SYUBHAT : Tatkala Umar telah memeluk agama Islam dan disambut takbir oleh kaum Muslimin saat itu, dia lalu berkata kepada Nabi: Wahai Rasulullah, bukankah kita di atas kebenaran? Jawab Nabi: Ya. Umar mengatakan: Kalau begitu, lantas mengapa kita bersembunyi? Demi Dzat Yang mengutusmu dengan kebenaran, kami akan keluar. Akhirnya merekapun keluar beramai-ramai menjadi dua barisan, barisan pertama bersama Umar dan barisan lainnya bersama Hamzah hingga mendatangi masjid. Quraisy melihat Umar dan Hamzah dan mereka merasa mendapatkan pukulan berat saat itu
JAWAB :
Pertama : Matan (teks) kisah
رُوِيَ
عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : “شَرَحَ اللهُ
صَدْرِي لِلإِِسْلاَمِ، فَقُلْتُ: اللهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ لَهُ
اْلأَسْمَاءُ الْحُسْنَى، فَمَا فِي اْلأَرْضِ نَسَمَةٌ أَحَبُّ إِلَيَّ
مِنْ نَسَمَةِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم، قُلْتُ : أَيْنَ
رَسُوْلُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ؟ قَالَتْ أُخْتِي: هُوَ فِي دَارِ
اْلأَرْقَم بْنِ أَبِي اْلأَرْقَم عِنْدَ الصَّفَا، فَأَتَيْتُ الدَّارَ
وَحَمْزَةُ فِي أَصْحَابِهِ جُلُوْس فِي الدَّارِ، وَرَسُوْلُ اللهِ صلى
الله عليه وسلم فِي الْبَيْتِ، فَضَرَبْتُ الْبَابَ فَاسْتَجْمَعَ
الْقَوْمُ جُلُوْسًا فِي الدَّارِ، وَرَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم
فِي الْبَيْتِ، فَضَرَبْتُ الْبَابَ فَاسْتَجْمَعَ الْقَوْمُ فَقَالَ
لَهُمْ حَمْزَة : مَا لَكُمْ؟ قَالُوْا : عُمَرُ، قَالَ : فَخَرَجَ
رَسُوْلُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَأَخَذَ بِمَجَامع ثِيَابِهِ ثُمَّ
نَثَرَهُ نَثْرَةً فَمَا تَمَالَكَ أَنْ وَقَعَ عَلَى رُكْبَتِهِ، فَقَالَ :
“ماَ أَنْتَ بِمِنَّتِهِ يَا عُمَرُ؟”. فَقُلْتُ : أَشْهَدُ أَنْ لاَ
إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ
مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، فَكَبَّرَ أَهْلُ الدَّارِ
تَكْبِيْرَةً سَمِعَهَا أَهْلُ الْمَسْجِدِ. فَقُلْتُ : ياَ رَسُوْلَ
اللهِ، أَلَسْنَا عَلَى الْحَقِّ إِنْ مِتْنَا وَإِنْ حَيَّيْنَا؟ قَالَ :
“بَلَى، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنَّكُمْ عَلَى الْحَقِّ إِنْ
مِتُّمْ وَإِنْ حَيَّيْتُمْ”. فَقُلْتُ : فَفِيْمَ اْلاِخْتِفَاءُ؟
وَالَّذِي بَعَثَكَ باِلْحَقِّ لَنَخْرُجَنَّ فَأَخْرَجْنَا فِي صَفَّيْنِ
حَمْزَة فِي أَحَدِهِمَا وَأَنَا فِي الآخِرِ لَنَا كَدِيْدٌ كَكَدِيْدِ
الطَّحِيْنِ حَتىَّ دَخَلْنَا الْمَسْجِدَ، فَنَظَرَتْ إِليَّ قُرَيْشٌ
وَإِلَى حَمْزَة فَأَصَابَتْهُمْ كَأْبَة لَمْ يُصِبْهُمْ مِثْلَهَا.
Diriwayatkan dari Umar bin al-Khattab radhiyallâhu ‘anhu, beliau berkata : “Allah
melapangkan hatiku untuk memeluk agama Islam, lalu aku mengatakan :
”Allah, tiada sesembahan yang berhak disembah kecuali Dia, Dia memiliki
al-Asmâ` al-Husnâ (nama-nama yang baik), tidak ada di bumi seseorang yang lebih aku cintai melebihi Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam”. Aku bertanya : “Dimana Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam?”
Saudara perempuanku menjawab : “Dia berada di rumah al-Arqam bin Abi
al-Arqam di as-Shofa”. Lalu aku mendatangi rumah itu, pada waktu itu
Hamzah bin Abdul Muthalib duduk bersama para sahabat Nabi lainnya di
lingkungan rumah, sedangkan Nabi berada di dalam rumah, lalu aku ketuk
pintu rumah. Tatkala para sahabat Nabi mengetahui kedatanganku mereka
pun datang bergerombol, lalu Hamzah bertanya kepada para sahabat Nabi :
“Apa yang terjadi dengan kalian?” mereka menjawab : “Ada Umar bin
Khattab”. Kemudian Umar melanjutkan ceritanya : “Lalu Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam datang,
dan memegang baju Umar dan mendorongnya, maka Umar pun terjatuh di
atas kedua lututnya, lalu Nabi bersabda : “Wahai Umar apa yang kamu
inginkan.?” Lalu aku menjawab : “Saya bersaksi bahwa tiada sesembahan
yang berhak disembah selain Allah semata, tiada sekutu baginya, dan saya
bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya”. Mendengar hal ini
para sahabat Nabi yang berkumpul bertakbir dengan takbir yang didengar
orang-orang yang berada di Masjidil Haram. Aku pun berkata pada Nabi :
“Bukankah kita berada di atas kebenaran baik kita mati atau hidup?”
beliau Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam menjawab
: “Benar, wahai Umar, demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya,
sesungguhnya kalian di atas kebenaran baik kalian mati atau hidup”. Aku
menyahut : “Lalu mengapa kita bersembunyi, demi Allah yang telah
mengutusmu dengan kebenaran kita akan keluar (terang-terangan
menampakkan ke-Islaman)”. Lalu kamipun keluar dalam dua barisan, Hamzah
pada salah satu barisan dan saya pada barisan lainnya. Hingga kami
memasuki Masjidil Haram (Ka’bah). Maka orang-orang dari suku Quraisy
melihat kepadaku dan kepada Hamzah, lalu merekapun bersedih hati dengan
hal ini dengan kesedihan yang tidak pernah mereka alami sebelumnya.”
Kedua : Takhrij hadits
Kisah ini dinukil Abu Nu’aim dalam kitab “al-Hilyah
(1-40)”, ia berkata : “Telah bercerita pada kami Muhammad bin Ahmad
bin al-Hasan, telah bercerita pada kami Muhammad bin Utsman bin Abi
Syaibah, telah bercerita pada kami Abdul Hamid bin Shalih, telah
bercerita pada kami Muhammad bin Aban dari Ishâq bin Abdullâh dari Aban
bin Shalih dari Mujahid dari Ibnu Abbas dari Umar bin al-Khattab.
Aku berkata : “Dengan sanad inilah Abu Nuaim mencantumkan dalam kitab “ad-Dalâ`il” hal. 194.
Ketiga : Tahqiq (verifikasi)
Kisah
ini adalah kisah tidak benar, di dalamnya terdapat perawi yang tidak
bisa diterima periwayatannya (cacat) yaitu : “Ishâq bin Abdullâh”.
1.
Al-Imam al-Mizzi menyebutkan namanya dalam kitab “Tahdzîbul Kamâl”
(2-57-362) dan ia berkata : “Ishâq bin ‘Abdullâh bin Abi Farwah
meriwayatkan dari Abân bin Shâlih dst”.
2.
Al-Imam an-Nasâ`î berkata dalam kitab “Ad-Dhu`afâ’ wal Matrûkîn”
tentang riwayat hidup perawi ke (50) : “Perawi ini tidak diambil
periwayatan haditsnya”. Komentar saya : “Ini adalah istilah al-Imam
an-Nasâ`î, makna istilahnya itu adalah sebagaimana dijelaskan Ibnu Hajar dalam kitab “Syarh
an-Nukhbah” hal (69) : “Madzhab/metode an-Nasâ`î adalah ia tidak
meninggalkan hadits (tidak mengambilnya) sampai benar-benar para ulama
bersepakat untuk tidak diambil (hadits tersebut)”.
3. Al-Imam al-Bukhârî berkata dalam kitab “Ad-Dhu`afâ’ al-Kabîr” tentang riwayat hidup perawi ke (20) : “Ishâq bin ‘Abdullâh bin Abi Farwah, para ulama hadits meninggalkannya”.
4. Al-Imam ad-Dâraquthnî berkata dalam kitab “Ad-Dhu`afâ’ wal Matrûkîn” nomor (94) : “Ia perawi yang tidak diambil haditsnya”.
5. ‘Alî bin al-Hasan al-Hasnajânî berkata dari Yahyâ dia berkata : “Ia (Ishâq bin ‘Abdullâh) pendusta”. Demikianlah disebutkan dalam kitab “Tahdzîbul Kamâl” (2-61)
6. Ibnu Hibbân berkata dalam kitab “al-Majrûhîn”
(1-131) : “Ia sering membalikkan riwayat hadits dan sering menjadikan
riwayat yang mursal (dari tabi’in) menjadi marfû’ (sampai kepada Nabi)
dan Ahmad bin Hanbal melarang dari mengambil haditsnya”.
7. Ibnu Abî Hâtim berkata dalam kitab “al-Jarh
wat Ta’dîl” (2-228) nomor (792) : “Saya mendengar ayahku berkata :
“Ishâq bin ‘Abdullâh bin Abi Farwah adalah perawi yang haditsnya tidak
diambil”. Kemudian Ibnu Abî Hâtim
menyebutkan dengan sanadnya dari Yahyâ bin Ma’în, ia berkata : “Ishâq
bin Abi Farwah adalah pendusta’. Dan dengan sanad lainnya dari Yahyâ,
bahwasanya ia berkata : “Ishâq bin Abi Farwah adalah pembohong besar.
Kemudian Ibnu Abî Hâtim
berkata : Saya mendengar Abû Zur’ah berkata : “Ishâq bin ‘Abdullâh bin
Abi Farwah adalah seorang perawi yang haditsnya tidak diambil”. Kemudian
Ibnu Abî Hâtim
menyebutkan dengan sanadnya sampai kepada ‘Amrû bin ‘Alî asy-Syirâfî,
bahwasanya ia menceritakan bahwa Ishâq bin ‘Abdullâh bin Abi Farwah
adalah perawi yang tidak diambil haditsnya”.
8.
Saya (Syaikh Hasyîsy) berkata : “Ibnu ‘Adî telah menjelaskan hal ini
(pendapat para ulama hadits tentang tidak diambilnya riwayat Ishâq bin
‘Abdullâh bin Abi Farwah dalam kitab “al-Kâmil” (1-326) (154-154) dalam
biografi yang mencapai lebih dari 80 baris, ia menutupnya dengan ucapan :
“Dan Ishâq bin Abi Farwah ini saya tidak menyebutkan hadits-haditsnya
dalam kitab ini dengan sanad-sanad yang telah aku sebutkan, karena
tidak seorangpun menukil sanad-sanadnya dan tidak pula matannya, dan
seluruh hadits-haditsnya yang tidak aku sebutkan menyerupai
berita-berita yang aku sebutkannya, dan ia telah menerangkannya dalam
kitab “ad-Dhuafâ`”.
Komentar saya :
Dengan penjelasan ini telah jelas hal-hal berikuti ini :
1. Bahwa metode an-Nasâ`î adalah tidak meninggalkan hadits seorang perawi sampai sepakat para ulama untuk meninggalkannya.
2.
Jelaslah hakekat riwayat Ishâq bin ‘Abdullâh bin Abi Farwah, tidak ada
dari kalangan ulama yang mengambil sanad dan matan hadits darinya.
3. Berdasarkan hal ini, maka kisah di atas tidak berdasar, dan sanad hadits ini cacat, dan riwayat ini palsu.
Keempat : Hal-hal yang mendukung akan tidak benarnya riwayat kisah ini
1. Al-Imam al-Bukhârî telah membuat bab dalam Shahîh-nya kitab “Manâqib al-Anshâr” bab nomor 35 : “Islamnya Umar bin Khattab Radhiyallâhu ‘anhu“, dan ia menyebutkan di dalamnya hadits ke 3865 dari hadits Abdullâh bin Umar Radhiyallâhu ‘anhumâ ia berkata :
لَمَّا
أَسْلَمَ عُمَرُ، اجْتَمَعَ النَّاسُ عِنْدَ دَارِهِ وَقاَلُوْا : صَبَأَ
عُمَرُ- وَأَنَا غُلاَمٌ فَوْقَ ظَهْرِ بَيْتِي- فَجَاءَ رَجُلٌ عَلَيْهِ
قُبَاء مِنْ دِيْبَاج، فَقَالَ: قَدْ صَبَأَ عُمَرُ، فَمَا ذَاكَ فَأَنَا
لَهُ جَارٌ؟. قَالَ: فَرَأَيْتُ النَّاسَ تَصَدَّعُوْا عَنْهُ، فَقُلْتُ:
مَنْ هَذَا؟ فَقَالُوْا: العَاصُ بْنُ وَائِل
“Tatkala Umar bin Khattâb masuk Islam, orang-orang berkumpul di rumahnya, dan berkata : “Umar telah menjadi pengikut agama Shobi`î
– dan pada waktu itu saya masih kecil, saya berada di atap rumah –
lalu datanglah seorang laki-laki memiliki sapu tangan besar terbuat
dari sutera, dan berkata : “Tidak mengapa Umar memeluk agama Shobi`i
(ia tidak akan dibunuh atau dihalangi), dan saya melindunginya dari
orang yang berbuat zalim terhadapnya)”. Ibnu Umar berkata : (setelah
mendengar ucapan tokoh Quraisy itu) aku melihat orang-orang bubar”. lalu
aku pun bertanya : “Siapa orang itu?” mereka menjawab : “Al-‘Ash bin Wail (tokoh Quraisy)”.
2. Al-Hâfizh Ibnu Katsîr menyebutkan dalam kitab “al-Bidâyah wan Nihâyah”(3-81)
tentang Islamnya ‘Umar bin Khaththâb : Ibnu Ishâq berkata : “Nâfi’
hamba sahaya Ibnu ‘Umar telah bercerita padaku dari Ibnu Umar, ia
berkata :
لَمَّا
أَسْلَمَ عُمَرُ قَالَ: أَيُّ قُرَيْشٍ أَنْقَلُ لِلْحَدِيْثِ؟ فَقِيْلَ
لَهُ : جَمِيْل بْنُ مَعْمَرٍ الجُمَحِي. فَغَدَا عَلَيْهِ. قَالَ عَبْدُ
اللهِ : وَغَدَوْتُ أَتْبَعُ أَثَرَهُ، وَأَنْظُرُ مَا يَفْعَلُ وَأَنَا
غُلاَم أَعْقَلَ كُلَّ مَا رَأَيْتُ، حَتىَّ جَاءَهُ فَقَالَ لَهُ :
أَعْلَمْتُ ياَ جَمِيْل أَنِّي أَسْلَمْتُ وَدَخَلْتُ فِي دِيْنِ مُحَمَّدٍ
صلى الله عليه وسلم ؟ قاَلَ : فَوَاللهِ، مَا رَاجَعَهُ حَتىَّ قَامَ
يُجِرُّ رِدَاءَهُ، وَاتَّبَعَهُ عُمَرُ، وَاتَّبَعْتُهُ أَنَا، حَتَّى
إِذَا قَامَ عَلىَ بَابِ الْمَسْجِدِ صَرَخَ بِأَعْلَى صَوْتِهِ: يَا
مَعْشَر قُرَيْشٍ، وَهُمْ فِي أَنْدِيَتِهِمْ حَوْلَ الْكَعْبَةِ، أَلاَ
إِنَّ ابْنَ الْخَطَّابِ قَدْ صَبَأَ. قَالَ : يَقُوْلُ عُمَرُ مِنْ
خَلْفِهِ: كَذَب،
وَلَكِنِّي قَدْ أَسْلَمْتُ، وَشَهِدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله
وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، وَثاَرُوْا إِلَيْهِ فَمَا بَرِحَ
يُقَاتِلُهُمْ وَيُقَاتِلُوْنَهُ حَتىَّ قَامَتِ الشَّمْسُ عَلَى
رُؤُوْسِهِمْ. قاَلَ: وَطَلَحَ فَقَعَدَ، وَقَامُوْا عَلَى رَأْسِهِ وَهُوَ
يَقُوْلُ : افْعَلُوْا مَا بَدَا لَكُمْ، فَأَحْلَفَ بِاللهِ أَنْ لَوْ
قَدْ كُنَّا ثَلاَثُمِائَة رَجُلٍ لَقَدْ تَرَكْنَاهَا لَكُمْ، أَوْ
تَرَكْتُمُوْهَا لَنَا. قاَلَ: فَبَيْنَمَا هُمْ عَلَى ذَلِكَ؛ إِذْ
أَقْبَلَ شَيْخٌ مِنْ قُرَيْشٍ عَلَيْهِ حُلَّة حَبَرَة وَقَمِيْصُ
مُوْشَى، حَتَّى وَقَفَ عَلَيْهِمْ، فَقَالَ: مَا شَأْنُكُمْ؟ فَقَالُوْا:
صَبَأَ عُمَرُ. قَالَ: فَمَه؛ رَجُلٌ اخْتَارَ لِنَفْسِهِ أَمْرًا،
فَمَاذَا تُرِيْدُوْنَ؟ أَتَرْوْنَ بَنِي عَدِي يُسْلِمُوْنَ لَكُمْ
صَاحِبَكُمْ هَكَذَا؟ خَلُّوْا عَنِ الرَّجُلِ. قَالَ: فَوَاللهِ،
لَكَأَنَّمَا كَانُوْا ثَوْبًا كُشِطَ عَنْهُ. قَالَ : فَقُلْتُ لأَبِي
بَعْدَ أَنْ هَاجَرَ إِلَى الْمَدِيْنَةِ: يَا أَبَتِ، مَنِ الرَّجُلِ
الَّذِي زَجَرَ الْقَوْمَ عَنْكَ بِمَكَّةَ يَوْم أَسْلَمْتَ وَهُمْ
يُقَاتِلُوْنَكَ؟ قَالَ : ذَاكَ أَيْ بُنَيَّ، العَاصُ بْنُ وَائِل السهمي.
“Tatkala Umar masuk Islam, ia berkata : “Siapa dari kalangan suku
Quraisy yang cepat dalam menyampaikan berita?” Lalu dikatakan padanya :
“Jamil bin Ma’mar al-Jumahi”. Lalu ia pergi menemuinya. Abdullâh bin
Umar berkata : “Akupun ikut pergi mengikuti ayahku, untuk melihat apa
yang akan ia lakukan dan aku adalah seorang anak (kecil) yang memahami
apa saja yang aku lihat, hingga sampailah Umar ke tempat Jamil bin
Ma’mar al-Jumahi, maka ia berkata padanya : “Aku memberitahukan padamu
wahai Jamil, bahwa aku masuk Islam dan memeluk agama Muhammad Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam.
Abdullâh bin Umar berkata : “Demi Allah, Jamil pun segera
menyingsingkan selendangnya berangkat menuju masjid dan Umar
mengikutinya, akupun mengikutinya, hingga tatkala Jamil sampai di pintu
masjid ia berteriak dengan teriakan lantang : “Wahai kaum Quraisy, pada
saat itu kaum Quraisy sedang duduk-duduk dalam majelis mereka
disekitar Ka’bah, ketauhilah bahwa Umar bin Khattab telah memeluk agama
Shobi-i.
Abdullâh bin Umar melanjutkan ceritanya : “Saat itu pula Umar menyahut
dari belakang Jamil : “Jamil telah berdusta”, aku tidak memeluk agama
Shobi-i tapi aku telah memeluk agama Islam”. Dan Umar pun mengucapkan
syahadat laa ilaa ha illallah wa anna muhammadan Rasûlullâh, maka
segeralah orang-orang Quraisy menganiaya Umar dan Umar melawan mereka
hingga siang hari. Abdullâh bin Umar berkata : “Umar pun kecapekan lalu
duduk, dan orang-orang Quraisy mengerumuninya sedang Umar berkata :
“Lakukanlah apa saja, aku bersumpah demi Allah kalau kami berjumlah
tiga ratus orang laki-laki, kami pasti akan melawan, kami menang atau
kalian yang menang (sekarang saya sendirian tidak dapat berbuat
apa-apa, pent)”.
Abdullâh bin Umar berkata : “Di saat suasana seperti itu, tiba-tiba
datang seorang tokoh Quraisy berpakaian bagus berdiri dihadapan mereka,
lalu berkata : “Ada apa dengannya?” Mereka menjawab : “Umar bin
Khattab telah memeluk agama Shobi-i”. Ia pun berkata : “Seseorang bebas
memilih urusannya sendiri, lalu apa yang kalian inginkan? Apakah
kalian mengira bahwa Bani Adi (suku Umar bin Khattab) akan membiarkan
tindakan kalian ini? Tinggalkanlah laki-laki ini”. Abdullâh bin Umar
melanjutkan : “Demi Allah, setelah mendengar ucapan tokoh Quraisy itu
seolah-olah mereka adalah pakaian yang dilipat olehnya. Abdullâh bin
Umar berkata : “Maka akupun bertanya kepada ayahku setelah hijrah ke
Madinah : “Wahai ayah, siapakah laki-laki yang membubarkan orang-orang
darimu di Makkah pada hari engkau masuk Islam dimana mereka ingin
membunuhmu?” Umar menjawab : “Wahai anakku, itu adalah al-Ash bin Wail
as-Sahmi”.
Riwayat
ini sanadnya kuat, dan kisah ini menunjukkan bahwa Umar bin Khattab
bukan kalangan sahabat yang masuk Islam pertama kali. Karena ketika Ibnu
Umar mengajukan diri untuk ikut perang Uhud, saat itu usianya 14
tahun, dan perang Uhud terjadi pada tahun 3 hijriyah, sedangkan saat
ayahnya masuk Islam Ibnu Umar adalah anak kecil yang baligh. Maka masuk
Islamnya Umar adalah sekitar 4 tahun sebelum hijrah, yang demikian itu
9 tahun setelah kenabian. Wallahu ‘alam.
Komentar
saya : “al-Hâfizh Ibnu Katsîr juga mengutip kisah ini dalam kitab
“as-Sîroh an-Nabawiyyah” menukil dari Ibnu Ishâq lalu menyebutkan tahqiq
ini. Demikian pula, Ibnu Hisyam menjelaskan dalam kitab “as-Sîrah
an-Nabawiyyah” (1-437) (334) juga menukil dari Ibnu Ishâq, demikian pula
Ibnu al-Atsîr menyebutkan dalam kitab “Asad al-Ghâbah” (4-150) menukil
dari Ibnu Ishâq, lalu al-Hâkim menyebutkan dalam kitabnya (3/85) dari
jalan Ibnu Ishâq, dan ia berkata : “Riwayat ini Shahîh dengan syarat
Muslim”. Dan adz-Dzahabî menyepakatinya sebagaimana yang telah kami
jelaskan di atas, dan Ibnu Katsîr berkata : “Dan sanad riwayat ini
adalah kuat”.
Komentar
saya : “Sanad riwayat ini bertambah kuat, dengan pencantuman riwayat
ini oleh al-Bukhârî (3864) dari jalan lain dari Zaid bin Abdullâh bin
Umar dari ayahnya, ia berkata : “Ketika Umar di rumah dalam keadaan
takut ….” Hadits dengan lafadnya sebagaimana di atas.
Kelima : Sabar dan tegar saat terjadi kesulitan dan bukannya malah demonstrasi
Diriwayatkan
oleh Bukhârî dalam Shahîh Bukhârî (hadits ke 3852) dari hadits Khobâb
bin al-Arat, ia berkata : “Saya pernah menemui Nabi, saat itu beliau
mengenakan selimut di Ka’bah – dan saat itu kami mendapatkan gangguan
yang sangat dari kaum musyrikin- lalu aku berkata : “Wahai Rasûlullâh,
tidakkah engkau mendoakan kami kemenangan?” lalu beliau duduk dan
wajahnya memerah, lalu berkata : “Sungguh orang-orang yang beriman
sebelum kalian ada yang disiksa dengan sisir besi hingga terkelupas
kulit dan dagingnya dari tulang, namun siksaan itu tidak membuat mereka
murtad. Dan ada juga yang digergaji dari kepala hingga terbelah menjadi
dua, namun hal ini tidak membuat mereka murtad. “Sungguh Allah akan
menyempurnakan urusan ini, hingga seorang pengendara tidak merasakan
takut kecuali takut kepada Allah tatkala melakukan perjalanan dari
Shan’a ke Hadramaut”.
Komentar saya : Imam Bukhârî juga menyebutkan hadits ini pada nomor 3612 dari hadits Khobab, Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam bersabda :
وَاللهِ
ليَتِمَّن هَذَا الأَمْرُ حَتَّى يَسِيْرَ الرَّاكِبُ مِنْ صَنْعَاء
إِلَى حَضَرَمَوْت لاَ يَخَافُ إِلاَّ الله أَوْ الذِّئْب عَلَى غَنَمِهِ
وَلَكِنَّكُمْ تَسْتَعْجِلُوْنَ
“Demi
Allah, sungguh Allah akan menyempurnakan urusan ini hingga seorang
pengendara dari Shan’a ke Hadramaut tidak merasakan ketakutan dalam
perjalanannya kecuali hanya takut kepada Allah atau seperti ketakutan
seseorang atas kambingnya dari serigala, akan tetapi kalian
terburu-buru”.
Komentar saya : “Hadits ini menerangkan kepada kita bagaimana pendidikan Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam kepada
para sahabatnya tatkala tertimpa musibah berat yaitu bersabar, kokoh
dan yakin akan janji Allah dan tidak terburu-buru ingin sukses, dalam
rangka mengamalkan firman Allah ta’ala :
“Dan
Bersabarlah kamu, Sesungguhnya janji Allah adalah benar dan
sekali-kali janganlah orang-orang yang tidak meyakini (kebenaran
ayat-ayat Allah) itu menggelisahkan kamu.” (QS. Ar-Rum : 60)
“Maka Bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul Telah bersabar”. (QS. Al-Ahqaf : 35)
Keenam : Berdoa ketika tertimpa kesulitan dan bukannya malah Demonstrasi
Pertama, Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam berdoa ketika dilempari kotoran.
Imam Bukhârî menyebutkan hadits nomor 3854 dalam kitabnya “Shahîh Bukhârî” dari Abdullâh bin Mas’ud Radhiyallâhu ‘anhu, ia berkata :
بَيْنَا
النَّبِي صلى الله عليه وسلم سَاجِدًا وَحَوْلَهُ نَاسٌ مِنْ قُرَيْشٍ،
جَاءَ عُقْبَةُ بْنُ أَبِي مُعِيْط بسلى جَزُوْر فَقَذَفَهُ عَلَى ظَهْرِ
النَّبِي صلى الله عليه وسلم فَلَمْ يَرْفَعْ رَأْسَهُ، فَجَاءَتْ فَاطِمَة
عَلَيْهَا السَّلاَمُ فَأَخَذَتْهُ مِنْ ظَهْرِهِ وَدَعَتْ عَلَى مَنْ
صَنَعَ، فَقَالَ النَّبِي صلى الله عليه وسلم : اللَّهُمَّ عَلَيْكَ
الْمَلأ مِنْ قُرَيْشٍ، أَبَا جَهْلِ بْنِ هِشَام، وَعُتْبَة بْنُ أَبِي
رَبِيْعَة، وَشَيْبَة بْنُ رَبِيْعَة، وَأُمَيَّة بْنُ خَلَف،
فَرَأَيْتُهُمْ قَتْلَى يَوْم أُحُدٍ فَأُلْقُوْا فِي بِئْرٍ غَيْر
أُمَيَّة بْنِ خَلَف تَقَطَّعَتْ أَوْصَالُهُ فَلَمْ يُلْقَى فِى الْبِئْرِ
“Ketika Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam sujud
dan disekitarnya ada orang-orang Quraisy, datang Uqbah bin Abi Muith
membawa sekeranjang kotoran kambing lalu melemparkannya ke atas punggung
Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam. Namun beliau tidak mengangkat kepalanya dari sujud, hingga datanglah Fâtimah ‘alaihassalam
membersihkan kotoran itu dari punggung beliau, kemudian ia mendoakan
keburukan pada orang yang melakukannya. Maka Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam berdo’a
: “Ya Allah, Engkaulah yang membalas perbuatan orang-orang Quraisy,
yaitu Abu Jahl bin Hisyam, Utbah bin Abi Rabi’ah, dan Syaibah bin
Rabi’ah, dan Umayyah bin Khalaf. Saya melihat merekapun terbunuh pada
hari uhud, lalu mereka dilempar di sumur, selain Umayyah bin Khalaf yang
jasadnya terputus-putus, ia tidak dilempar di sumur.
Kedua, Nabi berdoa (qunut naazilah /kutukan) kemudian beliau tinggalkan.
رَعْل وذَكْوَان وَلِحْيَان وعُصَيَّة عَصَتِ اللهَ
“Suku Ra’lun, Dzakwan, Lihyan dan Ushaiyyah telah mendurhakai Allah”.
Anas bin Malik berkata : “Ayat di atas adalah ayat yang Allah turunkan kepada mereka yang terbunuh di sumur Maunah[1], kami membacanya hingga ayat itu mansukh/dihapus setelah ayat :
بَلِّغُوْا قَوْمَنَا أَنْ قَدْ لَقِيْنَا رَبَّنَا فَرِضِيَ عَنَّا وَرَضِيْنَا عَنْهُ.
“Sampaikanlah
kepada kaum kami (kaum muslimin), kami telah bertemu dengan Rabb kami,
dan Dia ridha terhadap kami, dan kami pun ridha terhadap-Nya”.[2]
Ketujuh : Seruan jihad bukanlah Demonstrasi
Imam
Bukhârî menyebutkan dalam “Shahîh Bukhârî” hadits nomor 3077, demikian
pula Muslim dalam hadits nomor 1353 dari hadits Ibnu Abbas, ia berkata
: Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam bersabda pada hari penaklukkan kota Makkah :
لاَ هِجْرَةَ بَعْدَ الْفَتْحِ وَلَكِنْ جِهَادٌ وَنِيَّةٌ وَإِذَا اسْتُنْفِرْتُمْ فَانْفِرُوْا
“Tidak
ada hijrah lagi setelah ditaklukkannya kota Makkah, akan tetapi yang
ada adalah jihad dan niat, dan jika kalian diperintah berjihad (oleh
Ulil Amri) maka pergilah”.
Allah ta’ala berfirman :
“Hai
orang-orang yang beriman, apakah sebabnya bila dikatakan kepadamu:
“Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah” kamu merasa berat dan
ingin tinggal di tempatmu? apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia
sebagai ganti kehidupan di akhirat? padahal kenikmatan hidup di dunia
Ini (dibandingkan dengan kehidupan) diakhirat hanyalah sedikit.” (QS. At-Taubah : 38)
“Jika
kamu tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah menyiksa kamu
dengan siksa yang pedih dan digantinya (kamu) dengan kaum yang lain, dan
kamu tidak akan dapat memberi kemudharatan kepada-Nya sedikitpun.
Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. At-Taubah : 39)
Komentar
saya : “Ini adalah sunnah di saat tertimpa musibah yang berat, yaitu :
sabar, tegar dan yakin serta tidak tergesa-gesa, khususnya dalam
kondisi lemah. Kemudian menyeru kepada jihad dalam kondisi umat sudah
memiliki kekuatan dan selalu berdo’a pada setiap keadaan.
Adapun demonstrasi tidak lain hanyalah gemuruh hiruk pikuk suara saja.
Sekian makalah ini, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam.
Ini semua adalah petunjuk Allah, dan Dia lebih mengetahui apa yang ada dalam hati kita.
(Sumber : Situs Majalah at-Tauhid, Anshârus Sunnah al-Muhammadiyah Mesir)
[1] 70 orang ahli Qur’an dari sahabat Nabi terbunuh oleh kabilah Ra’lun, Dzakwan, dan Ushaiyyah karena dikhianati.
[2] Di dalam shahih Bukhari dari Anas :
دَعَا النَِّبيُّ عَلَى الَّذِيْنَ قَتَلُوْا أَصْحَابَهُ بِبِئْرِ مَعُوْنَة ثَلاَثِيْنَ صَبَاحًا، يَدْعُو فِي صَلاَةِ الْفَجْرِ عَلَى رَعْل وَذَكْوَان وَلِحْيَان وَعُصَيَّة، وَيَقُوْلُ : عُصَيَّة عَصَتِ اللهَ، فَأَنْزَلَ اللهُ تَعَالىَ عَلَى نَبِيِّهِ قُرْآنًا قَرَأْنَاهُ حَتَّى نُسِخَ بَعْدَ : بَلِّغُوْا قَوْمَنَا أَنَّا لَقِيْنَا رَبَّنَا فَرَضِيَ عَنَّا وَرَضِيْنَا عَنْهُ، فَتَرَكَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُنُوْتَهُ.
“Nabi berdoa qunut (kebinasaan) kepada mereka yang membunuh para sahabat beliau di sumur Ma’unah” selama tiga puluh hari. Beliau berdoa qunut (mendoakan kejelekan) tatkala shalat subuh atas suku Ra’lu, Dzakwan, Lihyan dan Ushaiyyah,
beliau mengatakan : “Ushaiyyah telah durhaka kepada Allah”. Maka Allah
turunkan kalimat itu sebagai ayat al-Qur’an kepada nabi-Nya, dan kami
baca ayat itu hingga manshukh (dihapus), setelah ayat : “Sampaikanlah
kepada kaum kami, bahwa kami telah bertemu Rabb kami, maka Dia meridhai
kami dan kami pun ridha pada-Nya”, lalu Nabi tinggalkan doa jeleknya
itu (setelah turun ayat yang melarang). (HR Bukhari 586)
Kisah ini cukup masyhur sekali dan dijadikan dalil untuk melegalkan aksi demonstrasi yang sekarang marak digelar oleh hampir semua lapisan di mana-mana.
Diriwayatkan Abu Nuaim dalam al-Hilyah 1/40 dan ad-Dalail 194 dari Muhammad bin Ahmad bin Hasan, dari Muhammad bin Utsman bin Abi Syaibah, dari Abdul Hamid bin Sholih, dari Muhammad bin Aban dari Ishaq bin Abdullah dari Aban bin Sholih dari Mujahid dari Ibnu Abbas dari Umar bin Khoththob.
RIWAYAT MAUDHU’AH. Kisah ini lemah sekali, sebab kecacatannya karena dalam sanadnya terdapat perowi bernama Ishaq bin Abdullah bin Abu Farwah, sedangkan dia matrukul hadits (ditinggalkan haditsnya) sebagaimana dikatakan Imam Nasa’i, al-Bukhori, ad-Daraquthni, Ibnu Abi Hatim dan lain sebagainya.
Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjelaskan bahwa kisah ini lemah karena bersumber dari Ishaq bin Abdullah bin Abi Farwah, sedangkan dia adalah rowi yang lemah dan tidak dapat dijadikan hujjah.
SYUBHAT KEDUA : Di dalam al-Mustadrak ‘alâ ash-Shahîhayn karya al-Hakim dinyatakan:
…عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْأَرْقَمِ، عَنْ
جَدِّهِ الْأَرْقَمِ، وَكَانَ بَدْرِيًّا، وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى
الله عليه وسلم آوَى فِي دَارِهِ عِنْدَ الصَّفَا حَتَّى تَكَامَلُوا
أَرْبَعِينَ رَجُلًا مُسْلِمَيْنِ، وَكَانَ آخِرَهُمْ إِسْلَامًا عُمَرُ
بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ، فَلَمَّا كَانُوا أَرْبَعِينَ
خَرَجُوا إِلَى الْمُشْرِكِينَ…
Dari Utsman bin Abdullah bin al-Arqam dari kakeknya al-Arqam, dan
ia Badriyan, dan Rasulullah saw berlindung di rumahnya di bukit Shafa
sampai genap empat puluh orang muslim, dan yang terakhir keislamannya
adalah Umar bin al-Khaththab radhiyallâh ‘anhum. Ketika mereka empat
puluh orang mereka keluar kepada orang-orang musyrik…JAWAB : inipun hadits lemah karena dalam sanadnya ada utsman ibn abdillah dia adalah perawi majhul
kalaupun shahihi bukan hujjah bagi mereka.karena mereka keluar bukan berarti mengadakan parade keliling ka'bah justru kalau kita baca lengkap disitu al aqom ingin keluar ke baitul maqdis untuk sholat bukan parade
SYUBHAT 3 :
Di Thabaqât al-Kubrâ karya Ibn Sa’ad: ia berkata …. dari Yahya bin Imran bin Utsman bin al-Arqam, ia berkata; “aku mendengar kakekku Utsman bin al-Arqam mengatakan:
أَنَا اِبْنُ سَبْعَةِ فِي الْإِسْلاَمِ، أَسْلَمَ أَبِيْ سَابِعُ سَبْعَةِ، وَكَانَتْ دَارُهُ بِمَكَّةَ عَلَى الصَّفَا، وَهِيَ الدَّارُ الَّتِيْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَكُوْنُ فِيْهَا أَوَّلَ الْإِسْلاَمِ، وَفِيْهَا دَعَا النَّاسَ إِلَى الْإِسْلاَمِ وَأَسْلَمَ فِيْهَا قَوْمٌ كَثِيْرٌ، وَقَالَ لَيْلَةَ الْاِثْنَيْنِ فِيْهَا: “اَللَّهُمَّ أَعِزَّ الْإِسْلاَمَ بِأَحَبِّ الرَّجُلَيْنِ إِلَيْكَ: عُمَرِ بْنِ الْخَطَّابِ أَوْ عَمْرُو بْنِ هِشَامٍ” فَجَاءَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ مِنَ الْغَدِّ بُكْرَةً فَأَسْلَمَ فِي دَارِ الْأَرْقَمِ، وَخَرَجُوْا مِنْهَا فَكَبَّرُوْا وَطَافُوْا الْبَيْتَ ظَاهِرِيْنَ وَدُعِيَتْ دَارُ الْأَرْقَمِ دَارَ الْإِسْلاَمِ…
“Aku anak orang ketujuh di dalam Islam, bapakku masuk Islam sebagai orang ketujuh, rumahnya di Mekah di bukit shafa, dan itu adalah rumah yang Nabi saw ada di situ pada awal Islam, di situ beliau mengajak orang kepada Islam dan di situ banyak orang telah masuk Islam. Beliau pada satu malam Senin berdoa: “Ya Allah muliakan Islam dengan salah satu laki-laki yang lebih Engkau sukai: Umar bin al-Khathab atau Amru bin Hisyam”. Lalu Umar bin al-Khathab datang besoknya pagi-pagi lalu dia masuk Islam di rumah al-Arqam dan mereka keluar dari situ, mereka meneriakkan takbir dan berthawaf mengelilingi baitullah terang-terangan dan rumah al-Arqam disebut Dar al-Islam…”
JAWAB : inipun hadits mursal termasuk hadits lemah karena utsman ibn al arqom tidak menemui nabi dan didalam sanadnya banyak perawi majhul hal seperti muhammad ibn imron dan imron ibn hindun
SYUBHAT 4 : Ibn Ishaq berkata di as-Sîrah an-Nabawiyyah:
قاَلَ عُمَرٌ عِنْدَ ذَلِكَ: وَاللهِ لَنَحْنُ بِالْإِسْلاَمِ أَحَقٌّ أَنْ نُنَادِيَ… فَلْيَظْهَرَنَّ بِمَكَّةَ دِيْنُ اللهِ، فَإِنْ أَرَادَ قَوْمُنَا بَغْياً عَلَيْنَا نَاجَزْنَاهُمْ، وَإِنْ قَوْمُنَا أَنْصَفُوْنَا قَبِلْنَا مِنْهُمْ، فَخَرَجَ عُمَرٌ وَأَصْحَابُهُ، فَجَلَسُوْا فِيْ الْمَسْجِدِ، فَلَمَّا رَأَتْ قُرَيْشٌ إِسْلاَمَ عُمَرٍ سَقَطَ فِيْ أَيْدِيْهِمْ
“Umar berkata pada saat demikian, “Demi Allah, sungguh kita dengan Islam lebih berhak untuk menyeru… dan sungguh agama Allah akan nampak di Mekah, jika kaum kita ingin zalim terhadap kita maka kita lawan mereka dan jika kaum kita berlaku fair kepada kita maka kita terima dari mereka”. Lalu Umar dan sahabat-sahabatnya keluar dan mereka duduk di Masjid. Ketika Quraisy melihat Islamnya Umar maka jatuhlah (apa yang ada) di tangan mereka.”
JAWAB : iniun sanadnya lemah karena ishaq ibn ibrohim al hunainy adalah perawi lemah sebagaimana kata ibnu hajar dan imam adzdzahabi bahkan imam assuyuti menyatakan dia tertuduh pemalsu hadits.serta ada usamah ibn zaid al adawi adalah perawi lemah bahkan imam ahmad menyatakan dia munkarul hadits
Tidak ada komentar:
Posting Komentar