakar al-Razi, Abu Husein Khayyat
dari Mu’tazilah dan Ahmad ibn Hanbal dalam salah satu riwayat berpendapat bahwa
mengikuti mujtahid yg sudah dapat menghasilkan ijma’, meskipun ada beberapa
mujtahid yang menolaknya. Imam al-Amidi meriwayatkan, ulama telah bersepakat dalam hal itu dan tidak perlu dihiraukan pendapat lain yang menyelisihinya. [ Masadirul-Istidalal 'ala Masa`il-I’tiqâd, hlm. 55-56.]
Jadi tidak bisa ijma’ dibatalkan oleh segelintih orang apalagi
dhohiri.apalagi itu sudah dibantah oleh ulama malikiyyah kontemporer syeikh sa’id
al kamali
https://www.youtube.com/watch?v=zKBC1ql5u7U
SYUBHAT
: Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dalam Al Mushannaf 3/449 [juz dan halaman ini
berbeda dengan yang dinukil si jahil tersebut mungkin karena berbeda cetakan
kitab yang dirujuk] kedua riwayat berikut
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ قَالَ حَدَّثَنَا
أَبُو هِلَالٍ عَنْ حَنْظَلَةَ السَّدُوسِيِّ عَنْ أَبِي مُوسَى قَالَ الْجَمْعُ
بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ مِنَ الْكَبَائِرِ
Telah
menceritakan kepada kami Waaki’ yang berkata telah menceritakan kepad akami Abu
Hilaal dari Hanzhalah As Saduusiy dari Abu Muusa yang berkata “menjamak dua
shalat tanpa udzur termasuk dosa besar” [Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 3/449 no
8336]
Riwayat
Ibnu Abi Syaibah di atas sanadnya dhaif karena Hanzhalah As Saduusiy, ia
seorang yang dhaif [Taqriib At Tahdziib 1/250]. Adapun riwayat Umar dalam kitab
Al Mushannaf adalah sebagai berikut
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ قَالَ
حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ هِشَامِ بْنِ حَسَّانَ عَنْ رَجُلٍ عَنْ أَبِي
الْعَالِيَةِ عَنْ عُمَرَ قَالَ الْجَمْعُ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ مِنْ
غَيْرِ عُذْرٍ مِنَ الْكَبَائِرِ
Telah
menceritakan kepada kami Wakii’ yang berkata telah menceritakan kepada kami
Sufyaan dari Hisyaam bin Hassaan dari seorang laki-laki dari Abu ‘Aaliyah dari
Umar yang berkata menjamak dua shalat tanpa udzur termasuk dosa besar [Al
Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 3/449 no 8337]
Riwayat
Ibnu Abi Syaibah di atas dhaif karena dalam sanadnya terdapat perawi mubham.
Kami mencantumkan riwayat lengkap beserta sanadnya sekedar untuk menunjukkan
kepada pembaca betapa jahilnya si Toyib ini dalam berhujjah. Orang ini memang
suka sembarangan comot sana comot sini dan berdalil sesuka hatinya tanpa
memperhatikan kaidah ilmu. Sudah selayaknya jika ingin berhujjah maka telitilah
terlebih dahulu riwayat yang akan dijadikan hujjah, berhujjahlah dengan riwayat
yang memiliki sanad shahih atau hasan. Kalau memang riwayat tersebut sanadnya
dhaif maka seharusnya dibawakan syahid atau penguat dari riwayat lain yang
sanadnya baik.
Seandainyapun
riwayat tersebut shahih [sebagaimana ditemukan ada riwayat lain dari Umar
dengan sanad shahih] maka tetap saja hal itu tidak menjadi hujjah. Mengapa?
Karena terbukti dalam hadis shahih bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi
wasallam] pernah melakukan shalat jamak tanpa adanya udzur. Fenomena seperti
ini bukan pertama kalinya. Umar bin Khaththab [radiallahu ‘anhu] juga pernah
melarang haji tamattu dan akan menghukum siapa yang melakukannya padahal
terbukti dalam hadis shahih bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]
membolehkannya sampai hari kiamat. Intinya ijtihad sahabat Umar bisa saja
keliru dan tidak bisa dijadikan hujjah jika bertentangan dengan sunnah yang
shahih.
JAWAB
: karena itu sudah ma’ruf maka ana kira gak perlu tidak ditampilkan syahidnya.tapi
kalau ente butuh maka lihatlah !
Ibnu
hajar berkata dalam fathul bari 12/183 :
وأخرج
الطبري عنه بسند صحيح الاضرار في الوصية من الكبائر وعنه
الجمع بين الصلاتين من غير عذر رفعه وله شاهد أخرجه بن أبي حاتم عن عمر قوله
Ibnu
rojab pun mencantumkan hadits itu dalam fathul barinya 2/89
Imam
ibnu rojab berkata dalam fathul barinya 3/24:
وقد استدل الإمام أحمد بأمر
النبي ( بالصلاة في الوقت عند تأخير الإمراء على أن الجمع بين الصلاتين لغير عذر
غير جائز .
Dan
sungguh telah berdalil imam ahmad dg perintah nabi agar sholat pada waktunya
saat munculnya para pemimpin yg mengakhirkan sholat bahwa menjama’ tanpa udzur
tidak boleh
Ini
syahidnya imam baihaqi meriwayatkan :
أَخْبَرَنَاهُ أَبُو الْحَسَنِ مُحَمَّدُ بْنُ الْحُسَيْنِ الْعَلَوِيُّ،
أنبأ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ الْحَسَنِ الرَّمْجَارِيُّ، ثنا عَبْدُ
الرَّحْمَنِ بْنُ بِشْرٍ، ثنا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ صُبَيْحٍ،
قَالَ: حَدَّثَنِي حُمَيْدُ بْنُ هِلالٍ، عَنْ أَبِي قَتَادَةَ يَعْنِي
الْعَدَوِيَّ، أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَتَبَ إِلَى
عَامِلٍ لَهُ " ثَلاثٌ مِنَ الْكَبَائِرِ: الْجَمْعُ بَيْنَ الصَّلاتَيْنِ
إِلا فِي عُذْرٍ، وَالْفِرَارُ مِنَ الزَّحْفِ، وَالنَّهْبِيُ "
Telah
mengkhabarkan kepada kami Abul-Hasan Muhammad bin Al-Husain Al-‘Alawiy : Telah
memberitakan ‘Abdullah bin Muhammad bin Al-Hasan Ar-Ramjaariy : Telah
menceritakan kepada kami ‘Abdurrahmaan bin Bisyr : Telah menceritakan kepada
kami Yahyaa bin Sa’iid, dari Yahyaa bin Shubaih, ia berkata : Telah
menceritakan kepadaku Humaid bin Hilaal, dari Abu Qataadah Al-‘Adawiy :
Bahwasannya ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu pernah menulis
surat untuk pegawainya : “Tiga hal termasuk dosa besar : menjamak shalat tanpa
‘udzur, melarikan diri dari medan perang, dan khianat dalam rampasan
perang” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy 3/169;imam ibnu katsir menyatakan dalam
tafsirnya 1/485: sanadnya shahih].
Soal shohabat
umar melarang tamattu.adakah rosul mewajibkannya? kalau sekedar melarang yg
hukumnya sunnah apalagi dg alasan yg jelas apakah pantas dia disudutkan? apalagi
sahabat lainpun ada yg menyepakatinya.
Shohih muslim hadis no. 2153.
أَخْبَرَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى وَمُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ وَاللَّفْظُ لَهُ قَالَا
حَدَّثَنَا مُحَمَّدٌ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ الْحَكَمِ عَنْ عُمَارَةَ
بْنِ عُمَيْرٍ عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ أَبِي مُوسَى عَنْ أَبِي مُوسَى
أَنَّهُ كَانَ يُفْتِي بِالْمُتْعَةِ فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ رُوَيْدَكَ بِبَعْضِ فُتْيَاكَ فَإِنَّكَ لَا تَدْرِي مَا أَحْدَثَ أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ فِي النُّسُكِ بَعْدُ حَتَّى لَقِيتُهُ فَسَأَلْتُهُ فَقَالَ عُمَرُ قَدْ عَلِمْتُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ فَعَلَهُ وَلَكِنْ كَرِهْتُ أَنْ يَظَلُّوا مُعَرِّسِينَ بِهِنَّ فِي الْأَرَاكِ ثُمَّ يَرُوحُوا بِالْحَجِّ تَقْطُرُ رُءُوسُهُمْ
أَنَّهُ كَانَ يُفْتِي بِالْمُتْعَةِ فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ رُوَيْدَكَ بِبَعْضِ فُتْيَاكَ فَإِنَّكَ لَا تَدْرِي مَا أَحْدَثَ أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ فِي النُّسُكِ بَعْدُ حَتَّى لَقِيتُهُ فَسَأَلْتُهُ فَقَالَ عُمَرُ قَدْ عَلِمْتُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ فَعَلَهُ وَلَكِنْ كَرِهْتُ أَنْ يَظَلُّوا مُعَرِّسِينَ بِهِنَّ فِي الْأَرَاكِ ثُمَّ يَرُوحُوا بِالْحَجِّ تَقْطُرُ رُءُوسُهُمْ
"Telah mengabarkan kepada kami
Muhammad bin Al Mutsanna dan Muhammad bin Basysyar lafazhnya adalah lafazh
Muhammad bin Basysyar, mereka berkata; telah menceritakan kepada kami Muhammad,
ia berkata; telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari Al Hakam dari 'Umarah
bin 'Umair dari Ibrahim bin Abi Musa dari Abi Musa bahwa ia berfatwa untuk
melakukan haji tamattu', kemudian terdapat seseorang yang berkata kepadanya;
berhati-hatilah dengan sebagian fatwamu. Engkau tidak mengetahui apa yang
dilakukan Amirul Mukminin dalam bermanasik. Hingga saya berjumpa dengannya
kemudian bertanya kepadanya, lalu Umar berkata; sungguh saya telah mengetahui
bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam telah melakukannya, akan tetapi saya
tidak ingin mereka bermesraan dengan isteri mereka di pohon Arok, kemudian
mereka pergi untuk melakukan haji dalam keadaan kepala mereka bercucuran
keringat."
Intinya
berkacalah sebelum melabrak shohabat umar yg dijamin syurga !!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar