Terdapat sebuah hadits shahih tentang doa berbuka puasa, yang diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ذَهَبَ الظَّمَأُ، وابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ، وثَبَتَ اْلأَجْرُ إِنْ شَاءَاللهُ
“Dzahabazh zhoma’u wabtallatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insya Allah-ed.”
[Telah hilanglah dahaga, telah basahlah kerongkongan, semoga ada pahala yang ditetapkan, jika Allah menghendaki](Hadits shahih, Riwayat Abu Daud [2/306, no. 2357] dan selainnya; lihat Shahih al-Jami’: 4/209, no. 4678) [7]
Periwayat hadits adalah Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma. Pada
awal hadits terdapat redaksi, “Abdullah bin Umar berkata, ‘Jika
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbuka puasa, beliau
mengucapkan ….‘”
Yang dimaksud dengan إذا أفطر adalah setelah makan
atau minum yang menandakan bahwa orang yang berpuasa tersebut telah
“membatalkan” puasanya (berbuka puasa, pen) pada waktunya (waktu
berbuka, pen). Oleh karena itu doa ini tidak dibaca sebelum makan atau
minum saat berbuka. Sebelum makan tetap membaca basmalah, ucapan
“bismillah” sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى فَإِنْ
نَسِىَ أَنْ يَذْكُرَ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى فِى أَوَّلِهِ فَلْيَقُلْ
بِسْمِ اللَّهِ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ
“Apabila salah seorang di antara
kalian makan, maka hendaknya ia menyebut nama Allah Ta’ala. Jika ia lupa
untuk menyebut nama Allah Ta’ala di awal, hendaklah ia mengucapkan:
“Bismillaahi awwalahu wa aakhirohu (dengan nama Allah pada awal dan
akhirnya)”. (HR. Abu Daud no. 3767 dan At Tirmidzi no. 1858. At Tirmidzi
mengatakan hadits tersebut hasan shahih. Syaikh Al Albani mengatakan
bahwa hadits tersebut shahih)
قال مالك: لا، والله حتى يصيب الحق، ما الحق إلا واحد، قولان مختلفان يكونان صوابًا جميعًا؟ ما الحق والصواب إلا واحد. Imam Malik berkata “Tidak,demi Allah, hingga ia mengambil yang benar. Kebenaran itu hanya satu. Dua pendapat yang berbeda tidak mungkin keduanya benar, sekali lagi kebenaran itu hanya satu
Senin, 15 Juli 2013
Minggu, 14 Juli 2013
BUKA PUASA DENGAN MAKANAN/MINUMAN MANIS MERUSAK KESEHATAN
Sudah tidak usah di sangkal lagi. Kalimat “ Awali berbuka dengan yang manis “ menjadi jargon yang sangat terkenal setiap bulan ramadhan utamanya saat adzan magrib telah berkumandang waktu Indonesia setempat. Jargon itupun seakan menjadi kewajiban sehingga benar-benar kita ikuti. Pokoknya saat berbuka, kalau tidak minum teh manis, kolak, atau sirup belum afdhol rasanya. Namun tak di sangka tak di duga, kebiasaan ini justru salah kaprah. Tepatnya salah dimaknai oleh kita yang belum pinter tentang ilmu kesehatan. Loh kok gitu? Bukannya baik makan dan minum manis ketika pertama kali berbuka? Karena itu segera akan mengembalikan tenaga kita seperti semula. Alih-alih mengembalikan tenaga kita, justru itu akan membuat kita lemas. Letih dan ngantuk . Bahkan tak jarang setelah berbuka malah lemas, akhirnya absen deh sholat tarawih. Atau kalau tidak sholat terawihnya tak akan khusyuk akibat mata berat dan mulut jadi hobi menguap. Hayoo…ngacung yang pernah begitu…? Yang merasa saja, ya….? Jalan ceritanya seperti ini. Ketika kita berbuka dan mengawali dengan meneguk minuman yang (terlalu) manis seperti teh manis, sirup kadang ditambah kolak, akan terjadi peningkatan kadar gula darah yang sangat drastis. Apalagi kalau ditambah makan besar. Akibatnya tubuh akan kaget dan tidak siap dengan situasi demikian. Tahu sendirilah selama kurang lebih 14 jam tubuh sama sekali tidak kemasukan sumber tenaga sedikitpun. Akibat terjadinya hyperglikemi, tubuh akan terasa lemas, dan mengantuk. Yang lebih mengkhawatirkan lagi dalam jangka panjang kebiasaan ini akan mengganggu sistem metabolisme glukosa sehingga rentan terhadap penyakit diabetes militus, obesitas, hypertensi dan lain-lain. Tapi bukannya kita perlu yang manis-manis untuk mengembalikan tenaga kita selama berpuasa? Itu memang betul. Tapi bukan dengan berlebihan manisnya, kan? Apakah setelah berbuka kita mau lari-lari, bulutangkis atau futsal sehingga perlu segera mengganti energi yang hilang setelah berpuasa? Tentu tidak bukan? Jadi yang ringan-ringan sajalah… Seperti minum air atau makan buah rendah gula. Oya buahnya tidak usah pakai sirup, ya…anda sudah cukup manis kok ^_^…Insya Allah pulih tenaganya. Kalau begitu bagaimana halnya dengan nabi yang berbuka dengan kurma, kurma itu kan manis, jadi salah dong? semangka-melon-buah-sehat-berb
KENAPA PUASA TAMBAH GEMUK
Inilah sebabnya, banyak sekali orang di bulan puasa yang justru
lemaknya bertambah di daerah-daerah penimbunan lemak: perut, pinggang,
bokong, paha, belakang lengan, pipi, dan sebagainya. Itu karena langsung
membanjiri tubuh dengan insulin, melalui makan yang manis-manis,
sehingga tubuh menimbun lemak, padahal otot sedang mengecil karena
puasa.Pantas saja kalau badan kita di
bulan Ramadhan malah makin terlihat seperti ‘buah pir’, penuh lemak di
daerah pinggang. Karena pendapat umum masyarakat yang mengira bahwa
berbuka dengan yang manis-manis adalah ’sunnah’, maka puasa bukannya
malah menyehatkan kita. Banyak orang di bulan puasa justru menjadi
lemas, mengantuk, atau justru tambah gemuk karena kebanyakan gula.
Karena salah memahami hadits di atas, maka efeknya ‘rajin puasa = rajin
berbuka dengan gula.’
HADITS PALING LARIS MENYAMBUT RAMADHAN DI KALANGAN AHLI BID'AH
مَنْ فَرِحَ بِدُخُوْلِ رَمَضَانَ حَرَّمَ اللهُ جَسَدَهُ عَلَى النِّيْرَانِ
“Barangsiapa yang bergembira dengan kedatangan bulan Ramadhan niscaya Allah mengharamkan jasadnya dari neraka” [Disebutkan dlm Kitab Durratun Nashihin tanpa sanad]
Hadits Laa Ashlalahu /tidak ada asal-usulnya (Lebih parah dari hadits palsu).
HADITS PALING POPULER DI KALANGAN AHLI BID'AH YANG SOK ILMIAH
صوموا تصحوا
“Berpuasalah, kalian akan sehat.” [HR. Abu Nu’aim]
Hadits Lemah[1].
nb: jika memang terdapat penelitian ilmiah dari para ahli medis bahwa puasa itu dapat menyehatkan tubuh, makna dari hadits dhaif ini benar, namun tetap tidak boleh dianggap sebagai sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam.
[1]Sebagaimana dikatakan oleh Al Hafidz Al Iraqi di Takhrijul Ihya (3/108), juga Al Albani di Silsilah Adh Dha’ifah (253). Bahkan Ash Shaghani agak berlebihan mengatakan hadits ini maudhu (palsu) dalamMaudhu’at Ash Shaghani (51)
HADITS POPULER DI KALANGAN AHLI BID'AH YANG PEMALAS
نَوْمُ الصَّائِمِ عِبَادَةٌ ، وَصُمْتُهُ تَسْبِيْحٌ ، وَدُعَاؤُهُ مُسْتَجَابٌ ، وَعَمَلُهُ مُضَاعَفٌ
“Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah, diamnya adalah tasbih, do’anya dikabulkan, dan amalannya pun akan dilipatgandakan pahalanya.” [HR. Al Baihaqi dlm Syu’abul Iman (3/1437)]
Hadits Lemah sebagaimana dikatakan Al Hafidz Al Iraqi dalam Takhrijul Ihya (1/310). Al Albani juga mendhaifkan hadits ini dalam Silsilah Adh Dha’ifah (4696)
إسناد ضعيف فيه معروف بن حسان السمرقندي وهو مجهول
SANADNYA LEMAH KARENA ADA PERAWI MA'RUF BIN HASSAN DIA MAJHUL
SPRINGBED ITU NAMANYA KHOTBAH JUM'AT
Siapa yang suka tidur waktu khotbah jumat? Ayo ngacung! Loh kok semua ngacung?
Hening, diam, sesekali terdengar suara berdehem kalau tidak gitu, batuk. Yang rutin adalah suara deritan kipas angin tua yang tak henti berputar-pusar, mengembuskan semilir angin lembut mengenai seluruh jamaah. kadang suara deritan itu lebih kentara terdengar daripada suara ceramah khotib. Sesekali jamaah terhentak, kembali dari ketidaksadaaran, setelah beberapa saat terkantuk-kantuk, lalu mulai mendengarkan ceramah dan kembali tidur. Suara khotib serupa lagu nostalgia yang di setel tak terlalu keras di tengah siang yang panas. Itulah suasana sholat jumat di masjid lingkungan rumah saya tadi.
Tidak semua masjid memang. Boleh lah saya bilang rata-rata masjid di Indonesia bersuasana semacam ini. Jamaah jumat begitu sesak, namun aroma kantuk begitu terasa sesaat setelah khotib selesai menyampaikan mukadimah ceramah. Saya kadang berpikir jangan-jangan suara khotib sekarang semerdu suara bang haji Roma?
Memang waktu dzuhur selalu bertepatan dengan jam istirahat kantor. Energi tekor, tubuh lelah, perut lapar atau mungkin malah kekenyangan, biasa menjadi alibi kenapa rata-rata jamaah sholat jumat mengantuk. Lihat saja, ada seorang jama'ah menopangkan kedua bilah tangannya kedagu, kepala mulai terbenam ke bahu sehingga jika di lihat dari belakang seperti hantu tanpa kepala. Mula-mula orang mengira orang itu sedang berdzikir. Saat kepala tiba-tiba jatuh terantuk, orang-orang mulai faham bahwa ia sebenarnya sedang tidur siang.
Tapi sumpah orang itu bukan saya!
Saya yakin bukan dia saja yang mengantuk saat khotbah shalat jumat. Ada fulan -fulan yang lain yang hobbi tidur saat khotbah. Rasa-rasanya tidur di masjid saat seperti itu senyaman tidur di spring bed empuk buatan mancanegara.
Harusnya bukan begitu bukan? Karena mendengarkan ceramah sudah include satu paket dengan sholat jumat. Orang jawa bilang kalau sholat tidak pakai mendengarkan ceramah hanya dapat ndok tok (baca : telur saja), beda jika datang ke masjid saat khotib belum di atas mimbar lalu mendengarkan ceramah insya Allah dapat unto ( baca : Unta ) meski unta nya harus di impor dulu dari Hongkong eh Arab.
Lalu salah siapa coba? Khotib? ya ya ya... Saya rasa khotib punya andil besar dalam hal ini. Tapi saya lebih setuju dengan pertanyaan 'lalu solusinya apa?' Daripada pertanyaan tendinsius semacal 'lalu ini salah siapa?' saya Khawatir tak ada yang mau jadi khotib lagi karena di protes terus sama jamaah. Bagaimanapun peran mereka begitu besar. sebagai juru dakwah penyampai kebenaran. Lagian jelas mereka bukan umat biasa. mereka umat yang di beri kelebihan ilmu dan iman oleh Tuhan dan diberikan keahlian untuk bisa menyampaikannya.
Begini saja coba beri mereka masukan. 'Pak yai misalnya khotbahnya pakek bahasa Indonesia saja gimana, jangan pakek bahasa jawa gimana? Atau gini, Pak Yai, gimana kalau tema khutbahnya lebih aktual, lebih kekinian, lebih update, lebih kontemporer gitu. he he masuk akal mungkin ya...?
Soalnya saya sering tidak mudeng dengan khotib yang berceramah dengan bahasa jawa yang telampau halus itu. Walau saya orang jawa asli, namun perbedaan jaman yang membuat gap kosa kata saya dengan khotib sangat jauh. Masalah bahasa ini memang sering jadi penghalang jamaah untuk mengerti isi khotbah.Maklum saja masih banyak khotib yang menggunakan bahasa jawa halus sebagai bahasa pengantar khotbahnya.
Masalah berikutnya adalah tema. Rasa-rasanya khotib sudah sering mengulang tema yang sama dalam ceramahnya. Bagaimana tidak di ulang-ulang, la wong sekarang banyak khotib yang hanya berkhotbah dengan membaca teks saja. Teks itupun kadang bukan dibuat sendiri melainkan didapat dari buku yang banyak di jual dilapak-lapak pedagang buku. Alhasil terjadi kejenuhan pada jamaah sholat jumat atau bahasa alimnya kejumudan akan isi dari khotbah yg di sampikan oleh para khotib jumat. Seringkali rasa kantuk berawal dari rasa jenuh. coba saja kalau tidak percaya.
kalau sudah pakai bahasa familier dan tema menarik tentu saja masih ada yang perlu di tambahkan. tepatnya di kurangi ya... Durasi khotbah. Saya kira ceramah jumat di indonesia terasa terlalu panjang. Tidak usah membuka khotbah panjang lebar, tidak usah cerita terlalu detail, sampaikan secara efisien, lalu tutup. Saya kira itu lebih efektif dari pada panjang tapi tidur. Oh ya...Dengar-dengar di negeri arab sana khotbah jumat tak pernah sampai melebihi lima belas menit lo...
Kalau sudah khotibnya baik. Insya allah jamaahnya ikut-ikutan baik. Tentu tak semuanya melek mendengarkan khotbah, minimal mengurangi kesempatan jamaah sholat tidur waktu khotbah. Yah...siapa sih yang menyangkal beratnya rasa kantuk saat menjalankan ibadah ini. Hari nya istimewa, ibadanya istimewa setannya pun harusnya juga istimewa. Termasuk godaannya yang lebih dari biasanya.Akan tetap ada jamaah yang bertopang dagu, atau terantuk-antuk kepalanya, bahkan nggeblak kebelakang. Ini murni salah setan yang lebih intens menggoda saat sholat jumat. Pantas sekali menyalahkan setan. karena setan memang patut disalahkan
Semoga dengan begitu hanya ada sholat jumat berjamaah bukan malah tidur jumat berjamaah.
JANGAN MENTANG-MENTANG BOLEH GAK PUASA YA !!!
Al-Mardawai berkata dalam kitab Al-Inshaf (7/348)
"Al-Qadhi berkata, diinkari terhadap siapa yang terang-terangan makan di siang bulan Ramadan, meskipun dia memiliki uzur. Dikatakan dalam Al-Furu, zahirnya dia dilarang secara mutlak. Ada yang berkata di hadapan Ibnu Aqil, wajib melarang musafir, orang sakit, wanita haid untuk berbuka secara terang-terangan agar dirinya tidak tertuduh." Ibnu Aqil berkata, "Jika dia memiliki uzur tersembunyi, maka dia dilarang memperlihatkannya, seperti sakit yang tidak ada tandanya atau musafir yang tidak ada bekasnya."
"Al-Qadhi berkata, diinkari terhadap siapa yang terang-terangan makan di siang bulan Ramadan, meskipun dia memiliki uzur. Dikatakan dalam Al-Furu, zahirnya dia dilarang secara mutlak. Ada yang berkata di hadapan Ibnu Aqil, wajib melarang musafir, orang sakit, wanita haid untuk berbuka secara terang-terangan agar dirinya tidak tertuduh." Ibnu Aqil berkata, "Jika dia memiliki uzur tersembunyi, maka dia dilarang memperlihatkannya, seperti sakit yang tidak ada tandanya atau musafir yang tidak ada bekasnya."
OBAT PENCEGAH HAID UNTUK PUASA HUKUM ASALNYA HARAM KECUALI DARURAT
Konsultan Ginekolog di Al-Amin Hospital di Taif, memperingatkan para wanita muda terhadap penggunaan obat tersebut. "Menggunakan tablet tersebut dapat mengakibatkan komplikasi kesehatan yang serius, termasuk kemungkinan untuk kemandulan," katanya. Sementara itu, Dr.Fatima Younis, internis di rumah sakit yang sama mengatakan, tablet ini akan menyebabkan komplikasi serius pada wanita dengan kekurangan hormon.
Dr Dalal Namnaqani, konsultan ahli patologi di Rumah Sakit Spesialis King Abdul Aziz di Taif, mengatakan, mengonsumsi obat ini harus di bawah pengawasan medis dan bahwa kuantitas seharusnya terbatas dan hanya untuk jangka waktu sementara. "Tidak mungkin tidak ada efek serius jika perempuan muda menggunakan hanya sekali," katanya (http://www.wartanews.com/
tidak dianjurkan bagi para wanita untuk menggunakan obat pencegah haid. Sekalipun untuk tujuan agar bisa beribadah bersama masyarakat. Karena sikap semacam ini kurang menunjukkan kepasrahan terhadap kodrat yang Allah tetapkan untuk para putri Adam.
Imam Ibnu Utsaimin pernah ditanya tentang hukum menggunakan obat pencegah haid agar bisa melakukan ibadah bersama kaum muslimin lainnya. Jawaban beliau,
لا نرى أنها تستعمل هذه الحبوب لتعينها على طاعة الله ؛ لأن الحيض الذي يخرج شيءٌ كتبه الله على بنات آدم
“Saya tidak menyarankan para wanita menggunakan obat semacam ini, untuk membantunya melakukan ketaatan kepada Allah. Karena darah haid yang keluar, merupakan sesuatu yang Allah tetapkan untuk para putri Adam.”
Kemudian beliau menyebutkan dalilnya,
وقد دخل النبي صلى الله عليه وسلم على عائشة وهي معه في حجة الوداع وقد أحرمت بالعمرة فأتاها الحيض قبل أن تصل إلى مكة فدخل عليها وهي تبكي ، فقال ما يبكيك فأخبرته أنها حاضت فقال لها إن هذا شيءٌ قد كتبه الله على بنات آدم ، …
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menemui A’isyah di kemahnya ketika haji wada’. Ketika itu, A’isyah telah melakukan ihram untuk umrah, namun tiba-tiba datang haid sebelum sampai ke Mekah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menemui A’isyah, sementara dia sedang menangis. Sang suami yang baik bertanya, “Apa yang menyebabkan kamu menangis?” A’isyah menjawab bahwa dia sedang sakit. Nabi menasehatkan, “Ini adalah keadaan yang telah Allah tetapkan untuk para putri Adam”
Selanjutnya Syaikh menasehatkan para wanita yang ingin beribadah, namun terhalang haid,
فإذا جاءها في العشر الأواخر فلتقنع بما قدر الله لها ولا تستعمل هذه الحبوب وقد بلغني ممن أثق به من الأطباء أن هذه الحبوب ضارة في الرحم وفي الدم وربما تكون سبباً لتشويه الجنين إذا حصل لها جنين فلذاك نرى تجنبها . وإذا حصل لها الحيض وتركت الصلاة والصيام فهذا ليس بيدها بل بقدر الله .
Karena itu, ketika masuk sepuluh terakhir blan ramadhan, hendaknya dia menerima kodrat yang Allah tetapkan untuknya, dan tidak mengkonsumsi obat pencegah haid. Ada informasi terpercaya dari dokter, bahwa obat semacam ini berbahaya bagi rahim dan peredaran darah. Bahkan bisa menjadi sebab, janin cacat, ketika di rahim ada janin. Karena itu, kami menyarankan agar ditinggalkan. Ketika terjadi haid, dia tinggalkan shalat dan puasa, keadaan semacam ini bukan karena kehendaknya, tapi karena taqdir Allah.
(Fatwa islam, no. 13738)
BANTAHAN WITIR 3 RAKAAT DIPISAH
Ini dalilnya cara shalat witir:
Di sini boleh dapat dilakukan dengan dua cara: [1] tiga raka’at, sekali salam, [2] mengerjakan dua raka’at terlebih dahulu kemudian salam, lalu ditambah satu raka’at kemudian salam.
Dalil cara pertama:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُصَلِّى فِى الْحُجْرَةِ وَأَنَا فِى الْبَيْتِ فَيَفْصِلُ بَيْنَ الشَّفْعِ وَالْوِتْرِ بِتَسْلِيمٍ يُسْمِعُنَاهُ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat di dalam kamar ketika saya berada di rumah dan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam memisah antara raka’at yang genap dengan yang witir (ganjil) dengan salam yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam perdengarkan kepada kami.” (HR. Ahmad 6/83. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih)
إسناد ضعيف لأن به موضع انقطاع بين عمر بن عبد العزيز الأموي وعائشة بنت أبي بكر الصديق ، وباقي رجاله ثقات وصدوقيين عدا زبان بن عبد العزيز الأموي وهو مقبول
SANADNYA LEMAH KARENA KETERPUTUSAN SANAD ANTARA UMAR BIN ABDUL AZIZ DAN AISYAH...SISA PERAWI YANG LAEN TERPERCAYA DAN JUJUR KECUALI ZABBAAN BIN ABDUL AZIZ DIA MAQBUL(DITERIMA)
DARI SEGI MATAN TIDAK JELAS KALAU ITU 3 RAKAAT.SEDANG DALIL YANG 3 RAKAAT SEKALIGUS SANGAT GAMBLANG
Dalil cara kedua:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُوتِرُ بِثَلاَثٍ لاَ يَقْعُدُ إِلاَّ فِى آخِرِهِنَّ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berwitir tiga raka’at sekaligus, beliau tidak duduk (tasyahud) kecuali pada raka’at terakhir.” (HR. Al Baihaqi)
إسناده حسن رجاله ثقات عدا شيبان بن أبي شيبة الحبطي وهو صدوق حسن الحديث
SANADNYA HASAN(BAIK)SEMUA PERAWI TERPERCAYA KECUALI SYAIBAN IBN ABI SYAIBAH DIA JUJUR HADITSNYA HASAN
Di sini boleh dapat dilakukan dengan dua cara: [1] tiga raka’at, sekali salam, [2] mengerjakan dua raka’at terlebih dahulu kemudian salam, lalu ditambah satu raka’at kemudian salam.
Dalil cara pertama:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُصَلِّى فِى الْحُجْرَةِ وَأَنَا فِى الْبَيْتِ فَيَفْصِلُ بَيْنَ الشَّفْعِ وَالْوِتْرِ بِتَسْلِيمٍ يُسْمِعُنَاهُ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat di dalam kamar ketika saya berada di rumah dan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam memisah antara raka’at yang genap dengan yang witir (ganjil) dengan salam yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam perdengarkan kepada kami.” (HR. Ahmad 6/83. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih)
إسناد ضعيف لأن به موضع انقطاع بين عمر بن عبد العزيز الأموي وعائشة بنت أبي بكر الصديق ، وباقي رجاله ثقات وصدوقيين عدا زبان بن عبد العزيز الأموي وهو مقبول
SANADNYA LEMAH KARENA KETERPUTUSAN SANAD ANTARA UMAR BIN ABDUL AZIZ DAN AISYAH...SISA PERAWI YANG LAEN TERPERCAYA DAN JUJUR KECUALI ZABBAAN BIN ABDUL AZIZ DIA MAQBUL(DITERIMA)
DARI SEGI MATAN TIDAK JELAS KALAU ITU 3 RAKAAT.SEDANG DALIL YANG 3 RAKAAT SEKALIGUS SANGAT GAMBLANG
Dalil cara kedua:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُوتِرُ بِثَلاَثٍ لاَ يَقْعُدُ إِلاَّ فِى آخِرِهِنَّ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berwitir tiga raka’at sekaligus, beliau tidak duduk (tasyahud) kecuali pada raka’at terakhir.” (HR. Al Baihaqi)
إسناده حسن رجاله ثقات عدا شيبان بن أبي شيبة الحبطي وهو صدوق حسن الحديث
SANADNYA HASAN(BAIK)SEMUA PERAWI TERPERCAYA KECUALI SYAIBAN IBN ABI SYAIBAH DIA JUJUR HADITSNYA HASAN
WITIR 3 RAKAAT TANPA DIPISAH
Tata Cara Shalat Witir 3 Rakaat
Shalat Witir adalah shalat sunat yang dikerjakan di malam hari dan jumlah raka'atnya ganjil. Jadi bisa saja shalat witir itu dikerjakan sebanyak satu raka'at, atau tiga, lima, dan seterusnya.
Shalat witir merupakan bagian dari qiyamul lail (shalat malam), karena qiyamul lail itu terdiri dari 2 macam shalat, yaitu tahajjud (yang kita kenal berjumlah 8 raka'at) dan witir (biasanya 3 raka'at).
Istilah qiyamul lail itu bila di bulan Ramadhan berganti menjadi shalat Tarawih. Maka itu shalat Tarawih juga terdiri dari 2 macam shalat sebagaimana sudah disebutkan di atas.
Yang menjadi permasalahan yang akan kita bahas adalah bagaimana cara mengerjakan witir bila 3 raka'at? Apakah dengan cara 2 kali salam (yakni 3 raka'at dipecah 2 raka'at kemudian salam dan 1 raka'at salam) atau dikerjakan cukup dgn satu kali salam?
Hadis Pertama
Aisyah radhiallahu ‘anha menerangkan tentang shalatnya Rasul di bulan Ramadhan,
“Rasul b tidak pernah shalat malam lebih dari 11 raka'at, baik di bulan Ramadhan maupun diluar Ramadhan, yaitu beliau shalat 4 raka'at, maka jangan engkau tanya tentang bagus dan lama shalatnya, kemudian beliau shalat 4 raka'at lagi, maka jangan engkau tanya tentang bagus dan lama shalatnya, kemudian beliau shalat witir 3 raka'at.” (Hr. Bukhori 2/47, Muslim 2/166)
Penjelasan:
1. Perkataan Aisyah, “beliau shalat 4 raka'at”, ini menunjukkan Nabi b melakukan 4 raka'at tersebut dengan sekali salam. Sisi pendalilannya ialah karena sesudah perkataan tersebut, Aisyah mengatakan: tsumma yang artinya kemudian.
2. Demikian juga perkataan Aisyah, “Tsumma/kemudian beliau shalat witir 3 raka'at”, ini berarti witir 3 raka'at itu dikerjakan dengan sekali salam. Jika yang dimaksud tidak demikian, sudah barang tentu Aisyah akan menerangkannya. Tentunya bagi yang mengerti bahasa, akan mudah menangkap dan memahami perkataan Aisyah di atas.
Hal ini makin jelas kalau kita perhatikan perkataan Aisyah bahwa nabi shalat 4 rakaat, itu menunjukkan bahwa nabi mengerjakannya dengan satu kali salam, tentunya witir 3 rakaat juga dengan sekali salam.
Hadis Kedua
Dari Abu Ayyub, ia berkata, telah bersabda Rasulullah, “Witir itu adalah haq, maka bagi yang mau witir dengan 5 raka'at maka kerjakanlah, dan bagi yang mau witir dengan 3 raka'at maka kerjakanlah, dan bagi yang mau witir dengan 1 raka'at maka kerjakanlah.” (Hr. Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah, dan Nasa’i)
Penjelasan:
1. Bahwa witir itu adalah haq, maksudnya ialah sesuatu yang tidak boleh diabaikan. Ini menunjukkan bahwa shalat witir itu sunnah muakkadah (sangat dianjurkan).
2. Boleh witir dengan 5, 3, atau 1 raka'at, yang dikerjakan dengan satu kali salam dan satu tahiyat.
Hadis Ketiga
Dari Ubay Bin Ka’ab, ia berkata:
“Sesungguhnya Nabi biasa membaca dalam shalat witir: Sabbihis marobbikal a’la (di raka'at pertama -red), kemudian di raka'at kedua: Qul yaa ayyuhal kaafiruun, dan pada raka'at ketiga: Qul huwallaahu ahad, dan beliau tidak salam kecuali di raka'at yang akhir.” (Hr. Nasa’i, Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah)
Penjelasan:
Perkataan Ubay Bin Ka’ab, “dan beliau tidak salam kecuali di raka'at yang akhir”, jelas ini menunjukkan bahwa tiga raka'at shalat witir yang dikerjakan nabi itu dengan satu kali salam.
Hadis Keempat
Dari Abu Hurairah, dari Nabi, beliau bersabda,
“Janganlah kamu witir dengan 3 raka’at, tetapi witirlah dengan 5 raka’at atau 7 raka’at, dan janganlah kamu menyamakannya dengan shalat Maghrib.” (Hr. Daruquthni)
Penjelasan:
1. Dari keempat hadis yang telah dibawakan di atas, dapat kita pahami bahwa nabi pernah witir dengan 3 raka'at, dan beliau juga memerintahkannya.
2. Sabda Nabi b, “Janganlah kamu witir dengan 3 raka’at”, maka maksud dari larangan ini telah dijelaskan sendiri oleh nabi pada bagian akhir hadis, yaitu: “janganlah kamu menyamakan-nya dengan shalat Maghrib”.
3. Tata cara pengerjaan witir yang 3 raka’at itu haruslah berbeda dgn tata cara shalat Maghrib.
Cara yang memungkinkan agar witir 3 raka’at itu berbeda dengan shalat Maghrib hanya bisa dilakukan dengan 2 cara, yaitu:
Pertama, Memecah witir 3 raka’at menjadi 2 kali salam (2 dan 1 raka’at);
Kedua, Tiga raka’at penuh dengan sekali salam dan tanpa tasyahud awal.
Namun demikian, tidaklah tepat membedakan witir dengan shalat Maghrib itu dengan cara memecah witir yang 3 raka'at menjadi 2 kali salam. Sebab pendapat ini tidak didukung dalil dari nabi, selain itu Hadis pertama hingga hadis keempat ini sangat tegas menunjukkan bahwa witir 3 raka'at dilakukan dengan hanya satu kali salam, dan inilah yang terbaik, sebab ini merupakan amalan Rasulullah b.
Adapun dalil yang dipakai oleh mereka yang membolehkan witir 3 rakaat dengan 2 kali salam, yaitu dengan hadis bahwa shalat malam itu dikerjakan dua rakaat dua rakaat (maksudnya setiap 2 rakaat salam, maka cara pendalilan ini tidak tepat lantaran dalilnya bersifat umum. Padahal dalil-dalil tentang shalat witir adalah sudah ada, jelas dan tegas semuanya dengan satu kali salam, yakni di rakaat terakhir, baik itu witir 1 rakaat, 3, 5, dan seterusnya. Dalam kasus ini, dalil umum harus ditinggalkan karena sudah ada dalil yang bersifat khusus.
Dengan demikian agar shalat witir itu berbeda dengan shalat Maghrib, maka witir 3 raka'at dilakukan satu kali salam dan tanpa tasyahud awal (dengan kata lain cukuplah dengan satu tasyahud di akhir raka’at saja), sebab shalat Maghrib dilakukan dengan 2 tasyahud.
Wallahu a’lam bishshowab.
[Disusun dengan rujukan: Al Masaa-il, Jilid 2, Ust. Abdul Hakim bin Amir Abdat; Bagaimana Tarawih dan I’tikaf Rasulullah b, Syaikh Albani]
SUJUD JANGAN KAYAK UNTA
Hadits Waail bin Hujr radliyallaahu ‘anhu.
عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ، قَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَجَدَ يَضَعُ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ، وَإِذَا نَهَضَ رَفَعَ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ
Dari Waail bin Hujr, ia berkata : “Aku pernah melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam apabila sujud, beliau meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya. Dan apabila bangkit dari sujud, beliau mengangkat kedua tangannya sebelum kedua lututnya”.
Hadits ini diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 268, Abu Daawud no. 838, Ibnu Maajah no. 882, An-Nasaa’iy dalam Ash-Shughraa no. 1089 & 234 dan dalam Al-Kubraa 1/344 no. 680 & 1/371 no. 744, Ad-Daarimiy no. 1359.
إسناده ضعيف لأن به موضع انقطاع بين عبد الجبار بن وائل الحضرمي ووائل بن حجر الحضرمي ، وباقي رجاله ثقات
SANADNYA LEMAH KARENA ADA KETERPUTUSAN SANAD ANTARA ABDUL JABAR IBN WAIL DAN WAIL IBN HUJR
Hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " إِذَا سَجَدَ أَحَدُكُمْ فَلَا يَبْرُكْ كَمَا يَبْرُكُ الْبَعِيرُ وَلْيَضَعْ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ "
Dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Apabila salah seorang di antara kalian sujud, maka janganlah ia menderum seperti menderumnya onta. Dan hendaklah ia meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya”.
Diriwayatkan oleh Ahmad 2/381, Al-Bukhaariy dalam Al-Kabiir 1/139, Abu Daawud no. 840, An-Nasaa’iy dalam Ash-Shughraa no. 1091 dan dalam Al-Kubraa[35] no. 682, Ad-Daarimiy no. 1360, Ad-Daaruquthniy 2/149 no. 1304,إسناده حسن رجاله ثقات عدا عبد العزيز بن محمد الدراوردي وهو صدوق حسن الحديث...SANADNYA HASAN(BAIK) PERAWINYA TERPERCAYA SELAIN ABDUL AZIZ IBN MUHAMMAD AD-DAROWARDI DIA JUJUR HADITSNYA HASAN
عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ، قَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَجَدَ يَضَعُ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ، وَإِذَا نَهَضَ رَفَعَ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ
Dari Waail bin Hujr, ia berkata : “Aku pernah melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam apabila sujud, beliau meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya. Dan apabila bangkit dari sujud, beliau mengangkat kedua tangannya sebelum kedua lututnya”.
Hadits ini diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 268, Abu Daawud no. 838, Ibnu Maajah no. 882, An-Nasaa’iy dalam Ash-Shughraa no. 1089 & 234 dan dalam Al-Kubraa 1/344 no. 680 & 1/371 no. 744, Ad-Daarimiy no. 1359.
إسناده ضعيف لأن به موضع انقطاع بين عبد الجبار بن وائل الحضرمي ووائل بن حجر الحضرمي ، وباقي رجاله ثقات
SANADNYA LEMAH KARENA ADA KETERPUTUSAN SANAD ANTARA ABDUL JABAR IBN WAIL DAN WAIL IBN HUJR
Hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " إِذَا سَجَدَ أَحَدُكُمْ فَلَا يَبْرُكْ كَمَا يَبْرُكُ الْبَعِيرُ وَلْيَضَعْ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ "
Dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Apabila salah seorang di antara kalian sujud, maka janganlah ia menderum seperti menderumnya onta. Dan hendaklah ia meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya”.
Diriwayatkan oleh Ahmad 2/381, Al-Bukhaariy dalam Al-Kabiir 1/139, Abu Daawud no. 840, An-Nasaa’iy dalam Ash-Shughraa no. 1091 dan dalam Al-Kubraa[35] no. 682, Ad-Daarimiy no. 1360, Ad-Daaruquthniy 2/149 no. 1304,إسناده حسن رجاله ثقات عدا عبد العزيز بن محمد الدراوردي وهو صدوق حسن الحديث...SANADNYA HASAN(BAIK) PERAWINYA TERPERCAYA SELAIN ABDUL AZIZ IBN MUHAMMAD AD-DAROWARDI DIA JUJUR HADITSNYA HASAN
APA MADZHAB IMAM SYAFI'I ???
Imam asy-Syafi'i rahimahullah (Wafat: 204H) menegaskan, “Tidak ada seorang pun melainkan ia wajib bermazhab dengan sunnah Rasulullah dan mengikutinya. Apa jua yang aku ucapkan atau tetapkan tentang sesuatu perkara (ushul), sedangkan ucapanku itu bertentangan dengan sunnah Rasulullah, maka yang diambil adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Dan demikianlah ucapanku (dengan mengikuti sabda Rasulullah).” (Disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam I’lam al-Muwaqq’in, 2/286)
PAK KUMIS NYUNNAH GAK SIH...
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
الفطرة خمس أو خمس من الفطرة الختان والاستحداد ونتف الإبط وتقليم الأظفار وقص الشارب
”Fithrah manusia ada lima hal – atau – lima hal termasuk fithrah manusia, yaitu : khitan, istihdaad (mencukur bulu kemaluan), mencabut bulu ketiak, memotong kuku, dan memotong kumis” [HR. Al-Bukhari no. 5889, Abu Dawud no. 4198, dan An-Nasa’i no. 9-11 dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu].
من الفطرة قص الشارب
“Termasuk fithrah adalah memotong kumis” [HR. Al-Bukhari no. 5888 dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma].
خالفوا المشركين وفروا اللحى وأحفوا الشوارب
”Selisilah oleh kalian orang-orang musyrik, lebatkanlah jenggot dan potonglah kumis” [HR. Al-Bukhari no. 5892 dan Muslim no. 259].
عن أنس قال وقت لنا في قص الشارب وتقليم الأظفار ونتف الإبط وحلق العانة أن لا نترك أكثر من أربعين ليلة
Dari Anas radliyallaahu ‘anhu ia berkata : “Kami diberi waktu dalam memotong kumis, memotong kuku, mencabut buku ketiak, dan mencukur bulu kemaluan agar kami tidak membiarkannya lebih dari 40 malam” [HR. Muslim no. 258, Abu Dawud no. 4200, An-Nasa’i no. 14, Abu ‘Awanah no. 354, dan yang lainnya].
Banyak hadits yang memerintahkan kita untuk memotong kumis sebagaimana tersebut di atas. Sebagian ikhwah muslimin melakukannya dengan mencukur habis kumis tersebut. Menurut sebagian ulama, mencukur habis kumis bukanlah hal yang diperintahkan dalam hadits. Akan tetapi, perintah memotong di sini adalah memotong kumis yang melebihi bibir. Tidak ada riwayat tentang perbuatan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dan para shahabat radliyallaahu ‘anhum mencukur habis kumis. Terkait dengan hal ini, mari kita perhatikan dua riwayat berikut :
عن شرحبيل بن مسلم الخولاني قال رأيت خمسة من أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم يقصون شواربهم ويعفون لحاهم ويصفرونها أبو أمامة الباهلي وعبد الله بن بسر وعتبة بن عبد السلمي والحجاج بن عامر الثمالي والمقدام بن معد يكرب الكندي كانوا يقصون شواربهم مع طرف الشفة
Dari Syarahbiil bin Muslim Al-Khaulaniy ia berkata : “Aku melihat lima orang dari kalangan shahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam yang memotong kumis mereka dan memelihara jenggot mereka dengan mewarnainya warna kuning. Mereka adalah : Abu Umamah Al-Bahiliy, ‘Abdullah bin Busr, ‘Utbah bin ‘Abd As-Sulamiy, Al-Hajjaj bin ‘Amir Ats-Tsamaliy, dan Al-Miqdam bin Ma’dikarib Ak-Kindiy. Mereka semua memotong kumis mereka hingga tepi bibir bagian atas” [HR. Al-Baihaqi 1/151 no. 698].
عن مالك بن أنس إحفاء بعض الناس شواربهم فقال مالك ينبغي أن يضرب من صنع ذلك فليس حديث النبي صلى الله عليه وسلم في الإحفاء ولكن يبدي حرف الشفتين والفم قال مالك بن أنس حلق الشارب بدعة ظهرت في الناس
Dari Malik bin Anas bahwa ia ditanya tentang perbuatan sebagian manusia yang memotong pendek/habis kumis mereka, maka beliau menjawab : ”Layak bagi orang yang melakukannya untuk dipukul. Tidaklah hadits Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam memerintahkan untuk memotong pendek/habis, akan tetapi ia hanya memotong yang lebih dari tepi dua bibir dan mulut”. Malik kemudian berkata : ”Mencukur habis kumis merupakan bid’ah yang berkembang di kalangan manusia” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi 1/151 no. 699].
Walaupun perbuatan mencukur kumis hingga habis ini tidak sampai pada derajat haram, namun sudah selayaknya hal ini menjadi perhatian....... [1]
Catatan kaki :
[1] Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai hal ini. Sebagian ulama membolehkan mencukur habis kumis sesuai dengan dhahir hadits, sebagian yang lain melarang/memakruhkan berdasarkan riwayat yang ternukil dari praktek shahabat atas perintah Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam.
الفطرة خمس أو خمس من الفطرة الختان والاستحداد ونتف الإبط وتقليم الأظفار وقص الشارب
”Fithrah manusia ada lima hal – atau – lima hal termasuk fithrah manusia, yaitu : khitan, istihdaad (mencukur bulu kemaluan), mencabut bulu ketiak, memotong kuku, dan memotong kumis” [HR. Al-Bukhari no. 5889, Abu Dawud no. 4198, dan An-Nasa’i no. 9-11 dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu].
من الفطرة قص الشارب
“Termasuk fithrah adalah memotong kumis” [HR. Al-Bukhari no. 5888 dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma].
خالفوا المشركين وفروا اللحى وأحفوا الشوارب
”Selisilah oleh kalian orang-orang musyrik, lebatkanlah jenggot dan potonglah kumis” [HR. Al-Bukhari no. 5892 dan Muslim no. 259].
عن أنس قال وقت لنا في قص الشارب وتقليم الأظفار ونتف الإبط وحلق العانة أن لا نترك أكثر من أربعين ليلة
Dari Anas radliyallaahu ‘anhu ia berkata : “Kami diberi waktu dalam memotong kumis, memotong kuku, mencabut buku ketiak, dan mencukur bulu kemaluan agar kami tidak membiarkannya lebih dari 40 malam” [HR. Muslim no. 258, Abu Dawud no. 4200, An-Nasa’i no. 14, Abu ‘Awanah no. 354, dan yang lainnya].
Banyak hadits yang memerintahkan kita untuk memotong kumis sebagaimana tersebut di atas. Sebagian ikhwah muslimin melakukannya dengan mencukur habis kumis tersebut. Menurut sebagian ulama, mencukur habis kumis bukanlah hal yang diperintahkan dalam hadits. Akan tetapi, perintah memotong di sini adalah memotong kumis yang melebihi bibir. Tidak ada riwayat tentang perbuatan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dan para shahabat radliyallaahu ‘anhum mencukur habis kumis. Terkait dengan hal ini, mari kita perhatikan dua riwayat berikut :
عن شرحبيل بن مسلم الخولاني قال رأيت خمسة من أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم يقصون شواربهم ويعفون لحاهم ويصفرونها أبو أمامة الباهلي وعبد الله بن بسر وعتبة بن عبد السلمي والحجاج بن عامر الثمالي والمقدام بن معد يكرب الكندي كانوا يقصون شواربهم مع طرف الشفة
Dari Syarahbiil bin Muslim Al-Khaulaniy ia berkata : “Aku melihat lima orang dari kalangan shahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam yang memotong kumis mereka dan memelihara jenggot mereka dengan mewarnainya warna kuning. Mereka adalah : Abu Umamah Al-Bahiliy, ‘Abdullah bin Busr, ‘Utbah bin ‘Abd As-Sulamiy, Al-Hajjaj bin ‘Amir Ats-Tsamaliy, dan Al-Miqdam bin Ma’dikarib Ak-Kindiy. Mereka semua memotong kumis mereka hingga tepi bibir bagian atas” [HR. Al-Baihaqi 1/151 no. 698].
عن مالك بن أنس إحفاء بعض الناس شواربهم فقال مالك ينبغي أن يضرب من صنع ذلك فليس حديث النبي صلى الله عليه وسلم في الإحفاء ولكن يبدي حرف الشفتين والفم قال مالك بن أنس حلق الشارب بدعة ظهرت في الناس
Dari Malik bin Anas bahwa ia ditanya tentang perbuatan sebagian manusia yang memotong pendek/habis kumis mereka, maka beliau menjawab : ”Layak bagi orang yang melakukannya untuk dipukul. Tidaklah hadits Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam memerintahkan untuk memotong pendek/habis, akan tetapi ia hanya memotong yang lebih dari tepi dua bibir dan mulut”. Malik kemudian berkata : ”Mencukur habis kumis merupakan bid’ah yang berkembang di kalangan manusia” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi 1/151 no. 699].
Walaupun perbuatan mencukur kumis hingga habis ini tidak sampai pada derajat haram, namun sudah selayaknya hal ini menjadi perhatian....... [1]
Catatan kaki :
[1] Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai hal ini. Sebagian ulama membolehkan mencukur habis kumis sesuai dengan dhahir hadits, sebagian yang lain melarang/memakruhkan berdasarkan riwayat yang ternukil dari praktek shahabat atas perintah Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam.
JIKA IMAM QUNUT SHUBUH
Jika seseorang bermakmum dibelakang imam yang membaca doa qunut pada
shalat shubuh, yang merupakan bid’ah, apakah ia ikut membaca doa bersama
imam? Ataukah diam saja? Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat
diantara para ulama.
Pendapat pertama, yaitu mengikuti imam membaca doa qunut, mengingat perintah untuk mengikuti imam. Sebagaimana pendapat Abu Yusuf Al Hanafi yang disebutkan dalam Fathul Qadiir (367/2):
وَقَالَ أَبُو يُوسُفَ رَحِمَهُ اللَّهُ يُتَابِعُهُ ) لِأَنَّهُ تَبَعٌ لِإِمَامِهِ ، وَالْقُنُوتُ مُجْتَهَدٌ فِيهِ
“Abu Yusuf rahimahullah berpendapat ikut membaca qunut. Karena hal tersebut termasuk kewajiban mengikuti imam. Sedangkan membaca qunut adalah ijtihad imam”
Dalam Syarhul Mumthi’ Syarh Zaadul Mustaqni’ (45/4) kitab fiqh mazhab Hambali, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menjelaskan:
وانظروا إلى الأئمة الذين يعرفون مقدار الاتفاق، فقد كان الإمام أحمدُ يرى أنَّ القُنُوتَ في صلاة الفجر بِدْعة، ويقول: إذا كنت خَلْفَ إمام يقنت فتابعه على قُنُوتِهِ، وأمِّنْ على دُعائه، كُلُّ ذلك مِن أجل اتِّحاد الكلمة، واتِّفاق القلوب، وعدم كراهة بعضنا لبعض
“Perhatikanlah para ulama yang sangat memahami pentingnya persatuan. Imam Ahmad berpendapat bahwa membaca qunut ketika shalat shubuh itu bid’ah. Namun ia berkata: ‘Jika seseorang shalat bermakmum pada imam yang membaca qunut maka hendaknya ia mengikuti dan mengamini doanya’. Ini dalam rangka persatuan, dan mengaitkan hati dan menghilangkan kebencian diantara kaum muslimin”
Pendapat kedua, diam dan tidak mengikuti imam ketika membaca doa qunut, karena tidak harus mengikuti imam dalam kebid’ahan. Dalam Fathul Qadiir (367/2), kitab Fiqih Mazhab Hanafi, dijelaskan:
فَإِنْ قَنَتَ الْإِمَامُ فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ يَسْكُتُ مَنْ خَلْفَهُ عِنْدَ أَبِي حَنِيفَةَ وَمُحَمَّدٍ رَحِمَهُمَا اللَّهُ .
“Jika imam membaca doa qunut dalam shalat shubuh, sikap makmum adalah diam. Ini menurut Imam Abu Hanifah dan Muhammad rahimahumallah“
Dalam Al Mubdi’ (238/2), kitab fiqih mazhab Hambali dikatakan:
وذكر أبو الحسين رواية فيمن صلى خلف من يقنت في الفجر أنه يسكت ولا يتابعه
“Abul Husain (Ishaq bin Rahawaih) membawakan riwayat tentang sahabat yang shalat dibelakang imam yang membaca qunut pada shalat shubuh dan ia diam“
YANG ROJIH(KUAT):HUKUM ASAL BID'AH JANGAN IKUT..KECUALI DARURAT ATAU TIMBUL FITNAH DAN IMAM MEMBACA DOA DENGAN BENAR..JANGAN SAMPE IKUT IMAM YANG QUNUT MENGUCAPKAN"ALLOHUMMAHDINI"UNT UK DIRI SENDIRI..SEHARUSNYA ALLOHUMMAHDINAA
Pendapat pertama, yaitu mengikuti imam membaca doa qunut, mengingat perintah untuk mengikuti imam. Sebagaimana pendapat Abu Yusuf Al Hanafi yang disebutkan dalam Fathul Qadiir (367/2):
وَقَالَ أَبُو يُوسُفَ رَحِمَهُ اللَّهُ يُتَابِعُهُ ) لِأَنَّهُ تَبَعٌ لِإِمَامِهِ ، وَالْقُنُوتُ مُجْتَهَدٌ فِيهِ
“Abu Yusuf rahimahullah berpendapat ikut membaca qunut. Karena hal tersebut termasuk kewajiban mengikuti imam. Sedangkan membaca qunut adalah ijtihad imam”
Dalam Syarhul Mumthi’ Syarh Zaadul Mustaqni’ (45/4) kitab fiqh mazhab Hambali, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menjelaskan:
وانظروا إلى الأئمة الذين يعرفون مقدار الاتفاق، فقد كان الإمام أحمدُ يرى أنَّ القُنُوتَ في صلاة الفجر بِدْعة، ويقول: إذا كنت خَلْفَ إمام يقنت فتابعه على قُنُوتِهِ، وأمِّنْ على دُعائه، كُلُّ ذلك مِن أجل اتِّحاد الكلمة، واتِّفاق القلوب، وعدم كراهة بعضنا لبعض
“Perhatikanlah para ulama yang sangat memahami pentingnya persatuan. Imam Ahmad berpendapat bahwa membaca qunut ketika shalat shubuh itu bid’ah. Namun ia berkata: ‘Jika seseorang shalat bermakmum pada imam yang membaca qunut maka hendaknya ia mengikuti dan mengamini doanya’. Ini dalam rangka persatuan, dan mengaitkan hati dan menghilangkan kebencian diantara kaum muslimin”
Pendapat kedua, diam dan tidak mengikuti imam ketika membaca doa qunut, karena tidak harus mengikuti imam dalam kebid’ahan. Dalam Fathul Qadiir (367/2), kitab Fiqih Mazhab Hanafi, dijelaskan:
فَإِنْ قَنَتَ الْإِمَامُ فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ يَسْكُتُ مَنْ خَلْفَهُ عِنْدَ أَبِي حَنِيفَةَ وَمُحَمَّدٍ رَحِمَهُمَا اللَّهُ .
“Jika imam membaca doa qunut dalam shalat shubuh, sikap makmum adalah diam. Ini menurut Imam Abu Hanifah dan Muhammad rahimahumallah“
Dalam Al Mubdi’ (238/2), kitab fiqih mazhab Hambali dikatakan:
وذكر أبو الحسين رواية فيمن صلى خلف من يقنت في الفجر أنه يسكت ولا يتابعه
“Abul Husain (Ishaq bin Rahawaih) membawakan riwayat tentang sahabat yang shalat dibelakang imam yang membaca qunut pada shalat shubuh dan ia diam“
YANG ROJIH(KUAT):HUKUM ASAL BID'AH JANGAN IKUT..KECUALI DARURAT ATAU TIMBUL FITNAH DAN IMAM MEMBACA DOA DENGAN BENAR..JANGAN SAMPE IKUT IMAM YANG QUNUT MENGUCAPKAN"ALLOHUMMAHDINI"UNT
BERSEDEKAP ALA MADZHAB SYAFI'I
Bersedekap Dua Tangan Di Atas Dada Ketika Qiyam Dalam Solat (Berdasarkan Mazhab Syafi'e)
Hadis/dalil:
Dari Wa’il B. Hujr (radhiyallahu 'anhu), beliau berkata:
صليت مع رسول الله صلى الله عليه واله وسلم فوضع يده اليمنى على يده اليسرى على صدره
Terjemahan: Aku telah bersolat bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, lalu beliau meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya di atas dada beliau. (Hadis Riwayat Ibnu Khuzaimah. Hadis ini digunakan oleh ulama Syafi'iyah sebagai hujjah dalam persoalan ini sebagaimana yang akan dibawakan di bawah)إسناده حسن رجاله ثقات عدا مؤمل بن إسماعيل العدوي وهو صدوق سيئ الحفظ....sanadnya hasan(baik)semua perawi terpercaya kecuali muammal ibn ismail dia jujur buruk hafalan
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَضَعُ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى يَدِهِ الْيُسْرَى ثُمَّ يَشُدُّ بَيْنَهُمَا عَلَى صَدْرِهِ وَهُوَ فِي الصَّلَاةِ
Terjemahan: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya, kemudian bersedekap merapikan kedua tangannya di atas dada ketika solat. (Hadis Riwayat Abu Daud, Sunan Abi Daud, 2/415. Rujuk penjelasan: al-Albani, Shohih Sunan Abi Daud, 3/344, no. 737. Dari Thawus) إسناده ضعيف لأن به موضع إرسال ، وباقي رجاله ثقات عدا سليمان بن موسى القرشي وهو صدوق حسن الحديث
sanadnya lemah karena ada irsal dari thawus,sisa perawi terpercaya selain sulaiman ibn musa dia jujur haditsnya hasan
Imam Muhammad B. Ismail ash-Shan’ani (rahimahullah) berkata:
والحديث دليل على مشروعية الوضع المذكور في الصلاة ومحله على الصدر كما أفاد هذا الحديث وقال النووي في المنهاج: ويجعل يديه تحت صدره قال في شرح النجم الوهاج: عبارة الأصحاب تحت صدره يريد والحديث بلفظ على صدره قال وكأنهم جعلوا التفاوت بينهما يسيرا وقد ذهب إلى مشروعيته زيد بن علي وأحمد بن عيسى وروى أحمد بن عيسى حديث وائل هذا في كتابه الأمالي وإليه ذهبت الشافعية والحنفية
Terjemahan: Dan hadis ini (Hadis Wa’il B. Hujr) adalah dalil yang menunjukkan disyari’atkan meletakkan tangan kanan di atas tapak tangan kiri bertepatan dengan apa yang digambarkan serta meletakkannya pada (di atas) dada sebagaimana dijelaskan oleh hadis tersebut.
An-Nawawi (Imam an-Nawawi rahimahullah) menjelaskan di dalam al-Minhaj:
“Lalu memposisikan kedua tangannya di bawah dadanya.”
Kemudian ia menyebutkan di dalam syarahnya, an-Nahwu al-Wahhaj:
“Ungkapan para sahabat kami “di bawah dada” adalah dari makna lafaz hadis “‘Ala Shadrihi” (pada dadanya), seakan-akan mereka menganggap bahawa perbezaan di antara keduanya hanyalah sedikit.”
Dan inilah pendapat Zaid B. ‘Ali dan ahmad B. ‘Isa, Ahmad B. ‘Isa meriwayatkan hadis (Wa’il B. Hujr) di dalam kitab al-Amali, dan itulah pendapat asy-Syafi’iyah dan al-Hanafiyyah. (Rujuk: ash-Shan’ani, Subulus Salam, 1/169)
Al-Baihaqi (rahimahullah) meletakkan satu bab:
باب وضع اليدين على الصدر في الصلاة من السنة
Terjemahan: Bab meletakkan dua tangan di atas dada di dalam solat adalah sunnah. (al-Baihaqi, Sunan al-Kubra lil-Baihaqi, 2/410)
Dari Imam an-Nawawi (rahimahullah):
وَجَعْلُ يَدَيْهِ تَحْتَ صَدْرِهِ آخِذًا بِيَمِينِهِ يَسَارَهُ
Terjemahan: Dan meletakkan (sedekap) kedua tangannya di bawah dada, dengan tangan kanan di atas tangan kiri. (Imam an-Nawawi, al-Minhaj, 1/33, Bab: sifat solat, Maktabah Syameelah)
قد ذكرنا ان مذهبنا ان المستحب جعلهما تحت صدره فوق سرته
Terjemahan: Sebagaimana yang telah kami jelaskan bahawa mazhab kami memustahabkan meletakkan kedua tangan di bawah dada di atas pusat. (al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, 3/313)
Imam Muhammad B. ‘Ali asy-Syaukani (rahimahullah) berkata:
والحديث استدل به من قال أن الوضع يكون تحت السرة وهو أبو حنيفة وسفيان الثوري وإسحاق بن راهويه وأبو إسحاق المروزي من أصحاب الشافعي . وذهبت الشافعية قال النووي وبه قال الجمهور إلى أن الوضع يكون تحت صدره فوق سرته
Terjemahan: Mereka yang berpegang dengan hadis ini bahawasanya bersedekap adalah di bawah pusat, dan mereka adalah Abu Hanifah, sufyan ats-Tsauri, Ishaq B. Rahawaih, dan Abu Ishaq al-Marwazi dari Mazhab asy-Syafi’i. Dan majoriti mazhab asy-Syafi’iyah, berkata an-Nawawi: Jumhur asy-Syafi’iyah meletakkan tangan ketika bersedekap adalah di bawah dada di atas pusat. (Nail al-Authar, 2/203)
Imam an-Nawawi (rahimahullah) berkata:
من السنة في الصلاة وضع الكف على الاكف تحت السرة - واحتج اصحابنا بحديث وائل بن حجر قال " صليت مع رسول الله صلى الله عليه وسلم فوضع يده اليمني على يده اليسرى علي صدره " رواه أبو بكر بن خزيمة في صحيحه
Terjemahan: Apa yang disunnahkan di dalam solat adalah menempatkan/memposisikan sedekap kedua tangan di bawah pusat - Mazhab kami mengikuti/bersandar kepada hadis Wa’il B. Hujr (iaitu beliau berkata):
Aku telah bersolat bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, lalu beliau meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya di atas dada beliau. Hadis Riwayat Abu Bakr Ibn Khuzaimah di dalam Shohihnya. (Rujuk: an-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, 3/313)
وعن هلب الطائي رضي الله عنه قال كان رسول الله صلى الله عليه و سلم يؤمنا فيأخذ شماله بيمينه رواه الترمذي وقال حديث حسن وفي المسألة أحاديث كثيرة ودليل وضعهما فوق السرة حديث وائل بن حجر قال صليت مع رسول الله صلى الله عليه و سلم ووضع يده اليمنى على يده اليسرى على صدره رواه بن خزيمة في صحيحه وأما حديث علي رضي الله عنه أنه قال من السنة في الصلاة وضع الأكف على الأكف تحت السرة ضعيف متفق على تضعيفه
Terjemahan: Dan dari Hulb ath-Tha’i radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pernah mengimami kami. Beliau memegang tangan kirinya dengan tangan kanannya. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, dan beliau menyatakan: hadis Hasan. Selain itu, masih banyak lagi hadis yang menjelaskan persoalan ini.
Manakala dalil meletakkan keduanya di atas pusat (di bawah dada, iaitu di pertengahan di antara dada dengan pusat) adalah hadis Wa’il B. Hujr (radhiyallahu ‘anhu), beliau berkata:
Aku telah bersolat bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, lalu beliau meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya di atas dada beliau. Hadis Riwayat Abu Bakr Ibn Khuzaimah di dalam Shohihnya.dan adapun hadits Ali bahwa dia berkata: termasuk sunnah meletakkan telapak diatas telapak dibawah pusar.itu lemah disepakati kelemahannya (Rujuk: an-Nawawi, Syarah Shohih Muslim, 4/115)
Imam an-Nawawi juga ada meletakkan bab di dalam Syarah Shohih Muslim sebagaimana berikut:
باب وضع يده اليمنى على اليسرى بعد تكبيرة الإحرام تحت صدره
Terjemahan: Bab Meletakkan Tangan Kanan di Atas Tangan Kiri di Bawah Dada (di Atas Pusat) setelah Takbiratul Ihram. (Rujuk: an-Nawawi, Syarah Shohih Muslim, 4/114)
Imam Muhammad B. ‘Ali asy-Syaukani (rahimahullah) berkata ketika mengulas beberapa pandangan yang disebutkan (dari mazhab asy-Syafi’e):
وهذا الحديث لا يدل على ما ذهبوا إليه لأنهم قالوا إن الوضع يكون تحت الصدر كما تقدم والحديث صريح بأن الوضع على الصدر وكذلك حديث طاوس المتقدم ولا شيء في الباب أصح من حديث وائل
Terjemahan: Hadis Wa’il B. Hujr sama sekali tidak menyokong pendapat mereka ini, kerana mereka berpendapat bahawa tempat bersedekap adalah di bahagian bawah dada, manakala hadis Wa’il B. Hujr secara jelas/terang menyebutkan tempatnya adalah di atas dada. Begitulah juga dengan hadis Thawus yang terdahulu. Dan tidak ada satu pun hadis yang lebih sahih dari hadis Wa’il B. Hujr ini. (Asy-Syaukani, Nail al-Authar, 2/203)
Hadis/dalil:
Dari Wa’il B. Hujr (radhiyallahu 'anhu), beliau berkata:
صليت مع رسول الله صلى الله عليه واله وسلم فوضع يده اليمنى على يده اليسرى على صدره
Terjemahan: Aku telah bersolat bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, lalu beliau meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya di atas dada beliau. (Hadis Riwayat Ibnu Khuzaimah. Hadis ini digunakan oleh ulama Syafi'iyah sebagai hujjah dalam persoalan ini sebagaimana yang akan dibawakan di bawah)إسناده حسن رجاله ثقات عدا مؤمل بن إسماعيل العدوي وهو صدوق سيئ الحفظ....sanadnya hasan(baik)semua perawi terpercaya kecuali muammal ibn ismail dia jujur buruk hafalan
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَضَعُ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى يَدِهِ الْيُسْرَى ثُمَّ يَشُدُّ بَيْنَهُمَا عَلَى صَدْرِهِ وَهُوَ فِي الصَّلَاةِ
Terjemahan: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya, kemudian bersedekap merapikan kedua tangannya di atas dada ketika solat. (Hadis Riwayat Abu Daud, Sunan Abi Daud, 2/415. Rujuk penjelasan: al-Albani, Shohih Sunan Abi Daud, 3/344, no. 737. Dari Thawus) إسناده ضعيف لأن به موضع إرسال ، وباقي رجاله ثقات عدا سليمان بن موسى القرشي وهو صدوق حسن الحديث
sanadnya lemah karena ada irsal dari thawus,sisa perawi terpercaya selain sulaiman ibn musa dia jujur haditsnya hasan
Imam Muhammad B. Ismail ash-Shan’ani (rahimahullah) berkata:
والحديث دليل على مشروعية الوضع المذكور في الصلاة ومحله على الصدر كما أفاد هذا الحديث وقال النووي في المنهاج: ويجعل يديه تحت صدره قال في شرح النجم الوهاج: عبارة الأصحاب تحت صدره يريد والحديث بلفظ على صدره قال وكأنهم جعلوا التفاوت بينهما يسيرا وقد ذهب إلى مشروعيته زيد بن علي وأحمد بن عيسى وروى أحمد بن عيسى حديث وائل هذا في كتابه الأمالي وإليه ذهبت الشافعية والحنفية
Terjemahan: Dan hadis ini (Hadis Wa’il B. Hujr) adalah dalil yang menunjukkan disyari’atkan meletakkan tangan kanan di atas tapak tangan kiri bertepatan dengan apa yang digambarkan serta meletakkannya pada (di atas) dada sebagaimana dijelaskan oleh hadis tersebut.
An-Nawawi (Imam an-Nawawi rahimahullah) menjelaskan di dalam al-Minhaj:
“Lalu memposisikan kedua tangannya di bawah dadanya.”
Kemudian ia menyebutkan di dalam syarahnya, an-Nahwu al-Wahhaj:
“Ungkapan para sahabat kami “di bawah dada” adalah dari makna lafaz hadis “‘Ala Shadrihi” (pada dadanya), seakan-akan mereka menganggap bahawa perbezaan di antara keduanya hanyalah sedikit.”
Dan inilah pendapat Zaid B. ‘Ali dan ahmad B. ‘Isa, Ahmad B. ‘Isa meriwayatkan hadis (Wa’il B. Hujr) di dalam kitab al-Amali, dan itulah pendapat asy-Syafi’iyah dan al-Hanafiyyah. (Rujuk: ash-Shan’ani, Subulus Salam, 1/169)
Al-Baihaqi (rahimahullah) meletakkan satu bab:
باب وضع اليدين على الصدر في الصلاة من السنة
Terjemahan: Bab meletakkan dua tangan di atas dada di dalam solat adalah sunnah. (al-Baihaqi, Sunan al-Kubra lil-Baihaqi, 2/410)
Dari Imam an-Nawawi (rahimahullah):
وَجَعْلُ يَدَيْهِ تَحْتَ صَدْرِهِ آخِذًا بِيَمِينِهِ يَسَارَهُ
Terjemahan: Dan meletakkan (sedekap) kedua tangannya di bawah dada, dengan tangan kanan di atas tangan kiri. (Imam an-Nawawi, al-Minhaj, 1/33, Bab: sifat solat, Maktabah Syameelah)
قد ذكرنا ان مذهبنا ان المستحب جعلهما تحت صدره فوق سرته
Terjemahan: Sebagaimana yang telah kami jelaskan bahawa mazhab kami memustahabkan meletakkan kedua tangan di bawah dada di atas pusat. (al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, 3/313)
Imam Muhammad B. ‘Ali asy-Syaukani (rahimahullah) berkata:
والحديث استدل به من قال أن الوضع يكون تحت السرة وهو أبو حنيفة وسفيان الثوري وإسحاق بن راهويه وأبو إسحاق المروزي من أصحاب الشافعي . وذهبت الشافعية قال النووي وبه قال الجمهور إلى أن الوضع يكون تحت صدره فوق سرته
Terjemahan: Mereka yang berpegang dengan hadis ini bahawasanya bersedekap adalah di bawah pusat, dan mereka adalah Abu Hanifah, sufyan ats-Tsauri, Ishaq B. Rahawaih, dan Abu Ishaq al-Marwazi dari Mazhab asy-Syafi’i. Dan majoriti mazhab asy-Syafi’iyah, berkata an-Nawawi: Jumhur asy-Syafi’iyah meletakkan tangan ketika bersedekap adalah di bawah dada di atas pusat. (Nail al-Authar, 2/203)
Imam an-Nawawi (rahimahullah) berkata:
من السنة في الصلاة وضع الكف على الاكف تحت السرة - واحتج اصحابنا بحديث وائل بن حجر قال " صليت مع رسول الله صلى الله عليه وسلم فوضع يده اليمني على يده اليسرى علي صدره " رواه أبو بكر بن خزيمة في صحيحه
Terjemahan: Apa yang disunnahkan di dalam solat adalah menempatkan/memposisikan sedekap kedua tangan di bawah pusat - Mazhab kami mengikuti/bersandar kepada hadis Wa’il B. Hujr (iaitu beliau berkata):
Aku telah bersolat bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, lalu beliau meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya di atas dada beliau. Hadis Riwayat Abu Bakr Ibn Khuzaimah di dalam Shohihnya. (Rujuk: an-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, 3/313)
وعن هلب الطائي رضي الله عنه قال كان رسول الله صلى الله عليه و سلم يؤمنا فيأخذ شماله بيمينه رواه الترمذي وقال حديث حسن وفي المسألة أحاديث كثيرة ودليل وضعهما فوق السرة حديث وائل بن حجر قال صليت مع رسول الله صلى الله عليه و سلم ووضع يده اليمنى على يده اليسرى على صدره رواه بن خزيمة في صحيحه وأما حديث علي رضي الله عنه أنه قال من السنة في الصلاة وضع الأكف على الأكف تحت السرة ضعيف متفق على تضعيفه
Terjemahan: Dan dari Hulb ath-Tha’i radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pernah mengimami kami. Beliau memegang tangan kirinya dengan tangan kanannya. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, dan beliau menyatakan: hadis Hasan. Selain itu, masih banyak lagi hadis yang menjelaskan persoalan ini.
Manakala dalil meletakkan keduanya di atas pusat (di bawah dada, iaitu di pertengahan di antara dada dengan pusat) adalah hadis Wa’il B. Hujr (radhiyallahu ‘anhu), beliau berkata:
Aku telah bersolat bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, lalu beliau meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya di atas dada beliau. Hadis Riwayat Abu Bakr Ibn Khuzaimah di dalam Shohihnya.dan adapun hadits Ali bahwa dia berkata: termasuk sunnah meletakkan telapak diatas telapak dibawah pusar.itu lemah disepakati kelemahannya (Rujuk: an-Nawawi, Syarah Shohih Muslim, 4/115)
Imam an-Nawawi juga ada meletakkan bab di dalam Syarah Shohih Muslim sebagaimana berikut:
باب وضع يده اليمنى على اليسرى بعد تكبيرة الإحرام تحت صدره
Terjemahan: Bab Meletakkan Tangan Kanan di Atas Tangan Kiri di Bawah Dada (di Atas Pusat) setelah Takbiratul Ihram. (Rujuk: an-Nawawi, Syarah Shohih Muslim, 4/114)
Imam Muhammad B. ‘Ali asy-Syaukani (rahimahullah) berkata ketika mengulas beberapa pandangan yang disebutkan (dari mazhab asy-Syafi’e):
وهذا الحديث لا يدل على ما ذهبوا إليه لأنهم قالوا إن الوضع يكون تحت الصدر كما تقدم والحديث صريح بأن الوضع على الصدر وكذلك حديث طاوس المتقدم ولا شيء في الباب أصح من حديث وائل
Terjemahan: Hadis Wa’il B. Hujr sama sekali tidak menyokong pendapat mereka ini, kerana mereka berpendapat bahawa tempat bersedekap adalah di bahagian bawah dada, manakala hadis Wa’il B. Hujr secara jelas/terang menyebutkan tempatnya adalah di atas dada. Begitulah juga dengan hadis Thawus yang terdahulu. Dan tidak ada satu pun hadis yang lebih sahih dari hadis Wa’il B. Hujr ini. (Asy-Syaukani, Nail al-Authar, 2/203)
INDAHNYA KOTORAN IMAM SYIAH
Keyakinan Syi'ah, Kotoran Imam Dapat Menghindarkan Api Neraka dan Menyebabkan Masuk Sorga
Dalam foto berikut seorang syi'ah sedang membawa kotoran imam mereka
Ibnu Babawaih al-Qummi menyebutkan dalam bukunya:
"Manlaa Yahdurhul-Faqeeh" vol.4, halaman 418
Dilaporkan Ahmad b. Muhammad b. Sa'id al-Kufi mengatakan: Dikisahkan kepada kami Ali b. al-Hasan b. Fidaal, dari ayahnya dari Abul-Hasan Ali b. Musa al-Ridha [AS] mengatakan:
"Tanda-tanda untuk Imam adalah:
1 - Dia yang paling luas dari semua orang.
2 - Dan yang paling bijaksana dari semua (Manusia).
3 - Dan yang paling benar dari semua (Manusia).
18 ... Kotorannya jauh lebih baik daripada berbau aroma misk ".
The Grand Ayat, Akhond Mulla Zainul Abideen-al-Galbaigani, dalam bukunya:
Anwaar al-Wilayah, halaman 440 menulis:
"Kotoran Imam tidak memeiliki bau apa-apa melainkan baunya seperti minyak misk
siapa yang meminum air kencing, darah dan memakan kotoran mereka (IMAM)
Maka, Allah akan hindarkan dari api neraka dan membuat dia masuk sorga
Abu Jafar mengatakan: "Untuk Imam ada 10 tanda:. Ia lahir murni dan disunat .... dan jika dia kentut berbau kesturi"
(Al-Kafi 1/319 Kitab hujja - Bab Kelahiran Imam)
Subhanallah ... wa na'uzubillah. Dari AJARAN Iblis Syiah Imamiyah.
Dalam foto berikut seorang syi'ah sedang membawa kotoran imam mereka
Ibnu Babawaih al-Qummi menyebutkan dalam bukunya:
"Manlaa Yahdurhul-Faqeeh" vol.4, halaman 418
Dilaporkan Ahmad b. Muhammad b. Sa'id al-Kufi mengatakan: Dikisahkan kepada kami Ali b. al-Hasan b. Fidaal, dari ayahnya dari Abul-Hasan Ali b. Musa al-Ridha [AS] mengatakan:
"Tanda-tanda untuk Imam adalah:
1 - Dia yang paling luas dari semua orang.
2 - Dan yang paling bijaksana dari semua (Manusia).
3 - Dan yang paling benar dari semua (Manusia).
18 ... Kotorannya jauh lebih baik daripada berbau aroma misk ".
The Grand Ayat, Akhond Mulla Zainul Abideen-al-Galbaigani, dalam bukunya:
Anwaar al-Wilayah, halaman 440 menulis:
"Kotoran Imam tidak memeiliki bau apa-apa melainkan baunya seperti minyak misk
siapa yang meminum air kencing, darah dan memakan kotoran mereka (IMAM)
Maka, Allah akan hindarkan dari api neraka dan membuat dia masuk sorga
Abu Jafar mengatakan: "Untuk Imam ada 10 tanda:. Ia lahir murni dan disunat .... dan jika dia kentut berbau kesturi"
(Al-Kafi 1/319 Kitab hujja - Bab Kelahiran Imam)
Subhanallah ... wa na'uzubillah. Dari AJARAN Iblis Syiah Imamiyah.
Langganan:
Postingan (Atom)