Minggu, 08 September 2013

HUKUM GANTI NAMA


Di antara pertanyaan yang terkadang muncul di benak kaum muslimin adalah, bolehkah seseorang mengganti nama? Dan apakah ada ritual atau acara khusus pada saat mengganti nama tersebut? Pada tulisan ini akan dibahas dua poin tersebut secara ringkas. Semoga bermanfaat.

Mengganti nama hukumnya adalah boleh, baik ketika masih kecil atau setelah dewasa. Apalagi bila nama sebelumnya mengandung penyelisihan terdapat syariat. Maka itu dapat kita temui pada beberapa riwayat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengganti sebagian nama sahabat yang buruk atau mengandung tazkiyah (dakwaan suci) terhadap diri sendiri menjadi nama yang lebih baik dan sejalan dengan Syariat meskipun mereka telah dewasa.

Mengganti Nama Ketika Masih Kecil

Pernah suatu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengganti nama seorang bayi menjadi al-Mundzir. Dari Sahl ia berkata: “al-Mundzir bin Abu Usaid dibawa ke hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah ia dilahirkan. Lalu anak itu diletakkan di atas paha beliau. Sementara itu Abu Usaid (ayah anak itu) duduk. Namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang sibuk dengan sesuatu yang ada di hadapannya. Sehingga Abu Usaid memerintahkan (seseorang) untuk mengambil dan menggendong anaknya dari paha Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam baru tersadar dan bertanya: “Mana anak tadi?” Abu Usaid menjawab: “Kami sudah membawanya pulang, wahai Rasulullah.”

Beliau bertanya: “Siapa namanya?” Ayahnya menjawab: “Fulan.” Kemudian beliau berkata:
لاَ، لَكِنِ اسْمُهُ الْمُنْذِرُ

“Jangan (nama) itu, tapi namanya adalah al-Mundzir.”

Sahl berkata: Sejak itulah ayahnya memberi nama anak itu al-Mundzir. (Hadits Sahih. Riwayat al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrod. Lihat Shahih al-Adab al-Mufrod oleh al-Albani oo. 627/816 hal. 304)

Mengganti Nama Setelah Dewasa

Demikian pula, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengganti nama beberapa sahabat telah dewasa. Ada banyak riwayat tentang masalah ini. Di antara adalah sebagai tersebut:

Hadits Pertama

Dari Ibnu Umar bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengganti nama (seorang wanita) ‘Ashiyah (pelaku maksiat) dan berkata: “Engkau Jamilah (Cantik).”

Hadits ini sahih. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrod. Lihat kitab Shahih al-Adab al-Mufrod oleh al-Albani no. 630/820, hal. 306. Lihat pula ash-Shahihah, no. 213

Hadits Kedua

Dari Muhammad bin ‘Amr bin ‘Atho`, bahwasanya ia pernah menemui Zainab binti Abu Salamah. Lalu Zainab bertanya kepada Muhammad tentang nama saudara perempuannya yang ada bersamanya.

Muhammad berkata: “Aku menjawab: Namanya adalah Barroh (yang baik/berbakti).”

Zainab berkata: “Gantilah namanya! karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menikah dengan Zainab binti Jahsy yang nama (sebelumnya) adalah Barroh, lalu beliau menggantinya menjadi Zinab. Beliau juga pernah menemui Ummu Salamah setelah menikah dengannya, dan namaku (dahulu juga) Barroh, kemudian beliau mendengar Ummu Salamah memanggilku, ‘Barroh’, maka beliau bersabda:
لاَ تُزَكُّوْا أَنْفُسَكُمْ، فَإِنَّ اللَّهَ هُوَ أَعْلَمُ بِالْبَرَّةِ مِنْكُنَّ وَالْفَاجِرَةِ، سَمِّيْهَا زَيْنَبَ

“Janganlah kalian menganggap diri kalian suci, karena Allah lebih mengetehui siapa di antara kalian yang barroh (yang baik) dan yang fajiroh (tidak baik). Beri nama dia Zainab.”

Ummu Salamah berkata: “Dia (namanya sekarang) Zainab.”

Aku (Muhammad) bertanya kepadanya (Zainab binti Abu Salamah): “Lantas aku beri nama apa?”

Zainab menjawab: “Gantilah (namanya) dengan nama yang telah diberikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, berilah dia nama Zainab (juga).” (Hadits Sahih. Riwayat al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrod. Lihat Shahih al-Adab al-Mufrod oleh al-Albani no. 631/821, hal. 306-307. Lihat pula ash-Shahihah, no. 210)

Hadits ketiga

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma: “Sesungguhnya nama Juwairiyah dahulu adalah Barroh. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam merubah namanya menjadi Juwairiyah.”

Hadits ini sahih. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrod. Lihat Shahih al-Adab al-Mufrod oleh al-Albani no. 636/831, hal. 309. Lihat pula ash-Shahihah, no. 212.

Hadits keempat

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha: “Pernah disebutkan seorang laki-laki yang bernama Syihab di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau mengatakan:
بَلْ أَنْتَ هِشَامٌ

}Namamu adalah Hisyam.”

Hadits ini bernilai hasan. Telah diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrod. Lihat Shahih al-Adab al-Mufrod oleh al-Albani no. 632/825, hal. 307. Lihat pula ash-Shahihah, no. 215.

Hadits kelima

Dari Sa’id bin al-Musayyib dari ayahnya dari kakeknya: “Bahwasanya dia (kakeknya) pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu beliau bertanya: “Siapa namamu?”

Ia menjawab: “Hazn (keras).” Beliau berkata: “Engkau adalah Sahl (mudah).”

Ia berkata: “Aku tidak mau mengganti nama yang telah diberikan ayahku!”

Ibnul Musayyib berkata: “Sehingga sikapnya terus-menerus keras setelah itu.” (Hadits sahih diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam kitab al-Adab al-Mufrod. Lihat Shahih al-Adab al-Mufrod, no. 635/841 hal. 313, ash-Shahihah, no. 214)

Hadits keenam

Dari Laila Istri Basyir, ia bercerita tentang Basyir bin al-Khoshoyishah, yang dahulu namanya adalah Zahm, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggantinya menjadi Basyir.

Hadits ini berderajat sohih. Telah diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam kitab al-Adab al-Mufrod. Lihat Shahih al-Adab al-Mufrod no. 635/830, hal. 309, dan ash-Shahihah, no. 2945.

Demikian pula ada beberapa riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lainnya.

Kesimpulan

Dari beberapa riwayat tersebut dapat disimpulkan bahwa:

1). Mengganti nama hukumnya adalah boleh, baik saat kecil atau setelah dewasa.

2). Mereka mengganti nama bukan karena terus sakit-sakitkan atau ‘keberatan’ dengan nama tersebut, tetapi karena nama-nama tersebut mengandung dakwaan suci, makna yang buruk atau menyelisihi Syariat.

Sebagian orang tua mengganti nama anaknya karena menurut mereka si anak ‘keberatan’ dengan nama tersebut sehingga terus sakit-sakitan, padahal namanya sangat bagus seperti Abdullah dan Abdurrahman, hal ini tentu tidak dibenarkan di dalam Syariat Islam.

3). Tidak disyariatkan mengadakan acara-acara tertentu pada saat mengganti nama.

Ketika mengganti nama, para sahabat tidak menyertainya dengan acara syukuran atau ritual lainnya sebagaimana yang banyak terjadi di tengah masyarakat dewasa ini. Andai saja acara semacam ini adalah baik, sungguh mereka dahulu pasti sudah mendahului kita dalam mengamalkannya. Dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Wallahu ‘alam.

Tidak ada komentar: