Sabtu, 07 Maret 2015

SYUBHAT DALIL MAULID MBAH IDRUS



Syubhat : “Fatwa ulama yang tidak berdasarkan nash al-Qur’an dan Sunnah harus diterima apabila memiliki dalil yang lain, seperti Ijma’ dan Qiyas, atau selain Ijma’ dan Qiyas menurut ulama yang mengakuinya. Ini yang disebut dengan proses ijtihad atau istinbath. Hal tersebut sesuai dengan hadits-hadits berikut ini:
عَنْ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ رضي الله عنه أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ. رواه البخاري (6805).
“Apabila seorang hakim melakukan ijtihad, lalu ijtihadnya benar, maka ia memperoleh dua pahala. Dan apabila melakukan ijtihad, lalu ijtihadnya keliru, maka ia memperoleh satu pahala.” (Al-Bukhari [6805]).
Dalam hadits di atas, jelas sekali keutamaan ulama yang mengeluarkan hukum berdasarkan ijtihad, ketika tidak ada nash dalam al-Qur’an dan hadits, apabila hasil ijtihadnya benar, maka mendapatkan dua pahala, dan jika salah maka mendapatkan satu pahala.
Dalam hadits yang sangat populer juga disebutkan:
عَنْ أُنَاسٍ مِنْ أَهْلِ حِمْصَ مِنْ أَصْحَابِ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ أَنَّ رَسُولَ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- لَمَّا أَرَادَ أَنْ يَبْعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ قَالَ « كَيْفَ تَقْضِى إِذَا عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ ». قَالَ أَقْضِى بِكِتَابِ اللهِ. قَالَ « فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِى كِتَابِ اللهِ ». قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللهِ -صلى الله عليه وسلم-. قَالَ « فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِى سُنَّةِ رَسُولِ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- وَلاَ فِى كِتَابِ اللهِ ». قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِى وَلاَ آلُو. فَضَرَبَ رَسُولُ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- صَدْرَهُ وَقَالَ « الْحَمْدُ للهِ الَّذِى وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللهِ لِمَا يُرْضِى رَسُولَ اللهِ ». رواه أبو داود والترمذي وأحمد
Dari beberapa orang penduduk Himash dari kalangan sahabat Mu’adz bin Jabal, bahwa ketika Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam hendak mengutus Mu’adz ke Yaman (sebagai Qadhi), beliau bersabda: ”Bagaimana cara kamu memutuskan hukum, apabila menghadapi suatu persoalan?” Mu’adz menjawab: ”Aku akan memutuskan berdasarkan Kitabullah.” Beliau bertnya: ”Apabila kamu tidak menemukan keputusan dalam Kitabullah? ” Mu’adz menjawab: ”Berdasarkan Sunnah Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam.” Beliau bertanya: ”Apabila kamu tidak menemukan dalam Sunnah Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam dan tidak menemukan pula dalam Kitabullah?” Mu’adz menjawab: ”Aku berijtihad dengan pendapatku secara sungguh-sungguh”. Lalu Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam memukul dada Mu’adz seraya bersabda: ”Segala puji bagi Allah yang telah memberikan pertolongan kepada utusan Rasulullah pada apa yang diridhai oleh Allah.” (HR. Al-Tirmidzi, Abu Dawud dan Ahmad).
Perhatikan dalam hadits di atas, bagaimana Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam mendidik umatnya, ketika menghadapi persoalan yang tidak terdapat nash dalam al-Qur’an dan hadits, agar melakukan ijtihad, dan hal itu termasuk diridhai oleh Allah. Dalam hadits di atas, ketika Mu’adz bin Jabal ditanya tentang persoalan yang tidak ada nash dalam al-Qur’an dan hadits, beliau tidak menjawab, aku akan menghukumi bid’ah kepada persoalan tersebut, karena setiap bid’ah itu sesat dan masuk neraka. Tetapi Mu’adz akan berijtihad dengan sungguh-sungguh. Semua hukum tidak bisa didalili dengan hadits kullu bid’atin dholalah.
Jawab : itu bukan ijtihad serampangan kayak ente.
( قال اجتهد رأيي ) قال بن الأثير في النهاية الإجتهاد بذل الوسع في طلب الأمر وهو افتعال من الجهد الطاقة والمراد به رد القضية التي تعرض للحاكم من طريق القياس إلى الكتاب والسنة ولم يرد الرأي الذي يراه من قبل نفسه عن غير حمل على كتاب وسنة انتهى
Tuhfatul ahwadzi 4/464
Perkataan muadz saya berijtihad dg  ro’yu saya maksudnya ibnu atsir di dalam an-nihayah berkata :  ijtihad yaitu mengerahkan daya upaya untuk mencari suatu perkara dan itu timbul dari kesungguhan.dan yg dimaksud dg itu adalah mengembalikan perkara yg di ajukan kepada seorang hakim dg jalan qiyas kepada alqur’an dan sunnah nabi,dan bukanlah mengembalikan pendapat kepada pandangannya sendiri tanpa membawanya ke alqur’an dan sunnah nabi
Syubhat : Dalam hadits lain, juga diriwayatkan:
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ كَانَ رَجُلٌ مِنْ الأَنْصَارِ يَؤُمُّهُمْ فِي مَسْجِدِ قُبَاءٍ وَكَانَ كُلَّمَا افْتَتَحَ سُورَةً يَقْرَأُ بِهَا لَهُمْ فِي الصَّلاةِ مِمَّا يُقْرَأُ بِهِ افْتَتَحَ بِقُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْهَا ثُمَّ يَقْرَأُ سُورَةً أُخْرَى مَعَهَا وَكَانَ يَصْنَعُ ذَلِكَ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ فَكَلَّمَهُ أَصْحَابُهُ فَقَالُوا إِنَّكَ تَفْتَتِحُ بِهَذِهِ السُّورَةِ ثُمَّ لا تَرَى أَنَّهَا تُجْزِئُكَ حَتَّى تَقْرَأَ بِأُخْرَى فَإِمَّا تَقْرَأُ بِهَا وَإِمَّا أَنْ تَدَعَهَا وَتَقْرَأَ بِأُخْرَى فَقَالَ مَا أَنَا بِتَارِكِهَا إِنْ أَحْبَبْتُمْ أَنْ أَؤُمَّكُمْ بِذَلِكَ فَعَلْتُ وَإِنْ كَرِهْتُمْ تَرَكْتُكُمْ وَكَانُوا يَرَوْنَ أَنَّهُ مِنْ أَفْضَلِهِمْ وَكَرِهُوا أَنْ يَؤُمَّهُمْ غَيْرُهُ فَلَمَّا أَتَاهُمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبَرُوهُ الْخَبَرَ فَقَالَ يَا فُلانُ مَا يَمْنَعُكَ أَنْ تَفْعَلَ مَا يَأْمُرُكَ بِهِ أَصْحَابُكَ وَمَا يَحْمِلُكَ عَلَى لُزُومِ هَذِهِ السُّورَةِ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ فَقَالَ إِنِّي أُحِبُّهَا فَقَالَ حُبُّكَ إِيَّاهَا أَدْخَلَكَ الْجَنَّةَ. (رواه البخاري).
“Dari Anas radhiyallahu ‘anhu: “Seorang laki-laki dari kaum Anshar selalu menjadi imam mereka di Masjid Quba’. Kebiasaannya, setiap ia akan memulai membaca surat dalam shalat selaku imam mereka, ia akan mendahului dengan membaca surah Qul Huwallaahu ahad sampai selesai, kemudian membaca surah yang lain bersamanya. Dan ia melakukan hal itu dalam setiap raka’at. Lalu para jamaahnya menegurnya dan berkata: “Anda selalu memulai dengan surah (al-Ikhlash) ini, kemudian Anda merasa tidak cukup sehingga membaca surah yang lain pula. Sebaiknya Anda membaca surah ini saja, atau Anda tinggalkan dan membaca surah yang lain saja.” Laki-laki itu menjawab: “Aku tidak akan meninggalkan surah al-Ikhlash ini dalam setiap raka’at jika kalian senang aku menjadi imam kalian, aku tetap begitu. Jika kalian keberatan, akan berhenti menjadi imam kalian.” Sementara para jamaah memandang laki-laki itu orang yang paling utama di antara mereka. Mereka juga tidak mau jika selain laki-laki itu yang menjadi imam shalat mereka. Maka ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam datang kepada mereka, mereka pun menceritakan perihal imam tersebut. Lalu beliau bertanya kepada laki-laki itu: “Wahai fulan, apa yang menghalangimu untuk melakukan apa yang diperintahkan oleh sahabat-sahabatmu dan apabula yang mendorongmu membaca surat al-Ikhlash ini secara terus menerus dalam setiap raka’at?” Ia menjawab: “Aku sangat mencintainya.” Beliau bersabda: “Cintamu pada surah ini akan mengantarmu masuk surga.” (HR. al-Bukhari).
Perhatikan hadits di atas, seorang laki-laki yang menjadi imam kaum Anshar di Masjid Quba’, memiliki kebiasaan yang berbeda dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu membaca surah al-Ikhlash dalam setiap raka’at shalatnya ketika menjadi imam, sebelum membaca surah yang lain. Ketika hal tersebut dilaporkan kaumnya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau justru bertanya, apa dasarnya membuat kebiasaan yang berbeda dengan orang kebanyakan itu. Lalu laki-laki tersebut menjawab, dasarnya karena sangat mencintai surah al-Ikhlash. Atas dasar inilah, laki-laki tersebut berijtihad untuk membaca surah al-Ikhlash dalam setiap raka’at. Dan ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendengar alasannya, beliau justru memberinya kabar gembira, bahwa ia akan masuk surga karenanya. Coba Anda perhatikan, ketika laki-laki tersebut mempunyai kebiasaan dalam shalat yang berbeda dengan sunnah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak langsung menegurnya dengan berkata: “kullu bid’atin dholalah, wa kullu dholalatin finnar.” Karena hadits ini tidak bisa diapakai untuk semua persoalan yang tidak ada nash nya dalam al-Qur’an dan hadits. Dalam persoalan-persoalan yang tidak ada nashnya dalam al-Qur’an dan hadits, masih banyak ruang untuk berijtihad, dan tidak berdasarkan hadits kullu bid’atin dholalah.
Komentar : he..berbeda dg sunnah nabi dalam hal membaca surat apakah bid’ah???..haihaata..sungguh jauh perbandingan ente..para sahabat pun tidak ada yg mengatakan itu bid’ah.dan mempertanyakan mengapa tidak mencukupkan diri dg sunnah adalah sesuatu yg wajar dan bagus,bukan malah marah ditegur.sekali lagi itu dalam hal yg ada pembolehan milih surat yg disuka,walaupun yg sunnah lebih utama,bukan dalam hal bid’ah dan pada yang tidak ada nash pembolehannya.
اختلف العلماء فى جمع السورتين فى كل ركعة ، فأجاز ذلك ابن عمر ، وكان يقرأ بثلاث سور فى ركعة ، وقرأ عثمان بن عفان ، وتميم الدارى القرآن كله فى ركعة . وكان عطاء يقرأ سورتين فى ركعة أو سورة فى ركعتين فى المكتوبة ، وقال مالك فى المختصر : لا بأس بأن يقرأ السورتين وثلاث فى ركعة ، وسورة أحب إلينا ولا يقرأ بسورة فى ركعتين ، فإن فعل أجزأه ، وقال مالك فى المجموعة : لا بأس به وما هو من الشأن ، وأجاز ذلك كله الكوفيون . وممن كره الجمع بين سورتين فى ركعة زيد بن خالد الجهنى ، وأبو العالية ، وأبو بكر ابن عبد الرحمن بن الحارث ، وأبو عبد الرحمن السلمى وقال : احظ كل سورة حظها من الركوع والسجود . وروى عن ابن عمر أنه قال : إن الله فَصَّل القرآن لتعطى كل سورة حظها من الركوع والسجود ، ولو شاء لأنزله جملة واحدة ، والقول الأول أولى بالصواب لحديث ابن مسعود : أن النبى ، عليه السلام ، كان يقرن بين سور المفصل سورتين فى ركعة
Ulama’ berbeda dalam hukum menggabungkan 2surat dalam satu surat,ibnu umar membolehkannya dan dia membaca 3 surat dalam satu rokaat,utsman ibn affan juga,begitu pula tamim addariy membaca alqur’an penuh dalam satu rokaat.dulu imam ‘atho’ juga membaca 2 surat dalam satu rokaat atau satu rokaat untuk 2 rokaat dalam sholat wajib.imam malik dalam al mukhtashor berkata : tidak apa2 membaca 2 surat atau 3 surat dalam satu rokaat dan satu surat lebih kami sukai,dan tidak membaca satu surat dalam 2 rokaat tapi jika melakukannya maka mencukupinya.dan berkata imam malik dalam al majmu’ah : tidak apa2 itu dan telah membolehkannya ulama’ kuffah.dan yg memakruhkannya adalah zaid ibn kholid al juhani,abul ‘aliyah,abu bakr ibn ‘abdirrohman ibn harits dan abu abdirrohman.dan beliau berkata : berikan setiap surat bagiannya dari ruku dan sujud dan diriwayatkan dari ibnu umar sesungguhnya dia berkata alloh telah memperinci alqur’an hendaklan kamu memberikan setiap surat bagian dari ruku’ dan sujud,kalau alloh menghendaki alloh akan menurunkannya total sekali waktu.dan pendapat yg pertama lebih mendekati kebenaran berdasarkan  perkataan ibnu mas’ud :sesungguhnya nabi pernah menggabungkan surat-surat panjang dua surat dalam satu rokaat.
Syarh shohih bukhori libni bathol 3/389
ويدل على أنه ليس هو الأفضل ؛ لأن أصحابه استنكروا فعله وإنما استنكروه لأنه مخالف لما عهدوه من عمل النبي ( وأصحابه في صلاتهم ؛ ولهذا قال له النبي ( : ( ( ما يمنعك أن تفعل ما يأمرك به أصحابك ؟ ) ) .
فدل على أن موافقتهم فيما أمروه به كان حسناً ، وإنما اغتفر ذلك لمحبته لهذه السورة .
وأكثر العلماء على أنه لا يكره الجمع بين السور في الصلاة المفروضة ، وروي فعله عن عمر وابن عمر وعمر بن عبد العزيز وعلقمة ، وهو قول قتادة والنخعي ومالك ، وعن أحمد في كراهته روايتان . وكرهه أصحاب أبي حنيفة
Fathul bari libni rojab 4/469
Dan itu menunjukkan bahwa itu bukan yg afdhol karena mengingkari perbuatannya,dan para sahabat nabi mengingkari karena berbeda dg apa yg biasa dilakukan nabi dan para sahabat.maka oleh karena itulah nabi bersabda : apa yg menghalangimu melakukan apa yg disarankan para sahabatmu?.Maka itu menunjukkan  bahwa menyetujui perintah sahabat  adalah baik,dan  itu tertutupi dg kecintaannya surat ini.
Dan kebanyakan ulama’ berpendapat tidak makruh menggabung 2 surat dalam  surat wajib,itu diriwayatkan perbuatan dari umar,ibnu umar,umar ibn abdul aziz dan alqomah.dan itu juga perkataan qotadah,annakho’I dan malik.dan ahmad ada 2 riwawat memakruhkannya,begitu pula pengikut imam abu hanifah
Jadi intinya tidak melakukan sunnah dalam hal yg ada nash pembolehannya secara terperinci tidak masalah ,apalagi ada sahabat yg melakukan,adapun maulid maka itu yg sunnah puasa senin-kamis adapun selain itu tidak dalil pembolehan terperinci maka tidak boleh,apalagi para sahabat tidak ada nukilan dari mereka.
Syubhat : Dalam hadits lain juga diriwayatkan:
عن ابْنَ عَبَّاسٍ قَالَ أَتَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ فَصَلَّيْتُ خَلْفَهُ فَأَخَذَ بِيَدِي فَجَرَّنِي فَجَعَلَنِي حِذَاءَهُ فَلَمَّا أَقْبَلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى صَلاتِهِ خَنَسْتُ فَصَلَّى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ لِي مَا شَأْنِي أَجْعَلُكَ حِذَائِي فَتَخْنِسُ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ أَوَيَنْبَغِي لِأَحَدٍ أَنْ يُصَلِّيَ حِذَاءَكَ وَأَنْتَ رَسُولُ اللهِ الَّذِي أَعْطَاكَ اللهُ قَالَ فَأَعْجَبْتُهُ فَدَعَا اللهَ لِي أَنْ يَزِيدَنِي عِلْمًا وَفَهْمًا. رواه أحمد وابو يعلى وصححه الحاكم.
Ibnu Abbas berkata: “Aku mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada akhir malam, lalu aku shalat (bermakmum) di belakang beliau. Lalu beliau mengambil tanganku, menarikku, hingga menjadikanku lurus dengan beliau. Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam konsentrasi pada shalatnya, aku mundur. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shalat. Ketika beliau selesai, beliau bertanya: “Kenapa diriku? Aku luruskan kamu denganku, kok malah mundur.” Aku menjawab: “Wahai Rasulullah, apakah pantas bagi seseorang menunaikan shalat, berdiri lurus dengan engkau, sedangkan engkau adalah Rasulullah yang telah diberi anugerah oleh Allah.” Lalu beliau kagum dengan jawabanku. Lalu beliau berdoa kepada Allah agar menambah ilmu dan kecerdasanku.” (HR. Ahmad dan Abu Ya’la. Dan al-Hakim menilainya shahih).
Perhatikan dalam hadits di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meluruskan shaf Ibnu Abbas dengan beliau, karena menjadi makmum sendirian, tanpa bersama jamaah lain. Tapi kemudian Ibnu Abbas mundur lagi. Setelah selesai shalat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, justru bertanya, apa dasar Ibnu Abbas tidak mau lurus dengan beliau dan justru mundur? Setelah Ibnu Abbas menjawab, bahwa dasar beliau mundur, adalah karena merasa tidak pantas jika harus lurus dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang derajatnya sangat agung, beliau justru mengagumi dasar tersebut dan mendoakannya agar bertambah alim dan cerdas. Dalam kejadian tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak langsung marah kepada Ibnu Abbas dan tidak pula berkata kullu bid’atin dholalah wa kullu dholalatin finnar. Tetapi masih menanyakan dasarnya apa? Hadits kullu bid’atin dholalah, tidak bisa dijadikan dalil setiap persoalan hukum yang tidak ada nash nya dalam al-Qur’an dan hadits. Setiap persoalan ada dalilnya sendiri-sendiri.
Komentar : mana bisa ibnu abbas disamakan dg ente? ibnu abbas tidak sengaja ingin menyelisihi sunnah dan nabi menyetujui alasannya sedangkan kalian sengaja membuat bid’ah tanpa persetujuan sahabat apalagi nabi.dan mundur sedikit saat sholat jamaah bukanlah bid’ah Cuma makruh.samakah makruh dg bid’ah?ataukah ente gak bisa membedakan.



Syubhat : Dalil pertama maulid,Allah subhanahu wata’ala berfirman:
وما أرسلناك إلا رحمة للعالمين
“Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. (QS. al-Anbiya’ : 107)
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda:
إِنَّمَا أَنَا رَحْمَةٌ مُهْدَاةٌ. صححه الحاكم (1/91) ووافقه الحافظ الذهبي.
“Aku hanyalah rahmat yang dihadiahkan”. (Hadits sahih menurut al-Hakim (1/91) dan al-Hafizh al-Dzahabi.
Komentar : Muhammad ibn ja’far majhul hal,malik ibn su’air lemah kata abu daud,mempunyai banyak hadits munkar kata abul fath al azdy, laa ba’sa bih kata ibnu hajar.jadi itu mursal
Syubhat : Dengan demikian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah al-rahmat al-‘uzhma (rahmat yang paling agung) bagi umat manusia. Sedangkan Allah subhanahu wata’ala telah merestui kita untuk merayakan lahirnya rahmat itu. Dalam hal ini Allah subhanahu wata’ala berfirman:
قل بفضل الله وبرحمته فبذلك فليفرحوا
“Katakanlah: "Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira”. (QS. Yunus : 58).
Ibn Abbas menafsirkan ayat ini dengan, “Dengan karunia Allah (yaitu ilmu) dan rahmat-Nya (yaitu Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam), hendaklah dengan itu mereka bergembira”. (Al-Hafizh al-Suyuthi, al-Durr al-Mantsur, 2/308).
Komentar : bukan idrus kalau tidak memanipulasi dalil,mengapa tidak menampilkan teks arabnya,yg ada adalah telah meriwayatkan abu assyeikh dari ibnu abbas berkata : karunia alloh adalah ilmu dan rahmatnya adalah nabi Muhammad karena alloh berfirman : dan tidaklah kami mengutusmu melainkan rohmat bagi seluruh alam
وأخرج أبو الشيخ عن ابن عباس رضي الله عنهما في الآية قال : فضل الله العلم ورحمته محمد صلى الله عليه وسلم قال الله تعالى ( وما أرسلناك إلا رحمة للعالمين ) ( الأنبياء الآية 107 )
al-Durr al-Mantsur 4/367
jadi konteksnya risalah nabi bukan kelahiran nabi,faham?yg termasuk risalah beliau adalah agama islam dg kitab alqur’an
{ قل } يا محمد لأصحابك { بفضل الله } القرآن الذي أكرمكم به { وبرحمته } الإسلام الذي وفقكم به { فبذلك } بالقرآن والإسلام { فليفرحوا هو خير } يعني القرآن والإسلام
Tafsir al miqbas min tafsir ibni abbas 1/176
Katakanlah wahai Muhammad kepada sahabatmu: dg karunia alloh yaitu alqur’an yg kamu dimuliakan dengannya.dan dg rohmatnya yaitu islam yg kamu diberi taufik dengannya,maka dg itu yaitu alqur’an dan islam,bergembiralah itu kebaikan yaitu alqur’an dan islam
Syubhat : Dalil Kedua) Allah subhanahu wata’ala juga berfirman:
وكلا نقص عليك من أنباء الرسل ما نثبت به فؤادك
“Dan semua kisah dari rasul-rasul kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya kami teguhkan hatimu.” (QS. Hud : 120).
Ayat ini menegaskan bahwa penyajian kisah-kisah para rasul dalam al-Qur’an adalah untuk meneguhkan hati Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan tentu saja kita yang dha’if dewasa ini lebih membutuhkan peneguhan hati dari beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, melalui penyajian sirah dan biografi beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam perayaan maulid, bukankah membacakan dan menguraikan sirah beliau?
Jawab : itulah manhaj gado-gado,campur aduk,kalau mau peneguhan itu dg kajian bukan perayaan.dan peneguhan disitu dg mencontoh bukan membuat-buat cara baru.
Imam Ibnu katsir menjelaskan dalam tafsirnya 7 /491
ليكون لك بمن مضى من إخوانك من المرسلين أسْوةً
Supaya kamu dg orang-orang yg telah lalu dari saudara kamu dari para rosul menjadikan mereka contoh/teladan.
Syubhat : Dalil Ketiga) Sisi lain dari perayaan maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah, mendorong kita untuk memperbanyak shalawat dan salam kepada beliau sesuai dengan firman Allah:
إن الله وملائكته يصلون على النبي يا أيها الذين آمنوا صلوا عليه وسلموا تسليما
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (QS. al-Ahzab : 56).
Dan sesuai dengan kaedah yang telah ditetapkan, bahwa sarana yang dapat mengantar pada anjuran agama, juga dianjurkan sebagaimana diakui oleh al-‘Utsaimin dalam al-Ibda’ (hal. 18). Sehingga perayaan maulid menjadi dianjurkan.
Komentar : itula manhaj semau gue,membaca sholawat un harus berdasarkan perintah alloh bukan semau gue.
{ إن الله وملائكته يصلون على النبي يا أيها الذين آمنوا صلوا عليه } بالدعاء { وسلموا تسليما } لأمره
Tanwir al miqbas min tafsir ibni abbas 1/356
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk nabi dg doa, dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.”karena perintah alloh
Dalil Keempat) Allah subhanahu wata’ala juga berfirman:
قال عيسى ابن مريم اللهم ربنا أنزل علينا مائدة من السماء تكون لنا عيدا لأولنا وآخرنا وآية منك وارزقنا وأنت خير الرازقين
“Isa putera Maryam berdoa: “Ya Tuhan kami, turunkanlah kiranya kepada kami suatu hidangan dari langit (yang hari turunnya) akan menjadi hari raya bagi kami yaitu orang-orang yang bersama kami dan yang datang sesudah kami, dan menjadi tanda bagi kekuasaan Engkau; beri rezkilah kami, dan Engkaulah pemberi rezki yang paling Utama”. (QS. al-Ma’idah: 114).
Dalam ayat ini, ditegaskan bahwa turunnya hidangan dianggap sebagai hari raya bagi orang-orang yang bersama Nabi Isa ‘alaihissalam dan orang-orang yang datang sesudah beliau di bumi agar mengekspresikan kegembiraan dengannya. Tentu saja lahirnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai al-rahmat al-‘uzhma lebih layak kita rayakan dengan penuh suka cita dari pada hidangan itu.”
Jawab : itu hanya persepsi maniak perayaan,bukan persepsi ulama ahli tafsir
{ تكون لنا عيدا لأولنا } لأهل زماننا { وآخرنا } لمن خلفنا لكي نعبدك فيها وكان يوم الأحد
Tafsir al miqbas min tafsir ibni abbas 1/104
menjadi hari raya bagi kami yaitu orang-orang yang bersama kami yakni pada zaman kami, dan yang datang sesudah kami supaya kita beribadah kepadamu didalamnya dan itu pada hari ahad.
Jadi untuk beribadah berdasarkan syariat saat itu yaitu hari ahad bukan perayaan macam maulid.
 

Tidak ada komentar: