قال مالك: لا، والله حتى يصيب الحق، ما الحق إلا واحد، قولان مختلفان يكونان صوابًا جميعًا؟ ما الحق والصواب إلا واحد. Imam Malik berkata “Tidak,demi Allah, hingga ia mengambil yang benar. Kebenaran itu hanya satu. Dua pendapat yang berbeda tidak mungkin keduanya benar, sekali lagi kebenaran itu hanya satu
Sabtu, 07 Desember 2013
TUDUHAN MEMBABIBUTA ATAS SYEIKH ALBANI
syubhat ASli WArisan JAhiliyyah:dalam kitabnya al-Tawassul Anwa’uhu wa Ahkamuhu (cet. 3, hal. 128), al-Albani mendha’ifkan hadits Aisyah Ra. yang diwayatkan oleh ad-Darimi dalam al-Sunan-nya, dengan alasan dalam sanad hadits tersebut terdapat perawi yang bernama Sa’id bin Zaid, saudara Hammad bin Salamah. Padahal dalam kitabnya yang lain, al-Albani sendiri telah menilai Sa’id bin Zaid ini sebagai perawi yang hasan (baik) dan jayyid (bagus) haditsnya yaitu dalam kitabnya Irwa’ al-Ghalil (5/338)
jawab AHLUSSUNNAH: soal sa'id ibn zaid..antum yg salah terjemah bukan albani..apakah albani menyatakan sa'id bin zaid adalah perawi dhoif???? perhatikan seksama dan bedakan akhi,antara fiihi dhu'f dan dhoiful hadits..fiihi dhu'f tidak serta merta disebut perawi dhoif,,tapi ada kelemahan yg bisa terangkat ,seperti kata ibnu hajar :“Jujur, namun mempunyai beberapa kekeliruan (shaduuq lahu auhaam)” [Taqriibut-Tahdziib, hal. 378 no. 2325].jadi ia seorang yang tetap kejujurannya, namun lemah dalam akurasi hapalannya.
IMAM AHMAD MEMBOLEHKAN MENGUSAP QUBUR ???
‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal rahimahumallah berkata :
سألته عن الرجل يمس منبر النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ويتبرك بمسه ويقبله ويفعل بالقبر مثل ذلك أو نحو هذا يريد بذلك التقرب إلى الله عَزَّ وَجَلَّ فقال: لا بأس بذلك
“Aku pernah bertanya kepadanya (Ahmad) tentang seseorang yang mengusap mimbar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan bertabarruk dengan usapannya itu, serta menciumnya. Dan ia melakukan hal yang serupa terhadap kubur beliau shallallaahu atau yang semisal ini, yang dimaksudkan dengan perbuatannya itu untuk bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah ‘azza wa jalla ?’. Ia (Ahmad) menjawab : ‘Tidak mengapa dengan hal itu” [Al-‘Ilal fii Ma’rifatir-Rijaal, 2/492].
????
Jawab : Ini adalah dhahir perkataan yang ternukil dari Ahmad bin Hanbal rahimahullah. Namun ada kemungkinan terjadi kekeliruan dalam membawakan riwayat Ahmad tersebut. Perhatikan riwayat sebelum dan sesudahnya :
صالح بن مسلم البكري ليس به بأس، ثم قال: صالح بن مسلم ثقة.
سألته عن الرجل يمس منبر النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ويتبرك بمسه ويقبله ويفعل بالقبر مثل ذلك أو نحو هذا يريد بذلك التقرب إلى الله عَزَّ وَجَلَّ فقال: لا بأس بذلك.
سألت أبي عن سالم أبي النضر وسمي، فقال: كلاهما ثقة.
“(No. 3242) Shaalih bin Al-Bakriy : ‘Tidak mengapa dengannya’. Kemudian ia berkata : ‘Shaalih bin Muslim tsiqah’.
(No. 3243) Aku pernah bertanya kepadanya (Ahmad) tentang seseorang yang mengusap mimbar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan bertabarruk dengan usapannya itu, serta menciumnya. Dan ia melakukan hal yang serupa terhadap kubur beliau shallallaahu atau yang semisal ini, yang dimaksudkan dengan perbuatannya itu untuk bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah ‘azza wa jalla ?’. Ia (Ahmad) menjawab : ‘Tidak mengapa dengan hal itu’.
(No. 3244) Aku pernah bertanya kepada ayahku tentang Saalim bin An-Nadlr dan Sumiy, maka ia menjawab : ‘Keduanya tsiqah” [Al-‘Ilal, 2/492-493].
Dapat kita lihat bahwa konteks pembicaraan dalam Al-‘Ilal adalah membicarakan tentang status rijaal. Begitu pula beberapa nomor sebelumnya (hingga no. 3241) dan setelahnya (no. 3245-dst.) membicarakan status rijaal, bukan membicarakan hukum satu perbuatan. Oleh karena itu, kemungkinan besar jawaban Ahmad (yaitu : laa ba’sa bi-dzaalik) itu berkaitan dengan status orang yang bertabarruk tersebut – dan kemudian tidak disebutkan namanya (mubham).
Kemungkinan adanya kekeliruan dalam membawakan riwayat Ahmad ini dikuatkan oleh riwayat lain yang dibawakan oleh para ulama madzhab Hanabilah yang bertentangan dengannya. Misalnya yang direport oleh Ibnu Qudaamah rahimahullah :
فصل : ولا يستحب التسمح بحائط قبر النبي صلى الله عليه و سلم ولا تقبيله قال أحمد : ما أعرف هذا قال الأثرم : رأيت أهل العلم من أهل المدينة لا يمسون قبر النبي صلى الله عليه و سلم يقومون من ناحية فيسلمون قال أبو عبد الله : هكذا كان ابن عمر يفعل
“Pasal : Tidak disukai mengusap tembok kubur Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan tidak pula menciumnya. Ahmad berkata : ‘Aku tidak mengetahuinya’. Al-Atsram berkata : ‘Aku melihat ulama dari kalangan penduduk Madiinah tidak mengusap kubur Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan mereka berdiri dari sisi mengucapkan salam. Abu ‘Abdillah berkata : ‘Begitulah yang dilakukan Ibnu ‘Umar” [Al-Mughniy, 3/556].
Riwayat yang semisal di atas juga dibawakan oleh Ibnu ‘Abdil-Hadiy rahimahullah dalam Ash-Sharimul-Munkiy 1/145. Bahkan dalam kitab Kasysyaaful-Qinaa’ disebutkan :
اتَّفَقَ السَّلَفُ وَالْأَئِمَّةُ عَلَى أَنَّ مَنْ سَلَّمَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ غَيْرِهِ مِنْ الْأَنْبِيَاءِ الصَّالِحِينَ فَإِنَّهُ لَا يَتَمَسَّحُ بِالْقَبْرِ وَلَا يُقَبِّلُهُ
“Salaf dan para imam telah bersepakat bahwasannya siapa saja yang mengucapkan salam kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam atau selainnya dari kalangan para nabi yang shalih, maka ia tidak mengusap kubur dan menciumnya” [4/439].
Dengan melihat keterangan-keterangan tersebut maka kita dapat melihat bahwa Ahmad tidak berpendapat membolehkan mengusap dan mencium kubur Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, karena riwayat dalam kitab Al-‘Ilal di atas keliru – wallaahu a’lam.
سألته عن الرجل يمس منبر النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ويتبرك بمسه ويقبله ويفعل بالقبر مثل ذلك أو نحو هذا يريد بذلك التقرب إلى الله عَزَّ وَجَلَّ فقال: لا بأس بذلك
“Aku pernah bertanya kepadanya (Ahmad) tentang seseorang yang mengusap mimbar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan bertabarruk dengan usapannya itu, serta menciumnya. Dan ia melakukan hal yang serupa terhadap kubur beliau shallallaahu atau yang semisal ini, yang dimaksudkan dengan perbuatannya itu untuk bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah ‘azza wa jalla ?’. Ia (Ahmad) menjawab : ‘Tidak mengapa dengan hal itu” [Al-‘Ilal fii Ma’rifatir-Rijaal, 2/492].
????
Jawab : Ini adalah dhahir perkataan yang ternukil dari Ahmad bin Hanbal rahimahullah. Namun ada kemungkinan terjadi kekeliruan dalam membawakan riwayat Ahmad tersebut. Perhatikan riwayat sebelum dan sesudahnya :
صالح بن مسلم البكري ليس به بأس، ثم قال: صالح بن مسلم ثقة.
سألته عن الرجل يمس منبر النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ويتبرك بمسه ويقبله ويفعل بالقبر مثل ذلك أو نحو هذا يريد بذلك التقرب إلى الله عَزَّ وَجَلَّ فقال: لا بأس بذلك.
سألت أبي عن سالم أبي النضر وسمي، فقال: كلاهما ثقة.
“(No. 3242) Shaalih bin Al-Bakriy : ‘Tidak mengapa dengannya’. Kemudian ia berkata : ‘Shaalih bin Muslim tsiqah’.
(No. 3243) Aku pernah bertanya kepadanya (Ahmad) tentang seseorang yang mengusap mimbar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan bertabarruk dengan usapannya itu, serta menciumnya. Dan ia melakukan hal yang serupa terhadap kubur beliau shallallaahu atau yang semisal ini, yang dimaksudkan dengan perbuatannya itu untuk bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah ‘azza wa jalla ?’. Ia (Ahmad) menjawab : ‘Tidak mengapa dengan hal itu’.
(No. 3244) Aku pernah bertanya kepada ayahku tentang Saalim bin An-Nadlr dan Sumiy, maka ia menjawab : ‘Keduanya tsiqah” [Al-‘Ilal, 2/492-493].
Dapat kita lihat bahwa konteks pembicaraan dalam Al-‘Ilal adalah membicarakan tentang status rijaal. Begitu pula beberapa nomor sebelumnya (hingga no. 3241) dan setelahnya (no. 3245-dst.) membicarakan status rijaal, bukan membicarakan hukum satu perbuatan. Oleh karena itu, kemungkinan besar jawaban Ahmad (yaitu : laa ba’sa bi-dzaalik) itu berkaitan dengan status orang yang bertabarruk tersebut – dan kemudian tidak disebutkan namanya (mubham).
Kemungkinan adanya kekeliruan dalam membawakan riwayat Ahmad ini dikuatkan oleh riwayat lain yang dibawakan oleh para ulama madzhab Hanabilah yang bertentangan dengannya. Misalnya yang direport oleh Ibnu Qudaamah rahimahullah :
فصل : ولا يستحب التسمح بحائط قبر النبي صلى الله عليه و سلم ولا تقبيله قال أحمد : ما أعرف هذا قال الأثرم : رأيت أهل العلم من أهل المدينة لا يمسون قبر النبي صلى الله عليه و سلم يقومون من ناحية فيسلمون قال أبو عبد الله : هكذا كان ابن عمر يفعل
“Pasal : Tidak disukai mengusap tembok kubur Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan tidak pula menciumnya. Ahmad berkata : ‘Aku tidak mengetahuinya’. Al-Atsram berkata : ‘Aku melihat ulama dari kalangan penduduk Madiinah tidak mengusap kubur Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan mereka berdiri dari sisi mengucapkan salam. Abu ‘Abdillah berkata : ‘Begitulah yang dilakukan Ibnu ‘Umar” [Al-Mughniy, 3/556].
Riwayat yang semisal di atas juga dibawakan oleh Ibnu ‘Abdil-Hadiy rahimahullah dalam Ash-Sharimul-Munkiy 1/145. Bahkan dalam kitab Kasysyaaful-Qinaa’ disebutkan :
اتَّفَقَ السَّلَفُ وَالْأَئِمَّةُ عَلَى أَنَّ مَنْ سَلَّمَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ غَيْرِهِ مِنْ الْأَنْبِيَاءِ الصَّالِحِينَ فَإِنَّهُ لَا يَتَمَسَّحُ بِالْقَبْرِ وَلَا يُقَبِّلُهُ
“Salaf dan para imam telah bersepakat bahwasannya siapa saja yang mengucapkan salam kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam atau selainnya dari kalangan para nabi yang shalih, maka ia tidak mengusap kubur dan menciumnya” [4/439].
Dengan melihat keterangan-keterangan tersebut maka kita dapat melihat bahwa Ahmad tidak berpendapat membolehkan mengusap dan mencium kubur Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, karena riwayat dalam kitab Al-‘Ilal di atas keliru – wallaahu a’lam.
KUBURAN DALAM MASJID ???
riwayat Al-Bazzaar rahimahullah berkata,
حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ الْمُسْتَمِرِّ الْعُرُوقِيُّ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ مُحَبَّبٍ أَبُو هَمَّامٍ، ثنا إِبْرَاهِيمُ بْنُ طَهْمَانَ، عَنْ مَنْصُورٍ، عَنْ مُجَاهِدٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: فِي مَسْجِدِ الْخَيْفِ قُبِرَ سَبْعُونَ نَبِيًّا
Telah menceritakan kepada kami Ibraahiim bin Al-Mustamir Al-‘Uruuqiy : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Muhabbab Abu Hammaam : Telah menceritakan kepada kami Ibraahiim bin Thahmaan, dari Manshuur, dari Mujaahid, dari Ibnu ‘Umar : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Di masjid Khaif, telah dikubur tujuhpuluh orang Nabi” [Kasyful-Astaar no. 1174]. Kalau memang shahih, berarti bisa dijadikan dalil untuk mendukung pembangunan masjid di atas kuburan? Mohon penjelasannya dari syubhat tersebut.
JAWAB : Hadits Ibnu ‘Umar radliyallaalhu ‘anhu ini ghariib karena hanya diriwayatkan dari jalan Abu Hammaam Ad-Dalaal, dari Ibraahiim bin Thahmaan, dari Manshuur, dari Mujaahid, dari Ibnu ‘Umar secara marfuu’. Ibnu Hajar mengatakan bahwa Ibnu Thahmaan ini banyak meriwayatkan riwayat ghariib (yughrib).sedangkan Ibnu Hibban mengatakan sebagai berikut:
الثقات لابن حبان (6/ 27) أمره مشتبه, له مدخل في الثقات ومدخل في الضعفاء, وقد روى أحاديث مستقيمة تشبه أحاديث الأثبات, وقد تفرد عن الثقات بأشياء معضلات
“(Ibrahim bin Thahman ini) perkaranya tidak jelas. Dia berpotensi untuk digolongkan sebagai perawi tsiqah, namun juga berpotensi untuk digolongkan dalam perawi dhaif. Ia meriwayatkan sejumlah hadits yang mustaqim (benar), yang mirip dengan haditsnya orang-orang tsiqah; namun terkadang meriwayatkan beberapa hal yang kacau dari perawi-perawi yang tsiqah, tanpa ada yang menyertainya dalam periwayatan hal-hal tersebut“. Saya katakan: Ini menunjukkan bahwa hadits Ibrahim bin Thahman ini tidak bisa diterima begitu saja, apalagi bila matannya terkesan ‘aneh’ seperti ini.
Keghariiban sendiri bukan secara mutlak menjadi faktor kelemahan riwayat atau ‘illat. Ia menjadi ‘illat dengan adanya tambahan qarinah sebagaimana telah diterangkan dalam beberapa buku ilmu hadits. Dan di sini, qarinah tersebut ada.
Riwayat tersebut adalah :
1. Dari jalan Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu :
قَالَ مُسَدَّدٌ: حَدَّثَنَا يَحْيَى، عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ، حَدَّثَنِي عَطَاءٌ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: ” صَلَّى فِي مَسْجِدِ الْخَيْفِ سَبْعُونَ نَبِيًّا، وَبَيْنَ حِرَاءَ وَثَبِيرٍ سَبْعُونَ نَبِيًّا
Musaddad berkata : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa, dari ‘Abdul-Malik : Telah menceritakan kepadaku ‘Athaa’, dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : “Telah shalat di masjid Khaif tujuhpuluh orang nabi. Antara Hiraa’ dan Tsabiir ada tujuhpuluh orang nabi” [Diriwayatkan oleh Musaddad sebagaimana dibawakan Ibnu Hajar dalam Al-Mathaalibul-‘Aliyyah no. 1331].Riwayat ini shahih
2. Dari jalan Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ أَبِي خَيْثَمَةَ، قَالَ: نَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ هَاشِمٍ الطُّوسِيُّ، قَالَ: نَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ السَّائِبِ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” صَلَّى فِي مَسْجِدِ الْخَيْفِ سَبْعُونَ نَبِيًّا…..
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ahmad bin Abi Khaitsamah, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdullah bin Haasyim Ath-Thuusiy, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Fudlail, dari ‘Athaa’ bin As-Saaib, dari Sa’iid bin Jubair, dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Telah shalat di masjid Khaif tujuhpuluh orang nabi….” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Ausath no. 5407 dan dalam Al-Kabiir 11/452-453 no. 12283].
riwayat mauquuf Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa ini hasan atau bahkan shahih (lighairihi).
Sanad riwayat Abu Hurairah dan Ibnu ‘Abbaas meskipun mauquuf, namun dihukumi marfuu’ (marfuu’ hukman), karena khabar tujuhpuluh orang Nabi pernah shalat di masjid Khaif tidak mungkin berasal dari ijtihad. Wallaahu a’lam. Dua jalur ini sangat kuat mengindikasikan adanya ‘illat dalam riwayat Ibnu ‘Umar di atas, yaitu dalam penyebutan ‘dikubur tujuhpuluh orang Nabi’. Qarinah lain yang dianggap menjadi penguat adanya ‘illat dalam riwayat Ibnu ‘Umar di atas adalah riwayat Mujaahid – yang notabene sebagai pembawa riwayat Ibnu ‘Umar di awal – :
أنبأ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ، وَأَبُو سَعِيدِ بْنُ أَبِي عَمْرٍو قَالا: ثنا أَبُو الْعَبَّاسِ هُوَ الأَصَمُّ، ثنا يَحْيَى بْنُ أَبِي طَالِبٍ، ثنا عَبْدُ الْوَهَّابِ، أنبأ سَعِيدُ بْنُ أَبِي عَرُوبَةَ أَنَّهُ سَمِعَ مُجَاهِدًا، يَقُولُ: ” صَلَّى فِي هَذَا الْمَسْجِدِ مَسْجِدِ الْخَيْفِ، يَعْنِي مَسْجِدَ مِنًى، سَبْعُونَ نَبِيًّا لِبَاسُهُمُ الصُّوفُ، وَنِعَالُهُمُ الْخُوصُ “
Telah memberitakan Abu ‘Abdillah Al-Haafidh dan Abu Sa’iid bin Abi ‘Amru, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Abul-‘Abbaas Al-Asham : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Abi Thaalib : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-Wahhaab : Telah memberitakan kepada Sa’iid bin Abi ‘Aruubah, bahwasannya ia mendengar Mujaahid berkata : “Telah shalat di masjid ini – masjid Khaif – yaitu masjid Minaa, tujuhpuluh orang Nabi. Pakaian-pakaian mereka dari bulu domba, dan sandal-sandal mereka dari daun kurma” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy 2/420].Riwayat ini sanadnya hasan.
Riwayat ini bisa menjadi qarinah ‘illat bahwa sebenarnya riwayat Ibnu ‘Umar di atas lafadhnya : ‘telah shalat tujuh puluh orang Nabi’.
Seandainya riwayat ini benar (dan yang raajih adalah ma’lul), maka kubur tujuh puluh Nabi tersebut sudah tidak nampak lagi bekasnya sehingga tidak masuk dalam pelarangan
KESESATAN SYAIR SUFI
Duh bolo konco priyo wanito
Ojo mung ngaji syariat bloko
Gur pinter ndongeng nulis lan moco
Tembe mburine bakal sangsoro
gimana ngaji syariat bisa sengsara???
sejak kapan nabi membagi agama syariat dan hakikat
Allah Ta’ala berfirman :
فَمَاذَا بَعْدَ الْحَقِّ إِلاَّ الضَّلاَلُ.
“Dan apakah setelah kebenaran kecuali kesesatan”. (Yunus: 32).
Al Qurthubi rahimahullah berkata, “Ayat ini memutuskan bahwa tidak ada antara kebenaran dan kebatilan tempat yang ketiga dalam masalah ini yaitu menauhidkan Allah Ta’ala, demikian pula semua perkara yang serupa dengannya dari masalah-masalah yang pokok, kerena sesungguhnya kebenaran itu hanya ada pada satu sisi saja”. (Al Jami’ li Ahkamil Qur’an 8/336).
Abdullah bin Mas’ud radliyallahu ‘anhu berkata,” Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menggaris sebuah garis dengan tangannya, kemudian berkata,” Ini adalah jalan Allah yang lurus”. Kemudian menggaris di kanan dan kirinya,kemudian bersabda,” ini adalah jalan-jalan lainnya, tidak ada satu jalan pun kecuali ada padanya setan yang menyeru kepada jalan tersebut, lalu beliau membaca firman Allah Ta’ala:
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِيْ مُسْتَقِيْمًا فَاتَّبِعُوْهُ وَلاَ تَتَّبِعُوْا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيْلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ.
“Dan inilah jalanku yang lurus maka ikutilah dan jangan kamu ikuti jalan-jalan yang lainnya niscaya (jalan-jalan tersebut) akan memecah belah kamu dari jalan-Nya. Itulah yang Allah perintahkan agar kamu bertaqwa.” (Al An’am : 153).
Dalam hadits ini Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membuat satu garis lurus dan menafsirkannya sebagai jalan Allah, lalu membuat garis-garis lain yang banyak di samping kanan dan kirinya, ini menunjukkan bahwa jalan Allah yang merupakan jalan kebenaran hanya satu disisi-Nya tak berbilang, sedangkan jalan keburukan itu banyak
Ojo mung ngaji syariat bloko
Gur pinter ndongeng nulis lan moco
Tembe mburine bakal sangsoro
gimana ngaji syariat bisa sengsara???
sejak kapan nabi membagi agama syariat dan hakikat
Allah Ta’ala berfirman :
فَمَاذَا بَعْدَ الْحَقِّ إِلاَّ الضَّلاَلُ.
“Dan apakah setelah kebenaran kecuali kesesatan”. (Yunus: 32).
Al Qurthubi rahimahullah berkata, “Ayat ini memutuskan bahwa tidak ada antara kebenaran dan kebatilan tempat yang ketiga dalam masalah ini yaitu menauhidkan Allah Ta’ala, demikian pula semua perkara yang serupa dengannya dari masalah-masalah yang pokok, kerena sesungguhnya kebenaran itu hanya ada pada satu sisi saja”. (Al Jami’ li Ahkamil Qur’an 8/336).
Abdullah bin Mas’ud radliyallahu ‘anhu berkata,” Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menggaris sebuah garis dengan tangannya, kemudian berkata,” Ini adalah jalan Allah yang lurus”. Kemudian menggaris di kanan dan kirinya,kemudian bersabda,” ini adalah jalan-jalan lainnya, tidak ada satu jalan pun kecuali ada padanya setan yang menyeru kepada jalan tersebut, lalu beliau membaca firman Allah Ta’ala:
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِيْ مُسْتَقِيْمًا فَاتَّبِعُوْهُ وَلاَ تَتَّبِعُوْا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيْلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ.
“Dan inilah jalanku yang lurus maka ikutilah dan jangan kamu ikuti jalan-jalan yang lainnya niscaya (jalan-jalan tersebut) akan memecah belah kamu dari jalan-Nya. Itulah yang Allah perintahkan agar kamu bertaqwa.” (Al An’am : 153).
Dalam hadits ini Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membuat satu garis lurus dan menafsirkannya sebagai jalan Allah, lalu membuat garis-garis lain yang banyak di samping kanan dan kirinya, ini menunjukkan bahwa jalan Allah yang merupakan jalan kebenaran hanya satu disisi-Nya tak berbilang, sedangkan jalan keburukan itu banyak
DALIL SUFI MODERN
HADITS : أكثروا من ذكر الله تعالى حتى يُقال مجنون
PERBANYAKLAH DARI MENGINGAT ALLOH SAMPAI2 DIKATAKAN SEBAGAI ORANG GILA
رواه الإمام أحمد في المسند (ج 3 ص 68-71) والحاكم في الصحيح (ج1 ص499).
RIWAYAT IMAM AHMAD DAN AL HAKIM DALAM SHOHIHNYA
وقال الحاكم: هذه صحيفة للمصريين صحيحة الإسناد، وأبو الهيثم سليمان بن عتبة العتواري من ثقات أهل مصر.
قلت: ليس كذلك، فإنه من رواية دراج أبي السمح عن أبي الهيثم، ودراج ضعفه الأكثر، ثم روايته عن أبي الهيثم خصوصا عدّها أحمد وأبو داود منكرة.
DAN AL HAKIM BERKATA : INI DARI LEMBARAN ORANG 2 MESIR SANADNYA SHOHIH DAN ABUL HISYAM TERPERCAYA
AKU BERKATA: SEBENARNYA TIDAK SEPERTI ITU,AKAN TETAPI RIWAYAT ITU DARI RIWAYAT DARIJ DARI ABUL HISYAM, SEDANGKAN DARIJ TELAH DI LEMAHKAN BANYA ULAMA' APALAGI JIKA MERIWAYATKAN DARI ABUL HISYAM,TELAH DISEBUT OLEH IMAM AHMAD DAN ABU DAWUD SEBAGAI MUNKAR.
وضعفه الهيثمي في مجمع الزوائد (10/76).
وقال الألباني في سلسلة الأحاديث الضعيفة (517 و7042): منكر.
ومن طريقه الذهبي في الميزان (2/25)
DILEMAHKAN JUGA ADZ-DZAHABI,HAITSAMI,ALBANI
JADI JANGAN HERAN MELIHAT PERANGAI MEREKA SEPERTI ORANG GILA KARENA MEMANG ITU TUJUANNYA
TUDUHAN BERMADZHAB SYIRIK
mereka
: Abdurrahman Ibnu Hasan Alu Syeikh (keturunan Ibnu Abdul Wahhab) dalam
kitabnya Fath Al-Majid Syarh Kitab At-Tauhid, halaman 217 menyatakan:
تقليد المذاهب من الشرك
“Mengikuti (bertaqlid) kepada mazdhab-mazdhab adalah syirik.”
jawab: sebenarnya beliau hanya menukil dari al qonuji
قال القنوجي في كتابه المسمى "الدين الخالص" (ج1/140) :"تقليد المذاهب من الشرك"
lantas mereka menuduh :
وهنا تلبيس خطير ينشرة عباد القبور في المواقع والمنتديات على أن القنوجي يكفر المذاهب الأربعة وهذا افتراء وبهتان عظيم ..!!
jawab : ini karena mereka cuma mau menghina,tidak menukil secara lengkap,
padahal beliau berkata : (والمقلّد غير مطيع لله وللرسول، بل يطيع من يقلده
من الأئمة والكبراء، بل هو مشاق بهذا لهما، حيث ترك إطاعة الله واتّباع الرسول، وأطاع غيرهما من غير حجة نيّرة وبرهان جلي)47.
تقليد المذاهب من الشرك
“Mengikuti (bertaqlid) kepada mazdhab-mazdhab adalah syirik.”
jawab: sebenarnya beliau hanya menukil dari al qonuji
قال القنوجي في كتابه المسمى "الدين الخالص" (ج1/140) :"تقليد المذاهب من الشرك"
lantas mereka menuduh :
وهنا تلبيس خطير ينشرة عباد القبور في المواقع والمنتديات على أن القنوجي يكفر المذاهب الأربعة وهذا افتراء وبهتان عظيم ..!!
jawab : ini karena mereka cuma mau menghina,tidak menukil secara lengkap,
padahal beliau berkata : (والمقلّد غير مطيع لله وللرسول، بل يطيع من يقلده
من الأئمة والكبراء، بل هو مشاق بهذا لهما، حيث ترك إطاعة الله واتّباع الرسول، وأطاع غيرهما من غير حجة نيّرة وبرهان جلي)47.
Pengakuan Syeikh Abdul Qadir Al Jailany.
Suatu hari syeikh Ali bin Idris bertanya kepada Syeikh Abdul Qadir Al Jailany: wahai tuanku, apakah ada seorang wali Allah yang akidahnya /idiologinya menyelisihi akidah Ahmad bin hambal? Beliau menjawab: tidak ada dan tidak akan pernah ada. ( Dzail Thabaqaat Al Hanabilah oleh Ibnu Rajab 2/200).
Ternyata Syeikh Abdul Qadir Al Jailany adalah pengikut setia imam Ahmad bin Hambal.
Tuuuh, makanya mari kita pelajari akidah Imam Ahmad bin Hambal agar terbuka untuk kita peluang menjadi wali Allah .
Bagaimana sobat, anda sudah mengenal akidah Imam Ahmad bin hambal?
Langganan:
Postingan (Atom)